Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,318
Bisma dan Abimany
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bisma dan Abimanyu 


Oleh : Bisma Lucky Narendra 

***

"Mas Abi, kamu gak usah gemes gitu, dong. Kasian adik kecilnya kamu cubitin!" seru Ibu.

"Ya, Dede Bisma gemesin banget."

"Ya, iya. Tapi gak gitu juga dong, kalo dia nangis, gimana?" Ibu masih asik memasukkan baju ke mesin cuci. Aku memandangi wajah Bisma, Adik tampan yang mirip Ayah.

Kebiasaan pagi hari di rumah kami, Ayah setelah Subuh berjamaah tadi berangkat ke pasar untuk membuka kios kelontong kami, Ibu mulai sibuk dengan kegiatan rumah tangga ; dari menyuci piring, baju dan membuatkan sarapan. 

Aku kebagian pekerjaan menyapu lantai dan merapikan selimut dan tempat tidur sebelum mandi untuk berangkat ke sekolah.

"Iya, deh. Adik kecil, kakak mandi dulu, ya. Nanti kita main lagi." Aku mencium pipi gembul dan mengusap kepala balita berusia sekitar empat tahun yang masih tertidur pulas.

Aku selalu gemas saat melihat Bisma yang sering bertingkah lucu dan menggemaskan. Bila pulang dari sekolah atau waktu libur, aku sering habiskan waktu bermain dengan Bisma sembari momong bocah kecil yang aktif itu.

Bermain menata puzzle gambar hewan, mobil, bermain bola atau sekedar bermain petak umpet ( hide and seek ) di dalam rumah. Bisma paling suka diajak bermain tembak-tembakan. Kalau ditanya jika besar nanti ingin menjadi polisi.

Hai, namaku Abimanyu, lengkapnya Rendra Abimanyu, Nama indah pemberian kedua orang tuaku. Aku terlahir sebagai anak pertama, sebenarnya aku punya dua adik, tetapi seorang adik perempuan, Aurora, meninggal saat masih dalam kandungan karena keguguran di usia kehamilan menginjak empat bulan. Ibu sangat sedih waktu itu. Saat itu aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas mama tinggal lama di rumah sakit sedang adik pulang terbungkus kain kafan. Sedih? Ya, tentu saja.

Beruntung, tidak lama berselang lama, Tuhan memberikan rizki besar itu kembali, yaitu Bisma Lucky Narendra, Adikku itu. Kehadiran Bisma membuatku bahagia karena terwujud keinginanku untuk memiliki Adik.

Aku baru keluar dari kamar mandi. Handuk melilit perutku. Hidungku mencium aroma sarapan pagi di meja makan. Aku membuka tudung saji. Nasi goreng petai dengan telur ceplok mata sapi kesukaanku masih mengepulkan uap begitu menggoda mata dan perutku.

"Hmmm, isi piringku pagi ini begitu sempurna. Terimakasih, ya Ibu." Aku memberi kecupan ke pipi Ibu yang sedang menata piring di rak.

"Nasi goreng dan segelas susu ditambah sepiring buah apel merah. Hmm, lezat."

"Sudah, sana segera ganti baju. Hari ini mau bawa bekal lagi, ngga' Abimanyu?"

"Iya, Ibu. Sekarang tiap hari Abimanyu pingin bawa bekal dari rumah saja. Biar irit." Jawabku sembari melangkah menghampiri meja makan. Sarapan.

"Tumben, Abimanyu. Memang mau beli apa, sich?" Ibu sudah hafal kebiasaanku, kalau aku ingin membeli sesuatu pasti aku rajin menabung. 

"Ada dech, Ibu. Rahasia." Aku tertawa kecil sembari menikmati beberapa suapan nasi goreng masuk ke mulutku.

Meski, tatapan ibu penasaran dengan kebiasaanku yang hampir sebulan ini membawa bekal ke sekolah, Aku pura-pura tidak melihatnya. Nanti, Ibu juga tahu. Batinku.

Tas bergambar Transformers tergeletak di sofa ruang tamu. Ibu memasukkan perbekalan untukku. Tak lupa Tumbler air minum bergambar Spiderman di masukkan ke dalam tas.

"Ibu, aku berangkat sekolah dulu ya."Aku berpamitan mencium punggung telapak tangan Ibu. Ibu membalas dengan mencium pipiku dan mengusap kepalaku sembari mulutnya sibuk mengucapkan afirmasi sekaligus doa untukku.

Tukang Ojek online langganan telah menunggu di depan rumah untuk mengantarkanku ke sekolah.

***

Bisma dan Ayah sedang asik menonton acara TV digital, sebuah film anak. Aku ditemani Ibu mengerjakan PR dari sekolah. Ibu yang jago matematika mengajariku menyelesaikan soal-soal dengan mudah.

"Kalau sudah selesai mengerjakan PR, segera istirahat tidur, Abimanyu." Ucap Ibu.

