Cerpen
Disukai
1
Dilihat
14,724
Berbagi Istri
Drama

Mulanya, aku hanya mengenal poligami—sesuatu yang aku maknai dengan seseorang yang mengambil istri lagi meski dia telah memiliki. Contohnya Pak Mustaf. Pria ini sudah memiliki Anidela sebagai istri, tetapi kemudian menikahi Asriana. Empat tahun setelah itu, Pak Mustaf menikahi Dillala. Artinya sekarang Pak Mustaf memiliki tiga istri dan entah mengapa aku berfirasat bahwa jumlah itu akan bertambah. Inilah yang aku pahami sebagai poligami. 


Namun, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan soal istriku. Mariama, dia ingin menikah lagi walau sadar sepenuhnya bahwa aku ada sebagai suami sahnya. 


Tidak perlu dibayangkan bagaimana reaksiku ketika Mariama meminta menikah lagi. Aku hanya diam untuk meresapi perasaan marah, kecewa, benci, dan sedih. Aku juga diam karena sadar diri. Aku tidak punya kaki dan hanya menghabiskan waktu di rumah tanpa melakukan apa pun. Akulah si cacat itu, yang amat beruntung bisa menikah dengan Mariama karena sesuatu alasan. 


"Aku mempertahankanmu. Kita tidak perlu bercerai agar aku bisa mengurusmu sampai nanti. Hanya itu, aku pinta kepadamu, izinkan aku menikah dengan Azrisal. Kami saling mencintai dan ingin memiliki satu sama lain. Dia juga tidak keberatan denganmu dan status kita. Dia tidak masalah dengan keputusanku yang mempertahankan dirimu." Begitu yang Mariama katakan kepadaku, di kamar bisu, ketika aku hanya bisa menunduk saat mendengarkannya. 


"Kita berpisah saja." Aku mengambil keputusan setelah beberapa waktu bungkam. 


"Tidak bisa." Dia menggeleng dengan tegas. "Aku memiliki hutang kepadamu di pundakku dan keluargaku. Aku akan mempertahankanmu demi kewajiban yang harus aku bayar," lanjutnya. 


Lagi-lagi, aku terdiam. Diam cukup lama sambil mengingat-ingat mengapa Mariama mau menikah denganku. Jika tidak salah, keluarga Mariama memiliki hutang kepada keluargaku. Hutangnya berupa uang dan jasa yang kemudian berubah menjadi janji nikah antara aku dengan Mariama. 


Dulu, Mariama sempat menolak mentah-mentah ketika keluargaku datang untuk melamar. Aku juga tidak memaksa jika memang dia tidak mau. Toh, kala itu aku sudah siap melajang hingga akhir hayat. Namun, entah bagaimana, keluarganya datang lagi dengan Mariama yang menyatakan bahwa dirinya bersedia menikah denganku. 


Tidak jelas bujuk rayu atau ancaman apa yang didapat Mariama sehingga dalam waktu tiga hari bisa berubah pikiran. Aku hanya mengikuti kata-kata keluarga sebab sadar posisi. 


Akhirnya, aku dan Mariama menikah. Kami menjalani rumah tangga sampai sekarang. Usia pernikahan kami sudah memasuki tahun ke lima. Sudah lumayan. Setidaknya angka itu jauh menunjukkan keawetan hubungan kami dibanding adik laki-lakiku yang bercerai setelah dua tahun menikah. 


Akan tetapi, ketika Mariama meminta menikah lagi, aku berpikir panjang untuk terus melanjutkan rumah tangga. 


Apakah aku mampu berbagi istri dengan laki-laki lain? Pun, kasus Mariama ini bukan hal lumrah yang sulit aku bayangkan. Bagaimanapun, batinku menolak keras. Lebih baik berpisah. 


Sayang sekali, meski aku ingin, Mariama seakan-akan memelukku dengan sangat erat. Memelukku dan membawaku serta dalam pernikahannya dengan Azrisal. 


Kini, istriku dengan pria lain juga terikat status pernikahan dan menjalani kehidupan berumah tangga. 


Air mataku hanya tidak jatuh saat Azrisal mengikrarkan janji suci di depan penghulu kepada Mariama, sesuatu yang aku lakukan lima tahun lalu. Juga, ketika malam Mariama meminta izin untuk tidur di kamar Azrisal. Aku benar-benar hancur. Tidak terkatakan lagi bagaimana hatiku porak-poranda. Malu sebagai laki-laki yang tidak bisa menjaga istri sehingga kisah ini terjadi. 


Aku bahkan tidak sanggup mengangkat kepala walau untuk melihat bayangan sendiri yang pengecut, tidak berguna, dan cacat di cermin. Aku tidak mampu. Aku merasa lebih baik mati daripada harus berada dalam situasi ini. Aku kalah, merasa telah diinjak-injak. Namun, apa yang harus aku lakukan? Aku hanya manusia dengan berbagai kekurangan yang tidak bisa mencukupi kebutuhan seorang istri. Aku hanya sedikit benci kepada Azrisal dan Mariama, juga diri sendiri.


