Cerpen
Disukai
2
Dilihat
12,732
Menyusuri Pesan TersiratNya
Romantis

Suara bising dari pengeras suara dan pandangan dipenuhi oleh hilir mudik orang-orang datang dan pergi dari keberangkatan udara selalu menjadi kesibukan tiada henti di bandara. Di balik dinding sebuah kaca, pesawat mendarat dan beroperasi menuju awan-awan yang kelak dilalui. Gadis berjilbab yang menggendong ransel dengan sedikit aksesori, berada di antara para calon penumpang yang menunggu jam memasuki kapal terbang. Tidak seperti saat di masa kecil ia diliputi ketakutan akan jatuh, kali ini meski rasa takut memang masih ada namun suasana hati muram lebih mendominasi. Sang ibu yang berjanji akan menjemput ke tempat perantauan baru, rupanya tidak bisa memenuhi janji. Sebagai gantinya, adik lelaki sang ibu beserta istri dan anak-anak yang ada keperluan di ibu kota, yang menjemput saat akan kembali ke perantauan.

Kendati telah menyatakan keberatan, namun ia kemudian mengalah karena bisa dirasakannya melalui panggilan suara maupun panggilan video, ibu seperti menimbang-nimbang akan mengusahakan menjemput nanti. Rasa tidak enak lantas terasa, ia patuh dijemput paman sekeluarga. Sudah kepala tiga, sangat disadarinya betul ia belum dewasa. Belum lagi tubuh dan wajah seperti anak sekolah, membuatnya terbawa kekanak-kanakkan. Akan tetapi bukan karena manja agar ibu menjemputnya, melainkan kondisinya sedang tidak baik-baik saja selain sangat dibutuhkannya sang ibu sebagai sang support system. Tentu saja bukan berarti ia tidak akan berlatih supaya bisa sedewasa usianya, meski bukan hal mudah untuknya dengan kondisi sebagai pasien dari dokter kesehatan jiwa—atau psikiater, yang ternyata tidak bersabar menanganinya supaya benar-benar pulih tanpa obat.

Perhatiannya teralihkan saat tiga sepupunya yang masih kecil mulai dilanda bosan, satu per satu mereka mulai turun dari bangku dan masuk ke hilir mudik orang-orang bandara. Paman yang merupakan adik sang ibu segera mengejar, sang istri turut pula akan menangkap. "Denissa, kejar Isa!" seru istri sang paman saat si gadis berjilbab tiga puluhan itu akan ikut serta mengejar dan menangkap salah satu sepupu. Diam-diam Denissa menikmati aksi kejar-kejaran ini, karena ia juga sama bosannya dengan para adik sepupu. Sempat dadanya diselimuti kekhawatiran bila tidak ditemukannya Isa si bungsu, namun ia kembali bergairah saat pandangannya menemukan bocah yang masih TK itu.

Denissa berhasil meraih tangan kecil itu, tetapi saat itu juga ada anak kecil lain menarik tasnya seraya berkata "Wah!!! Cyborium!!! Kak Felix!!! Ada Cyborium!!!"

Denissa merasa terseret, pun Isa yang berusaha tidak akan dilepaskannya. Berusaha supaya tidak melangkah mundur agar tidak sembarangan menabrak orang-orang, namun dengan langkah seperti kepiting yang tidak termasuk dalam perkiraannya pun tetap saja berulang kali ia minta maaf pada siapa pun yang tidak sengaja disenggolnya. Hingga akhirnya ia lega karena anak kecil yang menarik tasnya terlepas dan terpisah darinya. Hembusan napas mencelus dari mulut, kembali ia menerobos orang-orang untuk membawa Isa ke ayah bundanya.

Paman dan istrinya sudah bersama tiga anaknya. Isa mulai menceritakan apa yang baru saja dialami, namun melihat dua kakaknya menikmati jajanan, si bungsu pun merengek minta dibelikan. Saat istri paman menoleh pada Denissa seperti ada yang akan dibicarakan, Denissa memeriksa tasnya yang sempat ditarik anak kecil tadi. Matanya membola karena gantungan kunci tasnya sudah putus bahkan beserta resletingnya.

"Ada apa, Denissa?"

"Sebentar, punya Denissa kayaknya ada yang terlepas!"

"Jangan lama-lama! Nanti ketinggalan pesawat!"

Denissa berusaha mengingat-ingat kemana saja tadi ia sampai ada anak kecil nakal menarik tasnya. Namun dalam hati, ia menyesal menyebut nakal, karena sudah diyakininya tiada anak yang nakal, yang ada adalah anak yang belum tahu. Ya, anak tadi belum tahu kalau apa yang dilakukannya tadi adalah sebuah kesalahan. Dorongan untuk menyalah-nyalahi tidak dilakukannya meski hanya menggerutu di dalam hati. Pandangannya memindai ke bawah tidak peduli bila menemukan gantungan kunci itu dalam keadaan terinjak-injak. Akan tetapi, ia merasa kembali diseret dari belakang sebagaimana anak kecil asing tadi. Kali ini tidak akan dibiarkan, ia meraih tangan yang menarik-narik tasnya, namun tangan yang rupanya bukan milik anak kecil juga meraih pergelangan tangannya.

Denissa terkejut begitu sepasang matanya menangkap wajah itu. Sosok pemuda lebih tinggi darinya, berusaha meminta maaf dengan bahasa inggris. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke arah tas Denissa, rupanya kepala resleting ransel tersangkut di pakaian pemuda itu. Denissa membelalakkan mata atas kejadian konyol yang sedang berlangsung, ia lantas melepaskan ranselnya agar mudah oleh pemuda itu melepaskan bagian yang tersangkut. Sesekali terdorong oleh orang lalu-lalang, mereka kemudian menepi.

"Yokatta...," desis pemuda itu setelah berhasil melepaskan bagian yang tersangkut.

"Gomennasai, fuku ga...," Denissa membalas dengan bahasa pemuda itu, merasa menyesal melihat pakaian pemuda itu rusak.

"He??? Nihonggo...???" Pemuda itu terkejut dengan Denissa yang bisa berbahasa negerinya.

"Ee... sakki wa 'yokatta' tte ittan desu yo ne?" Denissa berkata "Ya, tadi bilang 'yokatta', kan?"

"Haik...," pemuda itu masih terlihat bingung namun juga takjub.

"Sore wa nihonggo desu yo? Sukoshi dake wakaru, eh? Janai... wakarimasu...," Denissa dengan senyum berkata, "Itu bahasa Jepang kan? Sedikit saja aku mengerti," namun ada ralat karena Denissa menyebut "wakaru", kemudian diperbaiki menjadi "wakarimasu" supaya lebih sopan.

Pemuda itu tertawa kecil oleh kesalahan sepele Denissa. "Ii yo!" Dikatakannya bahwa Denissa tidak sedang berbuat salah yang berarti.

Denissa hanya tersenyum sungkan seraya menelengkan kepala dan pandangan yang turut pula seolah-olah menepi di sudut mata. Tidak sengaja matanya melihat gantungan kuncinya yang terlempar oleh langkah orang-orang. "Cyborium...," bisiknya pada diri sendiri tapi dapat didengar si pemuda. Saat akan menghampiri titik keberadaan gantungan kunci, sesempatnya ia pamit sekilas pada si pemuda. "Anou, suimasen...," kemudian lanjut akan meraih benda yang dicarinya.

Memasuki lalu-lalang orang-orang, beberapa kali Denissa terdorong ke sana kemari namun tetap berusaha kembali terarah pada benda yang dituju. Pandangan pun sebisa mungkin tidak teralihkan meski sesekali berdecak karena senggolan dan gesekan yang tidak nyaman. Semakin dekat, ia agak membungkuk sembari berseru agar orang-orang menyadari keberadaannya. "Sorry!!! Pardon!!!" Cukup berhasil, ada yang mau menyingkir untuknya meraih gantungan kunci. Ketika gantungan kunci sudah di genggaman, senyum cerahnya disertai seruan pula "thank you, everyone!!!"

Ia lantas berbalik keluar dengan berulang kali berkata "excuse me". Melihat beberapa orang dengan keluarga, segera ingat olehnya Paman sekeluarga yang mungkin tengah menunggu. Hampir saja ia melupakan si pemuda Jepang tadi.

"Shojo-san," pemuda itu rupanya sengaja menunggu Denissa.

Gadis yang dipanggil terbengong sesaat demi mencerna panggilan itu. Dengan ragu-ragu ia mendekat dengan jarak yang cukup untuk mendengar suara masing-masing. "Shojo-san? Watashi? Yobimasuka?" tanyanya ingin memastikan apakah ia yang dipanggil 'Shojo-san'.

Si pemuda tertawa oleh kepolosan wajah Denissa. "Ee. Yobimasu yo," jawabnya membenarkan.

"Aa, sou desu ka?" Denissa menyengir, mengira dirinya dipanggil 'shojo' mungkin memiliki makna mirip 'Neng'.

"Mitsukemashitaka?" Pemuda itu bertanya apakah 'sudah ketemu?', tentu saja Denissa bingung dengan maksud pertanyaan itu.

"Kore?" Denissa menunjukkan gantungan kuncinya. Sesaat kemudian ia terdiam, sementara pemuda itu melengkungkan senyum berlesung pipitnya.

"Doushite?" Pemuda itu bertanya 'kenapa', menyadari perubahan raut wajah Denissa yang seperti mati kutu. Belum lagi bahasa Jepang yang digunakannya selanjutnya membuat Denissa menatap tak berkedip namun dengan rupa tegang.

"Anou, gomennasai. Nihonggo ga heta...," Denissa menunduk malu karena kemampuan bahasa Jepangnya belum mahir.

Si pemuda baru sadar bahwa Denissa sudah mengatakan sebelumnya. "Insta ga aru?" Ia menanyai apakah Denissa punya Instagram atau tidak.

"I'm following you!!!" Refleks Denissa mengaku sebagai follower si pemuda, dan kembali menunduk karena merasa kembali berbuat memalukan.

"Ok. Jikan ga nai kara, insta kara nihonggo wo oshieru yo! Jya, mata!!!" Pemuda itu mulai berbalik karena merasa sudah tidak ada waktu, tetapi Denissa masih mencerna apa yang diucapkan.

Beruntung sosok pemuda itu belum benar-benar lenyap dari pandangan sampai Denissa baru paham. "Hashimoto Ryota-san, chibaryo!!!"

Pemuda yang rupanya bernama Hashimoto Ryota itu menoleh, karena Denissa menggunakan bahasa Okinawa lokasi dirinya berasal di salah satu perfektur di Jepang.

"He? Chibaryo janai! Arigatou tte koto..."

