Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,073
Mukenah untuk Ibu
Drama

Aroma melati selalu mengingatkanku pada Ibu. Bukan dari bunga di taman, tetapi dari kain mukenah yang ia pakai setiap kali salat. Kainnya bukan mukenah baru, melainkan mukenah usang yang sudah kusam dan robek di beberapa bagian. Setiap kali aku melihatnya mengenakan mukenah itu, ada rasa haru yang muncul di hati. Ibu selalu tersenyum tenang, seolah kain itu adalah sesuatu yang paling berharga di dunia. Padahal, aku tahu, mukenah itu sudah lama menemani Ibu dalam ibadahnya.

Aku ingat betul hari ketika pertama kali memutuskan untuk membeli mukenah baru untuk Ibu. Semua dimulai ketika aku melihat Ibu mengenakan mukenah itu, dengan ujung kain yang sedikit robek di bagian jahitan dan warna ungu yang sudah memudar. Mukenah itu selalu membuat Ibu terlihat lebih sederhana, namun aku tahu betapa berharganya bagi Ibu.

Bisa nggak sih, aku beliin Ibu mukenah baru?” pikirku saat itu. Tapi untuk itu, aku harus menabung dulu. Sebenarnya, aku sudah cukup banyak uang jajan yang biasanya kutabung, tapi aku merasa itu tidak cukup untuk membelikan mukenah yang pantas untuk Ibu.

Aku mulai menabung lebih giat lagi. Tiga bulan lamanya. Aku rela mengurangi uang jajan siang dan tidak membeli es krim yang biasanya aku beli sepulang sekolah. Semua uang itu aku simpan rapat-rapat di celengan. Aku tidak ingin membuang-buang uang, karena ini untuk Ibu.

Hari demi hari berlalu, dan aku semakin tidak sabar untuk membeli mukenah itu. Setiap kali uang tabunganku mulai bertambah banyak, aku semakin yakin bahwa ini adalah hadiah yang paling tepat untuk Ibu. Bukan karena Ibu menginginkannya, tetapi karena aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuknya, sebagai bentuk rasa terima kasihku yang tidak terucapkan.

Hari ulang tahun Ibu akhirnya tiba. Ibu bangun pagi-pagi sekali, seperti biasa, untuk menyiapkan sarapan dan merapikan rumah. Wajahnya tampak lelah, namun Ibu selalu terlihat bahagia dengan apa yang ia lakukan. Aku tidak tahu bagaimana cara Ibu tetap bisa tersenyum meskipun banyak hal yang harus ia urus seorang diri. Kadang aku merasa malu, karena seringkali aku merasa belum bisa membahagiakan Ibu.

Aku memandangi mukenah ungu lavender yang telah kubeli. Warnanya lembut, sesuai dengan yang Ibu suka. Kainnya terasa halus, berbeda jauh dari mukenah yang biasa Ibu pakai. Aku membayangkan bagaimana Ibu akan tersenyum bahagia saat melihatnya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, seperti ada yang belum lengkap. Mungkin aku merasa bahwa hadiah ini tidak cukup untuk menggantikan semua pengorbanan Ibu selama ini.

Pagi itu, setelah sarapan, aku membawa kotak kecil yang sudah kujahit sendiri. Kotak itu aku hiasi dengan pita ungu yang senada dengan mukenah. Di dalamnya, aku menyelipkan kartu kecil bertuliskan: “Untuk Ibu tersayang, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Cinta, Anakmu”.

Ibu, ini hadiah dari aku untuk ulang tahun Ibu,” kataku, mencoba menyembunyikan rasa gugup di dalam dada. Tangan Ibu yang semula sibuk mencuci piring berhenti sejenak. Ia memandangku dengan mata penuh rasa penasaran.

Hadiah? Untuk Ibu?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku mengangguk, menyerahkan kotak kecil itu padanya. Ibu menerima kotak itu dengan lembut, membuka pita ungu yang menghiasinya, dan mulai membuka kotak itu dengan hati-hati. Ketika mukenah ungu lavender itu terungkap, mata Ibu tiba-tiba berbinar. Ia memegang kain itu dengan pelan, seperti sedang memegang sesuatu yang sangat berharga.

Astaghfirullah, ini... untuk Ibu?” Suaranya bergetar, dan air mata mulai mengalir di pipinya.

Iya, Bu. Aku... aku ingin Ibu punya mukenah baru,” jawabku, sedikit terkejut melihat reaksi Ibu. Aku tahu Ibu senang, tapi aku tidak menduga ia akan menangis seperti itu.

Ibu memelukku erat, menyentuh pipiku dengan lembut. "Terima kasih, Nak. Ini hadiah yang sangat indah."

