Masukan nama pengguna
Sebuah cerpen panjang (10 ribu kata). Bercerita tentang seorang pewaris kedai bakmi legendaris yang tengah gundah. Ia dituntut untuk menemukan kembali resep kecap pusaka yang lama menghilang. Sampai cinta kemudian datang membantunya menemukan resep tersebut.
---------------------------------------------
Matahari telah lewat di atas kepala ketika Ulani tiba di satu alamat. Tersaji di hadapannya sebuah bangunan kuno dua lantai yang menyerupai ruko. Walau tertampak lawas, namun kondisi bangunan itu masih terawat baik. Sejenak ia lalu tertegun. Memandang plang nama terpampang yang bertulis, BAKMI HARAPAN.
Terngiang Ulani akan cerita masa lalu Ayah. Tentang sebuah kedai bakmi yang laris sekali. Siapa pun yang pernah mencicipi bakmi di sana bakal cepat berkesimpulan, tiada pernah ditemukan kelezatan selain kelezatan pada Bakmi Harapan. Di zamannya Bakmi Harapan tak hanya kondang, namun juga ikon kota kelahiran Ayah. Dan sekarang kedai bakmi bersejarah itu telah tertampak di hadapannya.
Lengang. Demikian yang didapat Ulani manakala memasuki kedai. Tak seorang pun pembeli hadir di dalam. Deretan meja makan yang ada terlalu bersih untuk sebuah kedai laris. Pun dengan kursi-kursi kosong yang sangat rapi dipandang. Udara pengap di dalam kedai langsung menyambut Ulani. Mungkin akibat tiga kipas angin yang menempel di plafon atas enggan berputar.
Seorang perempuan berperawakan jangkung terlihat Ulani di sudut ruangan. Perempuan yang mengenakan kerudung itu tengah asyik membaca majalah. Ia duduk di samping sebuah gerobak kaca tanpa roda. Dua buah kompor tersedia di belakang gerobak kaca. Demikian pula dengan perabotan memasak yang tampak menggantung di dinding. Kelihatannya ruang tempat perempuan berkerudung itu duduk adalah dapur kedai ini.
“Ibu yang ayu,” gumam Ulani, memuji paras perempuan berkerudung itu. Memang masih menampakkan kecantikan. Meski dari segi usia, barangkali sudah seangkatan dengan mendiang ibunya. Tak hanya cantik, perempuan berkerudung itu sepertinya blasteran Eropa. Kulit putih, hidung lancip, serta bola mata biru miliknya menjadi pembeda dengan perempuan lokal.
“Mau beli mi?” sapa perempuan berkerudung itu ramah. Ia barusan beranjak dari tempat duduknya. Nada suaranya terdengar lembut. Selembut sinar matanya yang sayu.
“Saya pesan bakmi tiga porsi!”
“Bakmi kuah, atau bakmi goreng?”
“Bakmi goreng, tapi minta dibungkus saja!”
Perempuan berkerudung itu tidak lagi bertanya. Ia memilih menyalakan kompor. Lalu menaruh wajan besar di atas kompor. Melumurinya dengan minyak goreng dalam botol kemasan. Sigap tangannya meraup bumbu-bumbu. Lalu menumisnya bersama telur ayam. Tak lupa ia tambahkan pula pakcoy, jamur kancing, serta udang kecil. Wangi bumbu yang ditumis seketika menyeruak dari dalam wajan.
Sambil menunggu bahan-bahan yang ditumisnya masak, perempuan berkerudung itu meraup tumpukan mi yang masih menggunung di dalam gerobak kaca. Jemarinya licah dalam menggulung-gulung mi. Tak lama kemudian tiga gulungan mi yang sama besar telah terbentuk.
Selanjutnya perempuan berkerudung itu mengambil pisau. Lalu memotong bagian dada ayam rebus yang tergantung di dalam gerobak kaca. Setelah itu ia suwir-suwir potongan dada ayam menggunakan garpu. Begitu cepat tangannya bekerja. Tahu-tahu suwiran daging ayam telah menumpuk. Bersama tiga gulungan mi ia lantas memasukkan suwiran daging ayam ke dalam wajan besar.
“Di rumah saya juga memakai kecap yang sama,” spontan Ulani berkata. Ia melihat perempuan berkerudung itu mengambil satu botol kecap.
Perempuan berkerudung itu tak menanggapi Ulani. Ia cukup menoleh sembari melempar senyum pada Ulani. Kelihatannya ia bukan tipikal perempuan doyan mengobrol saat bekerja.
