Masukan nama pengguna
Joker berlindung dalam riasan badut, kemudian melakukan kejahatan atas nama satire komedi terhadap roda kehidupannya.-Sheila Andrea
***
"Duduk!"Perintah seorang lelaki yang mengalungkan pisau ke leher Nola dengan kasar. Seorang lelaki lain menjaga di depan pintu mengawasi keadaan.
"Kalau ingin selamat segera beritahu kunci brankas rumahmu. Berikan barang-barang berhargamu. Jangan melawan!"Bentak penjahat itu.
Sheila merasakan keringat dingin di pelipisnya, punggung telapak tangan yang basah dan detak jantung yang berdegup kencang tapi gadis itu berusaha bersikap tenang dan menuruti segala perintah perampok yang mengancamnya. Belum sempat Sheila menunjukan tempat brankas, dipuncak kegentingan suasana terdengar laju sepeda motor berhenti di depan rumah Sheila.
Sheila berpikir Adrian yang datang. Teman perampok yang semula berjaga di depan pintu, gesit masuk ke dalam dan langsung menutup pintu dan memberi kode telunjuk di bibir untuk tidak ada suara, Sheila diminta bersikap tenang dan membukakan pintu untuk kedatangan seseorang di luar. Sementara seorang dari lelaki penjahat itu sembunyi dibalik pintu, satunya lagi bersembunyi di balik sofa. Mereka bersiaga dengan dua senjata tajam di tangan.
Bug! Sebuah pukulan telak di batang leher belakang Dirga. Sheila menjerit dan langsung dibekap oleh lelaki yang bersembunyi di belakangg sofa. Dirga terhuyung sebentar dan secepat kilat memasang kuda-kuda di depan penjahat yang baru saja membopongnya dari belakang.
Baku hantam terjadi. Perkelahian sengit terjadi. Sheila menjerit-jerit ketakutan dalam bekapan tangan kekar hitam legam. Mukanya cemas. Mata air berurai dari sepasang matanya yang bening.
Dirga mampu mengimbangi. Dalam sebuah tangkisan, pisau penjahat jatuh ke lantai. Perkelahian tangan kosong semakin sengit. Dirga di atas angin. Dirga yang jago taekwondo itu akhirnya bisa mematahkan nyali lawan. Saat terdesak, dengan sebuah code, kedua penjahat itu kabur lari tunggang langgang keluar rumah.
"Kamu tidak apa-apa Sheila?" Sheila berhambur kepelukan Dirga.
"Beruntung kamu datang di waktu cepat, Dirga. Sekali lagi terimakasih."
"Sebentar, lecet-lecet lukamu perlu dibersihkan dengan betadine." Bergegas Sheila berdiri dan masuk ke ruang dapur mengambil P3K.
"By the way, sepertinya kamu tidak aman di rumah besar sendirian begini. Adrian apa belum pulang?" Sheila sibuk membersihkan luka di tangan Dirga dan menutupnya dengan kasa dan hansaplast.
"Belum. Akhir-akhir ini Adrian jarang pulang ke rumah. Semenjak ia tahu tentang semua warisan jatuh kepadaku dan ia menandatangani semua dokumen warisan itu dengan terpaksa. Sikap Adrian semakin benci kepadaku. Kami seperti dua orang asing di rumah ini, Dirga."Nampak kesedihan di ujung kalimat gadis di sebelahnya.
"Sabar, Sheila. Nanti Adrian juga sadar tentang posisinya sebagai adik tiri di dalam rumah ini. Beruntung kamu masih membolehkan dirinya tetap tinggal bersamamu."
"Tapi, aku takut Dirga. Sorot mata Adrian setiap menatapku seakan tatapan dendam."
"Kita serahkan kepada Allah, Sang pembolak-balik hati manusia." Ucap Dirga akhirnya.
***
"Goblok!Gitu saja tidak becus. Mengurus satu perempuan saja tidak beres. Tidak guna aku membayar kalian mahal untuk pekerjaan itu." Umpat Adrian kepada para preman suruhannya.
"Ok!Sekarang kalian sembunyi dulu sampai kondisi aman. Nanti aku kabari lagi tugas baru kalian." Gusar Adrian dengan tangan mengepal.
Adrian tersenyum sinis penuh kelicikan dibelakang kemudi setir. Lampu merah telah berubah hijau, mobil Adrian langsung tancap gas menuju suatu tempat.