Tapi entah mengapa, hati ini terasa kosong. Ada perasaan aneh yang menghantui. Perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Aku memandang mukenah itu dengan hati yang penuh pertanyaan. Kenapa aku merasa seperti ini? Seolah ada yang hilang.

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah seperti biasa. Tetapi, selama di kelas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa cemas, seperti ada sesuatu yang tidak beres. Tidak ada yang spesial di pagi itu, namun ada perasaan yang tidak bisa kuabaikan. Ketika jam pulang sekolah tiba, aku langsung bergegas pulang ke rumah.

Saat aku tiba, suasana di rumah terasa sepi. Tidak seperti biasanya, Ibu tidak terlihat di dapur atau di ruang tamu. Aku memanggil-manggilnya, tetapi tidak ada jawaban. Aku mulai khawatir. Aku berjalan menuju kamar Ibu dan menemukan pintu kamar terbuka sedikit. Aku melangkah masuk dan melihat Ibu terbaring di tempat tidur dengan wajah yang pucat.

"Ibu? Ibu?" panggilku panik. Tubuh Ibu terasa dingin dan tidak bergerak. Aku memegang tangannya yang lemas, dan saat itu aku tahu, bahwa Ibu sudah tidak ada lagi.

Seluruh tubuhku terasa lemas. Aku tidak bisa berpikir. Semua yang ada di pikiranku adalah mukenah yang kuberikan tadi pagi. Mukenah yang belum sempat dikenakan. Aku tidak sempat melihat Ibu mengenakannya.

"Astaghfirullah... Ibu..." bisikku. Air mata mengalir tanpa bisa aku tahan lagi. Aku merasa begitu menyesal, begitu kehilangan. Kenapa aku tidak lebih cepat memberikannya? Kenapa aku tidak sempat melihat Ibu tersenyum bahagia dengan mukenah itu?

Mukenah itu kini hanya sebuah kenangan. Sebuah kenangan yang tak bisa terulang. Aku memeluk kain itu dengan hati yang penuh sesak. Ini adalah kenangan terakhir yang bisa kuberikan untuk Ibu. Mukena ungu lavender itu, yang sekarang hanya bisa aku simpan sebagai tanda cinta yang tak pernah sempat ia rasakan.

Aku duduk di samping tempat tidur Ibu, menatap wajahnya yang tenang. Mungkin ini adalah cara Allah mengingatkan aku untuk lebih menghargai setiap detik bersama orang-orang yang kita cintai. Aku berdoa, semoga Ibu tenang di sisi-Nya, dan mukenah itu menjadi penyerta doa-doa Ibu di akhirat.

"Ibu, semoga kamu selalu bahagia di sana," bisikku. "Aku mencintaimu, Ibu."

Aku berharap, meski Ibu tak lagi ada di dunia ini, cintanya akan tetap hidup dalam hatiku. Mukenah itu mungkin tidak sempat Ibu pakai, tapi ia akan selalu menjadi kenangan indah yang akan kupertahankan selamanya.

***

Hari-hari setelah kepergian Ibu terasa sangat berat. Setiap sudut rumah seperti menyimpan kenangan tentangnya. Setiap kali aku melewati ruang dapur, aku teringat pada Ibu yang selalu memasak dengan penuh cinta, meskipun sering kali tubuhnya lelah dan wajahnya pucat. Aku merasa sangat kehilangan. Namun, ada satu hal yang selalu membuatku merasa Ibu masih ada: mukenah ungu lavender yang kuberikan padanya.

Aku meletakkan mukenah itu di lemari pakaian Ibu, di tempat yang dulu selalu digunakan Ibu untuk menyimpan mukenahnya yang lama. Setiap kali aku membuka lemari itu, aku merasakan kehadiran Ibu seolah-olah dia masih ada di sini, masih tersenyum lembut dengan mukenah yang baru. Tapi, keheningan yang mendalam menyelimuti hatiku. Tidak ada suara Ibu lagi di rumah, tidak ada langkah kaki yang sibuk berlarian, hanya sepi.

Di malam hari, ketika aku merasa terlalu lelah dengan semua pikiran dan kenangan yang membelenggu, aku sering duduk di tempat tidur Ibu, memeluk mukenah itu erat-erat. Mukenah itu bukan hanya sebuah kain, bukan sekadar hadiah yang aku berikan untuk Ibu, tetapi ia menjadi simbol cinta dan rasa terima kasih yang begitu dalam. Aku tahu, meskipun Ibu tidak sempat mengenakannya, mukenah itu akan tetap menjadi kenangan yang abadi, pengingat bagi diriku akan kasih sayang dan pengorbanan Ibu yang tak terhingga.

