Cerpen
Disukai
0
Dilihat
565
Merah Putih di Setiarejo
Slice of Life

Matahari pagi 17 Agustus 2025 memancar cerah di langit Desa Setiarejo, Lamasi, Luwu. Udara segar bercampur dengan semerbak wangi tanah basah dari sawah yang baru saja disiram embun malam. Dari rumah ke rumah, bendera merah putih berkibar dengan gagah, terikat pada bambu atau kayu seadanya, tapi penuh kebanggaan. Jalan-jalan desa dihiasi umbul-umbul warna-warni yang bergerak lembut ditiup angin. Hari itu suasana tampak berbeda, riuh, penuh warna, dan sarat semangat kemerdekaan.

Sejak subuh, pemuda-pemuda desa yang tergabung dalam Karang Taruna Harapan Muda sudah sibuk mengatur segala persiapan. Mereka adalah motor penggerak perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia di desa itu. Andi, ketua panitia, berdiri di atas kursi plastik, memegang pengeras suara tua yang suaranya sesekali serak. Ia mengatur segala jalannya acara, sementara keringat sudah menetes di pelipisnya.

“Teman-teman, lomba panjat pinang kita mulai jam sepuluh, jangan lupa siapkan hadiah di atasnya! Dan untuk anak-anak, lomba makan kerupuk sebentar lagi. Ingat, semuanya harus meriah!” serunya lantang.

Beberapa pemuda langsung berlari ke lapangan, menyiapkan tali untuk kerupuk, sementara yang lain sibuk memperbaiki tiang pinang yang sempat miring terkena angin semalam. Suasana sibuk namun penuh semangat itu membuat halaman balai desa seperti sarang lebah—ramai, riuh, tapi teratur.

Upacara bendera dimulai pagi itu. Warga dari segala usia berkumpul di halaman balai desa. Meski hanya menggunakan pakaian seadanya, ada rasa khidmat yang menyelubungi mereka. Bendera pusaka dikibarkan perlahan, diiringi lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang dinyanyikan bersama. Suara mereka mungkin tidak seragam, ada yang tinggi, ada yang rendah, ada yang serak, tapi semangatnya satu: cinta tanah air. Beberapa orang tua tampak mengusap mata, teringat pada masa lalu ketika cerita perjuangan masih sering terdengar dari kakek-nenek mereka.

Setelah upacara usai, keceriaan pun mengambil alih. Anak-anak sudah tak sabar menuju lapangan. Wajah mereka penuh semangat, meski sebagian masih belepotan nasi sisa sarapan. Di lapangan, tali rafia sudah dipasang, kerupuk putih bergoyang-goyang ditiup angin. Juri yang juga pemuda desa berdiri dengan peluit di tangan.

“Siap… satu… dua… tiga!” teriak juri.

Anak-anak langsung berusaha menggigit kerupuk. Beberapa melompat-lompat karena tali sengaja digoyangkan oleh pemuda nakal yang berdiri di samping. Ada yang hampir jatuh, ada yang hanya bisa menjilat ujung kerupuk. Tawa warga pun pecah, riuh memenuhi udara. Dari pinggir lapangan, para orang tua ikut berteriak memberi semangat.

“Ayo, Nak, gigit kerupuknya! Jangan kalah sama yang lain!”

Di sudut lain, ibu-ibu desa bersiap mengikuti lomba balap karung. Meski awalnya ada yang malu-malu, setelah peluit dibunyikan, semua rasa canggung hilang. Dengan semangat, mereka melompat-lompat dalam karung goni, wajah serius bercampur geli. Teriakan penonton makin riuh saat ada yang jatuh terguling, lalu bangkit dengan tawa lebar. Anak-anak bersorak, sementara bapak-bapak berkomentar heboh.

Menjelang siang, sorotan utama tertuju pada lomba panjat pinang. Batang pinang tinggi menjulang, kulitnya sudah dilumuri oli licin mengilap. Di puncaknya bergantungan hadiah: sembako, sandal, pakaian, hingga kipas angin sederhana. Pemuda-pemuda yang berpartisipasi berkumpul, menepuk-nepuk tangan dan kaki mereka dengan abu sekam untuk mengurangi licin. Penonton berdesakan di pinggir lapangan, menanti momen seru itu.

“Naik… naik… ayo terus!” teriak warga.

