Masukan nama pengguna
Seribu bahasa seakan tidak ada yang mampu memosisikan mereka pada lisan ini. Mulut terdiam. Bungkam. Pengutaraan darinya memilukan sanubariku. Relung dalam dada ini disergap ketakutan akan menyakitinya tanpa sadar. Namun tampaknya dia memandangku sama sebagaimana orang-orang sebelum-sebelumnya memandangku.
Mengenakan pakaian wanita sesuai syariat. Terlihat baik-baik saja. Dan mungkin terlihat tiada apa-apa bahkan memiliki komunitas. Bukan, aku bukan begitu. Sempat didera keberatan seakan aku mengemban amanah bahwa mengenakan pakaian syar'i seperti harus sempurna. Padahal aku juga butuh manusia lain.
"Biasanya kalau orang dari dunia nyata tahu akun medsos aku, aku bikin akun baru lagi, Dar."
Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana menanggapi. Dia persis sepertiku, meski kondisinya mungkin lebih parah. Orang tua bercerai dan ibu tiri memerasnya. "Ke kamu aja aku bilang begini...," bilangnya. Binggo, sesuai dugaan!
Setelah mendengarkan bagaimana kesahnya pula sebagai penyintas kanker, aku termenung dalam perjalanan pulang. Melanglang tanpa ke rumah dulu untuk izin 'jalan-jalan' sendiri. Tentu, ada langit di atas langit. Ada yang lebih kaya di atas kaya. Ada lebih pintar di atas pintar. Dan ada ujian lebih berat dibanding ujian yang kita lalui. Tapi aku tidak bisa memungkiri bahwa dorongan buruk ini sudah ada sejak aku kecil.
Tidak, aku tidak akan bunuh diri. Allah Maha Melihat, aku bersikeras di dalam hati begitu atap teratas sebuah ruko kupijaki. Rasanya aku telah mengkhianati Tuhan bila aku mewujudkan ini.
Sebuah kertas kukeluarkan dari tasku yang berisi buku-buku kuliah. Aku masih menyembunyikan ini. Masih tepekur olehku diagnosis yang tercetak di sana, bahwa aku sedang mengidap gangguan jiwa bipolar. Memang luka-luka tak kasat mata itu ada, tapi sejak kecil tidak pernah aku akui demi kuat namun tidak izinkan diri beristirahat untuk kumpulkan energi.
Apa kata temanku penyintas kanker tadi bila dia mengetahui fakta ini?
Sesak merangkak ke atas. Tidak, aku tidak boleh terkapar di sini! Aku bukan pencari perhatian!
Sepasang netra ini memandang langit jingga. Aku yakin Tuhan masih memberiku izin untuk memiliki kesempatan. Mungkin ini saatnya kumulai kembali hidupku yang selama ini keliru. Azan magrib berkumandang. Terdengar merdu di pendengaranku. Menahan tangis. Merindukan-Nya.
Menggenggam angin, aku berangkat menuju musola yang memang berada di atas ruko. Dering ponsel berbunyi selepas solat, Karin kawanku penyintas kanker menghubungiku.
"Dara, berkas kamu ketinggalan di kosan aku. Kamu bipolar ya?" Suaranya yang hati-hati cukup seakan menghunjamku. Ia orang pertama yang mengetahui. Lekas kuperiksa lembar kertas surat kontrol dokter tadi yang kupandang, tampaknya fotokopiannya tertinggal saat keluarkan buku-buku untuk belajar tadi.
"Maafkan aku, Karin. Aku tidak sebaik yang--"
"--jangan minta maaf, tiap kita berjuang, kan?"
Air mataku meleleh. Kaki yang akan melangkah turun dari atap ruko sekejap tidak bertenaga seakan ada orang di depan yang membuatku tersungkur.
"Kita berjuang sama-sama ya, Dar. Aku sayang kamu. Aku senang bisa kenal kamu." Untaian katanya makin memeras air mata. Namun satu per satu orang dari penghuni ruko naik akan solat, aku harus menghapus air mata di wajah dan berusaha bersikap wajar.
"Besok ketemu di kampus, kamu ambil ya. Nanti gantian, kamu yang cerita. Jangan aku doang yang cerita. Hehe."
Bisa kurasakan, bibir ini melengkung senyum.