Aku sering teringat kembali pada saat-saat kecil yang penuh kebahagiaan bersama Ibu. Ketika aku masih kecil, Ibu selalu menyempatkan diri mengajakku bermain, meskipun kesibukannya tidak pernah ada habisnya. Ibu adalah orang yang selalu memastikan aku merasa aman, bahagia, dan dihargai. Saat aku sakit, Ibu adalah yang pertama datang dengan pelukan hangat, memberiku obat dan menenangkan hatiku. Ibu tak pernah meminta apapun, bahkan ketika ia sendiri sedang lelah. Ia selalu memberi, selalu menjaga, tanpa mengeluh.

Setiap kali aku merasa kesulitan, baik dalam belajar maupun masalah pribadi, Ibu selalu ada untuk memberikan dukungan. Ia tidak hanya mengajari aku tentang kehidupan, tetapi juga mengajarkan tentang kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan dalam berdoa. Aku sering teringat nasihat Ibu yang sederhana namun penuh makna, "Nak, hidup ini penuh ujian, dan Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Berdoalah dan bersabarlah, pasti ada jalan keluar."

Mukenah ungu lavender itu, yang kini menjadi kenangan terindah yang tertinggal darinya, selalu mengingatkanku pada semua pengorbanan yang telah Ibu berikan untukku. Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah aku sudah cukup menghargai setiap momen bersama Ibu? Apakah aku sudah cukup berterima kasih atas segala yang Ibu lakukan untukku? Aku merasa waktu itu terlalu singkat. Aku ingin mengulangnya, ingin memberinya lebih banyak cinta dan perhatian. Tapi waktu tidak bisa berputar kembali.

Hari-hari berlalu, dan aku mulai belajar untuk berdamai dengan kehilangan ini. Mukenah itu tetap ada di sampingku, menjadi pengingat bahwa cinta Ibu tidak pernah berakhir. Aku sering berdoa untuknya, berharap semoga Ibu tenang di sisi-Nya, dan semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, seperti yang Ibu harapkan. Setiap kali aku merasa lemah, aku akan menatap mukenah itu, dan itu memberiku kekuatan. Mukenah itu seperti doa yang tak pernah putus, menjadi penghubung antara aku dan Ibu meskipun kami terpisah oleh jarak.

Suatu hari, aku memutuskan untuk menyumbangkan mukenah itu kepada sebuah panti asuhan, sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukurku kepada Ibu. Aku tahu bahwa Ibu akan merasa bangga jika ia tahu bahwa mukenah itu digunakan untuk membantu orang lain. Di panti asuhan itu, ada seorang anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya. Matanya penuh dengan kesedihan, namun ketika dia menerima mukenah itu, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Senyum itu seperti membawa kedamaian bagi hatinya.

Melihat anak itu mengenakan mukenah yang sama dengan yang pernah Ibu pakai, aku merasa bahwa Ibu masih hidup dalam setiap langkahku, dalam setiap tindakan baik yang aku lakukan untuk orang lain. Ibu selalu mengajarkan aku untuk berbagi dan peduli kepada sesama, dan sekarang aku berusaha untuk menjalankan ajaran itu dengan sepenuh hati.

Di malam hari, aku berdiri di samping makam Ibu, dengan mukenah itu di tangan. "Ibu, aku sudah berusaha. Aku sudah berusaha membuatmu bangga. Aku akan terus berdoa untukmu, dan aku akan menjaga nilai-nilai yang Ibu tanamkan dalam diriku. Mukenah itu, dan semua kenangan tentangmu, akan selalu ada dalam hatiku, Ibu."

Aku menyentuh batu nisan Ibu dengan lembut, merasakan seolah ada kehangatan yang mengalir dari sana. Meskipun Ibu telah tiada, rasa cinta dan kasih sayangnya akan terus hidup dalam diriku. Setiap kali aku merasa lelah atau kesepian, aku akan mengingat Ibu dan mukenah itu. Karena di balik kain itu, ada cinta yang tak ternilai harganya, cinta yang akan tetap hidup selamanya.

Kini, aku tidak lagi merasa sepi. Aku merasa Ibu selalu ada di sampingku, membimbingku dengan doa-doanya yang tak pernah terputus. Mukena itu bukan hanya sebuah hadiah, tetapi juga warisan yang Ibu tinggalkan untukku, yang akan selalu mengingatkan aku akan kebesaran hatinya, keikhlasannya, dan pengorbanannya yang tak pernah terbalaskan.

Aku tahu, meskipun Ibu sudah tiada, cinta Ibu akan terus mengalir dalam setiap langkah hidupku. Dan aku akan terus berusaha menjadi orang yang lebih baik, seperti yang selalu Ibu harapkan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)