Cerpen
Disukai
3
Dilihat
6,048
Beras untuk Lebaran
Drama

Hujan turun perlahan di atas atap rumah reyot itu, menambah suasana dingin yang menyelimuti tubuh kecil Rahman. Bocah sepuluh tahun itu duduk bersimpuh di atas tikar lusuh, menatap ibunya yang terbaring lemah di sudut kamar. Wajah perempuan itu pucat, tubuhnya tinggal tulang dibalut kulit, dan napasnya tersengal.

"Ibu, sebentar lagi Lebaran..." suara Rahman lirih, penuh harap. "Aku mau beli baju baru buat Ibu, juga kue-kue untuk kita makan..."

Ibunya tersenyum samar, tangannya yang kurus terangkat, membelai kepala anaknya dengan sisa tenaga yang ada. "Rahman, Nak... Lebaran bukan tentang baju baru atau kue-kue. Yang penting kita masih bisa bersama."

Rahman menggigit bibirnya. Ia tahu ibunya hanya mencoba menghiburnya. Sudah tiga hari mereka tidak makan. Sisa beras di tempayan hanya cukup untuk satu porsi bubur encer kemarin, dan sekarang bahkan tak ada butiran beras pun tersisa.

Dulu, keadaan tidak seburuk ini. Rahman ingat bagaimana ibunya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, bahkan dalam keterbatasan. Pernah suatu hari, ibunya menjahitkan celana sekolah Rahman yang robek dengan tangan gemetar karena kelelahan. Meski begitu, ia tetap tersenyum.

"Ibu ingin kamu sekolah dengan baik, Nak. Jangan sampai kamu hidup susah seperti Ibu," katanya waktu itu.

Kini, senyum itu makin jarang terlihat, dan tubuhnya makin lemah. Rahman tahu, ibunya telah berusaha terlalu keras.

Dengan langkah kecil, Rahman keluar rumah. Hujan mulai reda, menyisakan tanah basah yang melekat di kakinya. Ia berjalan menuju warung di ujung gang, berharap bisa mendapatkan sedikit beras dari pemilik warung yang baik hati.

"Bu Rina, apa bisa saya minta sedikit beras?" tanyanya dengan suara penuh harap. "Saya janji, nanti kalau sudah ada uang, saya bayar."

Bu Rina menatapnya dengan iba. Ia tahu keadaan Rahman dan ibunya. Namun, dagangannya sendiri sedang sulit. "Maaf, Nak. Berasku juga hampir habis. Tapi nanti kalau ada rezeki, aku pasti bantu."

Rahman mengangguk, berusaha menelan kekecewaannya. Ia berjalan lagi, menyusuri jalanan kampung yang mulai ramai dengan anak-anak sebaya yang ceria berbicara tentang baju baru dan kue Lebaran. Dadanya sesak. Ia ingin seperti mereka. Ia ingin merasakan Lebaran yang bahagia.

Ia mencoba mengetuk rumah seorang tetangga kaya, Pak Darman. Namun, saat pintu dibuka, hanya tatapan dingin yang diterimanya.

"Aku tidak punya beras lebih untuk diberikan," ujar Pak Darman singkat, sebelum menutup pintu di hadapan Rahman.

Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada masjid di ujung kampung. Beberapa orang terlihat menurunkan zakat fitrah dalam karung-karung besar. Beras. Itu yang ia butuhkan.

Namun, Rahman ragu. Apakah pantas ia meminta? Ia tidak pernah diajari untuk mengemis. Tapi, demi ibunya...

Dengan hati berdebar, ia melangkah mendekati seorang lelaki tua yang sedang mengatur zakat. "Pak... apakah saya bisa mendapatkan sedikit beras untuk ibu saya yang sedang sakit?"

Lelaki itu menatapnya dengan lembut, lalu tersenyum. "Tentu, Nak. Ini hakmu. Kamu dan ibumu berhak menerimanya."

Rahman nyaris menangis saat sekantong beras diserahkan padanya. Dengan hati penuh syukur, ia berlari pulang. Sesampainya di rumah, ia mendapati ibunya masih terbaring, matanya tertutup.

"Ibu, aku bawa beras... kita bisa makan enak saat Lebaran!" serunya gembira.

Namun, ibunya tetap diam.

Rahman mendekat, mengguncang tubuh kurus itu dengan lembut. Napasnya tertahan saat menyadari bahwa ibunya telah pergi—dalam tidur, dalam kelelahan yang panjang.

Beras itu jatuh dari tangannya. Air matanya mengalir deras. Ia berhasil membawa pulang makanan untuk mereka, tapi ibunya tak sempat lagi merasakannya.