Beberapa pemuda berusaha membuat formasi piramida manusia. Tubuh mereka saling bertumpuk, tangan menggenggam kaki temannya erat-erat. Berkali-kali mereka tergelincir dan jatuh, menimbulkan gelombang tawa dari penonton. Namun tak ada yang menyerah. Gotong royong menjadi kekuatan utama. Setelah beberapa kali jatuh bangun, akhirnya seorang pemuda berhasil mencapai puncak, meraih bungkusan hadiah, lalu mengibarkan bendera kecil merah putih. Sorak-sorai menggema, tepuk tangan membahana, dan wajah-wajah sumringah memenuhi lapangan. Bendera itu berkibar gagah di bawah sinar matahari siang, seakan menegaskan semangat juang yang tak pernah padam.

Sore menjelang, lomba tarik tambang menjadi penutup yang paling ditunggu. Tali tambang panjang diletakkan di tengah lapangan, dengan tanda garis putih di tanah sebagai pembatas. Pemuda melawan pemuda, bapak-bapak melawan anak muda, bahkan anak-anak ikut mencoba dengan kelompok kecil. Setiap kali lomba dimulai, jeritan dukungan pecah, membuat suasana semakin panas. Tali tambang seakan menjadi simbol kekuatan persatuan: siapa yang paling kompak, dialah yang menang.

Ketika senja turun, cahaya oranye langit menyelimuti desa. Semua warga berkumpul di halaman balai desa untuk penutupan. Lampu-lampu bohlam kecil dipasang seadanya, menggantung dari kabel panjang yang ditarik di antara tiang bambu. Musik perjuangan diputar dari pengeras suara, meski suaranya kadang pecah, tapi tetap menggetarkan hati. Anak-anak duduk bersila di tanah, sementara orang tua bercengkerama, menikmati pisang goreng dan kopi yang disediakan panitia.

Andi berdiri di depan warga, suaranya bergetar namun penuh keyakinan. “Terima kasih untuk semua kerja sama hari ini. Kita sudah bersama-sama merayakan kemerdekaan, bukan hanya dengan lomba, tapi dengan kebersamaan. Semoga semangat ini terus kita jaga, seperti cita-cita para pejuang dulu.”

Warga bertepuk tangan panjang, beberapa bahkan bersorak penuh semangat. Sesaat kemudian, langit malam Desa Setiarejo dihiasi kembang api sederhana. Cahaya merah, hijau, dan emas mekar sebentar, lalu hilang, meninggalkan wajah-wajah warga yang berseri-seri.

Malam itu, Desa Setiarejo tidak hanya merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, tetapi juga merayakan persaudaraan. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan bukan hanya warisan, tapi juga tanggung jawab bersama. Di hati setiap warga, tumbuh keyakinan bahwa tanah air ini adalah rumah besar, tempat mereka belajar menjaga, mengisi, dan merawat arti kebebasan dengan kebersamaan.

***

Malam mulai larut, namun riuh tawa belum sepenuhnya reda di Desa Setiarejo. Di halaman balai desa, lampu petromaks dan bohlam seadanya terus menyala, menebar cahaya kekuningan yang hangat. Anak-anak masih berlarian, memainkan kembang api kecil yang mereka beli sejak sore. Asapnya mengepul tipis, bercampur dengan aroma jagung bakar yang disiapkan oleh para ibu di sisi lapangan.

Andi, yang sejak pagi sibuk mengatur jalannya acara, akhirnya bisa duduk sebentar. Keringat masih menempel di pelipisnya, namun senyumnya tak pernah lepas. Ia menatap sekeliling: wajah-wajah penuh tawa, bapak-bapak yang bersenda gurau sambil menyeruput kopi panas, ibu-ibu yang tertawa sambil mengupas singkong rebus, serta para pemuda yang duduk berkelompok, masih membicarakan keseruan lomba panjat pinang.

“Capek, Ndik?” tanya Rian, sahabatnya sesama panitia, sambil menjulurkan botol air mineral.

Andi menerimanya, meneguk setengah isi botol sekaligus. “Capek, tapi puas. Lihat mereka semua, kan? Rasanya semua kerja keras kita terbayar.”

Rian mengangguk. “Benar. Tahun depan harus lebih meriah lagi. Mungkin kita bisa tambah lomba dayung perahu di sungai?”

