Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,658
Mengapa Kamu Selingkuh
Drama

Makassar di sore hari selalu memiliki keindahan tersendiri. Cahaya matahari yang perlahan turun ke horizon berpadu dengan hiruk-pikuk kehidupan kota, menciptakan perpaduan yang kontras namun menenangkan. Ratih menghela napas panjang di atas motornya, mencoba meredakan kepenatan setelah seharian bekerja. Ia tidak sabar untuk sampai di rumah, bertemu dengan Ardi, pria yang selama ini menjadi sandarannya.

Namun, sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesampainya di rumah, Ratih mendapati Ardi duduk di sofa ruang tamu. Tidak seperti biasanya, ia tidak menyambut Ratih dengan senyum hangat atau cerita-cerita kecil tentang harinya. Wajahnya tampak kusut, seperti ada beban berat yang menghimpitnya.

Ratih menaruh tasnya di meja. "Kamu nggak apa-apa, Di?" tanyanya lembut sambil melepas jaket.

Ardi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah lantai, jarinya mengetuk-ngetuk lengan sofa dengan gelisah.

Ratih,” akhirnya ia membuka suara. Nada suaranya pelan, nyaris bergetar. "Aku harus bilang sesuatu."

Ratih menghentikan langkahnya, instingnya langsung menangkap ada sesuatu yang tidak beres.

Apa?” tanyanya, meskipun hatinya sudah mulai dipenuhi firasat buruk.

Ardi mengangkat wajahnya, menatap Ratih dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku… aku telah berselingkuh."

Kata-kata itu menghantam Ratih seperti petir di siang bolong. Jantungnya berdegup kencang, tapi tubuhnya terasa lemas. Ia berdiri mematung, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.

Kenapa, Di?” tanyanya akhirnya, suaranya pelan namun penuh luka.

Ardi mengalihkan pandangannya, tampak kesulitan untuk menjawab. “Bukan karena aku tidak mencintaimu,” katanya dengan nada lirih. “Aku mencintaimu, Ratih. Selalu. Tapi… aku merasa kehilangan arah. Hidup kita terasa seperti rutinitas tanpa akhir. Lalu Maya datang… dia membuatku merasa dihargai, diperhatikan. Sesuatu yang kurasa sudah hilang dari hubungan kita.

Ratih menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Jadi, alih-alih membicarakan hal ini denganku, kamu memilih jalan pintas?” tanyanya, nadanya penuh kepedihan.

Ardi terdiam. Ia tahu, tidak ada pembenaran untuk apa yang telah ia lakukan.

Ratih, aku tahu aku salah. Aku menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya,” katanya dengan suara penuh harap.

Ratih menggeleng pelan. “Cinta itu bukan hanya tentang perasaan, Di. Cinta itu tentang kepercayaan, dan kamu sudah menghancurkannya.

Ratih beranjak ke kamar tanpa berkata lagi, meninggalkan Ardi yang terduduk lesu di sofa. Di dalam kamar, ia membiarkan air matanya mengalir deras. Kenangan-kenangan manis bersama Ardi berputar di kepalanya—dari tawa mereka di Pantai Losari hingga malam-malam panjang yang mereka habiskan berbincang tentang masa depan.

Namun, semua itu kini terasa jauh. Sebuah bayangan baru hadir di antara mereka, menciptakan jarak yang tak kasat mata namun sangat nyata.

***

Hari-hari berikutnya berlalu dengan canggung. Ratih dan Ardi masih tinggal di bawah atap yang sama, tetapi kehangatan di antara mereka telah sirna. Mereka berbicara hanya seperlunya, dan ketika mata mereka bertemu, yang tersisa hanyalah rasa bersalah di mata Ardi dan luka mendalam di mata Ratih.

Ratih mencoba mengalihkan perasaannya dengan tenggelam dalam pekerjaan. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di kantor, berbicara dengan kolega, bahkan menerima tugas tambahan yang sebelumnya ia hindari. Tapi di tengah kesibukannya, ia tidak bisa benar-benar melupakan apa yang telah terjadi.

