Masukan nama pengguna
Demi melupakan kekasihnya, Igo harus menghabisi pikirannya. Minuman keras adalah tuhan paling dekat dengannya.
"Tangkap dia!. Lelaki itu pembunuh anak perempuanku!" Telunjuk amarah sesepuh di desa seakan sebuah celurit yang diacungkan dan ingin dikalungkan ke leher Igo.
Igo terbangun dengan rasa ketakutan. Mimpi buruk itu mendatanginya lagi. Keringat membanjiri tubuh, dahi, dan pelipis lelaki beralis tebal dan tampan yang meringkuk di tengah ranjang memeluk guling. Perempuan tanpa tabir tidur pulas di sebelahnya. Ingin rasanya Igo memasukkan tubuhnya bulat-bulat ke lubang jahanam milik kupu-kupu malam itu. Bersembunyi di lorong paling gelap yang lembab. Tapi tentu hal itu mustahil bisa dia lakukan.
Rasa bersalah itu begitu perih. Ditambah fitnah Abah Sabrina yang sejak awal tidak merestui hubungan Igo dengan Sabrina karena alasan bobot, bibit dan bebet bagaikan hukuman siksa rajam di tubuh dan pikiran Igo. Haruskah Igo menebus kesalahan itu dengan mendekam dipenjara seperti tuntutan Abah Sabrina.
***
Igo muda pernah mengenyam pendidikan pesantren selama beberapa tahun. Ia pernah mengaji kitab kuning pada beberapa kiai, terlibat diskusi keagamaan di forum-forum pesantren, juga dilatih istiqamah melaksanakan amaliyah ubudiyah selain kewajiban yang lima waktu. Namun, tak sampai pendidikannya tuntas, Igo dihadapkan pada sebuah musibah yang membuatnya harus kehilangan Ibu dan Ayahnya. Ibunya tewas di tangan ayahnya sendiri di bawah pengaruh alkohol dan kalah judi, pertengkaran hebat suami istri itu berbuntut fatal. Ibu Igo terpeleset dari tangga lantai rumahnya terdorong tak sengaja oleh Ayahnya. Ayahnya sendiri yang menyusul Ibunya tepat di 40 hari terbunuh oleh begal sepulang dari berjudi. Sebatangkaralah Igo.
Igo pun boyong dari pesantren dan tak pernah mau kembali lagi. Sejak saat itu, hidupnya jadi tak karuan. Igo protes, menggugat Tuhan. Baginya, tiada Tuhan selain keinginan.
Itu terus berlanjut sampai suatu malam yang sepi, Igo dicegat beberapa lelaki tak dikenal di tengah jalan, satu di antara lelaki itu tiba-tiba mengalunginya celurit, memintanya turun lalu merampas semua apa yang menjadi miliknya, termasuk sepeda yang menjadi kebanggaan Igo. Igo sempat mencoba melawan, tapi gerombolan lelaki itu sigap membekuk dan mengoroyoknya hingga tak berdaya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya, tapi untungnya Igo masih diberi kesempatan hidup. Sekuat mungkin Igo berusaha bangkit dan membawa tubuhnya pulang meski dengan langkah sempoyongan. Igo pikir akan kuat sampai rumah, tapi tiba-tiba Igo ambruk ketika hendak melewati sebuah rumah kecil di pinggir jalan. Lalu ditolong Sabrina yang pulang dari pengajian bersama Abahnya.
Begitulah, semenjak kejadian itu, Igo berubah. Igo tidak lagi mengganggu dan mencari gara-gara dengan orang lain. Selain itu, Igo telah jatuh hati kepada Sabrina.
Sampai kemudian tragedi pahit menimpa kisah percintaan Igo dan Sabrina sebab razia di taman kota di suatu malam.
***
Sial! Di tengah menikmati kesahduan perasaan memadu rindu, serdadu - serdadu negara dengan bringas membuat kegaduhan. Tunggang langgang mereka menyelamatkan diri. Nahas, razia taman kota telah membuat Igo kehilangan Sabrina. Persis, sebelum cahaya mengepung semesta, di Subuh ranum di dekat rel lintasan KA, di tepi sungai yang rimbun dengan ilalang, di atas semak-semak orang - orang kampung menemukan jasad Sabrina yang membiru. Igo tidak yakin serdadu - serdadu itu yang membunuh dan menganiaya Sabrina karena Igo tidak menemukan luka lebam dan bekas penganiayaan. Mungkinkah ular berbisa yang telah merenggutmu. Duh, Oh.. gusti! Batin Igo meratap pilu.
***
Di dalam penjara.
Masih di atas bentang sajadah, selesai salat, mata Igo memberat. Igo tertidur di atas sajadah. Dalam tidur Igo bermimpi, seorang lelaki tinggi di atas rata-rata manusia pada umumnya dan berparas tampan rupawan, wajah penuh cahaya dengan tubuh dibalut pakaian dan jubah putih bercahaya. Lelaki itu menyapa Igo dengan suara lembut.
Sejak mimpi itu Igo semakin sering bersenandung salawat sembari melukis kaligrafi pesanan para penjaga tahanan dan atasan mereka.
Igo bebas. Tapi Igo memilih tidak pulang ke kampung. Igo memilih mendirikan pondok kecil di atas bukit di ujung desa, di mana tepat di lerengnya jasad Sabrina disemayamkan. Igo ingin selalu dekat dengan kekasihnya itu meski telah beda dunia. Orang-orang kampung menganggap Igo gila karena mencintai orang yang sudah meninggal. Igo tidak perduli. Yang terpenting keluarga Igo menghormati keputusannya. Mungkin mereka berpikir Igo perlu menyendiri untuk menenangkan diri.
Hingga suatu senja yang tidak biasa. Langit begitu hitam. Beberap kali gelegar petir terdengar. Hujan turun lebat. Suara petir sambar menyambar. Dari atas bukit terdengar lafal adzan di kumamdangkan. Selesai Adzan, senandung salawat dinyanyikan. Lebih merdu dan lebih lantang dari biasanya. Tidak ada seorangpun yang tahu. Orang kampung takut keluar rumah karena hujan begitu lebat, deras bercampur angin kencang di sertai petir. Igo di atas bukit bermandi hujan beratapkan langit dan beralasakan genangan air duduk sujud bersimpuh sembari terus melafalkan senandung salawat nabi. Igo mendekap sebuah gulungan kain lukisan kaligrafi di dadanya dengan terus bersenandung pujian-pujian kepada nabi. Pondok telah roboh diterjang angin. Sesekali kilatan petir menangkap siluet tubuh Igo yang tidak juga berdiri menuruni lereng untuk mencari tempat berteduh. Suara batuk parah terdengar dari lelaki itu sembari terus memegangi dadanya. Lalu tubuh Igo sesaat terkulai lalu diam mencium tanah.