Cukup belasan menit bagi perempuan berkerudung itu untuk mematikan kompor. Mengangkat wajan. Lalu menuangkan bakmi goreng pesanan Ulani ke dalam tiga lembar kertas nasi. Pada setiap lembar kertas nasi masing-masing terdapat selembar daun pisang, yang telah dilumuri semacam minyak sayur. Karena meja kecil tempat menaruh kertas nasi berdekatan sekali dengan Ulani, kepulan asap pembawa aroma bakmi lantas mengusik rasa penasarannya. Refleks telunjuk kanan Ulani mencolek bakmi pesanannya.
Biasa-biasa saja. Penilaian Ulani saat lidahnya menjilat telunjuknya.
Ya, Ulani merasa tak ada yang istimewa dari Bakmi Harapan. Baik rasa maupun aromanya memang terasa standar sekali. Tak ada yang khas. Bakmi Harapan tak seheboh cerita Ayah. Lantas, apa sebab Ayah sampai terus menyanjung-nyanjung Bakmi Harapan? Ayah bahkan memaksa dirinya, agar sesegera mungkin datang ke tempat ini.
“Neng ini anggota Mayapada Orchestra?” Setelah belasan menit diam, perempuan berkerudung itu akhirnya bersuara. Meski begitu tangannya tampak sigap membungkus bakmi pesanan Ulani.
“Bagaimana Ibu sampai bisa tahu?”
“Sweater ungu yang Neng kenakan.”
Pantas perempuan berkerudung itu tahu dirinya adalah anggota Mayapada Orchestra. Rupanya saat ini Ulani tengah mengenakan sweater ungu. Sweater ini memang seragam anggota Mayapada Orchestra saat berlatih bersama. Akan tetapi, sweater yang dikenakannya ini sama sekali tak memajang logo, apalagi tulisan Mayapada Orchestra
“Anak saya juga anggota Mayapada Orchestra,” pengakuan perempuan berkerudung itu saat menyerahkan tiga bungkus bakmi pada Ulani.
“Siapa nama anak Ibu?”
“Pranaja, Neng pasti kenal dia.”
Ulani menggeleng-gelengkan kepala. Bukan menyangkal, namun ia baru saja sadar dari lupa. Padahal saat tadi melihat mata biru perempuan berkerudung itu, Ulani sempat teringat akan mata serupa milik Pranaja.
Pranaja memang anggota Mayapada Orchestra, sebuah grup musik orkestra asal ibukota. Sepengetahuannya Pranaja bertempat tinggal di Cimahi, kota yang tengah didatanginya. Di Mayapada Orchestra Pranaja berperan sebagai pemain flute.
“Tentu saja saya kenal Pranaja, Bu. Cuma saya tak menyangka Pranaja putra Ibu.”
“Neng yang bernama Ulani, bukan?”
“Dari mana Ibu kenal nama saya?” heran Ulani.
Wajar Ulani heran. Walau Pranaja adalah rekan satu grup, namun tak sekali-kalinya ia pernah bertemu perempuan di depannya ini. Antara dirinya dan Pranaja pun jauh dari kata dekat. Hanya sebatas kenalan biasa.
“Pranaja yang memperkenalkan foto Neng Ulani pada Ibu. Kalian pernah berfoto berdua, kan? Jarang-jarang loh Pranaja mau berfoto berduaan dengan wanita.”
“Ooo... foto itu,” timpal Ulani yang mulai bisa mengerti. Ia ingat, beberapa waktu lalu Pranaja memang sempat mengajaknya berswafoto.
“Diam-diam Ibu telah mengamati. Wajah Neng mirip sekali dengan perempuan manis dalam foto hapenya Pranaja. Ternyata orangnya memang sama.”
“Ngomong-ngomong di mana Pranaja sekarang, Bu?”
“Pranaja tengah ada di Bandung. Tengah mengurus kafenya.”
“Sepertinya bisnis kafe Pranaja sukses besar.”
“Begitulah Neng, anak Ibu itu memang berbakat mengelola usaha kuliner. Ia baru saja membuka kafe ketiganya,” ujar perempuan berkerudung itu. Entah kenapa wajahnya mendadak berubah murung. Padahal ia tengah menceritakan keberhasilan bisnis anaknya.
“Sampaikan salam saya untuk Pranaja, Bu!” pamit Ulani sambil menyodorkan lembaran uang. Ia sebenarnya sadar, keputusannya untuk buru-buru pamit pulang akan kurang menyenangkan tuan rumah. Terlebih si tuan rumah masih ingin berbincang banyak dengannya. Akan tetapi, saat ini Ulani tengah dituntut untuk secepatnya kembali pulang ke Jakarta. Ia tak boleh berlama-lama mengobrol di sini.
