Masukan nama pengguna
“Kau tampak serius sekali dengannya,” tegur Papa tiba-tiba dari balik punggung yang membuatku terkejut. Sepertinya, beliau mendengar kata-kata yang aku ucapkan untuk perempuan di ujung telepon yang berhasil merampas segenap akal sehatku mingu-minggu ini. Mungkin, Papa juga sudah mengamati cukup lama betapa gelisahnya aku.
Gelora api yang terpendam dalam dada ini tak bisa kusembunyikan lagi. Sebagai lelaki, pasti Papa lebih paham apa yang terjadi saat pejantan direnggut seluruh pikiran dan perasaannya oleh betina pujaan. Biarlah, aku mengakuinya sebagai sesama pria.
“Ceritakan, seperti apa perempuan yang sudah membuatmu rela menanti ini?” cetus Papa dengan pandangan menggoda.
Aku menarik napas perlahan, memikirkan kata-kata teragung yang bisa menggambarkan sosok penguasa hati, hingga mengalirlah kalimat, “Laras, dia adalah keindahan bernyawa yang diukir penuh keahlian. Dia kuda betina. Kuda, sekaligus betina. Dia adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh dalam kegelapan, mengubahnya menjadi keindahan yang abadi.”
“Mamamia! Jadi pujangga kau sekarang?” seru Papa takjub.
“Menyesuaikan, Pa. Soalnya, dia lulusan Sastra Indonesia, sih,” sahutku tersenyum malu.
“Hem, menarik! Ajak dong, ke sini. Kenalkan ke Papa,” usul Papa.
Aku hanya bisa menghela napas berat sambil berujar, “Itulah susahnya, Pa. Dia sudah pada titik enggak mau dibawa runtang-runtung kecuali oleh calon suaminya.”
“Dan, kamu belum siap menikah?” tebak Papa hati-hati.
“Ah, Papa! Kalau sama dia, menikah berkali-kali pun aku bersedia. Masalahnya, dia terlanjur mengira aku ini bukan cowok serius,” sungutku.
“Ya, enggak salah, sih. Mengingat bagaimana catatan kejahatanmu selama ini,” canda Papa.
Aku tersenyum kecut dan balas berseloroh, “Siapa dulu pemberi genetiknya.”
" Sudah saatnya kamu hati - hati dengan lidah dan belalaimu, Boy!" Ucap Papa serius kali ini.
Papa tertawa lepas. Setelah lega, beliau menepuk pundakku seraya bicara, “Laras adalah anugerah yang layak kaumiliki. Berikan kepastian yang dibutuhkannya. Biar Laras tak lagi meragukan kesungguhanmu, aku akan mintakan rumah ini untuk kalian.”
Mataku terbelalak hebat. “Serius, Pa?” desakku, “Ini kan, rumah Mama?”
“Iya. Nanti Papa yang atur,” tandas Papa yakin.
Ibarat angin lembut yang memenuhi seluruh ruang hati, aku merasa lega dengan pilihanku berbagi cerita. Rahasia memang salah satu pengikat hati. Aku punya rahasia Papa, dan kini Papa punya rahasiaku. Sekonyong-konyong, aku merasa sedang memeluk hati Papa, begitu dekat.
Meski harus kehilangan ibu kandung, aku selalu merasa beruntung memiliki Papa. Beliau tak pernah membiarkanku merasa kekurangan. Bahkan, soal cinta pun, ternyata dukungannya begitu begitu besar melampaui kata-kata.
Dari hari itu, aku berkomitmen untuk membuat rumah itu menjadi tempat yang indah untukku dan Laras. Beberapa lukisan kupindahkan dari galeri ke ruang utama untuk menghiasnya. Tentu saja, salah satunya adalah lukisan favorit kami itu.
Sungguh, semangat membangun masa depan yang cerah di rumah ini begitu menggelora. Tinggal di rumah megah nan indah dengan sentuhan pribadi, bersama dewi senja yang menyejukkan mata dan menghangatkan jiwa. Seolah pecahan surga jatuh ke bumi dan melebur bersama pendaran galaksi yang berputar-putar di sekitarku, sebentar lagi.
*
Hari ini, suasana di rumah terasa tegang. Aku duduk di ruang keluarga, menunggu kedatangan pengacara yang akan membacakan surat wasiat Mama. Pikiranku penuh dengan harapan dan kecemasan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terungkap dalam surat itu.
