Masukan nama pengguna
"Cinta adalah keajaiban bagi tiap-tiap orang yang merasakannya, tak peduli bagaiamana cara tiap-tiap orang itu menyikapinya." -TITIN, Kembang Desa Kartosuro
***
Demi melupakan kekasihnya, Igo harus menghabisi pikirannya. Minuman keras dan berjudi adalah tuhan paling dekat dengannya. Igo berubah menjadi seorang lelaki yang seakan menyimpan api neraka di hati dan pikirannya. Menggenggam bara di tangannya yang siap merusak apa saja yang mengusik hidupnya.
"Tangkap dia!. Lelaki itu pembunuh anak perempuanku!" Telunjuk amarah sesepuh di desa seakan sebuah celurit yang diacungkan dan ingin dikalungkan ke leher Igo.
Igo terbangun dengan rasa ketakutan. Mimpi buruk itu mendatanginya lagi. Keringat membanjiri tubuh, dahi, dan pelipis lelaki beralis tebal dan tampan yang meringkuk di tengah ranjang memeluk guling. Perempuan tanpa tabir tidur pulas di sebelahnya. Ingin rasanya Igo memasukkan tubuhnya bulat-bulat ke lubang jahanam milik kupu-kupu malam itu. Bersembunyi di lorong paling gelap yang lembab. Tapi tentu hal itu mustahil bisa dia lakukan.
Rasa bersalah itu begitu perih. Ditambah fitnah Ayah Titin yang sejak awal tidak merestui hubungan Igo dengan Titin karena alasan bobot, bibit dan bebet bagaikan hukuman siksa rajam di tubuh dan pikiran Igo. Haruskah Igo menebus kesalahan itu dengan mendekam dipenjara seperti tuntutan Ayah Titin. Itu sama artinya Igo mengakui telah mengakui perbuatan keji terhadap putri semata wayang kepala desa itu.
***
Igo muda pernah mengenyam pendidikan pesantren selama beberapa tahun. Ia pernah mengaji kitab kuning pada beberapa kiai, terlibat diskusi keagamaan di forum-forum pesantren, juga dilatih istiqamah melaksanakan amaliyah ubudiyah selain kewajiban yang lima waktu. Namun, tak sampai pendidikannya tuntas, Igo dihadapkan pada sebuah musibah yang membuatnya harus kehilangan Ibu dan Ayahnya. Ibunya tewas di tangan ayahnya sendiri di bawah pengaruh alkohol dan kalah judi, pertengkaran hebat suami istri itu berbuntut fatal. Ibu Igo terpeleset dari tangga lantai rumahnya terdorong tak sengaja oleh Ayahnya. Ayah Igo menyusul Ibunya tepat di empat puluh harinya, terbunuh oleh begal sepulang dari berjudi. Sebatangkaralah Igo.
Igo pun boyong dari pesantren dan tak pernah mau kembali lagi. Sejak saat itu, hidupnya jadi tak karuan. Igo protes, menggugat Tuhan. Baginya, tiada Tuhan selain segala keinginannya.
Itu terus berlanjut sampai suatu malam yang sepi, Igo dicegat beberapa lelaki tak dikenal di tengah jalan, satu di antara lelaki itu tiba-tiba mengalunginya celurit, memintanya turun lalu merampas semua apa yang menjadi miliknya, termasuk sepeda warisan satu-satunya yang menjadi kebanggaan Igo. Igo sempat mencoba melawan, tapi gerombolan lelaki itu sigap membekuk dan mengoroyoknya hingga tak berdaya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya, tapi untungnya Igo masih diberi kesempatan hidup. Sekuat mungkin Igo berusaha bangkit dan membawa tubuhnya pulang meski dengan langkah sempoyongan. Igo pikir akan kuat sampai rumah, tapi tiba-tiba Igo ambruk ketika hendak melewati sebuah rumah kecil di pinggir jalan ujung kampung. Lalu ditolong Titin yang pulang dari pasar malam di lapangan desa sebagai rangkaian puncak kegiatan sedekah desa.
Begitulah, semenjak kejadian itu, Igo berubah. Igo tidak lagi mengganggu dan mencari gara-gara dengan orang lain. Selain itu, Igo diam-diam telah jatuh hati kepada Titin.
Titin adalah bunga desa dari kampung sebelah. Body yang tinggi dengan wajah rupawan, tubuh ramping mendekati seksi ala Mikha Tambayong, dengan tatapan mata dan bibir sensual ala Ariel Tatum. Titin adalah seorang gadis desa yang mendekati sempurna sebagai mahkluk Tuhan paling sexi. Titin sungguh perempuan cantik jelita. Parasnya bak Roro Jonggrang.