Mata Andi berbinar. “Ide bagus! Sungai di dekat sawah itu bisa jadi pusat acara. Apalagi kalau kita hias perahu dengan bendera.”

Percakapan mereka terhenti sejenak ketika seorang lelaki tua berjalan mendekat. Rambutnya sudah putih, tubuhnya agak bungkuk, namun tatapannya tajam penuh kebijaksanaan. Ia adalah Pak Lamak, salah satu tokoh desa yang dulu ikut menjadi saksi masa-masa sulit ketika Luwu masih bergolak di era reformasi.

“Anak-anak muda, kalian luar biasa hari ini,” ucapnya pelan tapi penuh wibawa. “Kemeriahan seperti ini bukan sekadar permainan. Ini tanda bahwa semangat kemerdekaan masih hidup. Dulu, kami hanya bisa merayakan dengan sederhana, bahkan sering sembunyi-sembunyi karena keadaan tidak aman. Tapi sekarang, lihatlah… kalian bisa tertawa bebas di bawah bendera Merah Putih. Itu harus kalian jaga.”

Andi dan Rian terdiam sejenak, mendengarkan dengan takzim. Lalu Andi berkata, “Kami akan jaga, Pak. Dengan cara kami, lewat kebersamaan.”

Pak Lamak tersenyum, menepuk bahu mereka, lalu kembali ke kelompok bapak-bapak yang sedang bercengkerama.

Waktu terus berjalan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika musik perjuangan diganti dengan lagu-lagu rakyat sederhana. Seorang pemuda membawa gitar, lalu duduk di bawah pohon asam di tepi balai desa. Beberapa pemudi bergabung, menyanyikan lagu-lagu daerah Luwu, dari To Manurung hingga Parede. Suara mereka, meski tidak seindah penyanyi profesional, terdengar merdu dan penuh perasaan. Warga yang lain ikut bergumam mengikuti. Malam itu berubah menjadi pesta rakyat yang sederhana, namun menyimpan makna mendalam.

Tak lama, kembang api besar yang sudah disiapkan oleh pemuda desa dinyalakan. Dentuman kecil terdengar, lalu cahaya warna-warni mekar di langit gelap. Anak-anak berteriak kegirangan, bertepuk tangan setiap kali kilatan merah, hijau, atau kuning menyala di udara. Orang tua tersenyum melihat wajah bahagia anak-anak mereka.

Di antara keramaian itu, Andi sempat termenung. Ia memandang ke langit, melihat bendera kecil yang masih berkibar di puncak pinang, tertimpa cahaya kembang api. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pesta dan lomba.

“Indonesia merdeka bukan hanya untuk dikenang,” batinnya. “Tapi untuk terus dihidupkan. Dan mungkin inilah cara kecil kami, anak-anak desa, menjaga semangat itu tetap ada.”

Setelah pesta selesai, warga mulai pulang ke rumah masing-masing. Namun, beberapa pemuda masih tinggal, membereskan perlengkapan. Mereka menggulung tali tambang, menurunkan bendera kecil, serta membersihkan sampah plastik dan botol minuman yang berserakan. Meski lelah, mereka tetap bercanda, seolah energi tidak pernah habis.

Menjelang tengah malam, hanya tersisa segelintir orang di lapangan. Andi berdiri menatap tiang bendera di depan balai desa. Angin malam mengibarkan Merah Putih dengan lembut. Ia menunduk sejenak, berdoa dalam hati agar semangat persatuan ini tidak hanya hadir di hari peringatan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Esok paginya, desa kembali tenang. Sawah-sawah terhampar hijau, ayam-ayam berkokok, dan anak-anak kembali bersiap ke sekolah. Namun di hati mereka, perayaan kemerdekaan semalam masih tersisa: tawa, semangat, kebersamaan, dan doa-doa yang tak terucapkan.

Desa Setiarejo mungkin hanya sebuah titik kecil di peta Indonesia. Namun dari desa kecil itu, semangat kemerdekaan tetap menyala, diwariskan dari generasi ke generasi, dari tawa anak-anak hingga kerja keras pemuda.

Karena kemerdekaan sejati bukan hanya perayaan seremonial, melainkan rumah bersama di mana setiap jiwa merasa memiliki, menjaga, dan mencintai tanah airnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)