Masukan nama pengguna
"Hidup memang tidak bisa selalu sesuai dengan kehendak kita. Ada kekuatan luar biasa yang mengatur dan kita tidak bisa campur tangan sama sekali. Garis takdir dan nasib seseorang tidak akan selalu sama dan penuh misteri. - Senja Ranu Semesta -
Bruk.
Akar melintang yang menyembul dari tanah membuatku terjatuh. Ngilu seketika menghampiri pergelangan kaki. Namun, segera aku bangkit dan kembali berlari.
Di atas sana bulan mati. Dalam gelap, ranting-ranting rendah dan semak-semak begitu saja kuterobos. Sesekali hampir pula aku menabrak batang-batang keriput pepohonan. Semakin jauh berlari, pepohonan semakin rapat dan aku semakin sering terjatuh. Kilatan petir membelah langit. Hujan turun deras. Tanah basah. Beberapa kali kakiku terpeleset, aku terjatuh. Secepat kilat aku bangkit, berdiri dan berlari.
"Cepat, cepaaat!" teriak salah satu dari mereka.
"Kepung dia!" sahut yang lain.
"Jangan biarkan dia lolos!" Yang lain menimpali.
Terengah-engah, aku mengerahkan tenaga untuk bergerak lebih cepat, tak ingin tertangkap oleh mereka. Benar-benar tak ingin.
Kudengar teriakan-teriakan mereka—para manusia yang mengejar—timbul tenggelam dan bersahutan. Kata-kata seperti penyihir, monster, dan sebagainya seolah melintas begitu saja di telingaku.
Kuingat-ingat lagi kenapa mereka mengejarku. Oh, benar. Itu karena manusia adalah makhluk yang paling kejam dengan sesamanya.Mereka membawaku pada ruang pengap di dalam sebuah rumah yang sunyi dan berbau rempah-rempah dan juga bangkai tikus yang kulihat sudah setengah mengering tergantung di atas pintu kamar.
Dalam kegelapan yang begitu pekat, tubuhku seperti mengayun ke atas dan ke bawah seperti halnya dalam ruang tanpa gravitasi. Hingga pada saat kesadaranku kembali waras secara samar-samar, segaris cahaya terlihat seolah membelah secara vertikal yang semakin lama semakin melebar. Setelah itu tak terjadi apa-apa –dan aku menemukan diriku meringkuk memeluk guling ditengah ranjang kamar.
Senja merah. Di antara bebatuan yang di tumbuhi bunga-bunga dan gulma illalang yang meliuk di belai angin spoi-spoi, kutemukan sebaris tulisan yang terukir di salah satu permukaan batu nisan tanpa nama. Begini bunyinya: “Sudahkah kau melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah kau akan menjadi pelindungnya?(Qs:25:43).Aku berpikir keras dengan maknanya, dan merasakan ada korelasi yang kuat diantara kalimat yang tertulis itu dengan semua peristiwaku beberapa tahun silam yang menyisakan trauma sampai detik ini.
Aku merenung sejenak dan kemudian memutuskan meneruskan membersihkan gulma itu, menyianginya sembari sibuk dengan pikiran dan doa-doa.
Kuingat-ingat lagi kenapa mereka mengejarku sampai kini. Oh, benar. Itu karena manusia adalah makhluk yang kejam terhadap sesamanya. Kesadaranku datang terlambat setelah aku kehilangan Senja Ranu Semesta, Kakak kembarku yang didaulat menjadi pengantin bom di malam natal bersamaku.
Aku selamat.
"Itu dia, di sana!" teriak mereka sahut-menyahut. Lalu, moncong-moncong senapan serupa naga api menyemburkan ludah apinya. Api-api itu mulai beterbangan dan jatuh di sekitar Senja dan diriku, bertubi-tubi letupan panah api menyerang dari berbagai arah.
Menghindari letupan panah api yang melesat, Senja dan aku mempercepat lari. Di depan sana, tampak sebuah telaga yang memantulkan cahaya purnama. Aku berlari tepat di depannya, dengan sekuat tenaga di tangan, Senja mendorong tubuhku. Aku langsung tercebur ke telaga
Senja hampir menyusulku, kakinya sejengkal lagi mencapai bibir telaga ketika tembakan-tembakan menembus perut. Lalu, lengan. Dada. Kaki.
Senja melompat saat sebuah tembakan-tepat mengenai jantungnya. Dan…, Senja pecah. Menjadi apa dirinya sesungguhnya. Kelopak-kelopak bunga berhamburan sebagai ganti tubuhnya, lalu luruh, berjatuhan di permukaan telaga.
Aku berhasil selamat. Menceburkan diri kedalam telaga. Lalu, seperti tentara berudu yang terlatih terus berenang di kedalaman telaga. Lalu sembunyi di dalam hutan.
***
Menjelang seribu hari kematian Senja.
Pagi yang dingin, semua penghuni kontrakan sudah sibuk memulai rutinitas dan diikuti bayangan kerja menumpuk yang terlihat di punggung mereka yang bungkuk.
Aku menyendiri di kamar, menulis sembari mendengarkan lagu kesukaan diputar pelan dari sebuah play list dari sebuah laptop. Sebuah cerpen sastra hampir selesai aku tulis, sebelum akhirnya ada suara lain dari kamar sebelah, persis di samping kamarku.
Ada langkah kaki terdengar jelas. Lalu terdengar pula air dituangkan ke gelas. Suara berdehem.
“Aku tidak sendirian?” Aku bergumam pelan. Sepertinya kamar sebelah sudah terisi penghuni baru.
Aku pun berhenti mengetik. Aku pasang telinga lebar-lebar yang tersembunyi dari geraian rambutku yang gondrong. Sesekali terdengar suara bersenandung pelan.
