Masukan nama pengguna
Guyuran air seolah-olah menarik alam kesadarannya yang sempat terbuai dalam bunga tidur. Gadis dengan rambut ikal itu secara refleks duduk seraya mengusap wajahnya yang basah. Bahkan kasurnya bernasib sama dengan kondisinya. Sepersekian detik berusaha mengais nyawa dari dunia mimpi, ia menoleh mencari sosok yang telah memaksanya bangun dari tidur.
"Ngapain lu siram gua????!!!! Aaaarrrggghhh!!!"
Sosok pemuda dengan rambut panjang melebihi bahu terlihat tersenyum puas dengan tersirat kesan sinis dari raut wajahnya. "Tidur lo kayak kebo!" serang pemuda itu yang kemudian melempar gayung yang sudah kosong ke wajah adik perempuannya.
"Bang Saaaaaat!!!" Sang adik tidak terima, sudah kepalang naik pitam membuatnya tergerak akan meloncat ke punggung abangnya begitu abangnya akan keluar kamar. Sang abang tentu saja tidak terima, ia menarik rambut adiknya yang lebih pendek darinya, dan sang adik balas pula menjambak rambut abangnya. Masing-masing mengerang geram tidak mau mengalah.
Pagi yang kerap diawali pertengkaran meski tidak berturut-turut setiap hari. Kedua orang tua mereka lantas bergegas tiba berusaha melerai adik kakak yang sama-sama dijuluki Rajo Angek Garang. Julukan tersebut biasanya ditujukan bagi orang yang sangat garang dan tempramen, dalam bahasa minang. Namun mereka tidak seratus persen minang, ibu mereka berasal dari suku Sunda yang menjadi penyebab adik kakak itu bernama Galih dan Galuh agar ada keadilan antara pernikahan beda suku dari kedua orang tua mereka.
Dengan segera, sang ayah menarik Galih dan Galuh untuk menghentikan perkelahian. "Berhenti!!! Kalian ini sudah besar!!! Berantem pula seperti perempuan! Kau Galih, kau itu abang, harus paham bagaimana jadi abang!"
"Ho? Jadi ayah bela Galuh? Hanya karena Galih lebih dulu lahir? Kita aja cuma beda setahun, Yah!" Galih begitu sewot bahkan dengan berani menantang wajah ayahnya.
"Oh, jadi kamu menantang ayah?!" Ayah tersulut geram.
"Sudah, sudah, sudah," ibu melerai Galih dan Ayah yang hampir adu gelut, wanita itu terlihat begitu sabar meski masih tidak habis pikir bagaimana supaya keadaan rumah jauh dari keributan. "Ini kenapa Galuh basah? Gayung juga di kasur?"
"Abangnya, bu! Siram Galuh!" Galuh pun menunjuk abangnya.
"Salah sendiri, tidur kayak orang mati!" Galih membela diri. "Dari tadi gua bangunin elu, gak bangun-bangun! Sok sok bilang jangan masuk kamar perempuan, lah dia sendiri gak kunci kamar!"
"Gua lupa! Lu tetap gak boleh masuk kamar perempuan!"
"Perempuan dari Hongkong?! Lu banci!"
"Elu yang banci! Rambut gondrong gitu!"
Galih yang selalu tidak terima atas ejekan terhadap rambut gondrongnya pun seperti biasa membalas adiknya yang dianggapnya perempuan gadungan. Dan lagi, ayah kembali melerai dengan berdiri di tengah-tengah sepasang anak-anaknya. Bentakan "berhenti" cukup membuat senyap sesaat.
"Lagian ayah gak ada kerjaan ngapain suruh Galih bangunin anak ini?! Udah pasti gak mau dia mah! Mana kayak kebo mati pula tidurnya!"
"Terserah mau bangun atau nggak, yang penting kamu sudah bangunkan!"
Galuh memandang heran ayahnya yang dianggapnya membela sang abang. Galih lantas menarik sinis sebelah ujung bibirnya, menyusul ke ruang makan. Sedangkan ibu, menghampiri putrinya dengan wajah keibuan. "Galuh, sudah ya. Nanti sarapan kamu bawa ke kampus ya, sekarang cepat mandi. Telat gak nih sekarang?"