***
“Sudah dari tadi Ayah katakan, ini bukan Bakmi Harapan!” tegas Ayah dengan nada tinggi pada Ulani.
“Mustahil bukan, Yah! Lani sendiri yang membelinya langsung di kedainya!” bantah Ulani. Berkali-kali ia berupaya meyakinkan Ayah. Namun, Ayah tetap bersikukuh kalau bakmi yang jauh-jauh dibawakannya itu bukan Bakmi Harapan. “Coba dicicipi barang sedikit saja, Yah!”
“Tak perlu mencicipi! Dari wanginya saja Ayah sudah tahu, yang kamu beli ini cuma bakmi pinggir jalan!”
Ulani mulai gerah. Ayah sama sekali enggan mencicipi bakmi yang dibawakannya. Padahal hari ini ia telah menyia-nyiakan akhir pekannya. Semua dilakukan demi mencari keberadaan kedai penjual Bakmi Harapan. Tapi, Ayah tak menghargai jerih payahnya.
“Yah, orang-orang di sana telah meyakinkan Lani, kedai yang Lani kunjungi itu memang penjual Bakmi Harapan,” kesekian kalinya Ulani mencoba meyakinkan Ayah.
“Kamu boleh berasumsi apa pun, tapi wangi bakmi tak mungkin bisa berbohong!”
“Seperti apa sih wanginya Bakmi Harapan yang Ayah maksud itu?” tanya Ulani penasaran. Ia mulai menuding ayahnya mungkin telah pikun akan rasa Bakmi Harapan.
“Kalau kamu mau tahu, kamu tinggal datang ke kedainya Pak Rosadi. Pesan Tongseng. Begitu pesanan siap, kamu hirup kepulan asap tongseng. Kurang lebih seperti itu aroma khas Bakmi Harapan yang asli!”
Usai menjelaskan Ayah lalu menggerakkan kursi roda menjauhi ruang makan. Dengan wajah bersungut-sungut Ayah meninggalkan Ulani yang cuma bisa diam termangu.
Ulani baru saja tiba di rumah. Sengaja di hari Sabtu ini ia menyempatkan waktu berkunjung ke kota kelahiran Ayah. Dalam sembilan hari terakhir, entah kenapa tiba-tiba Ayah terus merengek-rengek meminta Bakmi Harapan. Begitu ngotot Ayah untuk mencicipi Bakmi Harapan, jajanan favorit Ayah semasa muda dulu. Semakin kemari Ayah semakin malas makan. Ayah mulai merajuk. Bila di atas meja makan belum juga tersaji Bakmi Harapan, Ayah mengancam akan benar-benar mogok makan.
Sebagai satu-satunya anak yang masih serumah dengan Ayah, Ulani tentu paling berkewajiban memenuhi keinginan beliau. Permasalahannya, di dunia ini hanya ada satu kedai yang menjual Bakmi Harapan. Kedai itu terletak jauh di luar ibukota, tepatnya di kota kelahiran Ayah.
Seingat Ulani, Ayah selama ini tak pernah menyebut-nyebut Bakmi Harapan, apalagi terlihat menyantapnya. Ia hanya mendengar Bakmi Harapan dari cerita mendiang ibunya. Menurut Ibu, selain makanan kesukaan Ayah, Bakmi Harapan juga perekat cinta mereka berdua semasa pacaran dulu. Kebetulan masa muda mereka dihabiskan di kota yang sama.
Sampai sekarang Ulani masih terkesan akan romansa kedua orangtuanya. Sering kali ia tersenyum sendiri saat membayangkan, betapa sederhananya gaya pacaran ala Ibu dan Ayah dulu. Hanya di tanggal muda mereka bisa berkesempatan pergi ke bioskop. Ayah dan Ibu seringnya menonton film di Bioskop Harapan. Sebuah gedung bioskop yang cuma beratap langit.
Usai menonton film, mereka lantas melanjutkan ritual pacaran di sebuah kedai bakmi. Karena letaknya tepat berada di belakang gedung Bioskop Harapan, kedai bakmi itu kondang disebut Bakmi Harapan. Selama berada di sana semangkuk bakmi yang dinikmati berdua menjadi teman kencan mereka. Walau cuma mampu memesan satu porsi bakmi, namun Ibu berulang kali menyebut, nuansa romantisnya terlampau kenyang untuk dikenang.
Ulani menduga, hasrat sekonyong-konyong Ayah akan Bakmi Harapan bukan karena urusan lidah. Itu sebab kala siang tadi sempat mencicipi Bakmi Harapan, ia tidak terlalu mempersoalkan cita rasanya yang kurang istimewa. Ulani yakin, Ayah sesungguhnya hanya rindu akan mendiang Ibu.
