Masukan nama pengguna
Benakku bak sebuah tubuh sedang menghentak-hentak tatkala memandangnya begitu lahap menikmati mie ayam. Sesekali dengan pandangan sedikit menunduk karena mungkin ia merasa malu, ia memandangku seperti takut-takut atau mungkin juga segan.
"Sekali lagi, aku minta maaf ya," kataku memang bukan pertama kali meminta maaf padanya.
Pandangannya perlahan-lahan mengangkat, dan aku entah mengapa justru menunduk menatap mie ayam yang sudah lebih dari separuh ia tandaskan. "Kenapa minta maaf? Sudah jelas-jelas hp-mu kucuri!"
Aku menggigit bibir, merasa momen yang mulai berlangsung adalah momen yang lucu, karena aku yang justru dinasihati si pencuri. Namun sungguh, aku benar-benar tidak tega, ketika tadi baru keluar dari kampus dan menanti angkot di seberang, kujemba ponsel, dan bertepatan saat berpikir bagaimanalah bila sebuah penjambretan akan terjadi, saat itulah benar-benar terjadi.
Aku terkesiap saat tindakannya cepat sekali merampas ponselku. Dengan diburu dada yang berdetak cepat oleh terkejut, segera aku sadarkan diri dan berteriak histeris 'maling'. Beberapa orang sekitar secara refleks mengikuti kemana telunjuk kananku menunjuk dan mengejar si pelaku. Dan, aksi main hakim sendiri pun terjadi.
Tersingkap kematian pencuri akibat diamuk massa, aku pun menghentikan massa setelah yakin si pelaku sudah tidak berdaya. Beruntung kondisinya tidak separah yang kukhawatirkan, namun aku terkejut melihat wajah si pelaku yang sangat kukenal.
"Ini hp-nya, mbak!" Seorang warga mengembalikan ponselku yang sudah direbutnya dari si pelaku, namun aku menerima dengan mata terperangah pada si pelaku.
"Ayo bawa ke kantor polisi!" Salah seorang lain menunjuk kantor polisi yang memang tidak jauh. Bahkan beberapa polisi sudah keluar untuk melihat apa yang terjadi, tapi aku dengan memohon supaya si pelaku tidak diserahkan ke pihak berwajib.
"Loh? Kenapa, mbak? Dia sudah mencuri hp mbak!"
"Saya ingin bicara padanya. Saya kenal dia. Dia teman saya."
Hal yang sama diterangkan pada para polisi ketika mendekat. Para warga pun membubarkan diri. Dengan iba, aku meminta maaf pada si pelaku yang lebam dan tidak lain merupakan sosok yang pernah tahu bahwa dulu aku menyukainya.
Sungguh sangat memprihatinkan sekali melihatnya saat ini bila mengingat betapa dia merupakan murid kesayangan para guru. Kabar terakhir kudengar, dia putus sekolah akibat dipengaruhi oleh sahabatnya yang justru diingat para guru sebagai murid Badung. Namun aku tidak yakin hanya itu saja yang membuatnya seperti sekarang, seorang gadis yang satu kelas dengan kami tersingkap di benakku, yang membuatku dengan dia ini tidak pernah menjalin hubungan apa-apa selain hanya karena duduk di bangku yang dekat.
"Kamu, gak lagi patah hati Rahayu nikah kan?" tanyaku karena memang pernikahan gadis itu baru saja beberapa hari yang lalu.
Aku tidak tahu apa aku salah bertanya. Ia diam tidak menjawab.
"Maaf..."
"Sudah ketiga kali minta maaf..."
Aku menunduk lagi, tapi tidak dalam. Dan senyap menyeruak, kuintip ia tidak enak--mungkin kutraktir mie ayam yang kukira dia mencuri karena lapar.
"Maaf," dia sepertinya mulai berterus terang. "Ada hal yang bikin aku akhirnya mencuri. Tapi kamu malah...," ia tidak meneruskan, justru mendecis menatapku.
Cukup lama. Dan aku merasa sedang ditelisik.
"Kamu melakukan ini bukan karena masih suka aku, kan?"
Tembakan telak. Memang sudah lama kumerindu. Tidak kusangka justru kutemukan dirinya dengan situasi seperti ini.