Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,791
Poppok : Teror Makhluk Misterius
Horor

Malam turun perlahan di sebuah desa terpencil di Sulawesi Selatan. Udara malam terasa lembap, dipenuhi kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Cahaya rembulan yang pucat menyinari rumah-rumah kayu yang tampak usang, seolah menyimpan banyak rahasia yang terlupakan. Di desa ini, suara malam biasanya hanya diisi oleh hewan-hewan liar yang berkeliaran di hutan sekitar. Namun malam ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang sudah lama diceritakan oleh orang-orang tua dengan penuh ketakutan: Poppok.

Rara, seorang ibu muda, duduk di beranda rumahnya yang menghadap hutan. Ia memeluk perut besarnya yang tengah hamil tua. Wajahnya murung, penuh kecemasan. Beberapa hari terakhir, dia sering mendengar suara aneh saat senja menjelang, tepat di waktu antara magrib dan malam yang gelap. Suara seperti batok kelapa yang dipukul, "Pok, pok," terdengar dari kejauhan. Namun, neneknya pernah memperingatkan, suara yang terdengar jauh itu berarti Poppok berada sangat dekat.

"Jangan keluar malam-malam, Rara," ibunya selalu mengingatkan. "Poppok sedang mencari mangsa, dan ibu hamil seperti kamu harum di hidung mereka."

Namun, rasa penasaran Rara perlahan mengalahkan ketakutannya. Malam itu, suara "pok, pok" terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih mengancam. Suara itu tidak lagi terasa asing—ia tahu persis apa yang membuatnya. Poppok, makhluk yang sudah lama menghantui desanya.

Tiba-tiba, angin malam terasa lebih dingin. Daun-daun kering berdesir tanpa arah, dan suara itu semakin mendekat, disertai oleh bunyi gemerisik dari arah hutan. Rara segera beranjak masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat. Namun, tidak ada yang bisa menenangkan hatinya yang terus berdebar.

Di tengah malam, tepat saat desa tenggelam dalam sunyi, terdengar lagi suara gemerisik dari atap rumahnya. Seolah ada sesuatu yang merayap, mencari celah untuk masuk. Rara merasakan bulu kuduknya meremang. Lalu terdengar suara itu lagi, kali ini sangat dekat. "Pok... pok..."

Ia menahan napas, mencoba mendengarkan dengan lebih cermat. Mungkinkah itu hanya imajinasinya? Tetapi suara itu semakin jelas. Perlahan, ia mendekati jendela, menarik tirai sedikit untuk melihat keluar. Apa yang dilihatnya membuatnya nyaris berteriak.

Di langit malam, ada sesuatu yang melayang rendah, seolah menari di udara. Sosok itu adalah kepala seorang perempuan, dengan rambut panjang yang kusut, dan di bawahnya tergantung organ-organ tubuh yang terbuka. Mata makhluk itu menyala merah, seolah mencari mangsa. Tak salah lagi, itu adalah Poppok.

Poppok mengendus-endus udara, mencari aroma yang selama ini diceritakan oleh penduduk desa—aroma dari wanita hamil tua, seperti Rara. Makhluk itu melayang mendekati rumah Rara, namun tiba-tiba berhenti, seolah merasakan sesuatu. Poppok berbalik dengan gerakan cepat dan menghilang ke dalam gelap. Rara jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal. Ia selamat, untuk saat ini.

Pagi harinya, desas-desus tentang penampakan Poppok mulai tersebar di antara penduduk desa. Mereka semua memperingatkan Rara untuk lebih berhati-hati. Malam itu, suaminya pulang setelah beberapa hari bekerja di luar desa. Ia membawa kabar yang mengerikan: seekor sapi di desa tetangga ditemukan mati dengan perut terkoyak, hanya tersisa tulang dan kulit.

"Tidak lama lagi Poppok akan kembali," bisik suaminya. "Kita harus berhati-hati."

Malam berikutnya, Rara mencoba tidur lebih awal, tetapi tak bisa lepas dari rasa takut. Suaminya berusaha menenangkannya, tetapi Rara merasa ada sesuatu yang salah. Ia kembali mendengar suara itu—lebih keras dan lebih cepat kali ini. "Pok... pok... pok...

Ketika suaminya bangkit untuk memeriksa, ia mendengar suara teriakan dari rumah tetangga. Seketika, seluruh desa terbangun. Mereka berlari menuju sumber suara, hanya untuk menemukan seorang wanita tua terbaring tanpa nyawa, dengan tubuhnya tercabik-cabik.

Penduduk desa mulai berkumpul, membawa obor dan senjata seadanya. Mereka bertekad untuk menangkap Poppok yang selama ini menghantui desa. Namun, Poppok bukan makhluk biasa. Ia bisa menyembunyikan tubuh aslinya, menghilang di antara pepohonan, menyelinap tanpa jejak. Bahkan, ada desas-desus bahwa seorang pria di desa ini mungkin sudah menikahi seorang Poppok tanpa sadar

Malam terus berlalu dalam ketakutan, tetapi satu hal pasti: teror Poppok masih belum berakhir.