Hashimoto Ryota tertawa oleh kesalahan konyol Denissa, karena gadis itu menyebut 'chibaryo' dari bahasa Okinawa yang artinya sama dengan 'ganbatte' yaitu 'semangat', namun ternyata maksudnya ingin bilang 'terima kasih' bukan ingin memberi semangat. Ia lalu melambaikan tangan, dan kembali meneruskan langkah.

Denissa masih di tempat, diam terpana meski sosok pemuda berlesung pipit itu sudah lenyap dari pandangan. Termenung tidak menyangka patuh pada ibu untuk pergi dengan paman sekeluarga ternyata ada kejutan yang tidak disangka-sangka. Dipandanginya gantungan kunci dalam genggaman, sebuah gantungan kunci akrilik berupa tokoh fiksi superhero dari Jepang yaitu Cyborium, pernah tayang di TV Indonesia sekitar sepuluh tahun lalu, dan pemerannya adalah Hashimoto Ryota si pemuda Jepang tadi yang baru saja bercakap-cakap dengannya. Bukan hanya karena ia baru saja berbicara sembari melatih kemampuan bahasa Jepangnya, namun memang sudah lama ia menggemari pemuda itu karena memiliki senyuman berlesung pipit yang membuatnya ingin memiliki senyuman seperti itu. Sama-sama berlesung pipit namun senyuman Denissa kerap dikritik oleh ayah ibu dan adiknya yang mengira dibuat-buat. Berbeda dengan senyum berlesung pipit milik pemuda tadi, sangat diyakininya tiap orang pasti menyukai senyum berlesung pipit artis Jepang itu.

Denissa mengembuskan napas ringan, ia tidak ingin merusak pengalaman dan kesan pertama dengan sosok yang digemari. Dengan masih memandang gantungan kunci di tangan seraya senyum bak jatuh cinta, ia membalikkan badan akan kembali pada paman sekeluarga. Senyumnya lenyap dengan rupa terkejut saat dilihatnya sang paman dari jarak cukup dekat ternyata memandang dengan muka datar. Segera Denissa mengondisikan diri saat memangkas jarak dengan paman.

"Kau bicara dengan siapa?"

"Aaa," Denissa bingung bagaimana menjawab, karena bila mengakui baru saja bicara dengan tokoh superhero yang disuka, mungkin akan dicibir mengenai kekanak-kanakkan yang belum hilang.

"Apa yang kau pegang itu?" tanya Paman dengan salah satu telapak tangannya bertengger di bahu sang keponakan. "Dari orang tadi? Hati-hati kau ketemu orang asing...!!!"

"Ayah!!! Berangkat!!!" Aziz si sulung memanggil, sang bunda di belakang turut pula memanggil.

Telapak tangan paman yang tadi bertengger pun menepuk bahu Denissa, paman lalu mendahului sang keponakan seraya berkata, "cepat! jangan ngobrol lagi dengan orang asing!"

Mereka lantas masuk ke barisan para calon penumpang dengan tujuan pesawat yang sama. Denissa bersyukur duduk di samping istri paman, namun saat memulai penerbangan sang paman mengisyaratkan istrinya perihal sang keponakan. Sayangnya sang istri tidak paham, karena untuk berbisik pun mereka tidak duduk di bangku yang berdempetan. Denissa benar-benar sangat tertolong, sehingga tanpa sadar ia nyaris lupa dengan ketakutannya saat dalam pesawat yang sedang terbang. Begitu ingat, segala macam doa dan zikir dilantunkannya di dalam hati dengan memejamkan mata sampai terlelap.

Sekian jam berlalu, istri paman membangunkannya karena pesawat akan mendarat. Bersama dengan para penumpang lainnya, mulai bersiap-siap turun ke bandara dan melewati beberapa hal sampai mendapatkan barang-barang yang dibawa. Denissa menghindari paman, mendekati istri paman agar percakapan yang diduga tidak akan terwujud. Masih ada beberapa kendaraan lagi yang harus dinaiki sampai tiba di lokasi, dan selama itu paman tidak mengungkit apa yang dikhawatirkan Denissa.

Sosok yang dirindukan akhirnya tampak setelah sekian bulan tidak berjumpa, sang ibu untuk pertama kali memeluk Denissa. Sangat disyukuri karena biasanya Denissa yang mengemis pelukan, terutama saat gangguan cemasnya kambuh. Denissa bahkan pernah menyalahi takdir karena dilahirkan dari keluarga yang kaku dan tiada pelukan bila bukan bayi. Bukan karena hal itu semata, ada beberapa faktor yang sudah terakumulasi sejak kecil menjadikan perawatan kesehatan jiwa menjadi bagian yang harus dijalani, tetapi ibu mau memahami dan mempelajari itu.

Setelah meletakkan barang-barang bawaan dan berbincang sejenak, Denissa bermain dengan seekor anak kucing yang dipelihara ibu setelah sebelumnya hanya melihat melalui panggilan video saat sedang di Jakarta. Salah satu adik ibu yang lain pada esoknya mengajaknya melihat sekitar dan menemukan tempat-tempat menarik untuk dituju, sebelum kemudian ia memulai pekerjaan membantu ibu berniaga di kedai makanan. Sesuai apa yang pernah dibicarakan saat Denissa masih di Jakarta, beberapa hari kemudian ia akan berjualan minuman es dari berbagai isian buah karena memang lokasi sekitar yang panas sangat memungkinkan laku keras. Dan ternyata hal itu bukan sebatas kemungkinan semata. Jelang malam minuman habis, ia membantu ibu. Begitu keseharian berlangsung hingga jenuh tiba.

Padahal tiada bosan darinya saat bermain dengan kucing peliharaan ibu, justru dirasakannya bukti dari penelitian yang pernah dibacanya bahwa memiliki binatang peliharaan dapat membantu merawat kesehatan mental. Tebersit belum sempat ke lokasi menenangkan, namun kondisinya sedang baik-baik saja dengan obat-obatan yang masih ada. Suatu malam saat menuju lelap, ia tersadar bahwa ia bukan sedang jenuh melainkan ada hal yang sedang dilupakannya. Begitu hal yang dilupakan itu mencuat dalam benaknya, ia segera meraih ponsel dan membuka akun Instagram, dikunjungi sebuah akun yang sudah terverifikasi. Hanya nama dengan kanji Jepang di layar bagian atas saat ruang percakapan dibuka, dibaca "Hashimoto Ryota".

♡♡♡

Belum ada tanggapan. Denissa mengira tidak perlu berharap lebih. Ia kembali memfokuskan pada keseharian seraya memikirkan kapan bisa ke tempat menenangkan seperti sungai yang landai. Di lain waktu ia merasa jengkel karena kakak ibu di Jakarta menanyakan kemungkinan jodoh Denissa berasal dari tempat perantauan saat ini. Kejengkelannya beralih saat sedang menaikturunkan layar ponsel, menemukan potongan video di Instagram ternyata Hashimoto muncul di acara TV superhero yang bekerja sama antara Jepang dan Indonesia. Tidak hanya itu, pemeran superhero yang dianggap melegenda oleh para penggemarnya itu hadir dalam beberapa acara TV sejenis wawancara.

Senyum kecil terbit di bibir Denissa, setidaknya melihat wajah itu membuat perasaannya membaik. Baru disadarinya mengapa ia tidak terkejut saat Hashimoto tiba di Indonesia dan mereka berjumpa di bandara waktu itu, sebuah kondisi menahan diri agar tidak berlebihan terhadap sosok yang digemari menjadikan Denissa berusaha bersikap wajar.

Tidak disadarinya ibu mengamati, sosoknya pun menghampiri si sulung. "Sedang pikirkan apa? Kok tadi senyum-senyum?"

Denissa agak gelagapan namun untungnya ia pandai mengendalikan diri.

"Apa kamu sudah menemukan yang kamu suka? Paman Razi bilang, kamu ngomong sama cowok di bandara..."

Denissa membelalak menautkan pandangannya pada ibu. Hanya cengiran ia perlihatkan, namun terlihat ganjil di mata ibu.

"Cerita dong..."

Denissa menggigit bibir bawahnya. Mengalihkan pandangan pada ponsel yang bersamaan muncul pemberitahuan. Ia pun membuka pemberitahuan itu meski ada sesal karena telah tega mengacuhkan ibu. Dan alangkah terkejutnya saat membaca dan membuka pemberitahuan itu, nama dengan kanji Jepang itu rupanya membalas pesannya. Denissa membelalak riang, tidak dijauhkannya ponsel saat membalas pesan itu ketika ibu kian mendekat ingin mengetahui apa yang menyebabkan sulungnya begitu riang.

Namun sayangnya bahasa yang digunakan dalam ketikan bukan bahasa Indonesia, wanita itu bersabar menanti putrinya berbagi cerita, karena sulungnya sudah sangat terbuka sejak menjadi pasien dari dokter kesehatan jiwa. Saat sudah mulai kelihatan sulungnya akan berbagi cerita, seorang calon pembeli dengan wajah dan fisik yang menunjukkan bahwa ia adalah orang dari negeri Barat masuk kedai. Menyadari karyawan kedai sedang di toilet, Denissa mengendalikan diri supaya bisa melayani pembeli—yang memang banyak orang bule di sekitar. Selain karyawan yang mantan TKW, ibu sangat mengandalkan sulungnya itu yang paham bahasa inggris.

Setelah melayani pembeli yang tidak hanya satu, bahkan disusul karyawan yang tadi ke toilet, Denissa kembali duduk dekat ibu. Tetapi karena ada karyawan, ia menunda. Ibu paham dengan bahasa isyarat itu. Tetapi hari demi hari berlalu, Denissa belum sempat berbagi cerita. Sementara chatting dengan Hashimoto sangat lancar meski harus bolak-bolak membuka situs penerjemah. Kegiatannya melayani pembeli minuman dagangannya pun disertai dengan senyum riang. Tatkala pandangannya dengan ibu berserobok, wanita yang telah melahirkannya itu hanya melengkungkan sepasang bibir terlihat sangat bersyukur karena sulungnya bisa sangat ramah setelah sebelumnya sempat alami Social Anxiety.

Suatu waktu pada malam jelang tidur, sepasang mata Denissa membola karena Hashimoto akan mengunjunginya sebelum mengunjungi tempat untuk berwisata alam. Dari percakapan tulisan juga diungkapkan bahwa Hashimoto akan mengetes kemampuan berbicara Denissa setelah hanya belajar melalui online. Merasa sudah tidak tahan lagi, ibu pun diberitahunya dari mulai jumpa di Bandara sampai waktu yang dijanjikan akan tiba. Tanggapan baik ditunjukkan oleh ibu, bersedia pula menyanggupi permintaan si sulung untuk tidak sesumbar pada kerabat-kerabat lain terutama yang tinggal di perantauan yang sama.