"Tapi, Abimanyu boleh main gadget sebentar, ya. Boleh, tapi..."

"Cukup 15 menit saja tidak boleh lebih." Aku meneruskan ucapan Ibu yang sudah aku hafal peruhal aturan main gadget di malam hari.

Aku membereskan buku-buku, memasukkan ke dalam tas. Aku lihat Bisma sudah di nina bobok-kan Ayah melalui dongeng sebelum tidur. 

"Meski Kancil selalu cerdik dan selalu selamat. Tetapi,kancil tidak selalu berhasil mengelabui lawannya. Seperti halnya Abu Nawas yang mahir mengarang cerita dengan cerdik penuh tipu muslihat tapi sekali waktu Abu Nawas juga tidak bisa mengelak dari perbuatan salah yang di tutupi-tutupinya. Sepintar- pintar tupai melompat, sekali ayun, Ia akan terjatuh juga." Ujar Ayah.

Aku mendekati Ayah. Tertarik mendengar fabel yang di ceritakan ke Bisma.

"Sst... Bisma sudah terlelap. Jangan berisik." Ayah memberi kode kepadaku agar tidak mendekat. Aku mengurungkan langkah.

Ayah menuju sofa tamu, aku mengekornya.

"Abimanyu, juga mempunyai cerita Fabel yang penuh kepahlawanan, Ayah."

"Oh, ya. Ayah mau dengar. Apa itu, Abimanyu?" Ibu juga ikut tertarik dengan ucapanku.

"Ayah lupa cerita The Mufasa ; The Lion King, yang kita tonton di bioskop beberapa bulan lalu?"

"Oh, ya, Ayah baru ingat. Singa kecil yang mewarisi sifat pemberani dan melindungi dari sifat Kakeknya."

"Betul, Ayah, suka melindungi yang lemah dan dengan gagah berani membela kebenaran." Aku buru-buru mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas.

"Baca ini, Ayah."

Ayah menerima sebuah buku dengan lembaran halaman yang terbuka dariku. Ayah mulai membaca barusan kalimat di halaman itu.

Mufasa : The King of Lion

Kejahatan harus diperangi. Tidak akan ada kemenangan untuk tipu daya meski engkau seorang Raja sekalipun. 

Kita jangan takut untuk melawan tipu daya kebohongan, kecurangan dan kejahatan dari sesama. Tidak akan terkalahkan untuk keberanian untuk melawan kejahatan. *Kebenaran bisa disalahkan tapi tidak bisa dikalahkan.*

Keberanian adalah mata pedang untuk melawan kejahatan.

Jerapah dengan kemampuan lehernya yang panjang dan tinggi. 

Gajah dengan kekuatan di badan besar.

Burung dengan kekuatan sayap-sayapnya.

Bahkan semut dengan kekuatan koloninya.

Macan dan singa dengan kekuatan auman gertak.

Cheetah dengan kecepatan larinya.

Dan lain-lain.

Dan lain-lain.

Manusia dengan kekuatan akal dan pikirannya untuk memilih mana yang baik dari yang buruk, melawan yang jahat untuk menegakkan kebaikan. Membela yang lemah dari yang kuat menindas. Memberikan petunjuk kebenaran dari mereka yang menemukan jalan yang salah.

Ayah membaca dengan seksama tulisan aku. 

"Ayah, bangga denganmu Abimanyu. Bisa membuat rangkuman dari pesan moral dari sebuah film yang kamu tonton."

Ibu juga tersenyum bangga ke arahku. Lalu, mereka bergantian memberikan pelukan hangat kepadaku.

"Sekarang waktunya tidur. Malam sudah larut. Besuk Ayah ingin mengajakmu olah raga pagi. Besuk, Ayah ambil libur. Kios Ayah tutup sampai tengah hari." Aku mengangguk lalu menuju kamar mandi; buang air kecil, gosok gigi, cuci kaki dan tangan lalu bersiap tidur.

*

Bekisar berkokok di pagi hari. Muadzin suaranya merdu dari Masjid di kampungku. Ayah sudah menungguku untuk sholat subuh berjamaah. Aku sedang menunggu Ibu selesai wudlu. Selesai sholat, seperti janji Ayah, mengajakku olah raga jogging sebentar di pekarangan rumah lalu melanjutkan jogging pagi dengan menyusuri jalan desa.

Orang-orang kampung mulai hilir mudik memulai aktifitas pagi hari. Ada yang pergi ke pasar, ke sawah, ada juga yang melakukan olah raga seperti kami. Ramah tamah sesama warga desa dengan saling melempar sapa masih begitu kental di kebiasaan warga desa.

"Pak Handoko, Nak Abimanyu, tumben jogging pagi." Tanya seseorang tetangga.

" Iya, ini mencari udara segar. Lama, memang kami tidak jogging." Ayah menimpali.

"Mari, Pakdhe, kami lanjut jogging dulu ,ya.."

"Mari, mari, silahkan."

