Masukan nama pengguna
Mentari pagi menyinari sawah yang luas terhampar di depan rumah panggung sederhana milik Pak Karto. Udara pagi masih terasa dingin, menyentuh kulit, tetapi Pak Karto sudah terbangun. Sebagai seorang buruh tani, pekerjaan harus dimulai lebih awal, sebelum matahari benar-benar meninggi dan tanah menjadi keras. Tangannya yang kasar, penuh dengan garis-garis bekas luka akibat kerja keras, memegang cangkul. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan bekerja di sawah, mencari rupiah demi masa depan anaknya, Andi.
Andi, putra semata wayangnya, sedang mempersiapkan ujian meja untuk bisa menyelesaikan studinya. Ujian yang akan menentukan apakah ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana dari salah satu perguruan tinggi bergengsi di Kota Makassar, yang sudah lama ia impikan. Pak Karto selalu berdoa agar Andi lulus dengan baik. Ia bangga melihat anaknya yang cerdas, berjuang keras untuk bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi meskipun kehidupan mereka serba kekurangan.
Kehidupan mereka memang tidak mudah. Sejak istri Pak Karto meninggal beberapa tahun lalu, ia harus mengurus Andi seorang diri. Tak ada lagi pelukan lembut seorang ibu, hanya ada Pak Karto yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pak Karto bekerja dari pagi hingga malam, dengan segala kekuatan yang ia miliki, demi memastikan masa depan Andi cerah. Semua uang yang diperolehnya ditabung untuk biaya kuliah Andi. Ia tidak pernah mengeluh meskipun hidup mereka tidak pernah mudah.
Andi sangat menyadari perjuangan ayahnya. Meski ia merupakan anak yang cerdas, ia tak mau menyusahkan ayahnya lebih jauh. Untuk membantu meringankan beban keluarga, Andi bekerja paruh waktu. Setiap sore setelah kuliah, ia membuka jasa gambar potret dan lukisan untuk para mahasiswa atau siapa saja yang membutuhkan. Uangnya ia tabung untuk keperluan kuliah, membeli buku, atau membantu membayar uang makan selama ia jauh dari rumah. Andi bekerja keras, namun ia selalu berusaha menjaga nilai akademiknya agar bisa lulus tepat waktu.
Malam sebelum ujian meja, Andi duduk di kamar, mempersiapkan segala sesuatu untuk ujian yang sangat penting baginya. Ia membuka lemari pakaiannya dan matanya tertuju pada sebuah kemeja putih milik ayahnya yang tergantung rapi di sana. Kemeja itu sudah usang, beberapa bagian sobek, tetapi selalu dicuci dan disetrika dengan rapi oleh Pak Karto. Kemeja itu adalah saksi bisu dari semua pengorbanan ayahnya, simbol dari kerja keras yang tak pernah terucapkan.
Andi teringat saat-saat ketika ia masih kecil, ketika ayahnya selalu mengenakan kemeja putih itu saat mengantarnya ke sekolah. Bau khas kemeja itu, campuran keringat dan tanah, selalu mengingatkan Andi pada kasih sayang dan perjuangan ayahnya yang tak kenal lelah. Meskipun hidup mereka serba kekurangan, Andi selalu merasa dilindungi oleh cinta dan pengorbanan ayahnya.
Dengan hati bergetar, Andi memutuskan untuk mengenakan kemeja putih itu keesokan harinya, saat ujian meja. Bukan karena ia ingin tampil gaya, tetapi karena ia ingin mengenakan simbol pengorbanan dan cinta seorang ayah yang telah memberi segalanya untuk masa depannya. Andi tahu betul, ayahnya akan memberikan apapun untuknya, asalkan ia bisa berhasil dan mencapai impian yang selama ini mereka perjuangkan bersama.
Pagi harinya, Andi mengenakan kemeja putih itu dengan penuh rasa hormat. Meskipun sedikit kekecilan, ia merasa nyaman mengenakannya. Ada sesuatu yang luar biasa yang ia rasakan. Kemeja itu memberi semangat dan kekuatan yang tak terucapkan. Ia merasa seperti ada tangan tak terlihat yang selalu mendukungnya. Andi berjalan menuju kampus dengan langkah mantap, meski jantungnya berdebar kencang. Ujian meja adalah ujian yang sangat menentukan nasibnya.