Silakan! Silakan tertawakan aku. Aku tidak mengapa. Aku juga sedang menertawakan diri sendiri dalam tunduk di kamar sepi bisu ini. Aku baik-baik saja. Sungguh ....


Tidak masalah jika aku disiksa cemburu, juga marah dan kecewa. Sama sekali tidak sebab aku mencoba memahami diri sendiri dan menerima nasib. Mungkin beginilah yang seharusnya. 


Satu tahun menjalani kehidupan rumah tangga yang sulit dikatakan ini, Mariama dinyatakan tengah mengandung. 


Jangan tanya aku, anak siapa yang ada dalam kandungannya. Aku atau Azrisal. Namun, entah bagaimana, aku merasa bahwa itu bukan anakku. 


Sejak menikah lagi, Mariama lebih banyak menghabiskan malam dengan Azrisal, meninggalkan aku sendiri di kamar. Mungkin, hanya beberapa kali dia datang kepadaku, memeluk, dan menunaikan kewajibannya sebagai istriku. Aku bahkan sudah lupa kapan dan begitu asing dengan rasanya. Hambar. Aku tidak lagi bisa menikmati setiap sentuhan Mariama. 


Mariama melakukan tes DNA untuk mengetahui ayah dari anaknya setelah melahirkan. Akan tetapi, dia tidak pernah mengatakan hasilnya kepadaku. Entah kepada Azrisal. Jadi aku tidak tahu siapa ayah dari bayi yang sekarang menambah riuh suasana dalam rumah kami. 


Azrisal bekerja sebagai pegawai bank swasta. Ada pun Mariama, dia mengurus anak yang diberi nama Kumbara, juga aku yang cacat. 


Setelah menikah lagi, aku akui bahwa Mariama banyak berubah. Setidaknya, dia tidak hidup susah atau kekurangan uang dalam dompetnya. Tidak seperti ketika hanya aku suaminya. Azrisal memberinya uang bulanan dan jaminan lain. Mariama sekarang hanya fokus untuk putranya dan aku tanpa harus bekerja seperti dulu. Karena itu, dia punya waktu merawat diri dan rumah. 


Sungguh, dengan keadaan Mariama sekarang, hatiku terbakar. Semakin sadar aku betapa sangat tidak bergunanya tubuh cacat ini. Betapa mengecewakannya aku sebagai suami dan laki-laki. Menyedihkan. Aku bahkan tidak sanggup menahan air mata ketika melihat Mariama yang selalu bahagia karena Azrisal; pria baik, mapan, dan tampan itu. 


Namun, suatu hari, Azrisal mengajakku bicara berdua. Hanya kami sebagai suami Mariama. Kala itu, Azrisal menunduk. Tampak pasrah dan menyerah. Atau, sebenarnya dia memang selalu menunduk di depanku entah karena menghargai aku sebagai suami tertua Mariama atau tuan rumah atau pria yang dia rebut istrinya. Aku tidak yakin. 


"Kau tahu Hans. Aku sangat mencintai Mariama. Mencintainya sebelum kau menikah dengannya. Aku mencintainya sampai mati. Dia seperti napasku sendiri. Namun, aku juga tahu bahwa dia tidak memiliki perasaan cinta yang utuh kepadaku. Hans, dia mencintaimu juga, sama seperti ketika dia mencintai aku hingga menolakmu dulu. Itulah mengapa dia tidak mau melepasmu. Dia serakah, ya. Dia egois sekali." Azrisal berkata dalam tunduk dan tangan yang saling terjalin erat satu sama lain. 


"Apa kau hanya ingin mengatakan perasaan Mariama kepadaku? Jika iya, aku merasa bahwa aku telah memahaminya jauh-jauh hari. Mungkin, ketika dia pertama kali mengungkap keinginan untuk menikah denganmu, juga tetap mempertahankan hubungan kami sebagai suami istri." Aku menjawabnya. 


"Kumbara itu anakmu, Hans. Dia bukan anakku." Azrisal mengangkat pandangan saat itu, menatapku dengan lekat dan serius. 


"Kau juga harus tahu, aku mungkin tidak pernah bisa memberinya keturunannya. Aku pria gagal yang mencintainya dan rela menjadi yang kedua. Namun, aku akan berusaha membuatnya bahagia karena dia cintaku, wanita yang paling aku sayangi di dunia ini. Aku akan memberinya segala yang aku punya. Uang, perhiasan, kemewahan, semua asal dia bahagia. Lalu, aku akan mempercayakan dirimu untuk melengkapinya dengan Kumbara. Hans, kau mencintai Mariama, bukan? Aku pikir inilah yang terbaik untuk kita," lanjutnya. 


"Berengsek!" Seandainya bisa, aku ingin memukul wajah pria perebut istriku itu. 


Demi Mariama, dia rela menjadi perebut istri orang tanpa tahu malu. Lalu, mengatakan secara tersirat bahwa aku yang tidak bisa memberi kekayaan kepada Mariama sebagai penyedia bibit untuk melengkapi kekurangannya? Begitu? Menyedihkan. Keterlaluan. 


Namun, pada akhirnya aku tidak melakukan apa pun. Hanya menunduk dan menangis. Aku memang sangat mencintai Mariama. 


Tamat|| 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (6)