Masukan nama pengguna
Dia menawariku duduk di jok sepeda yang baru ia pinjam. Dengan raut wajah yang kuusahakan sewajar mungkin, sebenarnya ada yang bermekaran di relung hatiku. Momen yang tak kusangka terputar kembali dalam bentuk bunga tidur dalam hitungan dekade kemudian, namun kenyataannya aku tidak benar-benar diboncenginya.
Gadis lain menyapa. Ramah. Memang siapa pun akan tergugah oleh keramahtamahannya, dan itu menjadi pekerjaan besar untukku yang memiliki kepercayaan diri yang rendah karena kerap dibanding-bandingkan dengan para saudara seangkatan lain dengan paras rupawan atau jelita.
"Eh? Dah sama Karina ya?"
Dengan sadar diri meski ada yang seakan tertancap di dada, aku turun dari jok. "Aku akan cari sepeda lain!" Sahutku tidak mau menunjukkan bahwa aku ingin sekali bisa merasakan masa merah jambu yang ranum di dada dengan Irham.
"Eh?" Ajeng terlihat tidak enakan. Namun lekas kubuat dia tidak bisa berkata untuk mencegah turunnya aku dengan menyambar bawaannya.
"Kita kan satu kelompok. Aku bawain ya. Lagian aku juga malu dibonceng orang, ketauan banget ringannya aku. Hihi..."
Ajeng mengejap-ngejapkan mata. Hanya terpana melihat aku mencari sepeda di rental sepeda. Sementara Irham sudah pasti senang aku bisa mengerti dirinya yang sudah menjadi rahasia umumnya ia dan Ajeng sedang PDKT. Aku tidak mau terkesan ikut campur dalam urusan mereka meski aku yang lebih dulu kenal Irham sebab dia yang duduk berdekatan denganku tepat di belakangku.
Wisata belajar kali itu berlangsung dengan kelabu yang samar meski aku yang satu kelompok dengan Irham dan Ajeng terlihat antusias ketika guru kami bertanya pada seluruh murid. Nilai kelompok terbaik jatuh pada kelompok kami, namun di masa putih biru itu aku hanya bisa mencuri pandang Irham dan Ajeng yang kerap bicara berdua tanpa melibatkanku.
Mungkin memang aku tidak pernah terlihat di hati Irham selain sebagai anak yang duduk di depannya, dan anak yang kerap ia meminjam buku catatan karena malas mencatat tiap guru menjelaskan di papan tulis. Parasnya yang tegas dan sopan santunnya tanpa memandang rupa, kupikir siapa yang tidak menaruh rasa padanya? Tapi tampaknya hanya padaku dia bersopan santun, namun agak berbeda sikapnya terhadap Ajeng karena kuyakini karena Ajeng memiliki paras jelita.
Satu dekade lebih dua tahun berlalu. Surat undangan online pernikahan kuterima. Sengaja kujalin interaksi dengan gadis itu untuk mengentaskan rasa cemburuku bertahun-tahun. Tak kusangka dia masih ramah padaku meski dia telah menjadi lulusan universitas luar negeri.
Tidak tertera nama Irham, aku bersyukur bukan karena mereka tidak berjodoh, tapi karena aku merasa Irham sudah tahu aku menyukainya, dan mungkin Ajeng bisa saja juga telah lama tahu, tentu aku tidak enak dengan mereka. Sekuat tenaga aku menyingkirkan apa yang telah terjadi di antara kita bertiga di masa SMP saat sedang memilih-milih pakaian dan memoles rupaku di depan cermin.
Seorang diri aku berangkat menuju kediaman yang menjadi lokasi pernikahan Ajeng. Wajah ramah itu kudapati, namun aku tidak tahu apakah harus bersyukur karena tiada Irham sebagai tamu undangan. Melanglang pikiranku saat menikmati hidangan, bagaimanakah perasaan Irham mengetahui sang mantan pacar yang masih dicintainya tidak memilihnya.
Tebersit ingin bisa menyatakan perasaan yang masih bersisa, namun aku hanya mampu mengunjungi akun media sosialnya, berharap dia baik-baik saja.