Masukan nama pengguna
"Joker berlindung dalam riasan badut, kemudian melakukan kejahatan atas nama satire komedi terhadap roda kehidupannya. Lalu, sebutan apa yang pantas bagi mereka penganut pesugihan yang atas nama kemiskinan ingin naik derajat dengan jalan pintas meski dengan risiko mereka menjadi tumbal pesugihan?" - Kyai Tanpa Pesantren
***
Titin merasakan keringat dingin di pelipisnya, punggung telapak tangan yang basah dan detak jantung berdegup kencang tapi gadis itu berusaha bersikap tenang sambil terus duduk layaknya orang bersemedi, matanya awas menatap lilin dengan gerak ujung api bergoyang hebat. Rasa was-was dan ketar-ketir menikam ulu hati dan pikirannya bagaimana bila lilin yang dijaga mati. Jika itu terjadi tentu menjadi pertanda buruk atas kejadian yang menimpa suaminya saat ini
Sementara itu di perbatasan kampung di Desa kecil perbatasan kota Blora. Dekat sebuah hutan jati yang tekenal angker bagi warga sekitar.
"Cepat, cepaaat!" teriak salah satu dari mereka.
"Kepung Babi itu!" sahut yang lain.
"Jangan biarkan lolos!" Yang lain menimpali.
"Itu itu Babinya berlari menuju hutan jati!" Lelaki muda berlari dengan senapan angin ditangan. Dibelakangnya segerombolan pemuda lengkap dengan alat masing-masing. Ada yang membawa pentungan, parang, golok dan linggis.
Akar melintang yang menyembul dari tanah membuat babi terjatuh. Namun, segera babi itu bangkit dan kembali berlari.
Di atas sana bulan mati. Dalam gelap, ranting-ranting rendah dan semak-semak begitu saja diterobos babi. Sesekali nampak babi gemuk itu hampir pula menabrak batang-batang keriput pepohonan. Warga desa kehilangan jejak si Babi, mereka gontai kembali ke desa . Tiba-tiba kilatan petir membelah langit. Hujan turun deras dan membubarkan warga balik ke rumah mading-masing.
***
Warga desa begitu nampak marah dan gusar dengan seringnya kedapatan seekor babi gemuk yang sudah dalam seminggu ini, tiga kali masuk ke perkampungan mereka. Entah berasal dari mana babi itu. Mulanya warga desa menduga babi itu berasal dari hutan jati angker yang berada di batas desa. Tapi, karena setiap kemunculan babi itu, esok harinya selalu ada warga desa yang melaporkan kehilangan uang dan perhiasan dalam jumlah banyak. Warga desa mencurigai babi yang meneror desa mereka bisa jadi babi jadi-jadian alias babi ngepet. Warga semakin resah dan saling mencurigai siapa kira-kira yang memiliki pesugihan babi ngepet.
Kecurigaan itu mengerucut pada satu nama yaitu Abah Miun, Kecurigaan warga kampung bukan tanpa dasar. Karena setiap sehabis kemunculan Babi di perkampungan dan warga gagal menangkapnya karena selalu lolos dari kejaran warga dengan berlari masuk ke hutan. Pagi harinya, banyak dari warga desa yang pagi buta ketika berangkat pergi ke ladang sering menjumpai Abah Miun berlari kecil keluar dari jalan setapak persis di pintu masuk ke hutan jati yang warga desa menilainya hutan angker.
"Abah Miun rajin olah raga ya pagi-pagi sudah jogging."Sapa salah satu warga ke Abah Miun saat berpapasan.
"Ya, meski sudah tua harus jaga kesehatan dong."Jawab Abah Miun sambil tersenyum.
Lain hari setelah peristiwa malam yang sama. Yang saat itu, salah satu pentungan warga sempat mengenai kaki si babi sewaktu pengejaran, esok paginya salah satu warga mendapati Abah Miun berjalan dengan pincang.
"Abah Miun kenapa berjalan pincang?"Tanya seorang warga dengan penuh selidik.
"Kemarin kaki saya terkilir saat jatuh dari sepeda motor."Kilah Abah Miun. Wargapun percaya.
Abah Muin terbilang orang kaya baru dikampung itu. Sebutan Abah juga didapat baru setahun, setelah Miun pergi haji dengan istri keduanya, Titin. Istri pertama Abah Miun, Sabrina, meninggal karena menderita suatu penyakit yang tidak wajar, sekujur kulitnya melepuh. Istri kedua Abah Miun, Titin, seorang janda hamil tua ditalak suami yang kejam, suka judi, pemabuk dan tidak bertanggung jawab.