***

Malam semakin larut. Setelah penduduk desa berkumpul dan mencoba mencari jejak Poppok, mereka kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan was-was. Meski mereka telah menyisir hutan, makhluk itu seperti angin—tak terkejar dan tak terlihat. Rara berbaring gelisah di tempat tidurnya. Di sebelahnya, suaminya tampak terlelap, tapi Rara tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Sekitar tengah malam, Rara kembali mendengar suara aneh, kali ini dari dalam rumahnya. Suara itu tidak lagi seperti gemerisik dedaunan atau bunyi "pok" yang biasa terdengar di luar. Ini adalah bunyi langkah kaki yang lembut di lantai kayu rumahnya. Jantungnya berdegup kencang. 

“Bisa jadi suamiku sedang berjalan,” pikirnya. Namun, ketika ia menoleh ke samping, suaminya masih terlelap di tempat tidur, wajahnya tertutup oleh selimut. 

Rara mulai merasakan hawa dingin yang aneh, seolah udara di sekitar kamarnya menjadi lebih berat dan sesak. Ia memutuskan untuk bangun, namun ketika kakinya menyentuh lantai, suara langkah kaki itu berhenti. Diam sesaat.

Kemudian, dengan cepat, pintu kamarnya berderit terbuka sendiri. Di ambang pintu, berdiri sosok perempuan. Kepalanya terkulai sedikit ke samping, rambutnya kusut, dan matanya menatap Rara dengan pandangan kosong. 

"Siapa kau?" bisik Rara, suaranya serak.

Sosok itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan, kepalanya mulai bergerak naik dari tubuhnya. Dengan suara mengerikan, kepala itu terpisah, melayang di udara, sementara isi perutnya mengikuti dengan lelehan darah dan organ yang tergantung menjijikkan.

Itu Poppok.

Rara mundur, terjebak antara rasa takut dan tak percaya. Poppok itu tidak langsung menyerang, seolah menikmati ketakutan Rara yang semakin memuncak. Wajahnya, yang semula terlihat biasa, mulai berubah. Kulitnya menipis, matanya semakin merah, dan mulutnya mulai mengeluarkan suara yang serak, seperti tawa yang tertahan.

Dalam kepanikan, Rara mencoba membangunkan suaminya. “Bangun! Poppo ada di sini!” teriaknya, tetapi suaminya tidak bergerak. Saat Rara menarik selimutnya, ia terhenyak. Yang berada di tempat tidur bukanlah suaminya—melainkan seonggok daging yang kering, tanpa kulit dan darah. Suaminya sudah mati, mungkin sejak beberapa malam lalu.

Rara menjerit, tapi suaranya tercekik di tenggorokan. Poppok semakin mendekat, perlahan-lahan mengulurkan tangannya yang mengerikan untuk meraih Rara. Ketika makhluk itu hampir menyentuhnya, pintu depan rumah tiba-tiba terbuka keras, diikuti oleh teriakan beberapa penduduk desa yang membawa obor.

"Rara! Di mana kau?!" teriak salah satu penduduk.

Suara langkah-langkah berat di luar membuat Poppok berbalik seketika. Dengan sekali lompatan, ia melesat keluar dari jendela, menghilang ke kegelapan malam, meninggalkan jejak darah di lantai.

Para penduduk desa masuk dan mendapati Rara terguncang hebat. Mereka dengan cepat menyadari mayat suaminya yang sudah berubah menjadi bangkai busuk di tempat tidur.

"Ini bukan pekerjaan manusia," ujar salah satu pria tua di desa itu, yang selama ini dikenal sebagai penasehat spiritual. "Poppok itu telah menjebaknya selama berhari-hari. Ia sudah mati sejak lama."

Penduduk desa pun sadar bahwa mereka menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari yang mereka kira. Poppo tidak hanya sekadar makhluk yang berkeliaran di malam hari; ia juga bisa menyamar di antara mereka, menipu, membaur, hingga korbannya lengah.

Setelah kejadian itu, Rara tak pernah benar-benar pulih. Setiap malam, ia masih mendengar suara "pok... pok..." di kejauhan, dan aroma bangkai busuk terus tercium dari tempat tidurnya, meskipun suaminya sudah lama dimakamkan.

Kehidupan di desa itu berubah. Penduduk mulai berbondong-bondong meninggalkan desa yang dianggap terkutuk. Sementara Rara, yang kini hidup seorang diri, menunggu hari-hari terakhirnya dengan penuh ketakutan. Suara itu tidak pernah benar-benar pergi.

Dan suatu malam, suara "pok... pok..." terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih dekat. Rara tahu, Poppo telah kembali. Tetapi kali ini, ia datang untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)