***
Pukul lima lewat empat puluh delapan petang, rintik air laksana jutaan jarum yang menghujani ingatan, menyiksa kesepian. Begitu tiba di lokasi acara. Sheila mengamati sekitar sejenak, beberapa meja telah berisi satu-dua orang yang khusyuk bermesraan dengan ponsel masing-masing. Sebuah panggung mini berlatar dinding dengan ornamen grafiti bercorak mural tematik full colour.
Pada satu meja dekat kasir, kulihat Pak Roy pemilik kafe ini duduk menghadap seorang lelaki yang bisa kupastikan bukan kamu. Ah, kenapa mataku selalu tak sesabar hatiku untuk menemukanmu, Dirga. Batin Sheila.
Rinai hujan diluar masih terdengar, menimpa lamunan dedaunan, tengadah rerumputan, dan segala kebekuan yang diusiknya, termasuk genangan kerinduan yang sedikit memalukan. Sheila tersipu mengulum senyum malu sendiri. Senyum tipis mekar dari sudut bibir mungil merah merona.
Sedikit ragu langkah Sheila mendekat di sudut ruangan cafe yang didesign pemiliknya sebagai pojok literasi sekaligus bumi musik, itu terlihat deretan beberapa buku di rak berdampingan dengan pajangan berpuluh kaset pita tempo dulu dari berbagai genre musik luar dan dalam negeri. Cafe musik dan literasi yang dirancang sedemikian rupa, di mana nobar film menjadi suguhan special di setiap akhir pekan. Sebuah layar gulung besar sebagai tempat proyeksi proyektor menampilkan film pilihan akhir pekan siaga di panggung utama untuk memanjakan setiap pengunjung cafe.
Sheila menemuka nama Dirga tertera di sampul buku, di antara buku-buku lain yang berjejer. Girang hati Sheila. Tatapan mata Pak Roy menangkap kedatangan pacar sahabat karibnya itu, menyusul lambaian tangan dan sebuah isyarat agar Sheila mengambil tempat paling nyaman.
Dirga itu romantis tapi sedikit bossy dan egois. Yang terakhir Sheila menyimpulkan itu karena merasa Dirga menganggap dirinya tak lebih selir masa depan baginya yang hanya dibutuhkan untuk menjadi penonton dan menganggumi segala aksinya di panggung teater yang membuat dirinya bak bintang pentas penyair jalang. Menyedihkan.
"Tumben, Sheila sendiri tidak berteman," tergopoh-gopoh Pak Roy menyalami. Sheila sedikit kaget. Pak Roy membuyarkan lamunannya.
"Pasti karena Dirga, ya?" Sambungnya sambil terkekeh. Padahal, aku tak tahu makna ucapannya itu.
Sama sekali tak diduga sebelumnya, Pak Roy katakan perihal Dirga yang cerita banyak tentang dirinya. Tentu saja Sheila berdiri di depan lelaki berdasi kupu-kupu dengan setelan jas itu dengan menyimpan rasa tak keruan, antara malu dan tak percaya.
"Tapi, kenapa Dirga belum datang juga, ya? Padalah kurang lima belas menit lagi acara dimulai. Apakah Sheila bisa menghubungi Dirga untuk saya?."
"Tentu dengan senang hati saya akan menghubungi Dirga untuk Pak Roy. Sebentar," Sheila mengambilnya selulernya dari dalam tas. Ceroboh! Kok bisa Sheila sampai lupa merubah mode senyap di HP-nya menjadi berdering kembali setelah turun dari Grabb tadi.
Sheila melihat beberapa kali call number tidak dikenalinya. Lalu, nomor asing itu mengirim chat WA.
"Call saya segera kalau ingin Dirga, kekasihmu selamat!" Sebuah pesan penuh ancaman. Sheila syok. Dirga diculik. Siapa dan kenapa menculik kekasihnya itu. Sheila berpikir keras diantara kekhawatirannya. Pikirannya kalut. Bergegas tanpa pamit Sheila keluar cafe. Sudut matanya mulai berair.
'"Mbak Sheila, kenapa? Ada apa dengan Dirga?" Pak Roy berusah mengejar langkah Sheila yang setengah berlari meninggalkannya.
Sheila menghentikan langkah sejenak.
