Flash
Disukai
0
Dilihat
6,715
Kursi Emas
Drama

Bayu menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang terpajang di mejanya. Kemeja putih bersih dan dasi yang selalu simetris menjadi simbol perfeksionismenya. Dalam pikirannya, jabatan manajer adalah takdirnya. Dia yakin bahwa hanya dia yang layak menduduki posisi itu, bahkan jika harus menjatuhkan orang-orang di sekitarnya.

Sejak awal bekerja, Bayu sudah punya cara licik untuk naik ke atas. Dia tak pernah benar-benar bekerja maksimal, tapi ahli memanfaatkan kerja keras orang lain untuk keuntungan pribadinya. Ketika tim berhasil mencapai target, Bayu yang berdiri di depan direksi untuk menerima pujian. Saat tim gagal, ia dengan lihai menuding kesalahan pada orang lain.

"Saya yakin tim ini akan maju di bawah pengawasan saya," katanya penuh percaya diri saat rapat bulanan bersama direksi. Senyumnya lebar, seakan menyembunyikan kekosongan moral di baliknya.

Namun, di balik senyuman itu, ada hati-hati yang mulai patah.

Tini duduk di meja kerjanya dengan kepala tertunduk. Laporan keuangan perusahaan sudah selesai ia kerjakan, meski dengan tenaga yang nyaris habis. Sudah tiga bulan Tini tak menerima gaji, tapi ia bertahan karena anak-anaknya membutuhkan biaya sekolah.

"Pak Bayu," panggil Tini pelan sambil mengetuk pintu ruangannya.

Bayu mengangkat pandangan sekilas, lalu melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk. "Ada apa, Tini? Cepat, saya sibuk."

"Pak, ini laporan keuangan bulan lalu. Tapi… soal gaji kami..." Tini menggantungkan kalimatnya, takut pada respons Bayu.

"Oh, soal itu. Anggaran kita sedang ketat, Tini. Perusahaan punya prioritas lain. Kamu kerja saja dulu, ya. Nanti saya usahakan," katanya tanpa menatap mata Tini.

Tini terdiam. Ia tahu, uang itu sebenarnya ada. Sebagian karyawan mendengar desas-desus bahwa dana operasional dialihkan ke proyek yang Bayu usulkan—proyek yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan kebutuhan perusahaan.

“Pak Bayu, kami butuh gaji untuk hidup...” suara Tini mulai gemetar.

Bayu mendongak, kali ini dengan sorot mata tajam. "Kamu kerja di sini karena saya beri kesempatan, Tini. Kalau tidak puas, kamu tahu pintunya ada di mana."

Tini merasa darahnya mendidih, tapi ia tahu melawan tak akan membuahkan hasil. Dia keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk, sementara Bayu kembali tenggelam dalam rencananya.

Bulan berikutnya, suasana kantor semakin suram. Dua rekan Tini, yang sama-sama bekerja keras, akhirnya memutuskan mundur karena gaji mereka tak kunjung dibayarkan. Tidak ada perpisahan, hanya kursi kosong yang menjadi tanda bahwa mereka tak tahan lagi.

"Bayu ini terlalu seenaknya!" gerutu Budi, salah satu karyawan senior yang duduk di dekat Tini. "Dia cuma mikirin dirinya sendiri. Lihat aja, waktu rapat, dia bawa hasil kerja kita semua dan ngaku itu usahanya!"

Tini mengangguk pelan. "Tapi kita bisa apa? Kalau protes, kita malah disalahkan."

Budi menghela napas panjang. "Aku nggak tahu berapa lama aku bisa tahan. Mungkin sebentar lagi aku juga nyerah."

Bayu, di sisi lain, merasa semakin dekat dengan mimpinya. Ia tahu banyak karyawan tidak puas, tapi baginya, itu adalah "kolateral" yang wajar untuk mencapai ambisi.

Suatu hari, Bayu menerima panggilan mendadak dari direksi. "Bayu, kami ingin laporan progres proyek bulan ini," kata Pak Surya, pemimpin direksi, dengan nada serius.