Telah tujuh tahun Ibu meninggalkan Ayah. Ibu meninggal akibat ganasnya kanker yang menggerogoti kesehatan beliau. Ayah butuh pelampiasan rasa rindunya terhadap Ibu. Mungkin Ayah baru berpikir, lewat Bakmi Harapan kerinduan terhadap Ibu bakal bisa terobati. Namun, kenyataan yang Ulani dapatkan justru berbeda. Ayah ternyata memang merindukan cita rasa Bakmi Harapan yang dulu.
***
Tenda Pak Kurus, demikian orang-orang menyebut sebuah kedai pinggir jalan. Kedai laris yang tak pernah sepi pembeli. Di dekat gerbang masuk kompleks di mana Ulani tinggal. Walau telah tiga puluh tahun berdiri, namun Tenda Pak Kurus belum berubah hingga sekarang. Masih berupa gerobak kaki lima yang dinaungi sebuah tenda besar. Nama Pak Kurus sendiri mengacu pada Pak Rosadi, si pemilik kedai yang memang berperawakan kurus.
Ada sejumlah menu masakan yang dijual di Tenda Pak Kurus. Tongseng kambing adalah menu yang paling digemari pelanggan Tenda Pak Kurus. Ayah adalah salah satu penggilanya. Saking digemarinya Tenda Pak Kurus kerap dijuluki Warung Tongseng oleh pelanggannya.
Tak sedikit pelanggan Tenda Pak Kurus mengaku, awalnya mereka datang bukan karena perut lapar. Mereka datang akibat hasrat yang muncul tiba-tiba. Setiap kali melintas di depan tenda Pak Kurus, mereka mencium aroma khas yang mengusik ketenteraman perut. Aroma khas yang kemudian menuntun mereka singgah di Tenda Pak Kurus.
Desas-desus sejak lama bermunculan. Isunya, Pak Rosadi menggunakan pelaris demi mengikat pembeli datang. Banyak orang percaya dengan kabar klenik ini. Dan hanya segelintir orang yang tahu, mengapa aroma yang bertebaran dari dalam Tenda Pak Kurus begitu menggoda. Ulani termasuk ke dalam segelintir orang yang tahu. Rahasianya ada pada pemakaian sebuah kecap istimewa. Kecap yang konon hasil racikan Pak Rosadi sendiri.
Ketika kemarin Ayah menggambarkan aroma Bakmi Harapan, menyeruak satu pemikiran dalam isi kepala Ulani. Kecap Tenda Pak Kurus adalah solusi masalah Ayah. Ia tinggal menemui Pak Rosadi. Lantas memohon dibuatkan bakmi goreng memakai kecap Tenda Pak Kurus. Selanjutnya, Ayah akan tertipu oleh bakmi beraroma khas tongseng Pak Rosadi. Ayah akan mengira, bakmi goreng yang dibawakannya nanti adalah Bakmi Harapan.
Siang menjelang sore ini Ulani berkesempatan menyambangi Tenda Pak Kurus. Tidak seperti biasanya Tenda Pak kurus terlihat lengang. Tidak menampak seorang pun pengunjung. Hanya ada Pak Rosadi seorang di sana. Pemilik Tenda Pak Kurus itu tengah duduk di bangku pengunjung. Ditangannya tergenggam satu jam saku antik yang tutupnya tengah membuka. Kelihatannya Pak Rosadi tengah asyik memperhatikan jam saku antik di tangannya.
Terlalu asyik malah. Sampai-sampai kehadiran Ulani di Tenda Pak Kurus tidak diketahuinya. Pak Rosadi baru tergugah dari memandang jam saku antik begitu Ulani menyapanya. Seakan-akan apa yang tengah diperhatikannya tak ingin diketahui orang, Pak Rosadi seperti terburu-buru sewaktu memasukkan jam saku antik ke dalam saku celana panjangnya. Baru kemudian ia menyambut Ulani.
“Bapak turut sedih atas derita Pak Sukaya. Tapi, Lani, kan tahu kalau sejak dulu di sini tak pernah menjual bakmi goreng,” tanggapan Pak Rosadi. Baru saja Ulani mengutarakan maksud dan kedatangannya di Tenda Pak Kurus.
“Lani juga mengerti kalau Pak Sadi tak pernah menjual bakmi goreng. Tapi, Lani percaya, Pak Sadi mampu membuat bakmi goreng selezat tongseng kambing.”
