Flash
Disukai
1
Dilihat
7,482
Terlilit Janji, Terselip Luka
Drama

Ratna duduk di meja makan, menatap kosong ke arah piring yang sudah lama kosong. Seminggu terakhir, suaminya, Bayu, tak pernah lagi memberi uang untuk keperluan rumah. Anak mereka butuh susu, tagihan menumpuk, tapi Bayu hanya mengelak setiap kali ia bertanya.

"Besok, ya. Nanti aku urus," katanya sambil berlalu, menyisakan Ratna dalam ketidakpastian.

Kecurigaannya memuncak saat seorang tetangga tanpa sengaja mengungkap bahwa Bayu meminjam uang di bank. Bukan untuk mereka, tapi untuk menutup utang saudaranya. Ratna tercekat. Setiap bulan, gaji Bayu habis membayar cicilan. Ia merasa terkhianati—bukan hanya karena uang itu, tapi karena Bayu tak pernah jujur.

Ratna memutuskan untuk bertanya langsung kepada keluarga suaminya. Namun, saat ia mengunjungi mereka, jawabannya mengecewakan. "Itu urusan keluarga kami, Ratna. Kamu tidak perlu ikut campur."

Air mata mengalir deras di pipinya saat ia mendengar kalimat itu. Keluarga Bayu menutup pintu komunikasi, seakan tak peduli pada derita yang harus ia tanggung bersama anak mereka.

Pulang ke rumah, Ratna mengambil napas panjang. Bayu tak kunjung berubah. Ia menyadari, ini bukan soal uang lagi—ini soal kepercayaan yang hancur. 

Malam itu, Ratna mengepak barang-barangnya, membawa anak mereka, dan meninggalkan rumah yang dulu mereka bangun bersama. "Lebih baik sendiri daripada hidup dalam dusta," katanya pelan pada dirinya sendiri.

Ketika pintu rumah tertutup di belakangnya, Ratna merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Namun, bayangan wajah anaknya yang tertidur pulas membuat hatinya semakin perih. Masa depan mereka kini sepenuhnya di tangannya. Ia tak punya pilihan lain selain kuat, meski hati rapuh.

Keesokan harinya, Bayu datang, wajahnya penuh penyesalan. "Ratna, aku bisa jelaskan semuanya," katanya, berusaha meraih tangannya. Namun, Ratna mundur selangkah, menggeleng.

"Aku sudah lelah dengan penjelasan, Bayu. Kamu selalu mendahulukan keluargamu tanpa memikirkan bagaimana aku dan anak kita akan bertahan. Bukan soal uang yang kamu pinjam—ini soal kejujuran yang kamu buang."

Bayu tertunduk, tak bisa membantah. Ratna melanjutkan, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. "Aku sudah bertanya, dan keluargamu hanya menolakku mentah-mentah. Aku bukan sekadar istri yang menunggu di rumah. Aku ini ibu dari anak kita, dan aku punya hak untuk tahu apa yang terjadi."

Bayu terdiam lama. Dalam keheningan itu, Ratna tahu, ini bukan lagi tentang siapa yang salah atau benar. Mereka telah berjalan di jalur yang berbeda.

"Aku memilih berpisah, bukan karena aku tak mencintaimu lagi, tapi karena aku tak bisa hidup dalam hubungan yang penuh kebohongan. Anak kita butuh kehidupan yang stabil, yang tenang—dan aku tidak bisa memberikannya jika terus bersamamu."

Mata Bayu berkaca-kaca, tapi Ratna tetap tegar. Ini adalah akhir yang ia pilih, bukan karena kebencian, tapi demi kedamaian yang ia dan anaknya butuhkan. 

Saat Bayu pergi, Ratna memeluk anaknya erat-erat. Jalan ke depan mungkin akan sulit, tapi setidaknya kini ia tahu, dirinya tak lagi harus bergantung pada janji-janji kosong.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)