Galuh membelalakan mata, tersadar jam kuliahnya di hari pertama semester kedua. Ia segera masuk kamar mandi, sedangkan ibu mengembuskan napas ringan seraya menggeleng-gelengkan kepala. Wanita keibuan itu mengingatkan untuk kunci kamar sebelum benar-benar akan mandi, agar Galih tidak sembarangan masuk lagi. Galuh menuruti ibunya setelah ibu keluar dari kamarnya.
Dalam perjalanan menuju kampus, Galuh yang yang sudah ditinggalkan abangnya diliputi rasa bersalah karena merasa tidak seharusnya marah—dibangunkan abangnya. Namun sepotong batinnya yang lain seperti berebut ingin mengingatkan pula bahwa Galih tetaplah salah karena dengan sembarangan masuk kamar perempuan. Di antara sepotong batin yang satu dengan sepotong batin yang lainnya itu menyebabkan terjadinya perang yang berkecamuk dalam diri Galuh. Nyaris saja begitu turun dari angkot dan akan menyeberang, ada kendaraan yang hampir menabrak, tetapi gadis berjepit rambut itu lekas menoleh yang secara ajaib kendaraan yang hampir menabraknya berhenti sebelum mengenainya. Bukan hal yang menakutkan baginya tiap menyeberang seolah-olah ia penguasa jalanan. Embusan napas mengalir saat kembali melangkah ke kampus di depan mata.
"Dik, gak bareng Galih?" Seorang senior kampus menegurnya dari belakang. Pemuda yang sangat diyakini Galuh sebagai sosok yang penyabar dan ramah, namun Galuh selalu heran kenapa seniornya ini bisa bertahan berteman dengan abangnya.
"Boker ya?" tebak konyol sang senior, karena pernah suatu momen bertemu saat akan ke kampus bersama dan sang senior menanyakan Galih, Galuh dengan membuang muka menjawab bahwa abangnya buang air besar. Sudah jadi kebiasaan pagi sang abang, tapi pagi ini baru disadari Galuh perihal sang abang yang yang tidak biasanya bisa pergi mendahuluinya.
"Kalian... gak lagi berantem kan?" Senior berwajah ramah itu mulai terlihat tidak enak karena menanyakan hubungan adik kakak yang kerap tidak akur, terlebih sejak tadi juniornya tidak menjawab.
"Ah," Galuh mulai bersuara. "Kak Dipo kok bisa sih temenan sama Bang Sat?"
"Bang Sat?"
"Iya. Sat... maksud saya... "satu..."... ya kan dia anak ke satu... hehehe," Galuh mulai cari alasan atas julukan hinaan pada abangnya.
Dipo, si pemilik nama lengkap Diponegoro sang senior berwajah ramah itu menyunggingkan senyum. "Kayaknya gak ada deh orang nyebut anak ke satu, palingan anak pertama. Hehehe, kayaknya kalian lagi gak akur ya? Ayolah, seberantem-berantemnya kalian, jangan sebut saudara kandung begitu... pasti kalian akan saling membutuhkan nantinya..."
Galuh menahan napas ringan. Tutur bicara Dipo terasa menenangkan baginya.
"Ya udah, kalau gitu saya duluan ya."
Galuh memandang punggung Dipo, membayangkan memiliki abang seperti Dipo. Sudah sangat persis seperti namanya yaitu Diponegoro sang pahlawan Indonesia, sosok Dipo sang senior pun demikian bagi Galuh. Namun teringat fakta bahwa Galih adalah abangnya, Galuh merasa seolah-olah tidak berdaya mengangkat kepalanya. Kembali kakinya melangkah memasuki kampus, kali ini tidak habis pikir kenapa ayah ibu menamainya mirip dengan nama abangnya seolah-olah kembar, belum lagi diharuskan ayah untuk melanjutkan pendidikan di kampus yang sama.
