Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,276
Kertas Balas Kertas
Slice of Life

       “Dia Hanin, Bu. Karyawan baru hasil rekrutmen kemarin, ”ujar salah seorang stafku. Aku memang bertanya padanya. Menanyakan identitas seorang pegawai wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya di kantorku.

          Hari ini adalah hari pertamaku berada di kantor. Kemarin selama dua minggu lamanya aku mengikuti workshop di luar. Jumlah karyawan di Divisi Pemasaran yang kupimpin tidak terlalu banyak. Hanya beberapa puluh orang saja, dan semuanya kukenal baik. Makanya begitu terlihat seorang pegawai baru,─wajahnya sebenarnya sangat familier─aku spontan bertanya-tanya, mengapa dia bisa berada di divisi ini?

          Kulihat karyawan baru itu begitu fokus dengan pekerjaan. Dia sama sekali tak tahu kedatanganku sebagai atasannya. Konsentrasinya hanya tertuju pada layar komputer di depan. Temannya yang berada di samping spontan mengingatkannya. Agak tergopoh dia lalu berdiri begitu sadar aku berada di depannya.

          “Selamat Pagi, Bu,” sapanya sembari sedikit menundukkan kepala, memberi hormat padaku.

          Cukup lewat melengkungkan bibirku, begitulah caraku membalas sapaannya. Selanjutnya aku melangkah menuju ruang kerjaku. Kendati sikapku terkesan menjaga wibawa, namun tidak demikian halnya dengan kata hatiku. Kalau saja aku tidak memikirkan waktu dan tempat, rasanya ingin sekali mulut ini berbincang dengannya.

          Masuk ke dalam ruang kerjaku, aku langsung mencari tahu biodata karyawan baru itu. Layar monitor PC di atas meja kerjaku lantas menyajikan padaku arsip atas namanya. Lantas kusimak secara detail curriculum vitae miliknya.

        Kiranya dia dan aku lahir di kota yang sama. Dia menyelesaikan SD sampai SMA di sekolah yang sama denganku. Dia pun menyelesaikan kuliahnya di universitas yang juga sama denganku. Aku menggelengkan kepala ketika membaca riwayat pekerjaannya. Sudah lima kali dia berpindah tempat kerja karena PHK.

          “Kamu tak banyak berubah, Nin,” gumamku usai menatap pas foto yang menampak di layar monitor PC. Tak salah lagi jika dia adalah Hanindya, kawanku semasa menuntut ilmu dulu.

          Serta-merta memori membawaku ke masa lampau. Masa di mana aku dan Hanin seperti ditakdirkan untuk selalu bersama. Sejak berada di bangku SD sampai SMA, aku dan Hanin selalu duduk satu meja. Kebersamaan kami terus berlanjut. Kami kembali diterima di universitas negeri yang sama. Kami hanya berbeda jurusan saja.

          Apes, sewaktu bersiap memasuki jenjang perguruan tinggi, nasib buntung malah menimpaku. Sekonyong-konyong badai krisis menerjang ekonomi keluargaku.

          Ayah terkena gelombang PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Di usia yang sudah tak muda lagi, sulit bagi Ayah mendapatkan pekerjaan baru. Aku nyaris saja membatalkan keinginan untuk kuliah, namun Ayah selalu memberiku dorongan semangat agar tetap kuliah.

          “Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap kuliah. Hanya dengan pendidikan yang baik, kamu bisa mendapatkan masa depan yang baik pula. Ayah berjanji akan sekuat tenaga untuk mencari biaya pendidikanmu.” Demikian Ayah yang tiada henti memotivasiku. Kala itu aku memang sudah patah arang, karena tahu biaya kuliahku sudah di luar jangkauan kemampuan Ayah.

          Seperti telah kuprediksi sebelumnya, berstatus mahasiswi universitas negeri ternama hanya dapat dibanggakan, namun repot dijalankan. Dengan uang kiriman ayah yang selalu tersendat dan tak memadai, aku sesungguhnya cuma anak kost kere berkedok mahasiswi.

         Mujur, Tuhan mengirim ke dunia seorang Hanin, Malaikat berwujud kawan. Hanin yang tak mengenal kata susah, menjadikanku ladang amal yang subur untuk ditanami budi.

          “Mar, kalau kertasnya habis, ambil saja di dalam lemari! Kemarin aku baru beli satu rim kertas. Aku tahu, kuliah di jurusanmu membutuhkan lebih banyak kertas dibandingkan dengan jurusanku. Kamu tak perlu ragu memakainya!”

          Kalimat penuh derma diucapkan Hanin saat aku sibuk dengan mesin printer miliknya. Hanin yang tahu kawannya seorang fakir kertas selalu membeli kertas melebihi kebutuhannya.

          Bagi mahasiswa yang mampu kertas hanyalah sepiring nasi putih. Dibutuhkan karena pokok, ─lebih-lebih di eraku dulu yang segalanya masih serba analog─ namun mudah didapatkan. Tidak demikian halnya denganku, urusan kertas adalah urusan pelik melebihi mata kuliah paling rumit sekali pun. Aku memang sudah tak sanggup lagi membeli kertas. Isi dompetku hanya kuprioritaskan untuk menyambung nyawaku saja selama menjadi anak kost.