“Masalahnya bukan bisa, atau tidak bisa, tapi Bapak terlarang memasak bakmi. Bapak pernah disumpah tak boleh memasak bakmi.”
Ulani mengernyitkan dahi. Ada orang bersumpah tidak boleh memasak bakmi? Sumpah macam apa itu? Terdengar janggal, dan mengada-ada sekali. Tak heran bila Ulani langsung menuding Pak Rosadi hanya berdalih saja.
“Boleh Lani tahu alasan Pak Sadi bersumpah?”
“Bapak tak bisa mengungkap alasannya. Bapak hanya bisa memohon maaf! Bapak sulit membantu Pak Sukaya karena terganjal sumpah.”
“Pak Sadi hidup cuma untuk mencari untung! Sedikit pun tak punya empati pada teman sendiri!” kesal Ulani sebelum beranjak pergi. Ia benar-benar kecewa akan sikap Pak Rosadi. Walau Ulani terus memohon-mohon, serta mengingatkan hubungan baiknya dengan Ayah, namun Pak Rosadi tetap bersikukuh menolak memasakkan bakmi untuk Ayah.
Saat berjalan meninggalkan Tenda Pak Kurus, benak Ulani terus mempertanyakan keengganan Pak Rosadi membantu Ayah. Apa mungkin orangtua yang satu itu sesungguhnya cuma membalas perlakuannya dulu terhadap Amarta, putra bungsu Pak Rosadi? Bisa jadi. Apalagi sampai detik ini ia tetap bersikap dingin terhadap Amarta. Andai ini benar, Ulani sangat menyesalkannya. Tak sepatutnya urusan hati sampai berlanjut dendam segala.
***
Suara itu mengalun lembut sekali. Indah, namun terasa magis. Menghadirkan kehangatan nan romantis. Menghanyutkan hati. Begitulah nuansa yang tercipta manakala tiba giliran Pranaja meniupkan flute. Lewat alat musiknya, Pranaja menebar syahdu di telinga para personil Mayapada Orchestra yang tengah berlatih bersama.
Pranaja memang pemain musik yang langka. Flutist itu mampu memberi warna tersendiri dalam setiap pentas orkestra. Menjadi berkah bagi Mayapada Orchestra, ketika dua tahun lalu Pranaja bersedia bergabung bersama. Karena tinggal jauh di luar ibukota, Pranaja tidak rutin hadir dalam latihan bersama. Saat menjelang gelaran pertunjukan seperti sekarang, Pranaja baru sering terlihat batang hidungnya.
Berbanding terbalik dengan nuansa musik yang dimainkannya Pranaja justru pribadi yang jauh dari hangat. Pribadi yang kikir berkata-kata. Pun pribadi yang tertutup. Meski pembawaannya angkuh, namun Pranaja adalah sentral perbincangan. Terutama bagi kaum hawa yang mendominasi Mayapada Orchestra. Sepasang mata biru miliknya adalah pesona lain dari lajang penyendiri itu, kendati pancarannya tertampak sayu.
Tak terkecuali dengan Ulani. Hanya saja ia berbeda dengan rekan-rekan yang lain. Ia cukup mengagumi Pranaja dalam hal talenta bermusik saja. Acap kali bersua Pranaja di tempat latihan, ia tak harus sampai geregetan seperti halnya rekan-rekannya. Hanya sekedar saling lempar senyum. Selanjutnya Ulani lebih terfokus pada alat musik cello miliknya.
Tapi, Pranaja pernah mengagetkan Ulani. Sewaktu Mayapada Orchestra melanglang buana, Pranaja sekonyong-konyong mengajaknya berswafoto berdua. Mengambil lokasi di depan Jembatan Sydney Harbour, Pranaja tak sungkan berpose dengan memiringkan kepala hingga menempel di bahu Ulani. Jelas satu tingkah yang terlalu akrab, serta tak lazim sekali. Khususnya bagi lelaki yang kerap berjarak dengan wanita.
Ulani sempat menganggap, kejadian swafoto tiga minggu lalu itu cuma sebuah insiden semata. Mungkin di hari itu Pranaja tengah khilaf. Atau, mungkin juga tengah latah meniru rekan-rekan pria yang lain. Memang semenjak resmi berstatus lajang kembali, ada banyak rekan-rekan pria yang tiba-tiba perhatian sekali terhadapnya. Namun, masalahnya insiden swafoto itu ternyata berkelanjutan.
Amatlah Ulani kebingungan. Pranaja sekan-akan mengalami metamorfosis. Pranaja yang dingin mendadak berubah hangat terhadapnya. Tak cuma sekedar melempar senyum, Pranaja pun berkenan bertutur kata setiap bersua dengannya.