Menjelang hari yang bisa dihitung jari, Denissa memeriksa obat-obatannya. Pada hari yang dinantikan itu, obat telah habis. Sudah saatnya akan dibuktikannya ucapan dokter kesehatan jiwa di Jakarta bahwa ia akan lepas obat. Namun ia tetap termenung, bila memungkinkan akan adanya kambuh dan tidak bisa ditangani sendiri, maka ia akan menemui dokter kesehatan jiwa setempat. Latihan memantau kondisi diri yang sudah dilakukannya sebelum dinyatakan akan lepas obat pun semakin didalaminya, dipantau pula apa yang melintas atau berlangsung di dalam pikiran terutama yang tanpa disengaja, dan kadang-kadang memutar musik instrumen memancing air mata agar merasa lega, karena sejak kecil hampir tidak pernah menangis demi menjadi kuat—yang padahal hal itu keliru. Tidak lupa, kucing peliharaan ibu memancing perasaan baik-baik dari dirinya.

Satu dua hari berlalu. Denissa hampir melupakan hari yang seharusnya sedang dinantikannya, demi mematutkan diri melatih ketenangan dengan beberapa tindakan baik berupa secara ajaran agama maupun tindakan yang disarankan para pakar kesehatan jiwa di internet. Ia mulai memilih pakaian terbaik. Ibu pun mengizinkannya untuk keluar memenuhi janji temu, saling tukar pesan berlangsung sampai tiba di tempat yang dijadikan janji temu.

Di sebuah pantai yang bebas dikunjungi warga, Denissa merasakan hembusan angin tanpa polusi tidak seperti Jakarta. Teringat masa kecil di kampung pernah ke pantai pula yang juga bebas dikunjungi warga, ia dan para sepupu sebaya berjalan mendekati air laut sampai merasa seolah-olah bumi menggerakkan mereka, yang sampai saat ini Denissa mengira hal itu karena pasir laut yang menurun membuat ia dan para sepupu seolah-olah terseret menuju lautan. Dengan cuaca yang hangat di sore hari ini, Denissa berpikir akan mencoba hal itu lagi, namun panggilan khas padanya membuatnya menoleh.

"Shojo-san!"

"Cyborium-san!"

"He...???" Hashimoto terlihat mengelak karena perannya di televisi menjadi panggilan untuknya.

"Bagaimana? Jauh kah perjalanan kemari?" tanya Denissa, mulai melatih bahasa Jepangnya.

"Jauh sekali... tapi masih lebih jauh tempat wisata yang akan kukunjungi nanti," jawab Hashimoto dengan cengiran kecilnya.

"Apa Hashimoto-san ingin ke pantai karena ingin membandingkan dengan pantai di Okinawa?"

"Tidak. Hahaha!!!"

Sebuah kedai es kelapa lantas mereka kunjungi. Denissa yang memesan dengan bahasa Indonesia, dialeknya yang berbeda dengan warga setempat menjadi obrolan dari sang pedagang es kelapa. Sang pedagang tidak lagi mengajak bicara setelah meletakkan dua bongkah kelapa dengan bagian tangkai yang sudah dipotong berlubang. Denissa dan Hashimoto pun menikmati air kelapa mereka.

"Apa resleting tasmu sudah diperbaiki?" tanya Hashimoto memulai percakapan.

Denissa mengerutkan kening, bingung dengan Hashimoto yang mengarahkan pandangan ke ranselnya. Namun karena ada kosakata yang tidak dimengerti, ia meraih ponsel menuju situs penerjemah. Hashimoto yang paham lantas menunjuk kepala resleting yang terputus dengan gantungan resleting. Denissa yang paham pun menyeringai, gadis itu memutuskan tetap gunakan ponsel bilamana ada kosakata yang tidak dimengerti. "Aku belum sempat memperbaiki..."

Momen Denissa diseret anak kecil yang diduga penggemar Cyborium pun menjadi topik yang dibicarakan. Hashimoto memicingkan mata ketika Denissa mengungkapkan keheranannya mengenai anak kecil itu mengetahui tokoh fiksi superhero Cyborium, padahal tayang pada sepuluh tahun lalu di TV Indonesia.

"Memangnya kau sendiri tau darimana? Mungkin kau dan anak itu tahu dari internet?"

"Aku pernah menontonnya kok langsung di TV Indonesia. Tapi aku tidak ingat waktu itu masih SMA atau sudah lulus."

"Jadi kau...??? Kukira kau anak sekolah..."

"Aku sudah lama lulus," Denissa di balik wajah tenangnya, sedang menahan tawa atas dugaan ke sekian yang selalu mengira ia masih anak sekolah.

"Sungguh? Berarti sekarang kuliah?"

"Sudah lama juga lulus."

Hashimoto memasang rupa tidak percaya, memandang Denissa tidak berkedip. "Berarti kau sudah menikah???"

"Belum!" Denissa mengalihkan pandangan sembari menahan tawa.

Hashimoto masih terdiam dengan wajah masih tidak percaya. "Lalu tahun berapa kau lahir?"

"Aku hanya tiga tahun lebih muda dari Hashimoto-san."

Hashimoto mengejap-ngejapkan mata, jarinya mulai menghitung berhitung. "Tiga puluh tahun??? Tapi wajahmu..."

"Sepertinya efek dari aku rutin makan almond, itu kan salah satu perawatan wajah alami," Denissa menyengir.

"Kau pintar sekali tau hal itu. Ah wajar sih, kau perempuan ya..."

Diam-diam Denissa menahan diri tentang mengapa dirinya rutin konsumsi kacang almond, tidak mungkin berterus terang karena bisa saja akan dianggap curhat. "Hashimoto-san sendiri, bagaimana pakaian yang waktu itu tersangkut oleh gantungan tasku waktu itu???"

"Tidak perlu dikhawatirkan. Bukan masalah besar kok!" Hashimoto kemudian menikmati air kelapanya, diikuti Denissa yang diam-diam masih merasa tidak enak telah merusak pakaian Hashimoto.

"Oh iya, kau muncul ya di serial superhero Indonesia? Aku lihat kau jadi musuh tokoh utama...," Denissa akhirnya menemukan topik untuk meredakan ketidakenakannya.

"Kau menontonnya? Baru kali itu dapat peran antagonis. Haha..."

"Tapi sepertinya dapat peran antagonis itu agak melegakan..."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Tidak ada tuntutan untuk menjadi harapan bagi orang banyak seperti menjadi protagonis, meski dalam kehidupan nyata orang berbuat jahat bisa saja akan dikutuk beberapa orang..."

Hashimoto termangu oleh Denissa yang terdengar sangat paham. "Kau pernah main teater?"

"Waktu sekolah, ada tugas drama. Aku lega banget dapat adegan bertengkar, padahal aku pendiam di sekolah..."

"Pendiam mengaku pendiam?"

"Ya karena mungkin memang aku bukan pendiam. Aku bisa rasakan bahkan punya memori saat kecil aku tidak bisa diam, orang dewasa menyebutku nakal. Dan sepertinya sampai saat ini banyak orang dewasa yang tidak suka dengan anak terlalu aktif. Karena sering dimarahi bahkan dibentak, sejak itu aku berusaha jadi anak baik sampai jadi pendiam."

"Dan ternyata kau tersiksa dengan kondisi itu???"

Bukan menjawab, Denissa justru membelalakkan mata menatap Hashimoto. "Maaf, apa aku banyak bicara? Aduh, aku malah bicara hal yang tidak penting!"

Hashimoto mengulas senyum yang begitu arif, diseruputnya lagi air kelapa sebelum bicara. "Kau tau Matsui Chizuru?"

"Oh... artis Jepang yang jadi artis Indonesia?"

"Sebelum ke sini, aku sempat menonton tentangnya. Katanya di sini boleh berbagi cerita ya?"

"Maksudnya?"

"Ya, dia betah di sini. Karena di sini justru tetap diterima meski keadaan diri sedang tidak baik-baik saja."

"Oooh... itu berkah Tuhan untuknya. Ada juga di sini kurang beruntung kalau butuh untuk berbagi cerita, justru malah dihakimi."

Hashimoto tertegun, dirinya merasa tengah membaca Denissa yang seakan-akan membicarakan diri sendiri bila mengingat tadi gadis itu tidak sengaja terlepas berbagi cerita.

"Di sini orang-orangnya beragam. Jadi tidak bisa disamaratakan baik semua, atau buruk semua. Sepertinya tiap negara begitu."

Hashimoto menggumam sembari mengangguk samar, diam-diam menimbang-nimbang sesuatu dalam benak.

"Hashimoto-san, apa senang di sini?"

"Senang. Orang-orang yang kutemui ramah. Kupikir Matsui Chizuru benar tentang di sini."

"Aku harap kita dipertemukan orang-orang baik, atau setidaknya kita yang jadi orang baik, seperti Fujita Shuichi!"

Nama yang baru saja disebutkan Denissa membuat Hashimoto merasa seakan-akan kembali dituntut. Fujita Shuichi tokoh fiksi yang ia perankan, seorang superhero yang tubuhnya sudah ditanamkan cyborg setelah dijadikan kelinci percobaan oleh ilmuwan jahat. Hal yang menjadi tuntutan baginya bukan sebagai Cyborium yang menentang ilmuwan jahat yang menjadikannya memiliki kemampuan super demi lancarkan aksi kejahatan, melainkan karakter Fujita Shuichi yang sangat humanis sampai meninggalkan kekayaan dari kedua orang tua demi dekat dengan rakyat jelata yang alami kesulitan untuk dibantu. Peran itu benar-benar melekat pada Hashimoto sampai ia merasa tidak nyaman karena dalam kehidupan nyata merasa tidak sebaik Fujita Shuichi. Apa yang dikatakan Denissa mengenai lebih lega mendapat peran antagonis yang tidak memiliki tuntutan dari para penonton, memang benar dirasakannya. "Sepertinya kau sangat menyukai peranku itu ya..."

"Ya, karena aku tidak baik. Jadi aku ingin menjadi baik seperti Fujita Shuichi."

Hashimoto terdiam, mengerutkan kening.

"Ah! Maaf, apa aku kelepasan lagi???"

Hashimoto justru tersenyum simpul, gadis di sampingnya sejak tadi selalu kelepasan curhat.

"Aku minta maaf...!!!"

"Aku justru berharap temanku bisa sepertimu... supaya dia berbagi cerita..."

"Ng?"

"Kau tau Kiritani Toma? Yang menjadi musuhku di serial Cyborium?"

"Ya."

"Aku hampir menjadi sepertinya... dan mungkin sedang sepertinya...," hal yang sempat membuat Hashimoto menimbang-nimbang dalam benak tadi pun diputuskannya untuk ia buktikan.

Denissa, gadis itu menunggu kelanjutan ungkapan Hashimoto yang terdengar menggantung.

"Dia seorang gay. Dan hal itu makin kuat setelah ibunya meninggal."