"Dirga diculik Pak Roy. Silahkan buat pengganti acara. Saya pamit." Pak Roy kaget dengan ucapan Sheila. Sebelum Pak Roy sempat mengunggkapkan rasa empatinya, Sheila sudah hilang dari balik pintu keluar cafe. Pak Roy lemas.
***
Sheila mencegat sebuah taksi. Secepat kilat roda mobil menggilas jalan. Bak kunang- kunang raksasa mobil melaju gesit di jalanan malam ibu kota yang begitu ramai di sabtu malam.
Getar seluler ditangan mengkagetkan Sheila. Segera Sheila memencet tombol reply.
"Saya sudah share lokasi. Jangan coba-coba melapor ke polisi bila ingin nyawa Dirga selamat!. Satu lagi, jangan lupa bawa semua surat warisan ke saya. Paham!. Bentak suara lelaki diujung telepon. Suara lelaki yang tidak asing lagi di telinga Sheila. Adrian, adik tirinya.
Adrian benar-benar membuktikan ancamannya selama ini yang sampai kapan tidak akan terima akan kekalahannya di persidangan atas gugatan warisan orangtua Sheila. Adrian tidak rela bila pembagian warisan itu tidak adil untuknya.
Adrian semakin kesal mengingat bagaimana mamanya begitu menyayangi Sheila. Hingga ia sempat mencurigai bahwa mama memberikan sesuatu untuk Sheila tanpa sepengetahuan keluarga. Adrian begitu muak karenanya.
Bagi Sheila saat ini keselamatan nyawa Dirga lebih penting dari apapun. Sekalipun surat warisan itu harus berpindah tangan ke Adrian. Sheila tidak perduli.
***
Flash back on.
Adzan Isya sudah berlalu tigapuluh menit yang lalu. Sheila Paramitha sedang di dalam kamar. Laptopnya menyala tepat di depan gadis berhijab itu. Earphone terhubung di telinganya. Sheila tidak sedang mendengarkan list lagu dari spotify channel. Perempuan itu sedang terhubung dengan seseorang yang saat ini sedang webcam dengannya.
Sheila adalah seorang pelajar SMU, gadis cantik bertubuh tinggi dengan lesung pipi dan gigi kelinci, sekilas wajah gadis itu mirip Chelse Olivia, istri dari Glen Alinski. Di dalam laptop yang menyala terlihat lelaki tampan, wajah putih bersih dengan rambut ikal, hidung sedikit mancung, berkaca mata, sekilas mirip Nicholas Syahputra dengan memakai baju koko motif dan bersarung batik sedang duduk bersila di atas sajadah yang membentang dengan mushaf Al Qur' an membuka di pangkuannya. Lelaki tampan dalam laptop itu bernama Dirga Antara, teman Sheila, kenalan dari sebuah aplikasi chatting room anak muda.
Setelah seminggu saling berbalas chatting Sheila akhirnya mengetahui bahwa Dirga adalah salah satu penganggum tulisan - tulisan Sheila yang terangkum dalam antologi puisi dan sebuah novel yang Sheila publish di platform media menulis online.
Dirga mengaggumi Sheila sebagai penulis muda dan berbakat. Dirga selalu up to date tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penulis idolanya itu. Kegiatan literasinya, termasuk perihal novel Sheila saat ini yang sudah terbit di sebuah penerbit mayor dengan judul : Gerimis Paling Bening, yang baru saja lelaki itu beli dan dipamerkan ke Sheila beberapa menit yang lalu. Sheila merasa tersanjung atas sikap Dirga.
Dirga saat ini sedang melantunkan ayat - ayat Qur'ani untuk Sheila. Syahdu dan merdu terdengar. Lantunan suara Dirga begitu menenangkan kalbu gadis belia yang sedang dilanda gundah gulana dan kesepian di rumah besarnya yang mewah. Iya, di rumah besar itu seringnya hanya dihuni dirinya dan seorang pembantu setia, Bibi Sumi.
Mama Papa Sheila seorang pengusaha property yang sukses dan super sibuk dengan pekerjaan kantor, yang selalu berangkat subuh ranum pulang larut malam. Setiap hari begitu dan Sheila kesepian di antara kemewahan. Sheila beruntung mengenal Dirga meski mereka baru kenal dan beberapa kali copy darat semenjak awal perkenalan sebulan yang lalu.
Buliran bening dari sepasang telaga meleleh membasahi pipi Sheila. Deras mengalir seiring lantunan suara Dirga yang serasa menggetarkan langit Arsy.