Rahman duduk di samping tubuh ibunya, masih belum percaya bahwa wanita yang selalu menyayanginya itu kini telah tiada. Tangisnya pecah, menggema dalam ruangan kecil itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada yang bisa ia panggil. Tetangga mereka terlalu sibuk dengan persiapan Lebaran, sementara ia hanya sendiri di rumah yang makin sunyi.

Sampai akhirnya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Rahman menghapus air matanya dengan cepat, lalu bergegas membukakan pintu. Di depan sana, berdiri Pak Hasan, marbut masjid, bersama beberapa warga lain.

"Rahman, kenapa kamu menangis? Mana ibumu?" tanya Pak Hasan dengan lembut.

Rahman tidak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, menggigit bibirnya agar tangisnya tidak kembali pecah. Pak Hasan masuk ke dalam rumah, dan beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening. Para warga yang datang ikut terdiam ketika menyadari bahwa ibunya telah pergi untuk selamanya.

Hari itu, Rahman tidak hanya kehilangan ibunya, tetapi juga kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Namun, di balik kesedihan yang mencekam, sesuatu yang tidak ia duga terjadi. Warga kampung mulai berdatangan, membawa makanan, pakaian, dan uang sekadarnya untuk membantu Rahman. Bahkan, Bu Rina yang sebelumnya tidak bisa memberi beras, kini datang dengan satu karung penuh.

"Nak, ini untukmu. Sekarang, kamu tidak sendiri," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Meski hatinya masih hancur, Rahman merasakan kehangatan yang berbeda. Ia tidak sendirian. Orang-orang di sekelilingnya peduli padanya. Ia masih memiliki tempat untuk berlindung.

Keesokan harinya, hari raya tiba. Tidak ada kue Lebaran, tidak ada baju baru untuk Rahman. Tetapi, di tengah kesedihannya, ia berdiri di samping pusara ibunya dengan sejumput doa di bibirnya. Ia tahu, ibunya telah pergi ke tempat yang lebih baik. Dan meski hatinya masih perih, ia akan terus menjalani hidup, dengan kenangan ibunya yang selalu hidup dalam hatinya.

Pak Hasan kemudian mengajaknya ke masjid untuk Salat Id. Meskipun awalnya ia merasa kosong, doa-doa yang ia panjatkan perlahan memberinya ketenangan. Setelah Salat, warga berkumpul, dan beberapa dari mereka telah menyiapkan sesuatu untuk Rahman.

"Ini baju baru untukmu, Rahman. Dan ini makanan untuk kamu nikmati," kata seorang ibu sambil menyerahkan pakaian dan kotak berisi ketupat serta opor.

Rahman menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Ia sadar, Lebaran bukan soal baju baru atau makanan lezat, tetapi tentang kebersamaan dan kasih sayang.

**

Rahman duduk di serambi masjid setelah Salat Idulfitri, matanya menerawang ke langit biru yang cerah. Hatinya masih terasa kosong, tetapi ada kehangatan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya. Warga kampung datang menghampirinya satu per satu, menepuk pundaknya dengan penuh empati.

"Rahman, kamu tidak sendirian," kata Pak Ustaz dengan suara lembut. "Lebaran bukan hanya tentang merayakan kebahagiaan, tetapi juga berbagi dan saling menguatkan."

Bu Rina datang membawa bungkusan makanan dan meraih tangan Rahman. "Mulai sekarang, kamu bisa tinggal bersama kami. Anggap saja rumahku sebagai rumahmu sendiri," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Rahman mengangguk pelan. Hatinya masih merasakan pedih kehilangan ibunya, tetapi ia menyadari bahwa kebersamaan adalah hal yang paling berharga. Meski keluarganya tak lagi lengkap, masih ada orang-orang baik yang peduli padanya.

Hari itu, Rahman belajar bahwa Lebaran bukan hanya tentang pakaian baru atau makanan berlimpah, melainkan tentang berbagi kasih sayang, menguatkan satu sama lain, dan tetap melangkah maju meski duka masih membayangi. Ia mengusap air matanya, menatap ke depan dengan tekad baru.

Ibunya mungkin telah tiada, tetapi semangat dan nasihatnya akan selalu menemani langkahnya di setiap perjalanan hidupnya.

Setiap orang memiliki cobaan dalam hidupnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita bangkit dan tetap tegar menghadapi segalanya. Seperti Rahman yang kehilangan keluarganya di hari yang seharusnya bahagia, ia belajar bahwa kebersamaan tidak selalu tentang keluarga sedarah, tetapi juga tentang orang-orang yang peduli dan siap membantu dalam kesulitan. Dan dalam setiap air mata yang jatuh, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)