Denissa menahan napas berat mendengar fakta itu. Sebisanya ia tidak terlihat muram atas yang menjadi fakta Hashimoto saat ini. "Maaf, ayahnya bagaimana?" tanyanya berusaha fokus pada apa yang sedang dibicarakan.

"Ayahnya meninggalkannya sejak kecil demi perempuan lain. Ibunya membesarkannya seorang diri."

Denissa merasa sedikit paham mengenai garis besar dari apa yang dialami Kiritani Toma. Sering menonton seputar kesehatan jiwa di internet, menjadikannya belajar memahami beberapa pola dari penyimpangan.

"Bagaimana pendapatmu?"

"Aku turut prihatin. Dan memang penyimpangan terjadi karena adanya kegagalan membentuk suatu hal yang seharusnya normal."

"Jadi dia tidak normal?"

Agak memberatkan bagi Denissa untuk mengakui. "Ya. Dia tidak normal, dia butuh orang-orang yang memiliki empati untuk membantunya supaya..."

"... tunggu, berarti aku tidak normal???"

Denissa tercenung memandangi sepasang mata yang menanti jawaban itu. "Aku juga pernah tidak normal..."

"Kau???"

Denissa tersenyum getir mengingat pikiran menyimpang yang memang pernah membelenggu jiwanya. "Sejak kecil aku ingin jadi lelaki, kulihat menjadi lelaki itu bebas bahkan dimaklumi kalau bertingkah. Tidak seperti perempuan yang dilarang ini itu, belum lagi disebut lemah. Aku bahkan benci perubahan tubuhku saat alami pubertas. Aku ingin bermain bola dengan laki-laki, tapi aku dipandang rendah karena aku perempuan."

Hashimoto agak menganga mendengar pengakuan gadis berjilbab di sampingnya. Tapi ia tidak berani menatap, selain menunggu gadis itu melanjutkan.

"Tapi aku menemukan di dalam agamaku dilarang menyerupai lawan jenis. Kemudian aku memutuskan menjadi non-biner. Kau tau apa itu? Semacam tidak mau mengakui dirinya masuk gender apa pun meski dia memiliki jenis kelamin yang sudah ditentukan secara fisik. Jadi aku tidak mau dipandang sebagai perempuan, tapi aku juga bukan lelaki. Aku bingung kenapa Tuhan harus menciptakan lelaki dan perempuan? Aku bahkan iri pada kuda laut, haha, karena jantan memang yang mengawini betina, tapi saat akan tiba waktunya melahirkan, ehm, bertelur, jantan yang mendapat tugas itu." Denissa menghimpun napas panjang, meletakkan ponselnya sejenak yang sejak tadi digunakannya bilamana ada kosakata yang ingin dikatakan tapi tidak tahu bahasa Jepangnya—meski beberapa kali bahasa inggris digunakan pula.

"Tetapi," Denissa melanjutkan, "Aku pun menelusuri banyak hal. Agamaku sendiri dan sains. Memang Tuhan menciptakan makhluk dengan keunikan masing-masing. Manusia ternyata beda dengan kuda laut bahkan ikan pari yang bisa menentukan kapan hamil meski telah dikawini jantan. Mengenai agama pun, jujur aku kewalahan menjadi perempuan, bahkan banyak lelaki mengeluhkan perempuan yang sulit dipahami, karena perempuan didominasi hormon yang kerap tidak stabil. Dalam agamaku bahkan dikatakan bahwa perempuan itu ibarat tulang rusuk yang bengkok, hasil penelitian mengenai otak manusia pun ternyata otak perempuan dan lelaki ternyata memang berbeda makanya mereka kerap cekcok. Tapi dalam agamaku juga bilang bahwa yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan orang yang paling baik di antaranya adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya. Dan tentunya, baik perempuan maupun lelaki jangan jadikan pembelaan atas apa yang dikatakan agama maupun hasil penemuan tentang otak. Tuhan Maha Mengetahui kalau kita mau belajar supaya saling mengerti sesama terutama dengan istri atau suami."

Hashimoto yang sejak tadi mengarahkan posisi duduknya ke arah meja, ia mulai menatap gadis berjilbab di sampingnya yang juga menghadap meja. Tiap tutur kata gadis itu terdengar dalam, namun pemuda itu segera ingat mengenai yang ingin ia pastikan. "Lalu bagaimana dengan Toma? Aku kadang berpikir, mungkin ia punya pikiran menyesal atas kelahirannya sendiri, aku bisa melihat itu, karena ia pernah bilang akan membuktikan pada ayahnya yang entah dimana bahwa ia bisa berhasil dengan menjadi aktor, tapi seringkali aku juga melihat dia muram..."

"Kiritani-san ya...," Denissa menggumam. "Kalau aku di posisinya, aku juga mungkin tidak ingin dilahirkan. Dan biasanya pasti akan ada pikiran untuk apa aku hidup. Tapi sepertinya manusia bahkan makhluk mana pun tidak pernah minta dihidupkan, kalau bukan ada yang sedang mengatur dari sebelum kita diciptakan."

"Ada yang mengatur sebelum kita diciptakan???"

"Ya. Kemudian aku akan cari tahu sampai mungkin akan menemukan bahwa hidup masih bisa bermakna. Begitu mungkin kalau aku jadi Kiritani-san."

"Apa yang dimaksud dengan hidup bermakna?"

Denissa tidak segera menjawab, pandangannya menerawang. "Mungkin aku telah menemukan apa itu hidup bermakna. Tapi aku sulit untuk menjawabnya pada orang lain. Apalagi aku masih berproses. Aku masih hidup di dunia, artinya ujian masih akan terus berlanjut. Satu hal yang kusyukuri, agamaku memegang orientasi terhadap proses. Maka aku akan melatih diri supaya sabar demi menemukan tiap pesan yang disampaikan Tuhan melalui beberapa momen atau kejadian."

Hashimoto tergugah memandang Denissa, dan gadis itu turut menoleh dengan senyum yang seperti sungkan. "Kupikir dengan aku menjadi gay, agar bisa menjadi pasangan Toma... adalah pilihan yang tepat. Tapi justru saat berbincang denganmu saat inilah membuatku bersyukur..."

"Bersyukur?"

"Ya, tentang kebersediaan kita agar peka pada tiap pesan dari Tuhan untuk kita dari tiap momen atau kejadian..."

Denissa mengulas senyum, tebersit ingin mengingatkan bahwa Tuhan menciptakan berpasang-pasangan namun ia khawatir nantinya akan ada kesan memaksa yang tidak disadari pada Hashimoto. Namun melihat Hashimoto masih diam tepekur seraya memainkan sedotan air kelapa, ia berusaha mencairkan suasana yang telah menjadi hening. "Tapi aku merasa lucu kalau ingat dulu aku sempat ingin jadi lelaki, namun hanya dengan menonton superhero supaya bisa kurasakan bagaimana menjadi laki-laki—ya meski perempuan pasti ada yang suka menonton tapi kebanyakan lelaki yang suka, bukan?"

"Termasuk menonton Cyborium?"

"Ya. Waktu itu aku masih menolak takdir sebagai perempuan. Tapi seiring aku menelusuri dan mendalami beberapa hal, kesukaanku kuperkuat pada apa yang bisa kutiru dari tayangan Cyborium selagi tidak bertentangan dengan agama."

Hashimoto mengangguk, kemudian terlihat berpikir dan agak ragu akan menanyakan sesuatu. "Apakah agamamu menolak gay dan sejenisnya?"

"Iya." Denissa diam sejenak, merasa saatnya mulai sampaikan hal yang ia tahan. "Karena Tuhan sudah sempurna menciptakan kita berpasang-pasangan."

"Tapi... pernah kau sukai sesama jenis???"

"Meski sejak kecil aku ingin jadi lelaki, sampai kemudian menjadi non-biner... tapi aku masih menyukai laki-laki."

Hashimoto menunjukkan ekspresi bersyukurnya, lalu tersenyum menyeruput kembali es kelapanya. Denissa yang mengamati, memandang heran dengan senyum Hashimoto yang membuat benaknya memunculkan beberapa dugaan termasuk dugaan yang tidak mungkin. Denissa lantas tersenyum mengejek pada dugaan tidak mungkin yang lebih diyakininya. "Tapi saat aku suka Fujita Shuichi, aku meski suka tapi aku juga ingin berpakaian seperti Fujita," Denissa rupanya masih ingin melanjutkan topik itu.

"Contohnya...???"

"Aku ingin punya sepatu seperti Fujita."

"Itu sepatu laki-laki, bukan?"

"Ya namanya juga orang jatuh cinta...," Denissa kemudian mengarahkan badannya kembali pada meja seraya menahan matanya yang nyaris membola karena sudah kelepasan.

"Baiklah, kalau begitu aku akan bilang Toma kalau aku sudah bukan gay lagi," sahut Hashimoto sambil mengaduk air kepala dengan sedotan.

Secepat itu...??? Denissa membatin, namun tetap berusaha agar tetap terkendali. "Apa kalian tadinya bersahabat?"

"Ya. Tiap habis shooting setelah adegan bertarung, sering terluka sungguhan oleh serangan masing-masing. Dari kekhawatiran, kami menjadi dekat, bersahabat, dan malah menyimpang..."

"Menyimpang karena tidak tega dengan Kiritani-san ya..."

"Ya, aku telah keliru."

"Lalu bagaimana Kiritani-san nanti kalau Hashimoto-san benar-benar akan bilang berhenti menjadi gay...???"

"Mungkin aku akan dianggap tega...??? Tapi aku akan berusaha mencari perempuan untuknya!" Hashimoto mengembangkan senyumnya pada Denissa.

Denissa mengangguk senyum, turut berharap kebaikan pada Kiritani Toma.

Mereka menjeda percakapan saat Denissa meminta pedagang es kelapa supaya air kelapa yang tinggal sedikit, beserta daging kelapa agar dipindahkan ke gelas, Hashimoto pun ingin pula seperti itu, Denissa pun membantunya agar bicara pada pedagang es kelapa. Topik mengenai Cyborium dan beberapa hal di dalam serial itu menjadi percakapan. Hashimoto memberikan gelang-gelang berbahan kulit sintetis miliknya ketika gadis yang sejak tadi diperhatikannya juga memiliki lesung pipit, ternyata tidak hanya ingin memiliki sepatu Fujita tetapi juga gelang milik Fujita.

"Sekarang gelang Fujita menjadi milikmu."

Denissa menerima gelang-gelang itu dengan wajah sumringah. "Kau benar akan memberikan ini untukku? Pasti berkesan banget bagimu karena gelang-gelang ini turut serta dalam debut pertamamu..."

"Tapi aku tidak bisa berikan sepatuku untukmu, karena pasti ukurannya beda. Dan aku juga tidak menggunakannya sejak berangkat ke Indonesia."

Denissa tertawa kecil, tapi kemudian mengangkat tinggi-tinggi gelang-gelang yang diterimanya. "Ngomong-ngomong ini gelang laki-laki, bukan?"