Sheila terkenang Ibu dan Bapak kandungnya yang telah berpulang karena kecelakaan penerbangan Jogja - Bali sewaktu mereka sedang menjenguk kakeknya yang sakit keras. Sheila waktu itu masih balita dan memperoleh cerita itu dari Ibu panti asuhan setelah Sheila berusia 9 tahun dan sebelum diadopsi keluarga Tanu Suharto, orangtua angkatnya saat ini. Pasangan keluarga kaya yang tidak memiliki keturunan itu mengadopsi Sheila dari sebuah ponpes di kota Jogja.
Sheila melap buliran air mata itu dengan ujung tisu. Dirga sudah selesai mengaji. Menutup dan mencium Al Qur'an lalu menempatkannya di atas rak buku paling atas di kamarnya.
Sekilas kamar Dirga lebih nampak seperti perpustakaan mini, banyak berjajar buku dan novel koleksi. Terlihat seperangkat alat drum dan sebuah gitar di sudut ruangan kamar yang nampak luas itu. Sepertinya pojok kamar tersebut sengaja disulap oleh empunya menjadi sebuah studio musik berukuran mini.
"Ma'af ya, Sheila sudah membuatmu menangis dan sedih." Dirga mencoba menghibur Sheila. Mereka terasa amat dekat meski kenyataannya raga mereka terpisah, ada di layar monitor laptop yang berbeda di sebuah meja kamar masing - masing.
"Ngga' Bhumi aku suka dengan suaramu, aku hanya terkenang ibu dan bapakku." Sheila tidak bisa menyembunyikan kesedihannya malam itu. Ujung tangannya sibu menyeka sisa - sisa air mata yang masih saja menggenang di pelupuk matanya yang sembab.
***
"Dalam kehidupan ini, tak ada tombol pause, slow motion, ataupun rewind, cancel ataupun hold, yang ada adalah move, move, dan move!" Dirga dengan sok bijak menyemangati Sheila yang sedang di landa tsunami batin karena terkenang keluarga aslinya. Waktu itu mereka sedang menyepi di Villa keluarga Sheila di Sabtu malam.
"Jangan selalu engkau memunggungi masa depanmu. Lihat, hari terus berjalan, Sheila. Move on, Baby!" Lanjutnya sembari merangkul pundak Sheila yang duduk di sebelahnya di bangku panjang.
Sheila sejenak menikmati rangkulan Bhumi, mencari ketenangan batin melalui usapan lembut jemari kekasih yang membelai lembut rambut kepalanya.
Perlahan Sheila merebahkan kepalanya di paha kekasihnya. Dirga menggeser pelan tubuhnya hanya demi mendapatkan posisi duduk ternyamanya. Kini, Dirga leluasa menikmati wajah kekasihnya yang sedang memejamkan mata. Wajah bersih dan cantik yang majestic.
Gemricik air di pancuran kolam taman dalam Villa mengisi kesunyian. Dirga dan Sheila terdiam saling meresapi keberadaan mereka masing-masing. Sampai sebuah getar seluler di saku celana Sheila mengejutkan cewek itu.
Call number di layar handphone tertera Metta, Sang Editor tomboy. Mereka bercakap sebentar. Metta mengingatkan jadwal trip mereka ke Bali minggu depan sekaligus menagih outline naskah novel terbaru dari Sheila.
Sementara Sheila bercakap sengan Metta, Dirga berdiri lalu berjalan mendekati kolam. Cowok itu memandangi tingkah polah ikan koi warna - warni yang berseliweran dalam air kolam yang bening. Dirga mengambil sejumput pakan ikan atau pelet yang tersedia di pojok kolam lalu menyebarnya ke arah kolam dan langsung disambut ikan - ikan yang berebut makanan.
***
"Boleh aku menghiburmu, sekali lagi?" Suara Dirga menganggetkan lamunan Sheila.Tanpa menunggu persetujuan dari Sheila, Dirga mengambil gitar akustiknya, jari - jarinya mulai lincah memainkan note- note nada sebuah lagu.
Dirga mulai memainkan intro sebuah lagu " sementara rindu " milik Cinta, penyayi muda jebolan ajang pencarian bakat The Voice Indonesia yang di tayangkan oleh sebuah TV swasta beberapa tahun lalu. Sheila menyukai lagu itu. Sementara rindu menjadi soundtrack hubungan pertemanan mereka yang LDR.