Bayu merasa gugup, tapi ia tahu ini adalah peluang untuk bersinar. Dengan gaya penuh percaya diri, ia menyusun presentasi yang melebih-lebihkan pencapaiannya.

"Proyek ini adalah hasil dari manajemen tim yang efektif. Saya memastikan setiap anggota bekerja sesuai target, meski ada beberapa tantangan," ucap Bayu dalam rapat itu.

Direksi terkesan, bahkan ada yang memberi tepuk tangan kecil. Tapi di luar ruangan rapat, para karyawan bergumam penuh kekecewaan. Mereka tahu, kerja keras mereka telah dicuri mentah-mentah.

Bulan ketiga tanpa gaji tiba. Banyak karyawan yang mulai terang-terangan menyuarakan keluhan mereka. Grup WhatsApp kantor penuh dengan protes.

"Apa kita harus demo di depan kantor supaya gaji kita dibayar?" tulis salah satu karyawan.

"Apa gunanya? Bayu pasti tetap aman. Kita yang malah kena masalah," balas yang lain.

Situasi kantor semakin tegang. Bahkan pelanggan mulai merasa dampaknya karena layanan tidak lagi maksimal. Tapi Bayu tetap bergeming. Baginya, semua itu hanyalah hambatan kecil di jalan menuju kesuksesannya.

Hari yang ditunggu-tunggu Bayu tiba. Ia mendapat undangan untuk rapat besar bersama direksi. Dalam pikirannya, ini adalah saat di mana namanya akan diumumkan sebagai manajer baru. Ia mengenakan jas terbaiknya dan berjalan dengan kepala tegak ke ruang rapat.

Namun, begitu pintu dibuka, ia disambut dengan tatapan tajam dari direksi. Di atas meja, ada tumpukan dokumen yang tampaknya telah diperiksa dengan saksama.

"Bayu, silakan duduk," ujar Pak Surya dengan nada datar.

Bayu tersenyum kecil, mencoba menjaga wibawanya. "Terima kasih, Pak."

"Bayu," lanjut Pak Surya, "kami telah menerima banyak laporan mengenai kondisi kantor di bawah pengawasan Anda."

Bayu merasa jantungnya mulai berdegup kencang, tapi ia tetap berusaha tenang. "Saya yakin semua berjalan sesuai rencana, Pak."

Pak Surya mengangkat dokumen di tangannya. "Ini laporan keuangan yang menunjukkan adanya pengalihan dana operasional tanpa izin. Gaji karyawan tidak dibayarkan selama tiga bulan, sementara proyek yang Anda usulkan justru menjadi prioritas."

Ruangan itu sunyi. Bayu membuka mulut, tapi tak ada kata-kata yang keluar.

"Selain itu," lanjut Pak Surya, "kami juga menerima pengunduran diri dari sebagian besar tim Anda. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap cara Anda memimpin."

Bayu mencoba membela diri. "Pak, itu hanya masalah sementara. Tim saya—"

"Tim Anda?" potong Pak Surya. "Bayu, kepemimpinan bukan tentang mengambil kredit dari kerja keras orang lain. Ini tentang bagaimana Anda membawa tim Anda maju bersama. Dan Anda telah gagal total."

Bayu terdiam, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Kami memutuskan untuk menghentikan semua tanggung jawab Anda di perusahaan ini, efektif segera," kata Pak Surya.

Bayu keluar dari ruang rapat dengan langkah gontai. Kursi emas yang ia impikan lenyap di depan matanya. Jalan yang ia bangun dengan kelicikan dan pengkhianatan justru menjadi jebakan yang menjerat dirinya sendiri.

Di sudut kantor, Tini melihat Bayu berjalan keluar. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, ia tersenyum kecil. Ia tahu, keadilan akhirnya datang meski terlambat.

Bayu meninggalkan gedung kantor dengan kepala tertunduk, menyadari bahwa ambisinya telah menghancurkan segalanya—termasuk dirinya sendiri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)