"Benar juga ya..."

"Walau begitu, terima kasih, Fujita-san!"

Mereka menandaskan air kelapa beserta daging kelapanya. Saat mulai membayar, pedagang es kelapa yang diam-diam menyimak, tidak tahan ingin tahu bahasa apa yang sejak tadi didengarnya. Dan ia terkejut karena salah satu pembelinya rupanya orang Jepang, meski dari wajah sudah ketahuan bahwa Hashimoto bukan penduduk pribumi.

Hashimoto sempat mengungkapkan ingin melihat matahari terbenam sebelum akan beranjak. Akan tetapi Denissa mengatakan bahwa janjinya pada ibu agar pulang sebelum langit mulai gelap. Tidak masalah bagi Hashimoto, tetap menyenangkan baginya saat tengah pulang bersama, terlebih ketika gadis itu minta maaf karena dimintai untuk rahasiakan janji temu dengan seorang tokoh publik, tetapi gadis itu merasa tidak berani tidak berterus terang pada sang ibu. Hashimoto memaklumi karena gadis itu hanya sedang menjadi anak baik bagi ibunya.

Diam-diam rencana akan menjejaki kaki ke wisata alam menjadi hal yang tidak perlu dilakukan Hashimoto karena mengenal Denissa sudah lebih dari cukup baginya, walau kedua hal itu tidak bisa untuk dibanding-bandingkan.

♡♡♡

Pemuda berlesung pipit itu memang sempat berpikir untuk tidak menjejaki pulau yang dikenal dengan keindahan lautan hijaunya. Namun ia mulai menimbang-nimbang untuk meyakinkan apa yang sebenarnya berlangsung di dalam benak, pikiran bahkan jiwanya. Dan memang, tiba di pulau itu tidak dilupakannya menyimpan tiap pemandangan yang menarik mata. Dengan seorang penerjemah dan seorang pengendara kendaraan laut, dinikmatinya kehidupan laut bening di bawah sana. Tetapi saat memeriksa momen-momen ia simpan dalam kamera, teringat percakapan seru dan mendalam mengenai sangat berkemungkinan ada yang menciptakan alam indah ini jauh sebelumnya.

Memorinya memutar mundur pada jumpa pertama, gadis yang dipanggilnya 'Shojo-san' tetap terlihat tenang dan wajar meski sedang bertemu bahkan berbincang dengan sang tokoh yang digemari. Saat akan berpisah dari sehabis menikmati air kelapa pun gadis itu tidak meminta foto sebagaimana seorang penggemar. Ia merasa tidak menyesal saat sengaja menunggu gadis itu mencari gantungan kunci Cyborium, sikap tenang dan wajar itu yang membuatnya menoleh. Padahal ransel gadis sangat menunjukkan sekali sosok seorang penggemar yang bisa dikatakan berat. Sebuah stiker berupa logo Cyborium, membuat perasaan muramnya kala itu teralihkan.

Momen saat pakaiannya tersangkut ujung tajam bagian resleting yang patah dari gadis itu lantas terkembang dalam benak. Pemuda itu memandangi telapak tangannya yang sempat meraih pergelangan tangan mungil sosok yang sempat dikiranya masih anak-anak. Dengan masih tidak menyadari dengan apa yang sedang terjadi di dalam jiwanya, ia menghubungi gadis itu melalui chatting setelah sebelumnya tiada saling bertukar pesan sejak tiba di lokasi wisata alam. Ia mengatakan ingin belajar bahasa Indonesia, dan hal itu terus berlanjut sampai pulang ke Jepang. Akan tetapi begitu tiba di apartemen, hal yang sempat membuatnya muram kembali dihadapinya.

Seorang pria dengan rambut panjang diikat dan berpakaian seperti perempuan, menyambutnya. "Ryo-chan, kenapa kau tidak berkabar akan pulang?" Nada bicaranya pun dilembut-lembutkan.

"Toma...," Hashimoto menahan napas, namun terlihat oleh Toma seperti orang yang sesak. Perasaan miris mengungkung batinnya bila mengingat sosok di depannya yang rupanya adalah Kiritani Toma begitu garang saat berakting di depan kamera, jauh berbeda dengan saat ini. "Maaf, aku harus kembali ke apartemenku..."

"Ryo-chan, ada apa?"

"Aku... aku punya kekasih lain!" Terpaksa Hashimoto berbohong, dan memutar arah akan meninggalkan Toma.

"Ryo-chan, tunggu!" Toma yang tidak paham lantas akan akan menghentikan langkah Hashimoto, namun Hashimoto lebih dulu menghentikan langkahnya sendiri dan membalikkan badan.

"Kau tidak perlu menungguku! Kita harus kembali kepada Tuhan yang menciptakan kita berpasang-pasangan!!!"

"Berpasang-pasangan?"

"Kita laki-laki, maka pasangan kita perempuan!"

Air muka 'keibuan' Toma berubah, terkejut dan kecewa bahkan geram tengah bersatu dalam relung batinnya. "Apa maksudmu?"

"Toma, aku tidak mungkin akan menikahimu! Dan kau yang menjadi perempuan? Lebih baik aku mencari perempuan lain untukmu!"

"Tunggu, Ryota!" Suara Toma kembali menjadi sebagaimana suara asli laki-laki. Bahkan tiada lagi embel-embel 'chan' saat menyebut Hashimoto sebagai bentuk panggilan sayang.

Hashimoto berdecak, kembali bergegas menuju apartemen yang sudah beberapa minggu lalu ditinggalkannya. Ia berusaha untuk tidak terlampau peduli pada Toma. Sesampainya di apartemen dengan menggunakan taksi, ia menghidupkan lampu dan menghempaskan tubuh ke sofa. Tepekur, benaknya menampilkan Toma yang sempat sangat tidak baik-baik saja setelah ditinggal mati sang ibu, bahkan berulang kali mengutuk sang ayah. "Tidak, bukan begitu seharusnya caraku menolongmu!!!" Hashimoto mengutuk diri yang bersedia satu atap dengan Toma sampai berpacaran.

Ia memejamkan mata dengan mengembuskan napas berulang kali, bersyukur sekali pihak agensi mengabarkan ada proyek bekerja di Indonesia, sampai jumpa dengan Denissa terjadi. Memang benar kata gadis itu, Toma butuh bantuan. Dan penyimpangan bukan hal yang dibenarkan. Dengan berat hati meski khawatir dengan kondisi Toma yang bisa memburuk, akan diupayakannya untuk menghindar dalam waktu ke depan.

Kegiatan di dunia hiburan tetap dijalani. Percakapan dengan sosok Shojo-san masih dilakukan sebagai pereda kekhawatiran terhadap Toma. Suatu kali bertemu dalam acara TV, Hashimoto dan Toma saling membuang muka namun tetap terlihat profesional supaya tidak diketahui kru atau rekan artis. Mereka secara simbolis ikut tertawa saat ada yang mengungkit momen mereka di serial superhero Cyborium yang seakan-akan melegenda, tapi kemudian tiada komunikasi di baliknya, bahkan saling berusaha menjauh.

Ya, Hashimoto mengira tiada komunikasi di baliknya. Dan ia tetap mencari kesempatan untuk chatting dengan Denissa. Tidak disadarinya Toma mengamati dengan ekor mata. Pria yang selalu menguncir rambut panjangnya itu mulai mengikuti Hashimoto pulang ke apartemen, dan ternyata Hashimoto menyadari itu tepat begitu tiba di lingkungan apartemen.

"Untuk apa kau mengikutiku?" Hashimoto membalikkan badan, menatap tatapan khas Toma yang biasa ditampakkan saat berperan sebagai tokoh antagonis.

"Aku hanya ingin tahu perempuan mana yang sudah membuatmu sok bijak mengatakan 'Tuhan menciptakan kita berpasang-pasangan'..."

"Memang benar, kan? Laki-laki berpasangan dengan perempuan. Kalau semua manusia akhirnya menjadi penyuka sesama jenis, bagaimana kehidupan manusia berlangsung?" Diam-diam Hashimoto terkejut sendiri oleh apa yang diucapkannya.

"Kehidupan manusia? Untuk apa kau memikirkan itu? Untuk apa hidup kalau ada kesengsaraan di dunia ini?!"

Hashimoto menyipitkan mata mendengar jeritan jiwa yang tersirat dari pertanyaan Toma. Ia tidak segera menjawab, namun mengingat Denissa yang selalu didapatinya hal-hal yang memukau jiwa, ditanggapinya jeritan jiwa Toma. "Kesengsaraan ada supaya ada dari manusia beruntung lain yang mau menolong. Bukankah begitu dalam serial yang pernah kita mainkan dulu?"

"Itu fiksi. Lagipula tidak semua manusia beruntung mau menolong. Dan aku, tidak butuh pertolongan mereka! Ryota, apa jangan-jangan kau masih terbawa peranmu sebagai Fujita Shuichi?"

Hashimoto tidak menjawab, ia memandang Toma dengan wajah agak menunduk. "Memang sulit untuk bisa dipahami bagimu yang masih merawat luka di dalam jiwa. Lebih baik kau pulang. Aku mau istirahat."

"Ryota! Aku akan terus memantaumu sampai aku melihat langsung kekasih barumu itu!"

"Aku juga harap kita berdua bisa bertemu dengannya nanti."

Hashimoto terus melangkah memasuki gedung apartemen, sedangkan Toma berdecak mengepalkan tangan.

Mereka tetap beraktivitas pada esoknya dengan kegiatan masing-masing. Sebagaimana yang sudah dikatakan, Toma selalu membuntuti dalam beberapa kesempatan. Hashimoto yang menyadari hal itu tidak merasa terganggu. Pemuda berlesung pipit itu di selain jam kerjanya disibukkan mencari sesuatu yang akan dibelinya bila nanti menemui Denissa lagi. Teringat sosok Shojo-san itu menginginkan sepatu yang dikenakan Fujita Shuichi yang diperankannya dulu, ia kemudian ke toko sepatu di sebuah mall. Pelayan toko sudah beramah tamah melayani, namun disadarinya ia tidak tahu ukuran kaki gadis itu.

Waktu terus berjalan, pemuda berlesung pipit yang selalu kenakan masker untuk menyembunyikan identitasnya sebagai artis benar-benar tidak mempermasalahkan Toma yang masih membuntuti, yang artinya pria berambut panjang itu tidak teringat pada momen terpuruk. Namun resah justru menyelimuti karena sosok Shojo-san tidak lagi membalas pesannya selama beberapa hari. Resahnya menjadi khawatir setelah diperiksanya bahwa gadis itu bahkan tidak lagi mengunggah ruang Instagram Story sebagaimana biasa dilakukan, membuatnya terdorong ingin menemui gadis itu.