Aku keluar, lalu berdiri di beranda depan kamar. Terhidang secangkir teh yang uapnya masih mengepul di atas meja dengan sebuah kursi kayu panjang.
Seseorang sedang menutup pintu memunggungi Aku yang masih berdiri. Tidak tampak dari balik punggungnya sosok beban karyawan atau buruh pabrik seperti yang sering menghiasi mataku setiap pagi. Seorang lelaki dengan rambut yang di kuncir, di sela bibir terselip sigaret yang tinggal seperempat batang. Asapnya mengepul sehingga tercium aroma tembakaunya .
“Boleh bergabung?” tanyaku. Tanpa menunggu persetujuan, Aku sudah duduki persis di samping lelaki bercambang lebat.
“Kuharap kau tidak takut padaku. Aku hanya mau berteman denganmu. Namaku Reno.” Aku berkata tanpa mengulurkan tangan. Sengaja ada nada bercanda di awal percakapanku.
“Randu,” sambutnya dengan memasang wajah datar.
“Aku tak pintar berteman, tapi aku berharap kau bisa menerimaku sebagai temanmu.”
“Kau tidak bekerja?” tanya Randu.
“Tidak, tapi aku sibuk. Kamu?”
Terlihat bekas cat air menempel di tangan dan beberapa percikan mengotori kaos oblongnya. Apa yang membuatnya sibuk tentu bukan urusanku.
Setelah hari itu, di waktu senggang, kami sering duduk berdua di kursi itu. Melukis dan menulis sesuai keahlian masing-masing.
Suatu hari, ketika sibuk dengan kreatifitas masing-masing, dering seluler dari saku celana Randu memecah keheningan.
“Laras? Halo.”
Randu sedang menjawab telepon sembari berjalan menjauh tetapi masih dalam radius yang memungkinkan suara masih bisa terdengar olehku meski lamat-lamat.
“Aku mengerti. Tapi lukisanku belum ada yang membeli. Kumohon bersabarlah sebentar lagi. Aku berkata apa adanya bahwa aku tak punya siapa-siapa selain kau saja. Aku tidak sedang main-main dengan wanita.”
Bicaranya terdengar penuh kesal dan sesal. Nadanya lemah tapi sungguh-sungguh dipenuhi gelisah. Tiba-tiba aku menatapnya iba.
“Laras, jika kau butuh jari manis untuk membuatmu percaya bahwa aku takkan mengisinya dengan cincin siapa-siapa, kutitipkan jariku padamu. Lagi pula siapa yang mau mencintaiku sepertimu?”
Aku sadar hal demikian tidak sopan. Menguping percakapan sepasang kekasih yang bertengkar. Entah apa muara masalah sebenarnya. Sekali lagi ini tentu bukan urusanku.
“Randu jika bisa kubantu akan kuusahakan.” Batinku. Aku beranjak dari kursi, berjalan ke arah pintu kamar kontrakan. Aku juga ingin segera menyimpan gelisahku dalam hisapan bantal kumalku.
[Aku Laras. Bisakah kau berhenti duduk dengan Randu di beranda? Aku tak suka.] Aku kaget dan bingung, tapi tak membalasnya. Wa itu aku terima tepat seminggu aku mengenal Randu dan sering bertukar ide untuk tulisan dan lukisan sewaktu kami bersemuka di beranda kontrakan. Tentu, masih di kursi kayu panjang itu.
Ada keanehan, semenjak kejadian pagi itu Randu menghilang. Tapi, Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Lelaki asing dan pacarnya yang aneh dan posesif Bahkan, Aku pun sempat dicemburui padahal Aku tak mengenalnya. Dan aku cowok. Aneh kan?. Hal itu dipicu dengan tindakan Randu yang terlalu gegabah, melakukan video call pagi dengan Laras dan mendapati Randu menginap di kontrakanku. Tidak sengaja menginap tepatnya karena kami hanyut dalam obrolan malam sampai hampir dini hari, Randu malas balik ke kontrakan. Itu saja alasannya.
***
“Jika kau tak percaya aku tak pernah main gila dengan lain wanita, kau boleh mengambil kelaminku, simpan sampai nanti kaupikir itu bisa jadi berguna buatmu. Kau boleh, Laras. Kau boleh ambil semuanya.”
Pertengkaran orang dewasa yang aneh itu terekam di memoriku begitu saja. Aku bergegas mengusir lanjutan rekaman pertengkaran yang lebih kasar dan sedikit jorok yang sebentar lagi pasti memintaku untuk dilamunkan lagi. Aku meraih remot menyalakan TV.
Betapa kaget diriku ketika dari sebuah stasiun TV sedang menyiarkan peristiwa Bom bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang pengantin bom. Wajah yang sangat aku kenali; Randu bersandingan dengan perempuan bermata sipit, rambut sebahu, mungkin itu yang bernama Laras. Mereka menjadi pengantin bom bunuh diri didepan sebuah gereja di malam Natal semalam.
Randu dan Laras seakan menyalakan saklar kenangan yang traumatis di otakku. Dan senja merah kali ini, sekali lagi langkah kakiku membawa ke sebuah pusara dengan batu nisan dingin dan beku diatas sebuah bukit pedesaan, di sebalik rimbun perdu dan berjejer kayu jati yang sudah tua.
Sekumpulan camar datang menukik lalu betengger di ranting -ranting kamboja, sebagian lagi asik mengasah paruh di atas bebatuan yang tertutup lumut hijau. Seliur illalang terus bertasbih, beristighfar di senja merah kali ini. Demikian pula hati dan pikiranku sembari menuntun langkah menjauh dari batu nisan bertuliskan nama : Senja Ranu Semesta.