Contohnya saat ini. Ketika personil Mayapada Orchestra baru saja selesai berlatih bersama, terlihat Pranaja yang datang menghampirinya. Dengan penuh keakraban Pranaja lantas menyapanya, “Lan, kenapa tak memberitahuku saat datang ke kedai Mamah? Sebagai teman aku malu tak menyambutmu.”
“Ayahmu tidak salah! Bakmi yang kamu bawa memang bukan Bakmi Harapan yang sesungguhnya,” sahut Pranaja begitu Ulani selesai berkata.
“Bagaimana aku bisa salah, Pran? Mamahmu sendiri yang memasak bakmi itu.”
“Bakmi Harapan sekarang tak lagi sama seperti di masa ayahmu dulu. Bakmi Harapan telah kehilangan rasa istimewanya.”
“Apa Bakmi Harapan tak lagi memiliki juru masak seandal dulu?”
“Sejak dulu juru masak utamanya berasal dari keluargaku sendiri. Mamah adalah salah satunya. Kemampuan Mamah dalam memasak tak pernah hilang. Yang hilang cuma resep rahasia Bakmi Harapan. Tanpa resep rahasia rasa Bakmi Harapan tak ubahnya dengan bakmi lainnya.”
Pantas ketika mencium wanginya saja Ayah langsung enggan mencicipi. Ayah bersikukuh, bakmi yang enam hari lalu Ulani bawa bukanlah Bakmi Harapan. Rupanya Bakmi Harapan tengah bermasalah. Keluarga Pranaja benar-benar teledor. Bisa-bisanya sebuah resep rahasia menghilang begitu saja.
“Sekarang ini tak ada lagi di keluargaku yang tahu teknik meracik resep rahasia. Termasuk bahan-bahan yang digunakannya. Padahal resep rahasia itu hanyalah sebuah kecap. Kami biasa menyebutnya kecap pusaka,” lanjut Pranaja menjelaskan.
“Waktu aku berkunjung ke sana, aku lihat mamahmu cuma pakai kecap pabrikan biasa. Malah mereknya sama dengan yang kupakai di rumah.”
“Terpaksa Mamah menggunakan kecap pabrikan biasa.”
“Kok pakai terpaksa?”
“Ceritanya begini, dulu kecap pusaka itu diciptakan oleh kakek buyutku. Mamah adalah pewaris terakhir dikarenakan kedua orangtuanya telah meninggal. Petaka datang ketika aku masih berseragam SMA, Mamah mengalami kecelakaan. Mobilnya terbalik di jalan tol. Mamah selamat. Cuma akibat benturan di kepala Mamah mengalami amnesia ”
“Tapi, mamahmu enggak terlihat linglung.”
“Berkat terapi yang rutin dilakukan Mamah akhirnya bisa sembuh. Cuma sayang, ada beberapa hal yang tetap terlupakan Mamah. Salah satunya, ya kecap pusaka itu. Sedangkan aku belum sempat diwarisi rahasia kecap pusaka oleh Mamah.”
“Mamahmu boleh amnesia, cuma catatan kecap pusaka itu tak mungkin dong turut amnesia pula?” desak Ulani, berupaya mencecar Pranaja dengan hujan pertanyaan. Ia tak ingin kehilangan momen. Belum tentu Pranaja akan seterbuka ini kepadanya. Benar-benar satu keajaiban. Pranaja yang selama ini pelit berkata-kata kini malah berpanjang lebar bercerita.
“Kakek Buyut dulu berpesan pada keturunannya. Supaya kecap pusaka tidak bocor ke orang lain, sebaiknya tak boleh dicatat rahasia pembuatannya. Hanya boleh dihafal oleh ahli warisnya saja.”
Alasan yang logis. Tidak terkesan mengada-ada layaknya Pak Rosadi dengan sumpah bakminya. Tempat teraman menyimpan rahasia memang di dalam isi kepala.
“Kalau ayahmu tahu enggak?”
“Karena status Papah di keluarga cuma menantu, Papah tak berhak mengetahui rahasia kecap pusaka. Lagian Papah sudah meninggal akibat serangan jantung sewaktu aku masih kecil dulu.”
“Aku minta maaf, Pram. Aku enggak bermaksud mengusik masa lalu keluargamu yang suram.”
“Karena yang kuceritakan soal kecap pusaka, ya mau tidak mau aku harus membahas masa lalu keluargaku.”
“Tapi, aku masih gagal paham, bukankah keturunan kakek buyutmu tak hanya mendiang mamahmu saja?”