Di dalam kelas, Galuh lebih dikenal sebagai mahasiswi pendiam. Melihat mahasiswi-mahasiswi di kelas yang cenderung berkelompok, membuatnya lebih sering bertanya pada lawan jenis, karena ia meyakini lawan jenis tidak akan menolaknya karena Galuh bukan gadis yang banyak tingkah di kelas. Sempat menjadi buah gosip karena pernah belajar dengan lawan jenis, tapi gosip itu tidak bertahan karena Galuh tidak memandang lawan jenis mana pun yang mau mengajarinya. Semakin ke sini, ia justru dicurigai apakah menyukai sesama jenis atau tidak karena tidak pernah pacaran dan rambutnya selalu pendek.
"Sok sempurna banget lu pake bawa bekal segala, hahaha!" salah seorang mahasiswa yang dikenal selalu sibuk merias wajah di kelas, mengejek Galuh saat jam istirahat Galuh sedang makan bekal dari ibu.
Tiada tanggapan dari Galuh selain hanya senyum sungkan, dan menandaskan makanan. Si pengejek justru melipat kedua tangan di depan dada, merasa tidak puas dengan tanggapan Galuh. Terlintas suatu hal, ia bertanya, "Eh iya, lo kan punya abang ya?—kok abang lo gondrong sih? Kalian normal kan? Lo suka cowok kan? Dan abang lo suka cewek kan?"
Padahal Galuh bersikap tidak peduli oleh ejekan bawa bekal, namun setelahnya disusul pertanyaan yang sangat menjengkelkan. "Kita normal kok..."
"Tapi kok lu gak punya pacar?"
"Gua doang yang ditanya gak punya pacar?"
"Maksud lo?"
"Tadi kan nanyanya gua dan abang gua, trus malah kayak gua doang yang pengen lu tau...???"
"Iya, gua baru nyadar, abang lo suka godain cewek-cewek. Hahaha... dah lah... baibai Galuh... salam buat abang lo yang ganteng dan gondrong itu!"
Galuh mengernyitkan keningnya memandang si pengejek berlalu meninggalkannya. Selesai memasukkan tempat makanan yang sudah kosong ke dalam tas, ia turut keluar dari kelas dan bersandar ke dekat jendela seraya memandang ke luar gedung kampus. "Pacar???" bisiknya pada diri sendiri. Ia lalu memandang ke atas seolah-olah tengah memindai sosok-sosok di kampus yang bisa membuatnya merasa bisa dianggap normal.
Tidak sengaja seseorang menubruk tubuhnya sampai keningnya membentur kaca jendela. Galuh lantas menoleh ingin melihat siapa sang pelaku, agak terkejut ternyata abangnya sendiri yang juga tidak menyadari menubruk sang adik—terlihat dari sikapnya yang minta maaf, namun wajah itu menegang begitu pandangan mereka berserobok. Galih lantas membuang muka dan mendecis penuh kebencian.
Galuh mengejek abangnya yang mendecis saat abangnya akan meninggalkannya. Langkah abangnya berhenti dan berbalik menghadap sang adik. "Apa maksud lo tadi ngedecis?!"
"Laaaah, lo sendiri kenapa tadi ngedecis? Nyesel minta maaf ke gua tadi?"
"Ho? Haha!" Galih mengejek adiknya.
Dipo di antara teman-teman yang bersama Galih lantas menengahi adik kakak itu. Namun Dipo justru mendapat semburan larangan dari Galih supaya tidak ikut campur.
"Lo orang luar gak usah ikut campur!"
Dipo terlihat kewalahan karena berusaha untuk tidak tersulut geram oleh sikap Galih. Ia lantas berkata, "Lo... lo duluan aja, sama yang lainnya... kebetulan gua ada urusan sama Galuh."
"Urusan apaan emang?!"
Dipo menggigit bibir mencari akal-akalannya agar pertengkaran sekandung tidak terjadi. "Tadi Galuh nyamperin gua, ada yang mau ditanyain tentang materi kuliah..."
