Masukan nama pengguna
Langit malam itu mendung, seperti menyembunyikan rasa duka yang dirasakan banyak orang di penghujung tahun 2024. Di sebuah kota kecil di pinggiran, seorang pria tua bernama Pak Rendra duduk di teras rumahnya yang sederhana. Angin dingin meniup lembut, membawa suara-suara dari jauh: tawa anak-anak, dentingan sendok di meja makan, dan nyanyian pelan dari radio tetangga. Namun, tak satu pun dari suara itu berhasil mengusir kekosongan yang menggantung di hatinya.
Di tangannya tergenggam sebuah buku harian lusuh. Buku itu penuh coretan, tumpahan emosi dari tahun-tahun yang telah ia lalui. Setiap akhir tahun, Pak Rendra punya kebiasaan membaca kembali apa yang telah ia tulis. Baginya, buku harian itu bukan hanya kumpulan cerita, tetapi juga cermin yang memantulkan siapa dirinya.
Januari 2024
Halaman pertama yang ia buka adalah tentang banjir besar yang melanda desanya. Ia menulis dengan penuh kekalutan saat itu:
"Hari kedua banjir. Rumah Bu Murni tenggelam sampai atap. Orang-orang di posko pengungsian mengeluh tentang kurangnya makanan. Aku ingin membantu, tapi apa yang bisa kulakukan dengan tubuh tua ini?"
Pak Rendra teringat dengan jelas malam itu, ketika ia mengayuh sepeda tuanya di tengah hujan deras, membawa selimut-selimut dari rumahnya untuk mereka yang kedinginan. Tindakan kecil itu tak seberapa dibandingkan dengan skala bencana yang terjadi, tetapi ia merasa sedikit lega bisa berbuat sesuatu.
Maret 2024
Ia membuka halaman lain, dan membaca tentang kasus kebakaran di pasar tradisional. Ia mencatat:
"Api melalap semua. Ibu Sari menangis karena kiosnya yang kecil habis terbakar. Tapi lebih dari itu, aku melihat anak-anaknya kelaparan. Mereka duduk di tepi jalan, memeluk satu sama lain. Dunia ini semakin kejam bagi mereka yang tak punya apa-apa."
Pak Rendra menghela napas. Ia teringat bagaimana ia mengajukan usulan ke kepala desa agar mengadakan penggalangan dana untuk membantu korban kebakaran. Meski terkumpul sedikit, bantuan itu cukup untuk memberi harapan kepada keluarga Ibu Sari. Bagi Pak Rendra, membantu sesama adalah caranya menjaga kemanusiaan di tengah kerasnya hidup.
Juli 2024
Tulisannya di bulan Juli terasa lebih pribadi. Ia membaca dengan suara pelan:
"Hari ini ulang tahunku yang ke-65. Tidak ada yang ingat, kecuali Tio, cucuku. Ia datang membawa kue kecil yang ia buat sendiri. Aku menangis saat meniup lilin, bukan karena kesepian, tetapi karena aku bangga. Anak sekecil itu tahu cara membuat orang lain bahagia. Dunia butuh lebih banyak orang seperti Tio."
Air mata menggenang di mata Pak Rendra. Ia ingat senyum lebar cucunya malam itu, bagaimana anak itu dengan polos berkata, "Kakek, jangan sedih lagi, ya. Tahun depan aku mau sering main ke sini."
September 2024
Tulisannya di bulan ini mengingatkannya pada kejadian besar lainnya: demonstrasi buruh yang berlangsung di alun-alun kota. Ia mencatat:
"Ratusan orang berkumpul, menuntut upah yang layak. Aku melihat wajah-wajah penuh harap dan kemarahan. Anak-anak muda yang berani berdiri melawan ketidakadilan. Mereka membuatku berpikir, apa yang telah kulakukan di usia senja ini untuk membantu mereka? Apakah diam saja sudah cukup?"
