Cerpen
Disukai
2
Dilihat
12,526
Dewa Cinta
Romantis

Badai rasa itu dipikiran. Ikuti saja riak gelombangnya. Alur hidup memang tidak datar. Naik turun seperti grafik denyut jantung. Nikmati saja iramanya. Meski, nyatanya hanya ikan mati saja yang mengikuti arus. Ciptakan arusmu atau kamu pasrah saja dengan takdirmu seperti takdir ikan mati itu."-Nola Andrea


***

"Memang itu surat apa, Ma?"tanya Nola sambil menangis waktu itu mendapati mamanya menangis di depan meja rias di dalam kamar.

Padma, Mamanya sangat berat untuk mengatakan hal yang pasti akan membuat Nola semakin membenci ayahnya. Kalimat basmalah selalu di ulangi saat memutuskan akan mengatakan hal teramat pedih pada anak perempuan yang sangat dicintai. 

"Papamu meminta Mama untuk menanda tangani surat restu untuk di poligami." Jawab Padma dengan suara terbata-bata sambil menutup wajahnya dengan tangan karena sibuk menyeka air mata yang deras mengalir membasahi pipi yang sudah mulai keriput.

"Oh, jadi seperti itu aslinya papa! Doyan mabuk, kasar ke Mama bahkan tidak segan berbuat KDRT ke Mama dan suka pergi bersama perempuan lain yang ternyata gundiknya itu adalah PK!"Nola marah, mencaci papanya dan turut menangis. Padma memeluk anak sulungnya itu, tapi Nola tidak berhenti mengutuk papanya dengan umpatan-umpatan dan sumpah serapah yang berhamburan dari bibir mungilnya. Padma masih belum menandatangani surat itu, sebelum Padma bertemu dan berbicara langsung dengan suaminya itu.

Nola tidak menyangka bila akhirnya pertemuan Mama dan Papanya yang doyan kawin itu berbuah tragedi di keluarganya. Mamanya meninggal sebab terjatuh dari lantai atas akibat tak sengaja terdorong tangan kekar Papanya yang marah dan gelap mata karena ditolak permintaan poligaminya.

Sejak saat kejadian itu, Nola sangat membenci papa biologisnya itu. Nola tidak pernah menjenguk papanya di penjara. Bahkan, Nola sudah melupakan dan menganggap orang bernama: Rangga Dhanu Wardhana, yang tak lain merupakan papanya sudah mati baginya.

Terdengar isakan yang terhimpit bantal. Nola Andrea menangis mengenang mendiang Mamanya. Padma, bagi Nola adalah seorang mama dengan semesta cinta yang raya baginya. Nola sangat terpukul ketika kehilangan mamanya itu.

Kejadian kehilangan orang yang di sayang kembali berulang di kehidupannya saat ini.

***

Wujud luka itu serasa memiliki seribu pintu dihidupku. Sesuka waktu datang menampakan diri dan menamparku tanpa belas kasihan. Dirga, kamu adalah oase-ku di gurun kering kerontang hidupku yang sunyi dan gelap di gemerlap warisan orangtuaku.


Belum lama kusadari, tak mungkin kubandingkan kau dengan kembaranmu sendiri. Dirga, lelaki yang terlebih dulu menjadi bintang di langit hatiku. Kau yang ternyata memiliki ketangguhan dengan daya arung dan juangmu untuk meraih mimpi dan harapan. Terlambat aku menyadari pesonamu, Antara.

Kau dan siapapun lelaki boleh saja menerka apa yang ada dalam isi kepala perempuan sepertiku, tetapi jangan harap kalian temukan sesuatu kecuali kekecewaan. Apalagi untuk menyelami hingga dasar batin, di mana rasa luka terpelihara bersama jejak sejarahnya.


Kalian sesungguhnya perlu bertanya kembali kepada tujuan awal mengenal perempuan, terlebih kepada seseorang terpikat hatinmu. Dengar, lihat dan rasakan konstelasi peristiwa yang melahirkan perempuanmu seperti saat ini.