“Tidak semua keturunan Kakek Buyut boleh diwarisi kecap pusaka. Hanya yang bersedia mengelola Bakmi Harapan saja yang diberi. Sedangkan Mamah menjadi satu-satunya generasi cucu yang bersedia.”
“Sayang sekali mamahmu tak sempat mewariskan rahasia kecap pusaka padamu. Padahal sebelum kecelakaan terjadi kamu sudah duduk di bangku SMA.”
“Bukan faktor usia. Mamah menilai sedari kecil minat dan bakatku lebih condong pada musik. Menurut prediksi Mamah, kelak aku tak akan bersedia mengelola Bakmi Harapan. Mamah akhirnya memilih mempersiapkan adik perempuanku sebagai penerusnya. Tapi, karena adikku waktu itu masih duduk di kelas lima SD, Mamah belum berencana mewariskan kecap pusaka.”
“Nyatanya mamahmu sempat cerita padaku kalau kamu sekarang justru membuka usaha kafe.”
“Ini yang membuat Mamah menyesal. Ternyata di kemudian hari aku tak cuma berbakat pada musik, tapi berminat pula di bidang kuliner. Sekolahku malah di perhotelan jurusan kitchen. Sementara minat adikku justru terjun ke dunia fesyen”
Penuturan Pranaja seperti menjawab kebingungan Ulani enam hari lalu. Sewaktu memesan Bakmi Harapan, ia melihat sendu di wajah ibunda Pranaja. Meskipun ketika itu tengah membanggakan bisnis kuliner Pranaja.
Pada akhirnya Pranaja menuntaskan obrolan seputar Bakmi Harapan. Kendati Pranaja telah mencetak sejarah lewat obrolan terpanjang, namun Ulani menilai, aktivitasnya di sore ini hanya membuang-buang waktu saja. Bakmi Harapan cuma cerita usang tentang kejayaan kuliner jaman dahulu. Tak ada solusi yang didapatnya bagi permasalahan Ayah.
***
Ada perasaan tak nyaman ketika Ulani kembali memilih nomor itu. Terlebih ia telah menghapusnya dalam daftar kontak. Namun, keadaan memaksanya terhubung lagi dengan nomor itu. Barangkali karena terlanjur hafal di luar kepala, Ulani tak mengalami kesulitan mengontak kembali Amarta, karibnya sejak kanak-kanak sekaligus si pemilik nomor.
Untunglah saat kembali terhubung di ponsel respons Amarta datar-datar saja. Tidak sehangat dulu memang, namun jauh dari kesan masih menaruh rasa sakit hati. Amarta pun tak banyak curiga mengapa dirinya mengajak kontak kembali. Bahkan saat diminta untuk bertemu, Amarta tak keberatan meluangkan waktu. Sesuai kesepakatan bersama, sore ini di sebuah gerai kopi yang baru dibuka mereka berdua bersepakat untuk bertemu lagi.
Ulani bersyukur, dirinya tidak menemukan perubahan berarti pada diri Amarta begitu tiba di gerai kopi. Karibnya itu tetap terlihat sebagaimana biasanya, kalem. Tak muncul gelagat Amarta untuk menumpahkan emosi terhadapnya. Atau, mempertanyakan dirinya yang selama empat tahun sengaja menjauh.
“Oh ya, aku tadi sudah pesan kopi tanpa gula khusus untukmu.” Sembari berkata Ulani menunjuk ke seorang pelayan kafe yang tengah mendatangi meja mereka. Dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap, di mana salah satunya adalah espresso tersimpan di atas baki yang dibawa pelayan kafe. Ia memang telah hafal apa yang mesti dipesan saat kongkow-kongkow bareng Amarta.
“Lan, aku mohon maaf! Sejak Pak Sukaya pulang dari rumah sakit aku belum sempat menengok ke rumah. Dalam dua bulan ini waktuku padat sekali,” sesal Amarta usai empat kali meneguk espresso yang tadi disajikan pelayan kafe.
“Enggak apa-apa kok, Ta. Aku maklum, kamu sekarang, kan enggak seperti dulu lagi? Jangankan untuk menengok Ayah, mencari pacar saja kamu tak punya waktu,” goda Ulani yang tahu jika Amarta masih juga betah sendirian.
“Sekali lagi aku harus memohon maaf. Aku tak bisa membantumu. Bukan cuma Bapak, tapi anak-anaknya pun terlarang untuk memasak bakmi.”
Apes! Belum jua Ulani sempat melancarkan jurus bujuk rayu, Amarta keburu memutus asanya. Padahal alasan utama dirinya mencoba menjalin kembali kedekatannya dengan Amarta tak lain cuma satu ini, demi mencari solusi permasalahan Ayah. Siapa tahu Amarta akan terbujuk olehnya. Amarta akan bersedia memasakkan bakmi goreng untuk Ayah.