Titin banyak di gandrungi jejaka-jejaka desa bahkan jadi rebutan untuk mendapatkan hati dan cintanya. Sayang, Titin tidak bisa menjadikan modal kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya sebagai magnet pemikat lelaki mapan dan tampan. Malah jatuh hati kepada Igo yang nakal dan sebatang kara. Igo mendapatkan hati Titin bukan tanpa perjuangan. Kisah cinta Igo dan Titin serupa kisah cinta Bandung Bondowoso yang memperjuangkan cinta ke Roro Jonggrang dengan harus memenuhi permintaan pembuatan 1000 candi meski berbuah kegagalan sebab kecurangan Roro Jonggrang. Bedanya, Igo lolos ujian dari Titin dengan permintaan dibuatkan 100 buah kaligrafi dalam seminggu. Igo yang pernah belajar kaligrafi sewaktu mondok menerima tantangan itu dan berhasil. Titin menerima cinta Bahkan, hati Ayah Titin akhirnya luluh dan turut merestui hubungan percintaan itu.
Sampai kemudian tragedi pahit di taman kota di sabtu malam menimpa mereka.
***
Sial! Di tengah menikmati lapak kaligrafi yang sedang ramai pengunjung dan pembeli, serdadu - serdadu negara dengan bringas membuat kegaduhan. Tunggang langgang mereka menyelamatkan diri. Nahas, razia taman kota telah membuat Igo kehilangan Titin. Persis, sebelum cahaya mengepung semesta, di Subuh ranum di dekat rel lintasan KA, di tepi sungai yang rimbun dengan ilalang, di atas semak-semak orang-orang kampung sebelah menemukan jasad Titin yang membiru. Igo tidak yakin serdadu-serdadu itu yang membunuh dan menganiaya Titin karena Igo tidak menemukan luka lebam dan bekas penganiayaan. Mungkinkah ular berbisa yang telah merenggutmu. Duh, Oh.. gusti! Batin Igo meratap pilu menerawang kejadian seperti apa yang sebenarnya menimpa kekasihnya di malam nahas itu.
***
Masih di atas bentang sajadah, selesai salat, mata Igo memberat. Igo tertidur di atas sajadah. Dalam tidur Igo bermimpi, seorang lelaki tinggi di atas rata-rata manusia pada umumnya dan berparas tampan rupawan, wajah penuh cahaya dengan tubuh dibalut pakaian dan jubah putih bercahaya. Lelaki itu memberi salam, menyapa Igo dengan suara lembut.
Sejak mimpi itu Igo semakin sering bersenandung salawat sembari melukis kaligrafi pesanan para penjaga tahanan dan atasan mereka.
Igo bebas karena terbukti tidak bersalah.Tapi Igo memilih tidak pulang ke kampung. Igo memilih mendirikan pondok kecil di atas bukit di ujung desa, di mana jasad Titin disemayamkan. Igo ingin selalu dekat dengan kekasihnya itu meski telah beda dunia. Orang-orang kampung menganggap Igo gila karena mencintai orang yang sudah meninggal. Igo tidak perduli. Tapi, akhirnya penduduk kampung menghormati keputuasaan-nya. Mungkin mereka berpikir Igo perlu menyendiri untuk menenangkan diri.
Hingga suatu senja yang tidak biasa. Langit begitu hitam. Beberap kali gelegar petir terdengar. Hujan turun lebat. Suara petir sambar menyambar. Dari atas bukit terdengar lafal adzan di kumandangkan. Selesai Adzan, senandung salawat dinyanyikan. Lebih merdu dan lebih lantang dari biasanya. Tidak ada seorangpun yang tahu. Orang kampung takut keluar rumah karena hujan begitu lebat, deras bercampur angin kencang disertai petir.
Igo di atas bukit bermandi hujan beratapkan langit dan beralasakan genangan air duduk sujud bersimpuh sembari terus melafalkan senandung salawat nabi. Igo mendekap sebuah gulungan kain lukisan kaligrafi berbentuk bahtera Nuh lafal Al Fatihah dengan terus bersenandung pujian-pujian kepada nabi. Pondok telah roboh diterjang angin. Sesekali kilatan petir menangkap siluet tubuh Igo yang tidak juga berdiri menuruni lereng untuk mencari tempat berteduh. Suara batuk parah terdengar dari lelaki itu sembari terus memegangi dadanya. Sesaat tubuh Igo terkulai lalu diam mencium tanah.
Sejak kejadian itu, setiap senja menjelang Mahgrib terdengar nyanyian salawat Nabi dari atas bukit. Seakan salawat Nabi itu berasal dari seliur ilalang diatas bukit yang bergoyang, menari terkena hembusan angin. Orang kampung tidak tahu pasti suara siapa itu. Pernah, orang kampung rama-ramai naik ke bukit untuk menemukan dan membuktikan siapa pemilik suara merdu itu. Tapi, nihil. Di atas bukit tidak ada siapa-siapa. Lama kelamaan, kidung salawat yang sahdu itu membuat orang kampung tidak merasa takut malah menjadi terbiasa dan menjadikan sebagai alarm untuk bergegas bersiap salat mahgrib.
Biasanya, sampai tiba Adzan Mahgrib berkumandang dari surau kampung, nyanyian salawat Nabi itu berhenti berganti suara muadzin lantang berkumandang.