Pak Rendra teringat bagaimana ia akhirnya bergabung dengan barisan itu, meski tubuh tuanya tak mampu berdiri lama. Ia membawa secarik karton dengan tulisan sederhana: "Hidup Layak Adalah Hak Semua Orang." Meski suaranya tak nyaring, ia tahu kehadirannya berarti.
November 2024
Bulan November mencatat peristiwa yang mengguncang desa kecil itu. Pak Rendra membuka halaman dengan tulisan yang terlihat lebih tergesa-gesa dari biasanya:
"Anak-anak sekolah tidak bisa belajar karena atap SD bocor diterpa angin kencang. Buku-buku basah, meja-meja hancur. Aku melihat mereka duduk di bawah pohon besar, tetap membaca meski dalam kondisi seadanya. Ada cahaya yang aneh di mata mereka, semangat untuk belajar yang tak pudar meski keadaan begitu sulit."
Ia ingat bagaimana ia berkeliling mengumpulkan donasi untuk membeli terpal dan peralatan sekolah baru. Dengan bantuan warga desa lainnya, mereka berhasil memperbaiki sebagian besar sekolah dalam waktu sebulan. Anak-anak kembali belajar di dalam kelas, dan senyum mereka menjadi hadiah yang tak ternilai bagi Pak Rendra.
Desember 2024
Halaman terakhir di buku harian itu kosong. Pak Rendra memegang pena, menatap kertas kosong itu dengan pandangan kosong. Apa yang bisa ia tulis tentang Desember? Tentang akhir tahun yang penuh kebisuan ini?
Ia menghela napas, lalu mulai menulis:
"Aku duduk di sini, di malam yang dingin, mencoba memahami semua yang telah kulalui tahun ini. Ada banjir, kebakaran, demonstrasi, kerusakan sekolah, dan juga momen-momen kecil yang menghangatkan hati. Tahun ini mengajarkanku bahwa hidup bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita bagikan. Aku mungkin hanya seorang tua di desa kecil, tetapi aku ingin percaya bahwa setiap tindakan kecilku berarti."
Saat ia menulis, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Ia menoleh dan melihat Tio berlari kecil menghampirinya, membawa lentera kecil di tangannya.
"Kakek, ayo ikut aku!" seru Tio dengan semangat.
Pak Rendra tersenyum. Ia menutup buku harian itu, memasukkannya ke dalam sakunya, dan mengikuti cucunya ke arah lapangan desa. Di sana, orang-orang berkumpul, menyalakan lentera sebagai simbol harapan menyambut tahun baru. Lentera-lentera itu berwarna-warni, hasil karya anak-anak desa yang mencoretkan doa-doa kecil mereka di kertas lentera.
Saat lentera mereka melayang ke langit, Pak Rendra merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia menyadari bahwa hidup tak pernah sepenuhnya suram. Selalu ada cahaya, meski kecil, yang memberi makna pada setiap langkah yang diambil.
"Selamat tahun baru," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia tahu, perjuangannya belum selesai, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendiri.
Malam itu, langit yang mendung mulai cerah. Lentera-lentera kecil melayang tinggi, membawa harapan dan doa dari orang-orang kecil seperti Pak Rendra. Dunia mungkin tak berubah dalam sekejap, tetapi setiap cahaya kecil adalah awal dari sesuatu yang besar. Dan Pak Rendra percaya, selama masih ada yang peduli, dunia ini akan terus memiliki alasan untuk berharap.
Di kejauhan, suara kembang api mulai terdengar, mengiringi tahun yang baru. Pak Rendra menatap ke langit, senyumnya merekah. Ia berbisik kepada lentera yang terus melayang, "Semoga tahun depan lebih baik, tidak hanya untukku, tetapi untuk kita semua."
***
Pak Rendra kembali ke rumahnya setelah perayaan usai. Di bawah sinar bulan yang mulai terlihat, ia membuka buku harian itu lagi, menulis satu kalimat terakhir untuk menutup tahun ini:
"Hidup adalah tentang berbagi cahaya, sekecil apa pun itu. Dan aku ingin terus menjadi lentera kecil bagi sesamaku."