Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,836
Aksi 12%
Aksi

Hari itu, cuaca di Makassar terasa lebih menyengat dibandingkan biasanya. Sinar matahari yang terik seakan tidak memberikan kesempatan bagi siapa pun yang berani berada di bawahnya. Polusi dari asap knalpot kendaraan yang melintas di jalanan yang penuh membuat kondisi udara semakin tidak nyaman. Namun, semua rintangan itu tidak menghentikan langkah ribuan mahasiswa yang menuju Gedung DPRD Sulawesi Selatan. Mereka datang dari berbagai sudut universitas, bersatu dalam satu tujuan yang menggema di udara: menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang dianggap membebani masyarakat kecil.

Mereka berdiri dengan penuh keyakinan, berdesakan dalam barisan yang rapat meskipun keringat mengalir deras membasahi wajah dan pakaian mereka. Beberapa di antara mereka bahkan menggunakan kain basah untuk menutupi hidung dan mulut, demi menghindari udara panas yang tercampur dengan debu dari jalanan. Di tengah kerumunan, spanduk-spanduk besar dan kecil berkibar dengan megah, seakan menantang dominasinya gedung yang ada di depan mereka. Pesan-pesan penuh kemarahan dan kekecewaan tertera dengan jelas: “Tolak PPN 12 Persen!” dan “Pajak untuk Siapa?” Huruf kapital berwarna merah yang menyolok itu mencerminkan kepedihan dan rasa tidak puas yang mendalam.

Sejumlah mahasiswa memegang poster yang dibuat dengan tangan sendiri, berisi sindiran tajam seperti “PPN Naik, Hidup Rakyat Makin Tercekik!” dan “Negara Sejahtera atau Rakyat Menderita?” Mereka mengangkat poster-poster tersebut setinggi mungkin, berharap pesan mereka dapat terdengar hingga ke ruang sidang para wakil rakyat. Terik matahari yang menyengat kulit seolah tidak mereka perhatikan. Semangat mereka justru semakin berkobar, seperti api yang semakin besar ketika disiram bensin.

Suara pembicara menggema dari pengeras suara di atas mobil komando, mengarahkan sorak-sorai yang diikuti oleh ribuan mahasiswa. “Tolak! Tolak! Tolak kenaikan PPN!” Suara itu mengguncang udara, memantul dari dinding-dinding gedung DPRD yang menjulang tinggi, seakan menantang ketidakacuhan para pengambil kebijakan.

Di tengah teriakan dan semangat yang bergelora, terlihat wajah-wajah muda penuh harapan dan keberanian. Mata mereka bersinar, mencerminkan tekad kuat untuk mendukung keadilan. Meskipun mungkin sebagian dari mereka tidak merasakan langsung dampak dari kenaikan PPN, mereka sepenuhnya memahami bagaimana kebijakan tersebut dapat menghancurkan kehidupan banyak orang di sekitar mereka. Mereka berdiri di situ bukan hanya sekedar mahasiswa, tetapi juga sebagai perwakilan suara bagi masyarakat yang tak terwakili.

Di tengah kerumunan itu, tidak ada tanda-tanda kelelahan yang terlihat. Hanya ada semangat yang terus membara, melawan sengatan matahari dan ketidakadilan yang berusaha menghilangkan hak-hak mereka. Hari itu, di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan, suara perjuangan berbagai kalangan menggema, menghadapi angin dan waktu.

Di barisan depan, Arman, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, berdiri dengan mikrofon di tangan. Ia adalah salah satu koordinator lapangan dalam aksi tersebut. Matanya memancarkan amarah sekaligus harapan. Sejak pemerintah mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, kehidupan banyak orang berubah. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, membuat masyarakat kelas menengah ke bawah semakin terhimpit.

“Saudara-saudara!” seru Arman. Suaranya menggema melalui pengeras suara. “Kenaikan PPN 12 persen ini bukan sekadar angka, tetapi menyangkut kehidupan. Apakah pemerintah tahu betapa sulitnya rakyat kecil memenuhi kebutuhan sehari-hari? Kita di sini bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi untuk semua orang yang suaranya tidak didengar!”

Kerumunan bergemuruh, meneriakkan dukungan. “Tolak! Tolak! Tolak kenaikan PPN!”

Di antara kerumunan, Siska, mahasiswi jurnalistik dari kampus yang sama, berdiri dengan kamera dan notepad di tangan. Ia bertugas meliput aksi untuk media kampusnya. Meskipun tugasnya melaporkan secara netral, hatinya ikut bergolak. Ayahnya yang bekerja sebagai pedagang kecil di pasar tradisional sering mengeluh karena biaya hidup yang semakin tinggi.

“Aku harus merekam semuanya,” pikir Siska, tangannya lincah mengambil foto dan mencatat poin-poin penting dari pidato Arman. Ia menyadari bahwa aksi ini bukan sekadar meneriakkan ketidakpuasan, tetapi juga menyampaikan pesan kuat kepada mereka yang berkuasa.

Sementara itu, di balik barisan mahasiswa, polisi berjaga dengan peralatan lengkap. Bentrokan kecil sempat terjadi pada aksi-aksi sebelumnya, dan hari itu mereka tidak ingin mengambil risiko. Beberapa mahasiswa terlihat membagikan selebaran kepada orang-orang yang lewat.

“Pak, Bu, ini tentang kita semua,” kata seorang mahasiswa sambil menyodorkan selebaran kepada seorang pedagang kaki lima.

Pedagang itu membaca selebaran dengan alis berkerut. “Kalau pajak naik, dagangan saya bisa tidak laku. Orang-orang sudah susah beli barang sekarang,” gumamnya, sebelum melanjutkan pekerjaannya.