Di ruang ujian, Andi duduk dengan penuh konsentrasi. Ujian meja bukanlah ujian tertulis, tetapi ujian lisan di mana ia harus mempresentasikan hasil skripsinya di hadapan para penguji. Andi mengingat semua yang telah ia pelajari, semua usaha yang telah ia lakukan untuk menulis skripsi ini. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang menentukan, ujian akhir yang akan menguji seberapa dalam pemahamannya terhadap topik yang ia pilih.
Dengan tenang, Andi mulai mempresentasikan skripsinya. Ia menjelaskan setiap bagian dari penelitian yang telah ia lakukan dengan percaya diri. Setiap jawaban yang ia berikan terhadap pertanyaan penguji didasari oleh pemahaman yang mendalam, hasil dari kerja keras dan usaha yang selama ini ia lakukan. Andi berbicara dengan jelas, mengikuti alur yang telah ia persiapkan dengan matang. Meski ada sedikit rasa cemas di dalam hati, ia berusaha untuk tetap fokus dan tidak terbawa suasana. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, dan ia ingin memberikan yang terbaik.
Di hadapan penguji, Andi sukses mempresentasikan skripsinya. Ia mampu menjelaskan hasil penelitiannya dengan baik, menjawab setiap pertanyaan dengan penuh keyakinan. Penguji tampak puas dengan penampilannya, memberikan beberapa pujian atas kualitas skripsi dan cara Andi menyampaikannya. Saat sesi tanya jawab berakhir, penguji memberikan keputusan bahwa Andi lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan mendapatkan predikat cum laude. Andi merasa seperti ada beban berat yang terlepas dari pundaknya. Ia berhasil, dan ini adalah hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
Beberapa hari kemudian, di hari wisuda, Pak Karto duduk di bangku penonton dengan mata yang berkaca-kaca. Ia melihat Andi berdiri di atas panggung, mengenakan toga hitam dengan senyum bangga di wajahnya. Pak Karto merasa seperti seluruh dunia berhenti sejenak, menyaksikan momen yang begitu membanggakan ini. Andi, anak semata wayangnya, telah berhasil meraih gelar Sarjana dengan usaha keras dan kerja cerdas. Semua pengorbanan Pak Karto terbayar lunas.
Usai wisuda, Andi langsung mencari ayahnya. Ia menghampiri Pak Karto dan memeluknya erat-erat. "Terima kasih, Yah," bisiknya dengan suara bergetar. "Terima kasih atas semua yang ayah lakukan untukku. Tanpa ayah, aku tidak akan sampai di sini."
Pak Karto tersenyum dengan air mata yang mengalir deras. Ia mengusap rambut Andi dengan tangan yang kasar, tangan yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya. "Anakku, ayah bangga padamu," kata Pak Karto, suaranya serak menahan haru. Kemeja putih itu kini tersimpan rapi di dalam lemari, sebagai kenangan abadi yang akan selalu mereka kenang. Kemeja itu bukan hanya sekadar pakaian, tetapi simbol dari segala perjuangan dan pengorbanan yang telah dilalui.
Kemeja putih itu sekarang menjadi simbol dari cinta seorang ayah yang tak terhingga, dari segala pengorbanan yang tak ternilai harganya. Itu adalah lambang dari kerja keras yang tak kenal lelah, yang akhirnya membawa Andi meraih mimpi-mimpinya. Kemeja putih itu, meski sederhana, akan selalu dikenang oleh Andi sebagai pengingat akan kasih sayang yang tulus dan pengorbanan yang tak terhingga dari seorang ayah.
Kisah kemeja putih itu, kini menjadi kenangan yang akan selalu hidup dalam hati Andi, sebagai bukti bahwa cinta seorang ayah mampu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi anaknya untuk menggapai impian. Dan Andi tahu, perjalanan hidupnya baru dimulai. Dengan segala pelajaran yang ia peroleh, ia akan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk ayah yang telah memberikan segalanya untuknya.