Ketika pintu terbuka, pengacara keluarga masuk dengan tenang. Beliau memasuki ruangan dengan percaya diri, dalam balutan setelan jas yang sesuai. Wajahnya tampak serius dan penuh keahlian, mencerminkan pengalaman dan pengetahuan yang dalam soal hukum keluarga.
Kami jarang sekali bertemu. Terakhir, aku sempat melihatnya melintas memasuki ruang kerja Papa saat tersangkut kasus korupsi. Aku bahkan tidak terlalu yakin siapa namanya. Salah satu dari nama kuno yang semakin jarang dimiliki pemuda seusiaku.
Tampak beliau membawa amplop putih besar yang berisi surat wasiat dari Mama. Jantungku berdegup kencang, tak sabar ingin mengetahui isinya. Beliau mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai membacakan surat wasiat yang katanya terakhir diperbarui per 2 Juni 1998.
Ucapan beliau terdengar seperti melodi yang perlahan memenuhi ruangan. Aku mencoba memusatkan perhatian, menyerap setiap yang terucap. Takjub rasanya saat mendengar isi surat wasiat Mama yang berbunyi, “Kepada suamiku tercinta, Andri Wijaya, aku berikan tanggung jawab besar sebagai kepala keluarga. Aku percaya sepenuhnya pada kemampuan dan kebijaksanaanmu untuk membenahi semua akibat dari kesalahan langkahmu dan kembali menjalankan peran sebagai ayah yang baik.”
Terlebih, ketika mencapai bagianku yang katanya, “Kepada anakku, Adrian Sebastian Wijaya, aku memberikan bagian keuntungan dari Moonlit Guest House. Dengan syarat, kamu dinilai telah memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan bisnis oleh pengacara keluarga kita, Raden Mas Kusumo Wibowo.”
Gila! Tega sekali Mama pada Papa dan aku! Ini sama saja dengan tidak meninggalkan sedikit pun warisan buat kami. Penginapan yang disebutkan Mama itu kan, cuma sebuah losmen kecil di kota terpencil. Untuk itu pun, aku masih harus berhadapan dengan si pengacara tua. Huh!
“Terakhir, kepada putriku tersayang, Nola Andrea Wijaya, aku memberikan rumahku dan seluruh jaringan bisnis hotel yang kumiliki, kecuali bagian keuntungan Moonlit Guest House untuk Adrian Sebastian Wijaya jika telah berhak mendapatkannya.”
Aku tersentak dan serasa napas ini terhenti sejenak. Mama memberikan rumah kita ... kepada Nola? Bagaimana mungkin? Ah! Aku memang tidak pernah menjadi anak Mama! Jelas sudah. Mama selama ini cuma menganggapku anak kecil yang patut dikasihani dan tak bisa apa-apa. Sial! Mama terlanjur meninggal sebelum Papa berhasil mengambil rumah ini untukku. Papa ceroboh!
Dalam keheningan, pengacara melanjutkan membacakan surat wasiat Mama. Telinga ini sudah malas menyerap segala kalimat berbunga tentang ungkapan cinta dan harapan Mama agar keluarga ini tetap harmonis. Omong kosong!
Yang aku tahu, di akhir usianya, perempuan itu telah menorehkan rasa kecewa, marah, dan terluka. Aku terlanjur bermimpi menjadikan rumah ini tempat membangun masa depan bersama Laras. Namun, sekarang semua berubah. Aku merasa diriku terpinggirkan.
Pengacara telah selesai membacakan surat wasiat. Namun, suasana terus saja setia terpekur dalam keheningan. Kulirik Nola yang masih tampak terkejut dan sedikit bingung. Dia tidak mengharapkan ini, apa lagi aku.
Usai Pak Kusumo Wibowo itu pergi, satu per satu yang hadir pun meninggalkan tempat. Aku duduk termangu sendirian di ruang ini. Dalam keheningan yang terasa berat, aku menatap sekeliling dengan perasaan campur-aduk.
Pandanganku kembali terkunci pada lukisan kuda betinaku. Alangkah anggunnya bertengger di sana. Seolah memang dialah penguasanya. Seisi ruangan tampak kecil dan rendah di hadapannya. Ya, tentu saja! Tentu rumah ini memang untuk Laras! Tidak layak bocah ingusan seperti Nola menjadi ratu di sini.
Huh! Awas kau, Nola! Enak saja kamu bingung bergelimangan harta, sedangkan aku sebaliknya. Surat wasiat itu tidak pernah menyuruhku pergi dari sini. Maka, aku akan tetap tinggal sambil menyusun rencana merebut rumah ini kembali, seperti yang dijanjikan Papa.