          Entah berapa ribu lembar kertas─aku yakin Hanin tak pernah menghitungnya─ yang telah disumbangkan Hanin untukku. Rasanya sukar bagiku untuk mengingkari, ada tangan Hanin di balik kelulusanku di sidang akhir. Bayangkan, kertas untuk penulisan skripsi yang membuatku diganjar yudisium Cumlaude, semuanya didapatiku berkat kemurahan hati Hanin.

          Tak mungkin juga aku melupakan selembar kertas terakhir yang Hanin berikan untuk surat lamaran kerjaku. Berbeda dengan era sekarang, di masaku dulu surat-surat resmi masih menggunakan kertas. Berkat kertas terakhir pemberiannya, aku akhirnya mampu meniti karier sebagai pekerja kantoran, sesuai dengan cita-citaku semasa sekolah dulu.

          Rasa malu bukannya tak ada di benakku. Sungguh, bukan hal yang sangat menyenangkan terlihat papa di depan seseorang, tak peduli seberapa akrabnya. Akan tetapi, aku harus menerima kenyataan tak mengenakan ini karena memang tak berdaya. Sebuah janji sempat kulontar dalam hati, suatu saat nanti lembaran-lembaran kertas yang Hanin berikan padaku bakalan tergantikan.  

          Lamunanku buyar oleh ketukan pintu. Aku jadi tertawa sendiri. Ternyata inilah hasil dari workshop selama dua minggu, melamun di kantor.

          “Masuk!”

          Pintu dibuka, masuklah seorang karyawan wanita yang tampak ragu-ragu menghadapku. Dia ternyata Hanin yang sedari tadi kulamunkan. Sepertinya dia hendak menyerahkan dokumen yang tengah didekapnya padaku.

          “Maaf, Bu. Ini adalah berkas dokumen penjualan yang ̶ “

          “Duduk dulu baru bicara!” selaku dengan nada suara agak meninggi.

          Sempat kaget, selanjutnya Hanin terlihat tegang setelah perkataannya disela olehku. Kentara sekali kalau dia tengah memperlihatkan sikap seorang bawahan di hadapanku. Mungkin dia merasa bersalah. Sebagai karyawan baru di sini belum apa-apa sudah bertindak kurang sopan. Tanpa basa-basi terlebih dulu di hadapan atasannya, dia malah langsung menyodorkan berkas dokumen padaku.

          “Tarik nafas dulu dalam-dalam, baru bicara!” pintaku begitu dia duduk di depanku.

          Mulai terlihat tenang usai menjalankan titahku, Hanin lalu menjelaskan padaku perihal dokumen penjualan barang yang belum ditandatanganiku. Dia baru menyerahkan berkas dokumennya setelah kuminta. Tapi, aku tak segera membacanya. Aku justru menatap wajahnya. Karuan dia kembali menegang lagi.

          “Nin, dari dulu juga aku tahu kalau kamu orangnya ogah minta-minta tolong. Cuma ... apa salahnya sih sekedar kasih tahu aku kalau kamu mau kerja di sini!”

          Hanin malah mengangakan mulutnya. Seperti tak mengira bila aku akan berkata dengan bahasa teman. Padahal semua karyawan di Divisi Pemasaran mengenalku sebagai atasan yang kelewat serius.

          “Ditanya malah pamer gigi!”

          “Eh, iya, iya, iya, Bu.” Sampai gelagapan Hanin menimpali sentilanku. “Saya tak mau merepotkan Ibu.”

          “Pakai manggil Ibu segala, gatal telingaku dengarnya!”

          “Tapi, Ibu atasan saya ....”

          “Atasan kalau lagi banyak orang, Nin. Sekarang cuma kita berdua di ruangan ini.”

          Rupanya kata-kataku barusan telah cukup menentramkannya. Hanin akhirnya mulai berani tersenyum padaku. Seri mukanya terlihat mulai mencair, tak sekaku tadi. Tentu saja aku senang melihatnya.

          “Aku tak mau orang-orang menuduhku bekerja di sini karena kamu, Mar. Reputasimu sangat bagus. Aku tak ingin reputasimu tercoreng isu nepotisme.”

          “Sekarang kamu tiba-tiba saja nongol di divisiku. Padahal dulu aku berkali-kali menawarimu, tapi kamu selalu saja menampik. Aku sedih melihat CV-mu yang selalu saja jadi korban PHK.”

          “Aku minta maaf. Dulu aku memang tak bisa menerima tawaranmu. Ayah memintaku tak jauh dari keluarga. Kamu pastinya tahu kondisi keluargaku sekarang. Tapi, karena terus di-PHK, ditambah sulit cari kerja di Surabaya, Ayah akhirnya mengizinkanku bekerja di Jakarta.”

