Masukan nama pengguna
"Nah, gimana rasanya?" tanyanya yang berujung cekikikan. Sorot matanya begitu menyalang dengan tubuhnya yang ia bungkukkan demi menyejajari sang korban yang sedang duduk dalam keadaan terikat.
"Gila kau Rika! KAU SUDAH GILAAAA!!!" pekik sang korban dengan begitu marah namun juga disertai ketakutan.
Sosok yang disebut Rika mengerutkan kening dengan sepasang mata sedikit bergelinding ke samping, terlihat berpikir namun bisa juga menyiratkan kekesalan. "Telat nyembur aku dengan label begitu. Yang ku pengen adalah ikuti apa kata-kataku barusan! Biar tau gimana perasaanku...!!!"
Korban tetap menggeleng, tatapannya begitu nanar tidak menyangka sosok yang sudah lama ia anggap gadis baik-baik dan kelihatan tenang ternyata melakukan hal yang di luar prasangkanya.
"Jawab dong, kak!!!" Rika menarik rambut korbannya dengan kedua tangannya dengan arah berlawanan. Terlihat kulit tangannya, bahkan juga kakinya penuh dengan sayatan. Namun bukan sengaja disayat, melainkan dibiarkannya kucing-kucing yang dirawatnya melakukannya demikian saat sedang lincah aktif bermain di kamar demi merasakan kenikmatan yang mungkin 'belum seberapa' dibanding menyayat dengan cutter.
Korban yang tidak lain masih memiliki hubungan darahnya itu menjerit kesakitan. "Bukan teriak!!!" Rika yang sejak tadi terlihat santai meski tindakannya tidak berperasaan, lantas mulai geram. "Ulangi apa yang aku mau kakak katakan! 'Gimana rasanya' gitu... ayo!"
Korban menangis sesenggukkan. Dengan wajah penuh sinis, ia mengulangi ucapan Rika. "Gimana rasanya...???"
"OH YA SENENG DONG!!! PUAS!!! MELEGAKAN..."
"Tapi kenapa kamu lakukan ini, Rika???!!!"
"Karena dari kecil aku sebenarnya butuh bantuan, kak. Terutama kakak, karena orang tua kakak paling dekat dengan orangtuaku. Dan di antara para sepupu, kakak paling dekat denganku dan saudara-saudari kandungku. Tapi ternyata kakak malah kagum sama aku, dan apa jadinya orang yang dikagumi ternyata berbuat menyimpang? Mengecewakan ya? Sama, aku juga kecewa sama kakak yang menyebarkan isi keluhanku ke para kerabat!!! Hihihi!!!
Belum lagi, kakak lebih cenderung dengan saudara sepupu lain. Pendiam bukanlah sifatku, tapi wujud takutku karena dilarang ini itu oleh ayah ibu. Mungkin lain cerita kalau kalau ini baik, pendiam dan tenang, karena begitulah didikan yang kuterima. Namun kenyataannya sebaliknya... dan aku sudah jijik menjadi anak baik. Kalian membangkang kok boleh? Kenapa pula kecewa padaku? Mana nuduh aku jadikan mental illness-ku sebagai pembenaran... sedih aku tuh..."
"Kenapa kamu gak bilang kalau kamu butuh bantuan???"
"Ya, karena aku gak tau caranya butuh itu seperti apa. Sementara aku diminta untuk selalu kuat. Haram menangis. Hahaha!!! Hebat kan aku? Tidak menangis. Tapi tetap dikeluhkan... dikira gak capek apa dituntut menjadi sempurna... hufff!!!"
"Tapi tidak seharusnya kamu lakukan ini..."
"Sengaja. Karena kakak adalah saudaraku yang paling kuharapkan untuk mengakuiku sebagai adik. Jadi, aku ingin tunjukkan sesuatu... tunggu ya...," Rika kemudian berbalik akan keluar ruangan seputar itu seraya menghubungi seseorang.
Target-target lain sudah diketahui keberadaannya. Ia lantas turun menuju lantai yang terhubung dengan jalanan luar. Langkahnya meninggalkan bangunan apartemen dengan salah satu ruangan menjadi ruangan penyanderaan, menuju kuda besi yang terjangkau dengan kaki mungilnya. Beberapa rekan lainnya mengikuti akan membantu dan membawa korban selanjutnya. Begitu sampai di salah satu titik target, ia meminta salah satu rekannya untuk melakukan panggilan video dengan salah seorang rekan yang menjaga korban pertama di ruang penyanderaan.