Persis setelah pihak agensi mengizinkannya untuk cuti dengan alasan berlibur, Toma menghampiri dengan wajah geram. "Ryota, kau mempermainkanku ya? Mana kekasihmu itu?!"

"Kau ingin melihatnya?" Hashimoto memandang dingin Toma.

Toma mengerinyitkan kening karena merasa ada tantangan tersirat dari pandangan dingin Hashimoto.

"Kalau begitu, kita berangkat besok ke Indonesia."

Toma diam mematung, tidak menyangka ternyata Hashimoto menjalin hubungan dengan gadis yang tidak sebangsa. Sebuah tiket pesawat diterimanya pada esok hari, dan pada esok itu pula ia dan Hashimoto terbang ke luar Jepang. Tidak ada percakapan darinya, terlebih wajah Hashimoto kelihatan memendam adanya sesuatu yang dikhawatirkan.

Sembilan jam dalam penerbangan, ternyata masih dilanjutkan lagi dengan pesawat selanjutnya. Toma mengungkapkan keheranannya, Hashimoto lantas menjawab bahwa memang Indonesia negeri kepulauan yang luas, sedangkan lokasi tujuan jauh dari ibukota. Tidak ada pertanyaan lagi ketika mereka harus pula menaiki kapal sampai benar-benar tiba. Masih harus menaiki kendaraan darat, mereka akhirnya memasuki sebuah kedai makanan pada sore hari.

Seorang karyawan akan melayani, Hashimoto masih ingat wajah itu. Dadanya cukup berdebar saat mulai gunakan bahasa Indonesia, padahal sejak tiba di Indonesia ia sudah membuat Toma terkagum-kagum pada kemampuannya dalam berbahasa Indonesia meski masih terbata-bata. "Ada Denissa? Saya teman janji temunya beberapa waktu lalu. Sudah lama sih..."

"Oh? Temannya Denissa?" Wajah karyawan itu berubah muram. "Denissa sedang dirawat di rumah sakit."

Napas Hashimoto tertahan, resahnya terbukti. "Dia sakit apa?"

Seorang pria keluar dari ruangan yang lebih dalam dari kedai, ia mulai menghampiri karyawannya yang terlihat tidak melayani dua orang yang dikiranya pembeli. "Ada apa, Ita?"

"Ini, Pak. Teman Denissa."

Pria yang merupakan Paman Razi itu mengamati Hashimoto seperti mencurigai. "Ada apa?"

"Maaf, Denissa sakit apa?"

"Maaf, kalian teman Denissa darimana ya?"

Hashimoto memaparkan tentang jumpa pertama di bandara sampai janji temu di pantai. Paman Razi pun menunjukkan rupa terkejutnya, ingat saat sang keponakan bicara dengan orang asing. Tetapi sesuatu di benaknya membuat rupa itu menjadi kecut.

"Ikut saya kalau ingin lihat kondisinya!"

Hashimoto cukup terkejut diizinkan melihat kondisi Denissa, sedangkan Toma yang sejak tadi hanya diam, merasa mengerti dengan situasi yang berlangsung bila melihat raut wajah Hashimoto dan Paman Razi. Dengan tiga ojek pangkalan, mereka melaju menuju rumah sakit.

"Jangan tanya saya Denissa sakit apa, kau bisa tanya ibunya," ujar Paman Razi begitu ojek menurunkannya di depan rumah sakit. Hashimoto mengangguk, sementara Toma memilih jalan di belakang Hashimoto dan mulai paham bahwa rumah sakit yang sedang dituju.

Tiada percakapan selama Paman Razi mencari kamar inap Denissa. Setelah ia menemukan, dibukanya pintu kamar itu seraya berkata pelan, "ini kamarnya." Ia masuk lebih dulu dan bicara pada seseorang di dalam. "Kak Saidah, ada teman-teman Denissa."

Seorang wanita yang disebut 'Kak Saidah' menoleh, terlihat merasa asing dengan kehadiran dua pemuda bertubuh menjulang, tetapi agak cukup lama saat memandangi wajah Hashimoto. Kemudian ingat, pemuda yang kelihatan lebih berwajah oriental daripada teman di belakangnya itu memang pernah ke kedai karena Denissa yang mengenalkannya sebelum pemuda itu pamit akan berwisata ke pulau lain.

"Saya Hashimoto Ryota. "

"Sudah bisa bahasa Indonesia ya? Maaf saya tidak ingat namanya, meski Denissa pernah bercerita tentangmu."

Hashimoto tersenyum lega. Hampir dilupakannya sosok yang selalu melangkah di belakang punggungnya, ia pun mengenalkan Toma. "Dia tidak bisa bahasa Indonesia."

"Oh begitu," wanita keibuan kemudian mengizinkan Hashimoto melihat kondisi Denissa.

"Shojo-san...???" desis Hashimoto tatkala jaraknya begitu jelas mendapati Denissa terbaring memejamkan mata dengan selang infus di tangan dan perban dengan noda darah di balik jilbab. Toma turut pula ingin melihat, ia terlihat sama lemasnya dengan Hashimoto.

"Ibu akan bangunkan Denissa ya," Saidah berkata, dan akan melakukan apa yang dikatakannya tetapi urung karena Hashimoto menanyakan sesuatu.

"Jadi dia tidak sedang pingsan?"

"Dia sudah sadar setelah beberapa jam dirumahsakitkan."

"Sudah berapa hari dia dirawat?"

Saidah tidak lekas menjawab, wanita itu justru menundukkan pandangan.

"Bu, apakah Denissa baik-baik saja?"

Terdengar Razi yang sejak tadi mengamati, berdecak seraya membuang muka dari pandangannya pada Hashimoto dan Saidah. Ia menjadi perhatian sesaat, lalu melenggang keluar seperti tidak mau lagi lanjut mendengarkan.

Hening menyeruak di dalam kamar inap itu. Gusar mulai menyerang Hashimoto atas sikap Razi yang seperti menunjukkan suatu hal yang tidak beres. Saat Saidah mulai menguatkan diri untuk menjawab pertanyaan, gadis yang tengah terbaring di ranjang mulai menunjukkan gerak menuju sadar.

"Denissa?" Saidah mendekatkan wajahnya pada putrinya yang sudah membuka mata menatapnya.

Hashimoto dan Toma membiarkan percakapan ibu dan anak akan berlangsung. Tetapi sama sekali tidak ada yang keluar dari mulut gadis itu memandang wajah sang ibu. Dan terlihat, sang ibu juga menunggu putrinya mengeluarkan sepatah dua patah kata. Namun kemudian, terdengar hembusan napas dari sang ibu seraya membelai lengan putrinya.

"Denissa mau minum?"

Memang cukup menguji kesabaran, Denissa justru membuang muka.

Saidah menarik napas secara perlahan, ia tetap tidak menjauhkan wajahnya dengan sang putri. "Ada temanmu yang dari Jepang waktu itu!" bisiknya.

Tidak ada tanggapan dari Denissa, tatapannya begitu hampa. Saidah terlihat menahan iba di mata Hashimoto yang ikut pula terbawa suasana meski masih belum jelas baginya ada apa dengan sang Shojo-san. Saidah kemudian menegakkan tubuhnya yang sempat membungkuk demi mendekatkan wajahnya pada Denissa, ia mengisyaratkan pada Hashimoto untuk mengajak bicara Denissa.

"Shojo-san...???" Hashimoto menjeda sejenak demi melihat reaksi dari Denissa, namun gadis itu tidak bergeming. Sekali lagi, pemuda itu kembali berbisik, "Shojo-san... ini aku, Hashimoto. Fujita Shuichi."

Hashimoto menanti, pun Saidah. Pemuda itu menundukkan wajah seperti putus asa, ia menolehkan pandangan pada Toma, namun hampir lupa olehnya Toma pasti tidak mengerti percakapan yang sejak tadi berlangsung.

"Shojo-san?" Toma mengerutkan keningnya pada Hashimoto.

"Begitu sebutanku untuknya sejak pertama kali bertemu...," jawab Hashimoto dengan pandangan kembali pada Denissa.

"'Shojo-san'?" Sang gadis akhirnya mengeluarkan suaranya, Saidah dan Hashimoto membulatkan mata yang tersirat syukur di baliknya.

"Shojo-san...???"

Secara perlahan, Denissa menoleh pada Hashimoto. Pandangannya seakan-akan memeriksa apa-apa ada di wajah pemuda itu. Senyumnya pun terbit walau nyaris tidak terlihat, dan kembali tersenyum saat melihat sosok Toma.

"Aku datang bersama Toma," Hashimoto turut pula melengkungkan sepasang bibirnya. Dan tanpa ia ketahui, sepasang lesung pipitnya telah menjadikan senyum Denissa semakin lebar dan tidak hanya bertahan dalam sekejap.

"Aku suka gelangmu." Denissa menunjukkan pergelangan tangannya yang dihiasai gelang-gelang dari Hashimoto. Namun dari sini, ia mulai bicara tidak tentu arah.

Hashimoto yang tetap mendengarkan Denissa, berusaha menahan perih di batin. Hal sama dirasakan Saidah, wanita itu menitikkan air mata. Sedangkan Toma, yang mulanya ingin berempati setelah membaca suasana, ia justru harus mendongak demi menahan air mata yang membendung, yang tetap saja airmatanya mengalir.

Sekian menit Saidah membiarkan putrinya bicara yang hanya ditanggapi senyum iba oleh Hashimoto, Razi tak lama kemudian masuk mengingatkan jam besuk.

"Ayo! Kalian tidak mungkin tidur di sini!"

Hashimoto mengangguk pada Razi. Ia menunduk sejenak sebelum mengangkat wajah akan pamit pada Saidah.

"Datanglah besok, ibu akan beri tahu."

♧♧♧

Di sebuah hotel, mereka kembali satu kamar. Hashimoto termenung. Sementara Toma, ia lupa dengan ketidakterimaannya mengenai sosok kekasih baru dan sudah tidak tahan bertanya.

"Ryota, apa yang terjadi dengan kekasihmu?"

Hashimoto berdecak sebagai jawaban, namun seperti bukan sedang kesal pada Toma, terlihat dari pandangan muramnya yang menunduk.

"Oy, kenapa kau malah seperti kekasihmu juga? Bagaimana dia akan sembuh kalau kau begini juga?"

Hashimoto menoleh, menyunggingkan senyum pada Toma tapi kemudian airmatanya mengalir.

"Oy!" Toma rupanya terbawa pula membulirkan air mata.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Makanya ibunya tadi bilang supaya besok ke sana lagi."

"Andai aku mengerti apa yang kau bicarakan tadi dengan mereka."

"Kau sendiri, kenapa tadi menangis?"

Toma membuang muka dengan pandangan seperti mengais jawaban di bawah. "Aku... teringat ibuku saat diopname."

"Toma, maafkan aku telah membawamu menemuinya dengan kondisi begitu."