Sebenarnya aku berempati dengan kondisinya. Hanin saat ini memang jauh berbeda dengan Hanin yang kukenal dulu. Bisnis orangtuanya mengalami kebangkrutan, meninggalkan piutang yang tak terbayar lunas. Sebagai anak pertama, Hanin memiliki tanggung-jawab akan kondisi keluarganya. Ketiga adiknya masih duduk di bangku kuliah. Hanin menanggung semua biaya pendidikan adik-adiknya, bahkan Hanin jugalah yang menanggung biaya pengobatan ayahnya yang sakit-sakitan. Dengan beban besar yang mesti ditanggungnya, hantu PHK benar-benar horor yang paling ditakuti Hanin saat ini.

          “Sepertinya kamu memang sengaja berbuat begitu. Kamu tak ingin aku berkesempatan membayar hutang budi padamu. Asal kamu tahu, Nin, aku sangat ingin sekali bisa membalas jasamu dulu.”

          “Mariana!”

Bahkan Hanin sudah berani menyeruku. Sempat kaget juga, namun sedetik kemudian aku justru kembali suka. Hanin tak lagi memandangku atasannya, melainkan temannya dulu.

“Sudah berkali-kali kukatakan, kamu jangan pernah menganggap semua bantuanku dulu sebagai hutang!”

         "Aku minta kamu jujur berkata, apa kamu betah bekerja di Divisi Pemasaran?”

          “Ya, aku betah di sini. Aku merasa nyaman dengan lingkungan kantor, dengan teman-teman kerjaku. Apalagi dengan bosku, seorang wanita cerdas yang disegani anak buahnya.”

          Sedikit pun aku tak merasa tersanjung oleh kata-kata Hanin. Sejak dulu Hanin memang doyan memujiku untuk urusan pemikiran. Meski begitu dari raut mukanya aku sudah dapat membaca kalau Hanin memang tidak berbohong. Dia ingin menunjukkan rasa senangnya bekerja di tempatku, sebuah perusahaan PMDN yang bergerak di bidang consumer goods.

           “Nin, sebenarnya aku masih ingin lebih lama ngobrol denganmu, tapi ini jam kantor. Kamu sekarang boleh melanjutkan pekerjaanmu lagi.”

          Hanin menganggukkan kepalanya, lalu beranjak berdiri. Sebelum pergi keluar ruang kerjaku, dia menitipkan tumpukan berkas dokumen di atas meja kerja. Aku sendiri memilih kembali tersenyum. Sepertinya memang benar kalau diriku dan Hanin telah ditakdirkan untuk dekat selalu. Kami berdua kembali lagi di bawah atap yang sama, hanya sayangnya posisi kami kini berbeda.

          Kupandangi tubuh belakang kawanku saat berjalan menuju pintu. Tubuhnya masih seramping dahulu, masih dilengkapi lekukan-lekukan ala wanita dalam lukisan. Hanin memang cantik, ia memiliki keindahan ragawi impian kaum wanita. Sayang, belum satu pun pria terlihat menggandeng ragawi indah ini. Tapi, aku percaya jika Hanin sudah terlampau banyak mengecewakan para pria.

          “Aku masih ingin berbakti pada kedua orangtuaku.” Demikian alasan berulang Hanin sewaktu dulu aku kerap usil, menyinggung status betah melajangnya. Padahal usianya sudah mau menginjak kepala tiga.

          Dalam hati aku mesti memberikannya sebuah pujian. Demi baktinya pada orang tua dan keluarganya, Hanin rela mengalah untuk tidak buru-buru menikah. Siapa sangka Hanin yang kukenal dulu begitu dimanja dengan limpahan materi, kini balik yang menopang ekonomi keluarga.

oOo

          Tangan kiriku bergetar saat memegang selembar kertas. Ini lembar kertas terakhir dari belasan lembar kertas yang telah ditandatanganiku. Ada getar keraguan yang teramat di dadaku. Aku akhirnya menunda untuk menoreh tanda-tanganku. Padahal ujung penaku telah berada tepat di atas kolom tanda-tangan.

           Baru saja kelebatan bayang-bayang masa lalu menampak di benakku. Tapi, aku tak lantas heran. Bukan apa-apa, jenis dan ukuran kertas yang tengah digenggam jemariku ini ternyata sama persis, khususnya dengan kertas-kertas yang dulu rutin disumbangkan Hanin untukku.

           Amatlah menakutkan, membayangkan apa yang akan ada dalam pikiran Hanin besok hari. Sungguh, aku sangat berharap dia mendadak amnesia. Sama sekali tak ingat akan kertas-kertasnya yang kerap disumbangkan padaku dulu.

           Terbayang lagi akan janjiku dulu─aku sulit mendapatkan kesempatan memenuhi janjiku─ yang akan mengganti semua lembaran kertas Hanin kelak. Janjiku sepertinya bakal terlaksana. Satu lembar kertas di tanganku ini kelihatannya akan menjadi kertas pertama dalam memenuhi janjiku. Ya, satu lembar kertas saja, membalas ribuan lembar kertas yang dulu telah Hanin berikan padaku.

          Setelah sekian detik tertahan ujung penaku akhirnya menoreh juga. Atas nama profesionalisme serta dalih penyelamatan perusahaan, aku kemudian tak ragu lagi membubuhkan tanda tangan di kertas pertamaku untuknya. Kertas yang berisi surat PHK atas nama Hanindya.

ooOoo

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)