"Abimanyu, semalam Ayah sempat mengecek beberapa buku dalam tasmu. Ayah menemukan sebuah foto ini." Ayah sembari terus jogging, tangannya merogoh saku celana jersey-nya. Sebuah foto seorang pemulung yang mendorong gerobak. Disamping pemulung tua seorang bocah seumuranku berjalan dengan telanjang kaki.

"Kamu membidiknya melalui kamera Smartphone,ya, ini?"

"Iya, Ayah. Abah Miun, namanya. Selain giat sebagai pemulung, beliau juga guru mengaji di kampung sebelah. Anaknya putus sekolah karena tidak ada biaya."

"Terus?"

"Abimanyu sering berbagi bekal untuk, Rama, anak Abah Miun ini. Setiap pulang sekolah mampir sebentar di gubugnya di pinggiran sungai tidak jauh dari rel kereta api di ujung desa kita, Ayah."

"Ayah juga sudah tahu, Nak. Abimanyu juga sering bersedekah dengan uang jajan kamu untuk Abah Miun, kan?."

"Ayah, kok tahu?".

"Ibumu bercerita kepada Ayah. Ibumu pernah dengan diam-diam menguntit tukang ojek yang mengantarkan dirimu menemui Abah Miun dan Anaknya di gubug yang kamu sebutkan tadi."

"Ayah bangga terhadapmu, Nak. Teruslah rajin beribadah dan bersedekah, ya, Nak. Sekarang, ayo kita mampir ke gubug Abah Miun. Semoga mereka belum berangkat untuk memulung."

"Tapi, kita mampir dulu ke warung, membelikan sarapan untuk mereka, Ayah." Ayah mengangguk.

"Anak yang cerdas." Ayah menggandeng tanganku membawa masuk ke sebuah warteg. Membeli dua nasi bungkus lengkap dengan lauk pauk dan dua botol minuman mineral.

Setiba di depan gubug tua yang terbangun dari anyaman bambu yang seperti pemiliknya baru saja mengganti dindingnya dengan anyaman bambu yang baru.

Gubug terlihat sepi. Gerobak yang biasanya teronggok di depan gubuk sudah tidak terlihat. Kami terlambat menemui Abah Miun dan Rama pagi ini. 

Terpaksa dua bungkus nasi dan dua botol minuman mineral itu kami gantungkan di depan pintu gubug. Beruntung tadi Ayah memesan dengan sayur dan lauk pauk di pisah dari nasi. Jadi, sampai siang, nasi bungkus tersebut tidak akan basi.

Dengan sedikit rasa kecewa, Aku dan Ayah meninggalkan gubug tua  itu. Beriringan langkah kami terus berjalan pulang.

Baru jalan beberapa meter kami meninggalkan gubug. Di jalan ujung desa terlihat ada keramaian dan kerumunan orang. Bergegas kami menuju kerumunan itu. Aku kaget, mendapati Abah Miun tergeletak pingsan di tangisi Rama di sebelah tubuh orangtua yang sudah renta itu. 

Abah Miun kecelakaan, gerobaknya terserempet pengendara roda dua yang melaju kencang yang membuat Abah Miun terpental dan jatuh terjungkal lalu pingsan. Beruntung Rama selamat. Bocah kecil itu sedang mengais botol-botol di tempat sampah waktu kejadian kecelakaan itu.

Ayah segera mbelah kerumunan dan segera mebopong tubuh Abah Miun dan meminta pertolongan untuk diantar ke puskemas desa terdekat untuk mengobati luka Abah Miun. Aku mengajak Rama pulang ke rumah. 

Ibu menatapku keheranan saat mendapati aku pulang bersama Rama. Setelah aku ceritakan, Ibu segera menyiapkan sarapan pagi untuk kami.

Beruntung, setelah mendapatkan perawatan medis dari petugas puskesmas, Abah Miun sudah baikan dan langsung diperbolehkan pulang.

Saat kami masih asik sarapan, Ayah dan Abah Miun datang di antar dua tukang ojek. Ibu menyambut kedatangan Ayah dan Abah Miun dengan hangat dan langsung mempersilahkan mereka untuk sarapan pagi bersama kami.

Rama tidak lagi cemas dan khawatir. Rama terlihat lahap dengan menu sarapan dari Ibu.

Saat Abah Miun dan Rama berpamitan pulang. Ayah memberikan amplop berisi uang dan Ibu menyerahkan sekarung kecil berisi beras hasil dari sawah kami sendiri.

Kamu menatap kepergian Abah Miun dan Rama yang dibawa dua tukang ojek yang dipesan Ayah dengan perasaan haru.

Mataku berkaca-kaca menyaksikan pemandangan pagi itu. Aku memeluk bergantian malaikat di sebelah kanan kiriku bergantian.

"Ayah, Ibu, Abimanyu bangga memiliki orangtua dan keluarga ini. Terimakasih, Ayah. Terimakasih Ibu." Ayah dan Ibu bergantian menciumiku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)