Galih menyipitkan mata sinis pada Dipo, ia membuang muka. Ia berpaling dan meninggalkan Dipo dan Galuh, diikuti teman-teman yang lain. Dipo masih memandangi Galih dan teman-teman sampai sosok mereka berbelok tak terjangkau pandangan. Sosok ramah itu mengembuskan napas lega sambil menundukkan wajah. Kembali menegakkan wajah saat beralih memandang Galuh yang ternyata sejak tadi memandang heran.
"Hm? Kenapa?"
Galuh tertawa miris, nyaris tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Dah, jangan masukkin ke hati ya."
"Kak, emang bener kata Abang saya, kakak itu orang luar. Kok bisa-bisanya kakak selalu pengen melerai kami...??? Dan yang paling heran, kakak tuh jauh beda dengan abang, ngapain temenan sama abang?!"
Dipo menyunggingkan senyum khasnya yang sangat ramah. "Mungkin, karena saya rindu abang dan adik saya? Hehehe..."
"Emangnya kenapa, kak, dengan mereka?"
"Saya di sini merantau. Jauh dari orang tua dan saudara-saudari kandung. Abang saya dan adik perempuan kami sama kayak kamu dan Galih, sering berantem. Dulu saya juga sering ikutan berantem karena sakit kepala liat si bungsu dan si sulung. Hahaha. Tapi jauh dari mereka ternyata bikin rindu. Saya kangen omelan abang saya. Saya kangen adik yang manja ke saya. Jadi saya pikir saya ingin mewadahi kerinduan ini dengan ikut campur urusan kamu dan Galih. Haha! Maaf ya!"
Galuh terpana oleh sikap tenang Dipo, sebuah lengkungan terukir di bibirnya. Tapi ia tidak yakin bila rasa terpana dan senyum yang terukir di wajahnya berasal dari keinginan agar Galih berkarakter ramah seperti Dipo. Teringat julukan Rajo Angek Garang dari ayah, Galuh merasa rendah diri bila terus berinteraksi dengan Dipo.
"Galuh? Apa ada yang mau diceritakan?" Dipo rupanya dapat membaca ekspresi Galuh yang terlihat murung. Namun ia tidak lantas meminta jawaban oleh terlintas suatu hal, "Oh ya kamu ada yang mau ditanyain gak terkait materi kuliah? Ya, biar saya gak bohong ke Galih... hehehe..."
Galuh merapikan beberapa poninya yang sudah memanjang hampir menutupi sebagian wajah, mengangguk-angguk mulai berpikir. "Ada sih, kak."
"Kalau gitu, kamu simpan nomor saya. Biar waktu dan tempat bisa ditentukan. Sekarang saya masih ada urusan karena tugas dari dosen. Makanya saya tadi rame-rame dengan Galih dan lainnya."
Galuh mengangguk patuh. Ia meraih ponselnya dan menyimpan nomor Dipo yang mengeja nomor. Dipo lantas pergi menyusul Galih dan lainnya, Galuh justru merasa berbunga-bunga memandangi nomor Dipo. Sesaat setelahnya tersadar, tidak menyangka akan memiliki perasaan istimewa pada Dipo. Kalau Bang Sat tau, pasti bakal diejek abis-abisan gua!!!
Galuh berusaha bersikap wajar seolah-olah tidak sedang jatuh cinta. Ia menyimpan ponselnya sampai merasa yakin akan menghubungi Dipo.
Bel masuk berbunyi sudah pada waktunya, para mahasiswa-mahasiswi ada yang tetap di kelas semula, ada yang pindah kelas mengikuti dimana dosen hendak mengajar. Tidak terganggu fokus Galuh meski ada yang semerbak dari dalam hatinya oleh Dipo tadi, selama kegiatan kuliah berlangsung. Saat bel pulang berbunyi, justru dibuat ragu-ragu akan menghubungi. Terpikir mengapa Dipo memberinya nomor ponsel, Galuh merasa tidak perlu takut dianggap genit saat akan menghubungi sang senior ramah tersebut.