"Kau juga tidak tahu kan kondisinya akan begitu? Lagipula aku yang harus minta maaf karena tadi kukira kau seorang pedofil..."

"Apa maksudmu?"

"Kekasihmu seperti di bawah umur..."

Hashimoto tidak mampu menahan tawa gemasnya. "Memang dia begitu modelannya, dia sudah tiga puluh tahun loh..."

"Apa? Berarti aku tidak salah kira ya saat lihat ibunya, kupikir memang mereka sudah begitu secara turun temurun...???"

"Sudahlah, sekarang kita istirahat. Besok aku harus tahu dia kenapa."

Hashimoto mulai menarik selimutnya, namun melihat Toma yang tidur ke ranjang lain, agak lega dirasakannya karena Toma mungkin memahaminya yang sudah 'berkekasih seorang perempuan'. Tetap ada harap lebih darinya agar pria blasteran itu kembali menjadi laki-laki normal yang menginginkan wanita.

Terlalu awal untuk tidur, Hashimoto mematikan lampu utama kamar dan menghidupkan lampu tidur. Mulai lelap.

Sesuai jam besuk yang sudah diketahui, mereka bangun dan berusaha bersikap wajar. Upaya untuk bersikap wajar sedikit luntur begitu mereka sudah tiba di rumah sakit dan memasuki kamar inap. Denissa belum bangun, dan memang begitu sejak diopname selalu bangun jelang siang. Demikian Saidah memberi tahu dua pemuda yang kembali menengok putrinya.

Penyebab Denissa dirumahsakitkan terungkap, sikap wajar Hashimoto yang baru sedikit luntur semakin luntur. Sosok Shojo-san rupanya selama ini sedang jalani perawatan kesehatan jiwa. Dari dokter di Jakarta dikatakan bahwa Denissa akan lepas obat. Denissa pun mencoba untuk benar-benar lepas obat, namun gejala kambuh justru kembali dirasakan beberapa hari setelah obat-obatan habis. Gadis itu tetap berusaha untuk memberi sugesti diri dan lakukan beberapa upaya untuk tetap tenang. Akan tetapi kedatangan ayah dan adiknya yang menyusul dari Jakarta setelah ayah mengurus kepindahan sekolah sang adik, membuat kondisinya memburuk.

Tidak hanya cekcok dan persitegangan yang memang kerap terjadi antara ayah dan adik, kala itu ayah yang kian meradang mulai merusak sekitar bahkan melempar kucing piaraan ibu hingga ke jalanan dan terlindas kendaraan yang melaju cepat. Denissa yang sudah berusaha menahan diri meski kambuh berupa sesak yang berasal dari gangguan cemasnya kian menguat, menjerit menyebut ayah. Ia dan adik berlari ke jalanan melihat kematian binatang yang sudah terlanjur disayang. Namun ini bukan perkara binatang semata, sikap ayah yang kerap melewati batas membuat Denissa terpicu. Dengan air mata, ia mengamuki ayahnya pertama kali setelah sejak kecil hanya diam demi menjadi anak baik yang diinginkan. Ibu yang sudah dari sejak persitegangan antara ayah dan si bungsu berusaha melerai namun tidak dihiraukan, gadis itu juga seperti tidak mampu mendengar ibu yang berusaha menghentikannya. Turut pula menghancurkan barang sekitar sebagaimana pernah dilakukan ayah sejak kecil, kalap menguasai hingga kesulitan bernapas. Tubuh itu kehilangan kendali, kemudian oleng dan kepalanya terbentur ujung meja.

Darah mengucur di kepala. Denissa kehilangan kesadaran. Dilarikan ke rumah sakit. Untungnya tidak lama untuk siuman, namun dimulai dari sadar itu ia hanya memasang wajah muram dan pandangan kosong. Enggan makan kecuali dokter dan perawat mengatakan akan memasang selang yang menghubungkan dari hidung ke lambung sebagai saluran makanan yang sudah dihancurkan seperti jus.

"Maaf, bu...," Hashimoto mulai bertanya setelah Saidah tampak selesai memaparkan. "Apakah ayah Denissa tidak tahu kondisi Denissa?"

"Sudah tahu. Tapi tidak paham... dan tidak mau belajar...," Saidah menarik napasnya begitu mendalam. "Padahal dokter bilang Denissa akan lepas obat... tapi karena kejadian ayah dan adiknya waktu itu, beginilah dia sekarang. Namun... baru kemarin dia banyak bicara dari sejak siuman, meski melantur. Ibu pikir kau bisa membantunya menjadi lebih baik kalau melihat kemarin, tapi sekarang kau sudah tahu keadaan yang sebenarnya."

Hashimoto mengulas senyum arifnya, memandang Saidah yang sejak tadi menunduk agar mengangkat pandangan. "Bu, Denissa sudah membuka hati saya... saya kemari memang ingin bertemu dengannya... tapi dengan keadaan dia seperti sekarang, saya pikir ini saatnya saya membantu dia..."

Saidah menyipitkan matanya pada Hashimoto, mulai menanyakan hal yang sebenarnya mengganjal batinnya sejak kemarin. "Memangnya apa yang Denissa perbuat? Dan... sebenarnya kalian ada hubungan apa...???"

Tatapan lembut Hashimoto berubah seketika, terlihat oleh Saidah pemuda itu menahan gelagapan. "Saya..."

Saidah menunggu, pun Toma di samping Hashimoto turut curiga dengan bahasa tubuh Hashimoto meski masih tidak dipahaminya percakapan di depannya.

"Saya dan Denissa hanya bertukar pesan untuk belajar bahasa kami. Dalam beberapa obrolan, ada yang membuat saya tersadar pada beberapa hal. Dan mungkin saatnya sekarang saya harus mengakui setidaknya pada diri saya sendiri bahwa saya telah jatuh cinta pada putri ibu...," Hashimoto merasa lega bisa mengungkapkan meski degup dadanya terasa tidak karuan.

Saidah terdiam, pandangannya seolah terpana pada Hashimoto. Tapi sama seperti Razi sang adik, air mukanya berubah. "Tapi dengan kondisinya saat ini..."

"Saya ingin tetap membantunya, bahkan untuk seumur hidupnya."

"Seumur hidup?"

"Maaf, mungkin ini terlalu cepat. Tapi... cinta bisa memulihkan jiwa yang terluka, kan?"

"Kau serius dengan ucapanmu?"

"Iya, saya bahkan bersungguh-sungguh," Hashimoto merasa tidak mungkin berterus terang mengenai dirinya yang tersadar untuk tidak menjadi gay.

Senyum keibuan terulas, Saidah tidak mampu menyembunyikan harunya. "Terima kasih...," wanita itu terhenti karena kesulitan menyebut nama Hashimoto.

"Ryota, panggil saya itu saja."

"Baik. Terima kasih, Ryota." Saidah lalu menoleh pada Toma, Hashimoto lalu mengenalkan dengan panggilan Toma.

Kondisi Denissa lantas diterangkan oleh Hashimoto pada Toma. Tanpa diminta, selama beberapa hari Toma ikut serta membantu agar kondisi Denissa memulih. Namun sayang, karena tidak sedang cuti, pria gondrong itu harus kembali ke Jepang karena pihak agensi menghubungi.

"Aku nanti akan minta cuti supaya bisa melihat calon adik iparku sembuh."

Rasa haru terpancar pada rupa berlesung pipit Hashimoto saat Toma berkata demikian sebelum pamit.

"Tapi kabari aku kalau kalian menikah lebih dulu bila aku tidak dapatkan cutiku!"

Mereka berpelukan dengan perasaan kembali sebagai sahabat. Toma melarang Hashimoto mengantar ke bandara supaya tetap membantu Saidah demi Denissa.

Dalam membantu kondisi Denissa supaya ada perkembangan, Hashimoto lebih sering diizinkan membantu bicara supaya terarah. Selain itu ia keluar kamar inap dan mencari seputar perempuan muslim di internet, karena sang Shojo-san tidak melepaskan jilbab terlebih Saidah mengatakan mengenai dirinya bukan mahram. Ajaran terhadap perempuan muslim pun didapatinya, dan berlanjut pada ajaran-ajaran Islam lainnya yang kerap membuatnya tertegun. Percakapan dengan gadis itu pun muncul dalam benaknya, mengenai pesan tersirat Tuhan dari setiap momen dan kejadian. Semakin kuat pemuda itu meyakini bahwa ia tidak terlalu cepat membicarakan perasaan pada ibu sang gadis. Padahal mulanya ingin mengetes gadis itu bila berbagi cerita mengenai Toma, justru menghantarkannya pada perasaan jatuh cinta yang sungguhan.

Waktu kian bergulir, Denissa akhirnya bisa diajak bicara tanpa melantur. Namun masih tetap butuh latihan lagi, karena raut wajah gadis itu seperti belum terhubung benar dengan apa yang sedang dibicarakan.

Suatu hari setelah dokter memeriksa Denissa, gadis itu memandangi Hashimoto dengan tatapan seperti anak kecil. Hashimoto pun mengangkat kedua alismatanya mengisyaratkan sedang bertanya.

"Apa kau tidak dicari ayah ibumu?"

"He?" Hashimoto menahan tawa. "Untuk apa? Aku baik-baik saja."

"Tapi kau lama di sini. Kiritani-san sudah pamit..."

Pandangan Hashimoto membola, karena mengira Denissa benar-benar sedang dikuasai kehampaan saat gadis itu melihat Toma. "Kau tau ya?"

Denissa tidak menjawab, tatapan seperti anak kecil itu menunduk seperti sedang berpikir. Gadis itu lalu kemudian kembali memandang Hashimoto. "Hashimoto-san, apa yang kau lakukan di sini?"

Hashimoto menahan getir batinnya, ia merasa Denissa belum benar-benar terarah.

"Memalukan sekali kondisiku saat ini, jauh berbeda dibanding saat kita bicara sambil minum air kelapa waktu itu..."

Wajah Hashimoto terasa menegang, karena Denissa tidak sedang melantur. "Berbeda?"

"Saat itu aku seperti orang pandai bicara yang bijak. Tapi sekarang...," Denissa tidak meneruskan bicaranya, sorot matanya yang memandang sembarang pada satu arah terlihat menerawang.

"Shojo-san, apa yang kau bicarakan itu? Kau sedang tidak baik, maka aku akan membantumu. Sebagaimana kau pernah bilang bahwa Toma butuh orang yang berempati untuknya...," tutur Hashimoto, berusaha menekuk kakinya agar pandangannya sejajar dengan Denissa.

"Kiritani-san...???" Denissa agak menoleh namun menghindari pandangan yang bertautan. "Apa kau sudah katakan sesuatu padanya...???"

Senyum berlesung pipit itu tersimpul, Hashimoto mengangguk. "Dan sepertinya dia akan berhenti juga menjadi gay..."