Di malam-malam yang sepi, ia merenung. Apa yang salah dalam hubungan mereka? Apakah ia terlalu sibuk hingga melupakan Ardi? Ataukah cinta mereka memang sudah berubah seiring waktu?

Ia tidak bisa berhenti bertanya pada dirinya sendiri.

***

Beberapa minggu kemudian, Ardi meminta waktu untuk berbicara.

Mereka duduk di ruang tamu yang sama seperti saat Ardi mengakui perselingkuhannya. Namun kali ini, suasananya terasa berbeda.

Ratih,” Ardi memulai, menatapnya dengan serius. “Aku ingin kita bicara. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar, tapi aku ingin kita mencoba lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya.

Ratih menatapnya dalam-dalam. Ia melihat ketulusan di mata Ardi, tetapi ia juga tahu bahwa ketulusan saja tidak cukup untuk memperbaiki apa yang telah hancur.

Ardi, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya,” jawabnya jujur. “Aku sudah memaafkanmu, tapi aku tidak yakin bisa melupakan apa yang telah terjadi. Kepercayaan itu tidak mudah dibangun kembali.

Ardi terdiam. Kata-kata Ratih menyakitinya, tetapi ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi.

Kalau begitu,” katanya pelan, “apa yang ingin kamu lakukan?

Ratih menghela napas panjang. “Aku ingin kita memberi waktu untuk diri kita masing-masing. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini, dan kamu juga perlu waktu untuk memahami apa yang sebenarnya kamu inginkan.

Ardi mengangguk pelan. Meskipun itu bukan jawaban yang ia harapkan, ia tahu itu adalah yang terbaik untuk mereka berdua.

***

Bulan-bulan berikutnya, Ratih fokus pada dirinya sendiri. Ia mengambil kelas yoga, membaca buku-buku yang sudah lama ia tunda, dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil—seperti secangkir kopi di pagi hari atau senja di tepi pantai.

Sementara itu, Ardi juga berusaha memperbaiki dirinya. Ia berhenti menghubungi Maya dan mulai berkonsultasi dengan seorang terapis untuk memahami kesalahannya. Ia ingin menjadi versi dirinya yang lebih baik, bukan hanya untuk Ratih, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu lagi.

Mereka memilih sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Ratih tiba lebih dulu, mengenakan blus sederhana dan celana jeans. Ardi datang beberapa menit kemudian, tampak lebih kurus tetapi lebih tenang.

Mereka berbicara tentang banyak hal—pekerjaan, teman, dan kehidupan mereka selama beberapa bulan terakhir. Untuk pertama kalinya, percakapan mereka terasa ringan, tanpa beban.

Aku ingin bilang terima kasih, Ratih,” kata Ardi tiba-tiba.

Ratih menatapnya, bingung. “Untuk apa?

Untuk memberiku waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diriku. Aku belajar banyak dari apa yang terjadi,” jawabnya dengan jujur.

Ratih tersenyum tipis. “Kita semua belajar, Ardi. Aku juga belajar banyak dari pengalaman ini.

Mereka terdiam sejenak, membiarkan suasana kafe mengisi kekosongan di antara mereka.

Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” tanya Ardi akhirnya.

Ratih menghela napas panjang. “Aku ingin melanjutkan hidupku, Ardi. Aku ingin menemukan kebahagiaan, baik sendiri maupun dengan orang lain. Aku harap kamu juga melakukan hal yang sama.

Ardi mengangguk. Meski hatinya masih berat, ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat.

Ratih, aku berharap yang terbaik untukmu. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan,” katanya tulus.

Kamu juga, Ardi,” jawab Ratih dengan senyum lembut.

Mereka meninggalkan kafe itu dengan hati yang lebih ringan. Meskipun hubungan mereka telah berakhir, keduanya tahu bahwa pengalaman ini telah mengajarkan mereka banyak hal tentang cinta, kepercayaan, dan pentingnya mencintai diri sendiri.

Kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan. Kadang, cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan. Namun, dari setiap luka, ada pelajaran yang bisa kita ambil. Dan dari setiap akhir, ada awal yang menanti.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)