Dirga berhasil meng- cover lagu itu dengan suara merdu dan piawai dalam petikan gitarnya. Sheila menikmati. Sesekali Sheila mengikuti Dirga menyanyi.
Tiba - tiba tirai jendela kamar Sheila tertiup angin yang berhembus sedikit kencang. Celah tirai yang membuka menghantarkan kilatan blitz di langit malam yang pekat lalu di barengi petir bergemuruh, hujan turun begitu deras dan lebat. Sheila panik dan ketakutan. Gadis itu meloncat ke tempat tidur empuknya dan langsung menyembunyikan diri di dalam selimut tidurnya yang tebal. Apalagi ketika suara gemuruh dan panah hujan begitu riuh terdengar di atap kamarnya, Sheila semakin ketakutan.
Dirga terlihat ikut panik melihat tingkah Sheila yang Ia kira sedang melihat mahkluk lain di dalam kamarnya. Dirga melirik jam dinding kamar. Tepat pukul 00.00 WIB. Dirga tidak melihat keanehan di kamar Sheila sejauh Ia bisa mengakses ruangan dengan indera pengelihatannya sebab lampu kamar ruangan terang benderang. Dirga penasaran dan terheran - heran melihat tingkah Sheila. Tapi, setelah mengamati dengan seksama, melihat dan mendengar Sheila yang menutup muka dan teriak - teriak ketakutan dengan berseru ; Hujan! Hujan! Hujan!. Dirga akhirnya tertawa terbahak - bahak. Sheila ternyata phobia hujan. Phobia yang aneh. Batin Dirga.
***
23. 00. 13 Desember 2019
Hari itu, baju kotak-kotak warna biru dan topi menemani Dirga menemui Sheila. Tiket pertama kali mereka menonton. Setelah, sebelumnya Dirga mengajak perempuan itu melihat Sendratari Ramayana di Bentaran Budaya.
"Mau nonton film ini nggak?. Tapi, Aku cuma bisa selasa, kamis dan sabtu malam." Kata Dirga melalui WA dua hari yang lalu. Ajakan lelaki itu sebagai hadiah karena acara launching buku Sheila kemarin berjalan sukses.
"Boleh, jangan malam jumat tapi ya?"
"Kenapa,"
"Temenku pernah mendapat kejadian horror setelah menonton di malam Jumat."
Dirga mengirimkan emoji tertawa setelah mendapat balasan itu.
Setelah itu, waktu berganti. Dari satu film ke film yang lain. Dari satu nasi goreng ke nasi goreng lain yang kadang kita temui di pinggir jalan. Dari satu tawa, satu cerita ke cerita lain, juga satu kesedihan dan semua hal lain yang kemudian sering di lalui bersama.
Mereka bilang, perasaan baik akan membawa ke pemilik perasaan itu menemui kebaikan-kebaikan lain. Persis. Perasaan itu yang dimiliki Dirga untuk Sheila yang menjadi jembatan banyak kebaikan-kebaikan yang lain semenjak kedekatan mereka.
"Senang menjadi rumah dan dianggap sebagai rumah. Tempat berpulang. Tempat rebah segala lelahmu. Duniaku riuh karena hadirmu. Tidak lagi sepi. Terimakasih."
Pesan dari Dirga itu sengaja cowok itu mengirimnya melalui DM. Sheila terharu membacanya malam itu. Sampai larut malam perempuan itu enggan memejamkan mata. Memilih membuka laptop dan menulis ceeita di blog pribadinya.
Punya human diary itu menyenangkan. Merasa tidak sendirian. Ada yang mendengarkan. Ada yang menemani tertawa setelah apa yang diceritakan. Bahagia, meski kadang hanya di tawari untuk minta ditemani makan, menonton fikm atau sekedar jalan areng sbil.menghabiskan sebungkus cilok.
Sayangnya, tidak banyak orang yang mau menjadi human diary. Banyak dari kita terlalu cepat menyimpulkan, lalu merendahkan cerita orang lain." Lo' lebay dech," "masalah lo itu tidak seberapa, gue nih..." dan bla bla bla.
Bersyukur, kamu type human diary yang simpatik dan penuh empati.