Waktu dan tempat sudah ditentukan, tiada keberatan dari Dipo untuk menyanggupi. Taman Ismail Marzuki akan menjadi lokasi belajar sepulang dari kampus. Galuh menolak halus tawaran untuk pergi bersama dengan motor pribadi, lebih memilih pergi dengan kendaraan umum. Setelah bertanya-tanya pada pengemudi kendaraan umum karena sebelumnya belum pernah ke Taman Ismail Marzuki, Galuh akhirnya tiba dan lebih dulu dari Dipo. Menanti sang senior ramah, Galuh melihat-lihat sekitar.
Gadis itu menelengkan kepala saat melihat antrean akan memasuki ruang pameran lukisan, heran apa yang menarik dari lukisan yang dianggapnya bisu dan tidak bergerak. Tidak sengaja saat akan berbalik, ia menabrak seorang perempuan yang nyaris jatuh ke belakang namun refleks digapainya tubuh perempuan itu untuk ditolongnya. Dadanya bergemuruh tatkala menyadari siapa perempuan itu, membuat tangan yang menggapai si perempuan terlepas dan perempuan itu benar-benar jatuh. Teman-teman si perempuan segera membantu.
"Lo niat gak sih nolong orang?" sembur salah satu teman si perempuan.
Galuh terdiam menahan rasa tidak terima dari semburan amarah itu. "Dia orang?" tanyanya tenang sambil menunjuk si perempuan yang sudah bisa bangun.
"Maksud lo apa?" Seorang teman lain tidak terima.
"Tunggu, kayaknya kita pernah ketemu...," perempuan yang sempat jatuh tadi menyipitkan mata pada Galuh.
Galuh menarik sebelah ujung bibir tersirat kesan sinis dari matanya. Tidak peduli, ia akan melenggang pergi. Namun perempuan yang merasa tidak asing dengannya itu tiba-tiba menarik lengannya bahkan mendorongnya sampai keningnya membentur ujung meja. Para pengunjung yang menyaksikan lantas berseru kaget.
Galuh memejamkan mata saat riuh suara pengunjung terhenti. Ia mengusap keningnya dan merasakan ada yang mengalir. Tidak ada ekspresi di wajahnya saat melihat telapak tangannya yang baru saja memegang kening ternyata menampilkan cairan darah. Ia bangkit tanpa memedulikan kepala yang sakit, ia mengelap darah di telapak tangannya ke wajah si perempuan yang telah mendorongnya.
"Galuh!" Dipo rupanya menyaksikan dari sejak Galuh didorong tadi.
Galuh menoleh, cukup terkejut karena tidak hanya Dipo yang menghampiri, tetapi juga ada abangnya tidak jauh di belakang Dipo. Tanpa disadarinya, perempuan tadi kembali akan mendorongnya lagi, namun para pengunjung di belakang Galuh menahan tubuh Galuh, bersamaan sekuriti masuk ke pusat kerumunan.
"Ada apa ini?!"
"Telat!" serang Galuh pada sekuriti, lalu menerobos kerumunan seraya memegang kepala bagian kening yang berdarah. Tidak dihiraukannya sekuriti yang memanggilnya, hingga seseorang meraih lengannya untuk berhenti melangkah.
"Galuh...," rupanya Galih, terlihat khawatir dengan kondisi sang adik.
Air mata baru berderai saat matanya memandang sang abang. "Lu sama aja kayak yang lain, Bang! Adik lu dijahatin, lu malah main futsal sama yang lain! Cewek itu si Mira! Lu inget gak dia? Dah lama gak ketemu, dia sekarang malah bikin gua gini!"
"Eh lu ngomong apa tentang gua?! Oh, gua baru inget lu siapa!" Mira sosok yang pernah menindas Galuh semasa SD masuk ke pembicaraan Galuh dan Galih. Tapi ekspresi marahnya pudar saat melihat paras tampan Galih meski dengan rambut panjang diikat.
"Galih, kita bawa Galuh obati lukanya!" Dipo menghampiri dan menepuk bahu Galih.
Kehangatan yang selama ini dirindukan Galuh tak pelak dirasakan, saat Galih sang abang mendekap sang adik ke pusat kesehatan terdekat. Memang kepala Galuh yang sakit, mau tidak mau bersandar di bahu abangnya. Sesekali usapan ke kepala cukup menenangkan gadis itu.