Denissa masih berusaha tidak menoleh, mengerutkan kening mengenai Toma. "Bagaimana kau berpikir begitu?"

"Karena dia...," Hashimoto menggigit bibirnya, agak sungkan meneruskan. "Karena dia melihat kita."

Denissa hampir menoleh pada tatapan teduh itu, tapi segera ia palingkan. "Kita...???"

Momen dari sejak pulang ke Jepang dipaparkan Hashimoto dengan hati-hati, cara bicaranya lalu terdengar takut-takut saat kembali ke Indonesia sampai mengenai perasaan terhadap sang Shojo-san pada sang ibu.

Denissa sudah refleks menoleh, matanya membola. Sosok yang dipandang pun menunduk takut, dan mulai menjauhkan jarak.

"Maaf, tapi aku tidak berbohong mengenai perasaanku..."

Denissa tidak mampu menanggapi.

"Apa kau punya perasaan yang sama denganku...???"

"Kau bisa melihat kondisiku???"

"Shojo-san, meski aku tidak tahu apa yang sudah kau lalui sejak kecil, tapi aku ingin mengerti dirimu... apalagi, aku tidak bisa lepas dari kata-katamu mengenai kepekaan kita terhadap pesan tersiratNya dari setiap momen dan kejadian..."

"Tapi aku bukan orang baik! Kondisiku sekarang pasti adalah akibatnya!!!"

"Makanya kau suka Fujita Shuichi, kan? Kau merasa tidak baik, dan kau ingin sepertinya! Tapi niatmu begitu sudah baik!" Hashimoto merasa nada bicaranya meninggi, ia pun menunduk. "Masih boleh mencoba lagi kan untuk menjadi baik? Apa Tuhan tidak bisa menerima lagi?"

Denissa tercenung.

"Untuk itu aku ingin berempati untukmu... untuk seluruh hidupmu dalam pernikahan..."

Tatapan Denissa membola, nyaris kesulitan berkata-kata. "Agamaku tidak membolehkan pernikahan tidak seiman..."

Pintu kamar inap dibuka dari luar, ibu kembali setelah menerima telepon. Wanita itu bingung oleh tatapan-tatapan yang tertuju lama padanya. Tiba-tiba Hashimoto menerbitkan lengkungan di bibir pada ibu sang gadis.

"Ibu, terima kasih telah melahirkan Denissa sampai saya bisa berjumpa dan mengenalnya. Saya benar-benar bersyukur, karena dia menjadi perantara saya mengenal Dzat yang disebut Tuhan. Dan saya sungguh-sungguh ingin mendampinginya, sudah saya cari tahu mengenai ajaran Islam, beri tahu saya dimana masjid yang harus saya kunjungi agar saya dituntun menjadi mualaf!"

Denissa melongo, ibunya terpana. Hashimoto begitu tegas menyatakan permohonannya. Namun Saidah segera sadar dan menghubungi di antara adik-adiknya untuk menemani Hashimoto ke sebuah masjid. Selama menanti salah satu adik yang bisa menyempatkan waktu, Hashimoto melatih dua kalimat syahadat yang rupanya sering dihafalnya belakangan ini secara diam-diam.

Ketika adik Saidah telah datang menjemput Hashimoto, Saidah menghampiri putrinya dengan wajah berseri-seri. Ia bertanya apa yang dibicarakan putrinya dengan sang pemuda berlesung pipit, Denissa hanya menjawab apa adanya dengan wajah yang masih berpikir seperti tidak mempercayai.

"Kenapa? Denissa tidak senang?"

Hanya senyum samar yang ditunjukkan Denissa, membuat Saidah kembali mengkhawatirkan kondisi putrinya. Pesan masuk di ponsel Saidah, adiknya yang menemani Hashimoto ke masjid meminta segera menonton siaran langsung ikrar suci diucapkan. Dan saat menonton bersama, Saidah diam-diam mencuri kesempatan memperhatikan raut wajah putrinya, ada kelegaan karena senyum putrinya meski tidak begitu mengembang namun sorot mata itu menyiratkan syukur di baliknya.

Sekembalinya orang-orang yang dinanti dari masjid, adik Saidah memberi tahu dari orang yang memualafkan Hashimoto bahwa Hashimoto dan Denissa bukan mahram bila pemuda itu turut pula setiap hari membantu Saidah demi Denissa, kecuali bila akad telah dilangsungkan. Rupanya Denissa menanggapi saat pamannya menertawai tidak mungkin akad disegerakan di saat masih diopname.

"Ibu, apa berakal sehat termasuk syarat nikah?" Pertanyaan gadis itu membuat ruangan terhening. "Denissa masih waras?"

Saidah yang sempat melihat muram tersembunyi dari Hashimoto karena pemuda itu mungkin tidak akan turut merawat Denissa, begitu terkembang senyumnya pada si sulung. Pada hari setelah dari dokter juga menjelaskan bahwa Denissa sudah alami kemajuan pesat, Saidah lantas menghubungi Anwar sang suami mengenai putrinya dan seorang pemuda berniat serius.

Anwar nyaris berangkat ke Jakarta menemui keluarga kandungnya, karena merasa tidak layak menjadi ayah dan suami. Entah sudah berapa hari tiada kabar setelah tidak diizinkan sang istri untuk melihat kondisi putri mereka, ia akhirnya menerima kabar baik. Dengan membawa ransel putrinya yang ditemukannya rusak pada bagian resleting, ia menemui dan menunjukkan bahwa ransel itu sudah diperbaiki sebagai permohonan maafnya. Tanpa ragu ia merestui putrinya dengan Hashimoto.

Pada hari penghulu dari KUA tiba, akad berlangsung dihadiri kerabat-kerabat di perantauan yang sama. Siaran langsung disaksikan oleh para kerabat di perantauan lain. Beberapa kerabat jauh mengeluhkan akad yang terlalu mendadak, terlebih dengan kondisi Denissa dalam keadaan diopname. Saidah pun mengatakan sebagaimana yang dikatakan seseorang yang telah membantu Hashimoto mualaf. Mengenai resepsi, akan dilakukan nanti dengan terencana.

Kabar tidak hanya disebarkan dari pihak keluarga kandung Denissa, Hashimoto juga membagikannya namun hanya sampai Toma. Ia belum berani berterus terang pada keluarga kandung, namun hal itu akan dipikirkannya untuk sementara waktu demi merawat sang Shojo-san yang telah menjadi kekasih sungguhannya.

Beberapa hari setelah Saidah sang ibu mertua sudah kembali bekerja di kedai, dan Razi yang telah menjadi pamannya bisa kembali ke kedainya sendiri, dokter menyatakan Denissa tidak perlu lagi dirawat inap selain dibutuhkan dukungan orang-orang terdekat. Hashimoto dan Denissa pulang ke kedai yang merangkap rumah di belakang. Beberapa hal dilakukan Hashimoto demi mengurangi air wajah melamun Denissa. Sepatu yang mirip dikenakan Fujita Shuichi cukup berhasil mengembangkan binar di wajah. Akan tetapi saat diajak ke pantai tempat mereka pernah menikmati air kelapa, wajah itu bak terhipnotis setelah berdiri dekat air laut.

"Denissa!!!" Hashimoto mengejar Denissa yang berlari ke laut, untungnya ia berhasil menangkap istrinya sebelum separuh tubuh mungil itu lenyap.

"Apa yang akan kau lakukan?!" tanya Hashimoto sangat khawatir, setelah berhasil membawa istrinya jauh dari tepian air laut.

Denissa tidak menjawab, pandangannya mulai hampa menatap laut.

"Kita jangan menyerah... jangan kau ikuti pikiran menyimpangmu..."

Denissa tertunduk merasa sedang dimarahi. Hashimoto yang kemudian mendekapnya, membuatnya luluh menenggelamkan wajah ke dalam dekapan. Kendati begitu, Hashimoto sang suami tidak menyerah akan memancing rupa seri istrinya.

Denissa kembali berlari riang saat suaminya membawanya ke taman bunga di sejauh mata memandang. Hampir saja suaminya khawatir teringat saat ke pantai, namun bisa dilihatnya rupa riang wajah itu tidak ganjil.

"Hashimoto-saaaaan!!!"

Panggilan itu membuat Hashimoto menggeleng-geleng senyum, ia lantas mengejar istrinya, kemudian diberitahunya agar memanggil 'Ryota' supaya tidak terasa asing.

Sejak itu, Denissa perlahan-lahan mulai berceloteh, termasuk mengenai kacang almond. "Karena perempuan biasanya ingin menjadi cantik dan awet muda, demikian yang kurasakan selama rutinkan almond..."

Ryota tertawa gemas mendengar pengakuan istrinya sampai sebegitunya supaya tidak lagi ingin menjadi lelaki atau non-biner. Kondisi sang istri yang kian hari kian membaik, membuat Ryota memikirkan akan lakukan resepsi pernikahan. Akan tetapi masa cuti akan berakhir, membuatnya akan menyampaikan jalan tengah.

"Saya harus kembali ke Jepang karena masa cuti saya akan habis, apalagi saya tidak mengabarkan pernikahan dengan Denissa pada keluarga kandung. Tapi nanti saya akan biayai tiket termasuk biaya hidup ayah dan ibu supaya tiba pada hari resepsi bila memang harus dilangsungkan di Jepang," tuturnya saat sudah kembali di kedai mertuanya. "Apakah boleh?"

"Kau yang lebih tahu membahagiakannya daripada kami," Anwar sudah terlihat tenang dari sebelumnya. Saidah, hanya mengangguk menyetujui.

Ryota menunduk berterima kasih seraya menggenggam kedua tangan orang tua mertuanya yang disentuhkan ke keningnya, begitu budaya yang diperhatikannya di sini. Dan, hari keberangkatannya tiba, ia dan Denissa pamit menuju Jakarta, sebelum akan jalani perjalanan udara ke Jepang.

Pemuda berlesung pipit itu menggenggam tangan istrinya saat penerbangan berlangsung. "Apa pernah membayangkan tiba di Makkah?"

"Pernah. Bahkan sudah lama aku ingin ke sana karena capek dengan para manusia..."

"Semoga kita tidak menyerah pada rasa capek itu... supaya kita tetap bisa bersyukur atas nikmatNya, karena begitulah yang ingin kusampaikan pada Dia yang Maha Mengetahui mengenai rasa syukurku setelah mengenal gadis berlesung pipit sepertimu..."

Denissa terdiam cukup lama karena tersipu. "Kalau begitu, aku juga ingin sampaikan rasa syukurku padaNya karena sosok tampan berlesung pipit mau menjadi superheroku."

Senyum khas Ryota yang selalu disukai Denissa tersimpul. Seraya mengecup puncak kepala Denissa, ia bertekad akan menjadi superhero selamanya untuk sang kekasih demi menyusuri tiap pesan tersiratNya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)