Kamu tahu tidak ketika orang menceritakan dirinya kepadamu karena dia percaya ke kamu. Jadi, hargailah kepercayaan itu. Jangan engkau hancurkan dengan melemahkan ceritanya. Banyaklah mendengar kalau tidak ingin berkomentar. Siapa tahu, dia hanya perlu ada yang mendengar. Atau, kamu bisa menolak dari awal bila tidak lagi ingin menjadi pendengar tanpa harus mengucapkan pernyataan yang menyakitkan.
Kamu ngga' tahu kan apa yang dirasakan sebenarnya?
Mulailah berempati. Meski dengan sederhana. Kalau kamu tidak punya human diary. Mulailah menjadi human diary bagi orang lain. Setidaknya kamu membuatnya percaya kalau ia tidak sendirian.
Karena mendengarkan adalah cara lain memberi peluk dan kasih sayang. Itu kata human diaryku, lho. Dirga Antara.
Udah ah, ngantuk...Sheila bubuk dulu ya..bye.
Sheila mematikan laptop dan saklar lampu kamar bergegas tidur.
***
Subuh ranum. Muadzin sedang berkumandang di Masjid. Mata Sheila belum membuka sempurna. Sipit. Sheila tersenyum simpul. Menatap layar whatsapp menemukan 2 notifikasi pesan dari Dirga. Rutinitas pagi yang hampir dua bulan ini menjadi kenikmatan dan kebahagian di pagi hari bagi perempuan itu.
Hujan yang turun terlalu pagi sebenarya menggoda Sheila menarik selimut tebalnya untuk membungkus tubuhnya lagi seusai sholat subuh. Tapi, demi perhatian Dirga yang sudah mengingatkan rutinitas mereka untuk mengaji bersama. Sheila segera membuka mushaf Al Quran. Bergantian mereka mengaji melalui media skype
***
Laci kenangan terhadap Dirga terus saja membuka, membuat Sheila menangis mengenang semua kisah manis bersama kekasihnya itu.
Didepan laptop yang membuka. Sheila mendapati sebuah pesan di mailbox dari Dirga. Pesan yang dikirim Dirga seminggu sebelum penculikan terjadi.
Apakah sebenarnya kita adalah dua orang yang tak ingin saling ditinggalkan, hingga pada akhirnya terkadang kita lari kearah berbeda, berlomba siapa dulu yang menang perihal meninggalkan. Entahlah.
Waktu tak pernah pasti. Pun perasaan yang tiba-tiba hadir diantara kita, yang entah sejak kapan bermula. Semuanya seperti permainan semesta yang selalu timbulkan tanya.
Malam itu kita serupa dua jendela hati di tempat berbeda yang mencoba untuk saling mendengarkan suara-suara pemiliknya. Menceritakan, telah berbagai musim yang terlewati dengan sejuta rasa yang pantas untuk dikenang.
Rasa kita bukan matematika, atau reaksi kimia yang mengikuti hukum aljabar, kesetimbangan ataupun thermodinamika. Cinta manusia lebih menganut hukum kekekalan energi. Cinta tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Cinta yang di rekayasa itu bukan cinta. Tetapi, settingan rasa. Drama perasaan.
Kamu adalah rumah segala rasaku. Tak perlu ramai kalau pada akhirnya hanya untuk pelan-pelan dan perlahan menuju sepi lalu merasa terasing satu sama lain. Kita hanya perlu tahu bahwa dari kita akan selalu ada untuk satu sama lain. Memberi tenang meski tak banyak berkata. Merayakan perasaan sepanjang usia. Itu janji suci kita.
***
Tapi, hari ini di bawah rindang pohon Kamboja aku menangisi pusaramu, Dirga. Entah Sheila yang salah karena nekat melaporkan penculikan Dirga oleh Adrian ke polisi. Alhasil, dalam baku tembak pengejaran Adrian yang berusaha meloloskan diri dari kejaran polisi, Peluru nyasar dari Adrian mengenai jantung Dirga yang nekat ikut mengejar meski Sheila sudah bersikeras melarang. Nasib sudah menjadi bubur. Surat warisan terselamatkan tetapi Sheila harus kehilangan Dirga untuk selamanya.
Sheila bersimpuh dipusara, Adrian tersenyum penuh kemenangan ke arah Sheila meski dengan tangan diborgol, kaki penuh lumuran darah dan dalam pengawalan ketat dua polisi. Sheila membalas tatapan sinis Adik tirinya itu dengan penuh kebencian.