***
Titin muda adalah bunga desa dari kampung sebelah. Body yang tinggi dengan wajah rupawan, tubuh ramping mendekati seksi ala Mikha Tambayong, dengan tatapan mata dan bibir sensual ala Ariel Tatum. Titin adalah seorang gadis desa yang mendekati sempurna sebagai mahkluk Tuhan paling sexi. Titin sungguh perempuan cantik jelita.
Titin muda banyak di gandrungi jejaka - jejaka desa bahkan jadi rebutan untuk mendapatkan hati dan cintanya. Sayang, Titin tidak bisa menjadikan modal kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya sebagai magnet pemikat lelaki mapan dan tampan.
Entah karena termakan iklan di TV, di mana dalam sebuah iklan detergen, " Tidak ada noda, yah tidak belajar. " ( Celakanya, segelintir gadis-gadis menyalah-artikan ini, " Tidak ternoda, yah tidak belajar , " Hehehe! ), ya' termasuk si Titin ini, bisa jadi menjadi korban iklan tersebut.
Banyaknya kumbang - kumbang desa yang ingin menghisap sari madu untuk bisa mempersunting dirinya, membuat Titin lupa diri dan terjeremus dalam pergaulan bebas ala desa; pacaran di tempat gelap, berduaan di malam minggu sampai larut malam di tempat yang sepi, parahnya si Titin suka gonta - ganti pacar _ mungkin gadis itu berprinsip "mumpung laku" merelakan dirinya menjadi piala bergilir. Ironisnya, Titin bangga dengan predikat itu.
Akhinya di suatu kejadian, di malam jahanam menjadikan Titin harus mengalami MBA. Na' asnya yang berhasil menanam sperma di rahimnya adalah seorang lelaki preman kampung yang tidak tampan tapi juga tidak jelek tapi gaul. Lelaki yang beruntung mendapatkan Titin itu bernama Joni.
Joni adalah pria muda dengan tampilan dandanan funky abis ; celana cutbray di hias sabuk dan kombinasi rantai yang terhubung di dompet yang selalu di taruh di saku belakang celana. Sayangnya jejaka itu pengangguran berat. Brondong sich tapi kenakalan dan badungnya Joni melampaui orang dewasa kebanyakan dengan tabiat yang sama.
Kok bisa Titin jatuh ke lelaki miskin jauh dari kemapanan dan ketampanan itu?. Titin di gauli lelaki pengacara ( pengangguran banyak acara ) itu sehabis diajak menonton dangdut acara kampung dalam rangkaian kegiatan sedekah bumi dan diam - diam minuman Titin ditetesi obat perangsang. Aha! Ngeri - ngeri sedap. Kasihan nasib si Titin, bunga desa yang menjadi layu.
Sudah bisa di tebak dong, pernikahan yang terjadi secepat kilat sebab Titin yang sudah telat 3 bulan itu berlangsung tidak meriah dan rumah tangga gadis itu tidak bahagia, jauh dari kata harmonis dalam perjalanan biduk rumag tangga.
Perangai suami Titin sangat tempramental, labil dan emosional. Semestinya Titin sudah menyadari semenjak dahulu dengan sifat - sifat kasar suaminya itu. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Menjalani hidup seatap dengan suaminya, Joni, di rumah kecil warisan orang tua, Titin seakan tinggal di neraka. Semula Titin tinggal seatap dengan nenek dan kakeknya yang merawat gadis itu semenjak Ayah Ibunya meninggal akibat bus yang ditumpangi dalam iring - ringan mengantar pengantin mengalami kecelakaan diluar kota. Titin berusia 17 tahun sewaktu musibah tragis itu terjadi.
Semenjak yatim piatu itulah perangai Titin berubah total. Nakal dan berani kepada kakek neneknya. Maka kelegaan bagi kakek neneknya ketika cucunya kini telah menikah. Titin langsung disuruh menempat rumah peninggalan orangtuanya.
Berjalanya waktu, dengan kondisi hamil tua, dan memiliki suami yang masih juga betah menyandang predikat pengangguran meski telah menjadi suami dan sebentar lagi menjadi ayah, membuat Titin harus berpikir keras untuk bisa memiliki modal uang guna membayar biaya persalinan bayinya kelak. Titin mengambil pekerjaan buruh cuci dan setrika di sebuah keluarga terpandang tetangga desanya, yang merasa kasihan akhirnya menerima jual jasa Titin itu.
Titin sebenarnya sudah mengutarakan keresahan itu kepada suaminya agar mau jadi tukang ojek untuk menghidupi kehidupan mereka. Namun, Joni menolak malah memarahinya tanpa alasan yang jelas. Pertengkaran sering sekali terjadi dalam rumah tangga yang masih seumur jagung. Usaha Titin sia - sia untuk memgupayakan "dapur ngepul " mereka.