Jangan terburu-buru membengkok-an masa lalu perempuanmu lalu kamu belokan sesuai maumu sejalan arah tujuanmu. Memaksa perempuan berdiam di gerbong mimpi yang sama tanpa memetakan pikiran dan laju kenangan yang menyertainya itu sama saja merampas hak-haknya sebagai perempuan yang merdeka atas tubuh dan pikirannya.

Aku bukannya sedang mengakui perihal topeng kepalsuan yang menjadi kecenderungan sikap sebagian banyak perempuan sepertiku. Terkadang, tersenyum adalah hal yang paling mudah untuk sejenak melupakan kesedihan, menutupi fakta yang sebenarnya dengan memanipulasi keadaan. Percayalah, mudah sekali melupakan seseorang. Hal yang tersulit adalah melupakan kenangannya. Apalagi kenangan itu perihal kebersamaan dengan orang tercinta yang menjadikan alasanmu terlahir di dunia ini.

Apa memang semua lelaki begitu. Tidak ada lagi greget untuk menjaga setelah sesuatu yang diperjuangkan behasil diraih. Entahlah, nalar lelaki dewasa tidak mudah ku tebak.

Rasa terasingku bermula di antara para pengunjung yang ramai membicarakan puisi, lukisan dan buku-bukumu. Sambutan, pembacaan dan tanggapan, bergantian memenuhi kejenuhan, menghunuskan kata-kata yang tak satupun kumengerti maknanya.

****

Wujud luka itu serasa memiliki seribu pintu dihidupku. Sesuka waktu datang menampakan diri dan menamparku tanpa belas kasihan. Kamu adalah oase-ku di gurun kering kerontang hidupku yang sunyi dan gelap di gemerlap warisan orangtuaku.

Belum lama kusadari, tak mungkin kubandingkan kau dengan kembaranmu sendiri. Dirga, lelaki yang terlebih dulu menjadi bintang di langit hatiku. Kau yang ternyata memiliki ketangguhan dengan daya arung dan juangmu untuk meraih mimpi dan harapan. Terlambat aku menyadari pesonamu, Antara.

Melalu postingan-postingan story-mu, diam-diam aku mengaggumi pola pikirmu yang matang dan bijak.memandang hidup. Setali tiga uang dengan kakakmu, Dirga. Bedanya, Dirga terlalu possesive terhadapku belakangan ini, sehingga selalu to the point menceramahi dengan kata-kata yang telanjang. Aku tidak suka itu. Dua bulan menjadi pacar Dirga, ternyata waktu yang terlalu cepat, begitu mudah aku bisa memahami karakter lelaki. Membosankan.

Kau dan siapapun lelaki boleh saja menerka apa yang ada dalam isi kepala perempuan sepertiku, tetapi jangan harap kalian temukan sesuatu kecuali kekecewaan. Apalagi untuk menyelami hingga dasar batin, di mana rasa luka terpelihara bersama jejak sejarahnya.


Kalian sesungguhnya perlu bertanya kembali kepada tujuan awal mengenal perempuan, terlebih kepada seseorang yang pernah kau pikat hatinya. Dengar, lihat dan rasakan konstelasi peristiwa yang melahirkan perempuanmu seperti saat ini.


Jangan terburu-buru membengkok-an masa lalu perempuanmu lalu kamu belokan sesuai maumu sejalan arah tujuanmu. Memaksa perempuan berdiam di gerbong mimpi yang sama tanpa memetakan pikiran dan laju kenangan yang menyertainya itu sama saja merampas hak-haknya sebagai perempuan yang merdeka atas tubuh dan pikirannya.


Aku bukannya sedang mengakui perihal topeng kepalsuan yang menjadi kecenderungan sikap sebagian banyak perempuan sepertiku. Terkadang, tersenyum adalah hal yang paling mudah untuk sejenak melupakan kesedihan, menutupi fakta yang sebenarnya dengan memanipulasi keadaan. Percayalah, mudah sekali melupakan seseorang. Hal yang tersulit adalah melupakan kenangannya. Apalagi kenangan itu perihal kebersamaan dengan orang tercinta yang menjadikan alasanmu terlahir di dunia ini.