Di tengah orasi, Arman berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kepada Lina, rekan perempuannya, untuk berbicara. Lina adalah mahasiswi hukum yang vokal dalam menyuarakan isu-isu sosial.

“Kawan-kawan, pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN ini untuk menambah pendapatan negara,” ujar Lina. “Tapi, mari kita pikirkan. Untuk apa pendapatan itu digunakan? Apakah untuk membangun fasilitas kesehatan, pendidikan, atau justru menambah beban rakyat kecil? Kita di sini karena kita peduli. Kita di sini karena kita tidak ingin mereka yang berkuasa lupa bahwa tugas mereka adalah melayani rakyat!”

Sorak-sorai kembali membahana. Mahasiswa dari berbagai fakultas bersatu, mengesampingkan perbedaan demi satu tujuan: menolak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Namun, aksi damai itu tidak berjalan mulus. Ketegangan memuncak ketika beberapa peserta aksi mencoba mendekati gerbang DPRD. Aparat keamanan mulai bergerak, membentuk barikade.

“Jangan provokasi! Ini aksi damai!” teriak Arman melalui pengeras suara. Namun, gesekan kecil tak terhindarkan. Gas air mata ditembakkan ke udara, membuat kerumunan tercerai-berai. Siska yang berada di tengah-tengah massa segera berlari mencari perlindungan sambil tetap memegang kameranya erat-erat.

Arman tetap berdiri di barisan depan, matanya memerah terkena gas. “Jangan mundur, kawan-kawan! Kita di sini untuk memperjuangkan keadilan!” Meski napasnya tersengal, ia tidak mundur selangkah pun.

Setelah situasi sedikit reda, massa kembali berkumpul di pinggir jalan. Kali ini, orasi dilanjutkan di bawah pohon rindang, jauh dari gerbang yang dijaga ketat. Siska mendekati Arman yang tengah beristirahat, wajahnya penuh keringat dan debu.

“Kamu tidak apa-apa, Man?” tanya Siska sambil menyerahkan sebotol air.

Arman tersenyum lemah. “Aku tidak akan apa-apa selama suara kita terus terdengar.”

Siska terdiam, kagum pada keteguhan temannya. Ia tahu, perjuangan seperti ini tidaklah mudah. Namun, ia juga menyadari bahwa perubahan tidak akan terjadi tanpa keberanian.

Malam harinya, setelah aksi selesai, Siska kembali ke kamar kosnya. Ia menulis laporan panjang tentang aksi hari itu, lengkap dengan foto-foto dan wawancara singkat. Di akhir artikelnya, ia menulis:

“Aksi ini bukan hanya tentang menolak kenaikan pajak, tetapi tentang menyuarakan suara mereka yang sering dilupakan. Mahasiswa adalah garda terdepan, tetapi perjuangan ini milik seluruh rakyat. Kita harus terus melawan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan sosial.”

Di tempat lain, Arman duduk di beranda rumahnya, memandangi bintang-bintang. Meski lelah, ia merasa puas. Ia tahu perjuangan ini masih panjang, tetapi ia yakin langkah kecil hari ini bisa menjadi awal dari perubahan besar.

Keesokan harinya, dampak aksi itu mulai terasa. Media nasional meliput aksi mahasiswa Makassar dengan judul-judul yang menggugah: “Suara dari Timur: Mahasiswa Melawan PPN 12 Persen” dan “Aksi Damai Berujung Harapan Baru.” Arman menerima banyak pesan dari teman-teman kampus di berbagai daerah yang menyatakan solidaritas. Beberapa di antaranya bahkan berencana menggelar aksi serupa.

Namun, di balik semangat itu, ancaman juga datang. Arman menerima pesan anonim di ponselnya: “Hati-hati. Jangan terlalu berisik kalau tidak mau celaka.” Pesan itu membuatnya tertegun, tetapi tidak gentar. Ia sadar risikonya, tetapi ia yakin bahwa perjuangan mereka benar.

Hari-hari berikutnya diwarnai diskusi panjang di ruang-ruang kelas, warung kopi, dan media sosial. Mahasiswa Makassar menjadi simbol perlawanan yang menginspirasi. Arman dan Siska sering bertemu untuk membahas strategi aksi berikutnya, memperkuat jaringan dengan kampus lain, dan mengumpulkan data untuk memperkuat argumen mereka.

Perjuangan mereka mencapai puncaknya ketika pemerintah akhirnya mengumumkan bahwa rencana kenaikan PPN akan ditinjau ulang. Meski keputusan final belum diambil, berita itu menjadi angin segar bagi rakyat kecil.

Di tengah perayaan kecil di kampus, Arman berdiri di atas bangku panjang, dikelilingi teman-temannya. “Kawan-kawan, ini bukan kemenangan akhir, tetapi ini adalah bukti bahwa suara kita didengar. Kita harus terus memperjuangkan keadilan, karena perjuangan ini belum selesai!”

Sorak-sorai memenuhi udara malam itu. Siska mengambil foto Arman dan berpikir dalam hati, “Mungkin suatu hari nanti, cerita ini akan menjadi sejarah.”

Kisah ini menggarisbawahi betapa perubahan yang berarti senantiasa membutuhkan perjuangan gigih, keberanian, dan integritas. Keteguhan hati Arman, Siska, dan Lina membuktikan bahwa, sekalipun kecil, suara kebenaran mampu menantang kekuasaan jika dibarengi tekad yang kuat. 

Perjuangan mereka menjadi representasi keberanian melawan ketidakadilan, sekaligus pengingat bagi generasi muda akan pentingnya suara mereka dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran; masa depan bangsa terletak pada keberanian mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)