Titin harus rela banting tulang mencukupi kebutuhan sehari - hari. Penghasilan menjadi binatu sebagian Ia sisihkan sebagai tabungan. Tapi, lagi - lagi perangai buruk suaminya yang suka judi dan sabung ayam membuat ludes tabungan sebelum waktunya.
Titin semakin menderita dan hidup susah. Rumah tangga itu berat , Dylan...bisik lirih Titin kepada dirinya sendiri sembari mencari penghiburan dari kata - kata yang terlontar menirukan ucapan Dylan, tokoh film remaja yang saat ini menjadi iconic dan trendsetter dengan mengganti ucapan versi dirinya sendiri. Hiks! Kasihan Titin.
Setiap pertengkaran terjadi, Joni tidak segan main tangan, berkata dan bertindak kasar.
Pernah suatu ketika Titin menolak untuk berhutang di toko sembako Abah Miun karena Titin sudah malu untuk berhutang sebab hutang ke toko tersebut sudah menumpuk dan menunggak hutang pembayaran 2 bulan. Joni marah hebat. Matanya merah menyala, membanting barang - barang perabotan rumah dengan kasar dan brutal. Joni juga tidak segan menyakiti Titin. Menjambak , mendorong bahkan memukul dan menendang. Lalu, meninggalkan rumah dengan mebanting pintu.
Titin memeluk lutut bersembunyi di balik dinding kamar. Tangis Titin yang keras, tidak ada yang perduli. Titin meratapi nasibnya sendiri, air mata mengalir deras menyaksikan perabot yang hancur berkeping dan luluh lantak seperti hatinya saat ini.
Titin menyesal sekali dengan kehidupannya saat ini. Menikah dengan lelaki tak bertanggung jawab, banyak menanggung hutang.
Bagaimana Ia harus melunasi hutangnya ke Abah Miun. Gali lobang tutup lobang jelas bukan solusi menyelesaikan perkara hutang. Titin berpikir keras bagaimana melunasi hutangnya ke Abah Miun, Duda tanpa anak, tetangganya itu, kalau bisa lunas tanpa harus keluar uang serupiah. Tapi mana mungkin?. Membayar hutang tanpa keluar uang itu sama halnya pingin menikmati senggama tapi 'ngga ada pasangan. Mana bisa bro'/sis?! Jatuhnya; onani! Sudah, sudah, sudah, ya belum! Beda rasa tau! Intinya, bayar hutang, ya musti dengan keluar uang! Catat! Celoteh otak waras Titin. Setengah menghardik ke dirinya sendiri.
Terkadang cara berpikir Titin memang begitu ; rada nyleneh menyikapi keadaan. Mungkin itu sekian jurus survive yang Ia miliki untuk menguatkan mental dan mengelola stress saat Ia dihadapkan kenyataan hidup.
Apa aku harus menukar kehangatan tubuhku ke Abah Miun, tapi mana mau pria tambun berkumis tebal kayak pak Raden itu menggauli wanita yang sedang bunting seperti dirinya. Meski aura kecantikan bunga desa masih ada di wajahnya tapi Titin tidak yakin pria setengah tua berperut buncit itu nafsu melihat tubuhnya yang pasti tidak menarik lagi. Duh Gusti, berpikir macam apa aku ini.
Di tengah merutuki nasibnya sembari menunggu Joni, suaminya yang belum juga pulang meski telah larut malam, Titin meringkuk di tengah ranjang. Plek ! Seekor cicak jatuh tepat mengenai atas kepalanya. Duh, perlambang apa lagi ini? Firasat apa ini atas dirinya atau suaminya?
Tapi, diluar dugaan entah karena kasihan atau lama kesepian, Abah Miun mau menikahi Titin yang sedang hamil tua dengan satu persyaratan; rela menjadi pengabdi syetan sebagai pengambil pesugihan babi ngepet. Titin menyetujui perjanjian perkawinan itu. Titin sudah lelah miskin. Apalagi, Joni lari dari tanggung jawab. Joni menjatuhkan talak saat Titin merengek meminta uang biaya persiapan persalinan anak mereka yang pertama.
Pikir Miun saat itu, sekali mendayung dua tiga pula terlampaui, mendapat istri baru sekaligus anak meski bukan dari darah dagingnya sendiri. Setelah masa idah selesai Miun dan Titin menikah dengan cara sederhana yang penting halal secara agama dan negara.
Abah Miun dan Titin menjadi pengabdi syetan sampai saat ini. Meski, desas desus pesugihan Abah Miun yaitu babi ngepet semakin santer di kampung Morodadi, pasutri itu cuek. Titin bahagia dengan kehidupan yang kaya raya itu. Abah Miun-pun demikian.