Air mata tidak berhenti mengalir setelah pihak medis menanganinya. Pengalaman buruk yang dialami di masa SD dengan Mira untuk pertama kalinya diungkapkan Galuh. Untuk pertama kali pula, Galih merasa teriris mendengar kesah terpendam adiknya selama ini lantaran sejak kecil memang lebih mementingkan teman daripada adik sendiri. Air mata Galih turut meleleh saat memeluk adiknya yang kian terisak-isak.
"Maafin abang gak pernah ada buat Galuh..."
"Galuh sebenarnya sayang sama abang, tapi abang lebih sayang teman-teman abang... Galuh kan juga pengen main sama abang..."
Dipo yang memandangi ikatan saudara kandung itu hanya diam membiarkan abang dan adik saling melepaskan isi hati. Mengetahui hubungan Galuh dan Galih selalu buruk membuatnya tergerak ingin menyatukan kakak adik di depan matanya. Rasa ingin menyatukan kian menguat saat tadi akan berangkat menyusul Galuh, disadarinya Galih mengikutinya. Namun tidak disangkanya sebelum berpikir rencana apa yang akan menyatukan Galuh dan Galih, momen yang tepat terjadi di depan mata. Dipo menolehkan pandangan pada Galih dan melempar isyarat agar peduli pada kondisi Galuh.
Galih tidak sempat merasakan bahwa ia sudah ketahuan mengikuti Dipo, rasa tidak terimanya atas apa yang dialami Galuh lebih mendominasinya. Kesah dari sang adik pun mengalir selama ia memeluk sang adik. Perasaannya diliputi rasa malu yang pekat sebagai abang yang tidak berguna, rasa gengsi bermain dengan adik perempuan—meski satu-satunya—membuatnya telah mengabaikan perasaan adiknya yang selama ini butuh bantuannya.
Tangis Galuh berhenti setelah merasa cukup mengeluarkan endapan isi hati. Namun ia masih sesenggukan, aroma keheningan sempat menguar sebelum kemudian disadarinya kehadiran Dipo yang menundukkan wajah. Sebuah dugaan melintas, mungkin Dipo merencanakan upaya agar akur dengan saudara kandung. Namun saat ingin memastikan, Galih sang abang menegurnya.
"Dik? Kenapa?"
"Dik?" Galuh mengangkat pandangannya pada sepasang mata abangnya, haru kembali menyergap. Namun lagi, air mata kembali mencair. "Lu gak pernah panggil gua 'dik'..."
Dipo menganga melihat adik kakak di depan matanya, tertawa haru sambil menyeka air mata.
"Taik lu, Galuh! Kenapa lu gak bilang pengen dipanggil 'dik'?" Galih menjambak sayang rambut adiknya.
"Lu mah, kak Dipo aja gak ada taik-taik ke gua!" Galuh merengut manja untuk pertama kali. Namun hal itu justru membuat Galih dan Dipo terkejut.
"Lu naksir sama anak kutu kupret ini?"
"Ha? Hwaaaa!!!" Galuh panik dan menjauh dari abangnya.
Galih tertawa hingga adiknya keluar ruang kesehatan demi tidak ketahuan wajah meronanya. Dipo memukul lengan Galih dan berkata, "Lu jangan gitu ke adik lu! Sana kejar! Baru juga baikan!"
Galih memandang Dipo dengan sudut mata, mulai menggoda Dipo. "Gua restuin lu berdua, tapi awas kalau lu main-main sama tuh anak! Hahahaha!" Galih lantas keluar menyusul adiknya, sekaligus menghindari serangan Dipo yang ternyata juga salah tingkah.
Galih mengejar adiknya, mendekap dari samping bahkan mengecup puncak kepala adiknya. Mereka sepakat akan beri kejutan untuk ayah ibu mereka bahwa mereka tidak akan lagi bertengkar sungguhan. Secara perlahan, mereka juga akan memudarkan julukan Rajo Angek Garang yang disematkan pada mereka.