"Kak Agis!!! Jangan berkedip ya! Hihi!" Sapa Rika begitu panggilan video berlangsung. Senjata tajam dan senjata api pun diterimanya dari rekan-rekannya, ia memasuki toilet setelah salah seorang lain masuk lebih dulu untuk memastikan tiada orang selain target.
Agis di seberang panggilan video mulai panik menyebut nama Rika dan target selanjutnya. Beberapa kali ia menjerit dengan kaki menendang-nendang, begitu histeris. Sayangnya, Rika ternyata pandai melakukan tindakannya meski beberapa kali para rekan membantunya, dengan sempat pula perlawanan diterimanya. Korban kedua sudah bersimbah darah. Senyum Rika begitu lebar pada Agis yang menatap menyebut nama saudara lainnya yang menjadi korban.
Jeritan yang sama juga dilakukan kembali oleh Agis saat Rika melakukan tindakan pada target selanjutnya, selanjutnya di masing-masing tempat berbeda sampai merasa sudah cukup. Semua target berhasil ditangani meski harus gunakan banyak tenaga, dan pada target tersebut dengan hati-hati supaya tidak diketahui orang-orang yang tidak berkaitan sesegera dibawa oleh rekan-rekan lain menuju tempat yang sudah ditentukan.
"Selanjutnya adalah sepasang orang tua kita. Kak Agis sudah siap??? Supaya adil. Gak orang tua kakak yang akan mengenaskan, orangtuaku juga kok..."
"Rika... tolong hentikan! Kamu akan kualat membunuh mereka, apalagi orangtuamu sendiri!!!"
"Dah lah kak, dah biasa membangkang, kalem aja. Aku gak pernah membangkang kok. Cuma ingin buktikan, bila orang tua tidak ada yang sempurna, begitu pun anak. Seharusnya kakak berterima kasih padaku karena aku membalaskan dendam kakak ke orang tua kakak!"
"Sedikit pun aku tidak terpikir ingin balas mereka, meski aku pernah membangkang, Rika...!!!"
"Ya mungkin karena kakak udah sadar? Nah, aku apa yang harus aku sadari? Sudah kuturuti semua, tapi tetap kurang bagi mereka yang merasa paling berjasa sebagai orang tua! Seolah-olah mereka Tuhan! Padahal sudah capek-capek aku turuti mau mereka! Memang ya, keluarga adalah bentuk lain dari sebuah penghakiman! Apalagi, mana ada orang tua yang mengaku salah?"
"Ada, Rika..."
"Iya, ada... tapi aku sudah tidak bisa melihat itu karena yang dianggap ada itu memang tidak ada di keluarga kita... saatnya beraksi, setelah sejak kecil diremehkan dan dijelek-jelekkan, kini kita yang sudah bukan anak kecil akan mengembalikan apa yang mereka ajarkan... meski mungkin dalam bentuk lain. Hahaha!"
"RIKA!!!"
"Ya? Ada keluhan lain? Tidak ada? Baik, biarkan manusia yang tiada sempurna ini beraksi!!!"
Panggilan video diakhiri. Rika kembali menaiki kuda besinya. Kemudinya memasuki jalanan. Terlalu menikmati hingga begitu miring ia berbelok ke tikungan, ia kehilangan keseimbangan. Kepala yang terbentur aspal membuat kesadarannya mulai goyah.
Agama tidak adil...
Hanya meminta anak supaya tidak durhaka...
Hey, bukankah orang tua durhaka juga ada? Kau pernah mendengar itu...
Namun kau lebih memilih jatuh dalam kegelapan jiwa...
Tuhan Maha Adil...
Dia dengar jeritanmu yang tidak terdengar makhlukNya termasuk manusia meskipun orangtuamu sendiri...
Dan Dia juga Maha Adil karena kau sudah ikuti godaan jiwamu yang tengah kelam...
Percakapan berupa isi batin yang tercerai berai berebut menguasai tahta jiwanya sedang memenuhi benaknya. Sesal mulai merayap di dalam diri karena sudah nekad bergabung dalam dunia kelam demi memuaskan luapan batin yang berkarat.
Bukankah semakin gelap malam, maka sinar matahari akan mencuat? Bisiknya di dalam hati tatkala para rekan bergegas menghampirinya yang mulai tidak bisa lagi menggapai kesadaran.