Dirga, meskinya kamu tidak gegabah dengan mendikte-ku untuk menjual rumah warisan orangtuaku itu. Itu sama artinya kamu memaksaku menjual kenangan bersamanya. Semestinya, kamu lebih mendukungku di saat aku memperjuangkan hak itu. Cemburumu kepada Rimba, pengacaraku tidak beralasan. Rimba memang lelaki tampan dan mapan. Tetapi, dia bukan tipe lelaki idamanku. Lelaki yang workholic seperti Rimba membuatku merasa sebuah kehangatan dalam keluarga tidak berada diperingkat paling penting dalam sasaran hidupnya. Aku merindukan keluarga yang hangat sepanjang hidup melewati lelaki pilihan pada masanya nanti.

Sebagian besar anggapan lelaki, bahwa berkat keunggulan nalarnya, mereka merasa tahu semua hal, termasuk isi kepala perempuan. Seperti halnya penuturanmu ketika terakhir kali kita bertemu, "cukup Nola, aku sudah tahu." Kau sudahi pembicaraan kita dengan beberapa saran jalan keluar yang semakin membuatku hilang selera makan malam bersamamu. Kamu tidak.mau mendengarkan ceritaku lagi hanya lantaran aku harus berkali-kali menyebut nama Rimba, - yang entah mulai kapan kamu menganggap sebagai rivalmu. Padahal, bukan itu point penting dalam ceritaku itu.

Apa memang semua lelaki begitu. Tidak ada lagi greget untuk menjaga setelah sesuatu yang diperjuangkan behasil diraih. Entahlah, nalar lelaki dewasa tidak mudah ku tebak.

Bisa kupastikan kau bakal memahami ketika kukatakan bahwa mungkin banyak lelaki yang bisa memberikan kepuasan berahi, lebih banyak daripada mereka yang sanggup menyediakan kepuasan materi. Dan kau terlihat dingin menanggapinya dengan, "bakal lebih sedikit lagi yang mampu mempersembahkan kepuasan hati," yang langsung kuiyakan kala itu. Entah, engkau bermaksud menyidir siapa. Jelas kamu belum pernah berumah tangga. Demikian aku.


"Kelak kau akan mengerti dengan sendirinya," timpalmu.


Saat itu pandanganmu jauh menerawang, seolah hendak menjangkau lapisan masa yang baru saja kuceritakan. Aku pun terbawa arus ingatan karenanya, pada saat di mana Mamaku yang seharian penuh memasak menu kesukaan Papaku di akhir pekan demi bisa merasakan nikmatnya makan malam bersama kelurga tercinta. Demi menyajikan makan malam itu, Mamaku membiarkan aku menikmati gawai dengan berbagai game seharian. Larangan Mama yang di langgar Mamaku sendiri.

Andai kau tahu, Mamaku telah lama merindukan belaian, rengkuhan, bahkan kenikmatan yang hilang semenjak Papaku menjadi rebutan perempuan-perempuan lain. Sekali saja, di akhir pekan itu, Mamaku ingin merasakan sebuah keluarga yang hangat berbuah perasaan nyaman ketika bersembunyi di ketiak suami yang basah sehabis bermandi keringat bersama, mendaki puncak hasrat sebagai perempuan beristri yang lama di acuhkan hak batinnya oleh suaminya. Sederhana bukan impian Mamaku. Menagih salah satu janji suci Papa sebagai suami.

***

Sekejap kemudian menyusul rasa terasingku di antara para pengunjung yang ramai membicarakan puisi, lukisan dan buku-bukumu. Sambutan, pembacaan dan tanggapan, bergantian memenuhi kejenuhan, menghunuskan kata-kata yang tak satupun kumengerti maknanya.

Tiba saat gilirannya kau bacakan puisi. Pembawa acara menjelaskan perihal gangguan serius pada tenggorokanmu sehingga perempuan dan lelaki kecil itu yang akan menggantikan yang ternyata mereka yang menjadi alasanmu meninggalkanku. Cinta masa lalu telah berhasil memikatmu dengan status janda anak satu. Entahlah,kurang apa diriku?

Segera setelah mendengar itu, kuingin secepatnya undur diri dari keterasingan yang menjadi-jadi bagai badai yang menghantam hati dan pikiran Nola.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)