Benar-benar mengherankan! Ada satu keluarga bersumpah tidak akan memasak bakmi. Apa dosa yang telah diperbuat bakmi pada mereka?
“Tolonglahl, Ta! Ayah mengancam mogok makan. Sedangkan Bakmi Harapan sekarang, aromanya tak seperti zaman Ayah dulu. Tinggal kamu yang kuandalkan menolong Ayah,” mohon Ulani yang yakin, Pak Rosadi telah menceritakan semua permasalahan Ayah pada Amarta.
“Lan, kapan aku pernah menolak permintaanmu? Kalau bukan karena sumpah Bapak, mana mungkin aku tega berbuat ini padamu.”
Sulit bagi Ulani untuk menyanggah pernyataan Amarta. Semenjak masih berseragam sekolah, Amarta senantiasa antusias saat diminta pertolongan olehnya. Kata menolak tak pernah ada dalam pikiran lelaki itu. Jejak Amarta memang terlampau sempurna sebagai karib.
“Bagaimana kalau aku minta kecap Tenda Pak Kurus saja. Tak perlu banyak-banyak, cukup beberapa sendok makan. Biar nanti aku sendiri yang memasak bakmi goreng.” usul Ulani.
“Tetap tak boleh, Lan!”
“Tapi, usulanku ini tidak bertentangan dengan sumpah bapakmu, kan, Ta?”
“Sebenarnya sumpah Bapak itu penekanannya bukan larangan memasak bakmi. Yang ditekankan, justru larangan penggunaan kecap istimewa kami untuk memasak bakmi.”
Dalam hati Ulani menggerutu. Bapak dan anak ternyata sama-sama pintar berdalih. Akan tetapi, bisa saja penolakan Amarta cuma bentuk ketakutan semata Pak Rosadi. Khawatir jika rahasia kecap Tenda Pak Kurus bakal terbongkar olehnya. Apalagi Pak Rosadi mengenal betul profesinya. Seorang analis kimia yang biasa mengutak-atik kandungan zat.
“Kalau aku minta dibuatkan opor ayam kamu pasti beralasan, terlarang Bapak untuk memotong-motong daging ayam,” cemooh Ulani.
“Asal bukan ditambahkan pada mi, sekarang juga kuberikan kecap itu padamu! Bila perlu kuberikan satu galon besar!
Bukannya mencerahkan, penuturan Amarta malah semakin membingungkan Ulani. Karena alasan apa hingga kecap Tenda Pak Kurus bermusuhan dengan mi? Tak menemukan jawaban Ulani lantas berkata, “Ta, rupanya kamu masih mendendam padaku.”
“Dendam ...? Lan, aku memang sakit oleh penolakanmu dulu. Tapi, demi Tuhan! Tak pernah ada dendam di pikiranku, apalagi sampai berniat membalasnya!”
“Agar aku tak menuduhmu dendam, ceritakanlah latar belakang sumpah bapakmu itu!” pinta Ulani yang dalam hati merasa lega. Amarta tak menaruh dendam terhadapnya. Ia percaya pada pengakuan Amarta. Dari kecil hingga tumbuh dewasa, Amarta yang dikenalnya terlalu lugu untuk bisa berbohong.
Cukup cerdik cara Ulani memancing Amarta bercerita. Ia sadar, Amarta pasti terlarang bercerita seputar sumpah Pak Rosadi. Namun, di lain sisi Amarta tentu tak ingin dituding miring olehnya. Bagaimanapun juga dengan perubahan status pernikahannya saat ini, Amarta tetap perlu menjaga citra yang baik di hadapannya.
“Semua dimulai saat Bapak masih lajang. Bapak boleh dikatakan lajang beruntung. Walau profesinya cuma pedagang nasi goreng keliling, namun Bapak punya pacar yang cantik. Banyak pria-pria kaya dibuat cemburu oleh Bapak,” tutur Amarta yang mulai terpancing bercerita.
“Wajar bapakmu punya pacar cantik. Sekarang saja masih terlihat ganteng, apalagi sewaktu muda dulu. Beda jauh dengan anak-anaknya,” olok Ulani.
Amarta cuma menyengir.
“Aku sempat melihat fotonya yang menempel di jam saku antik. Kata Bapak, jam saku antik itu tanda cinta semasa masih bersama pacarnya. Sampai sekarang Bapak masih menyimpan dan merawat jam saku antik itu.”
“Pantas waktu berkunjung ke Tenda Pak Kurus, aku pernah lihat bapakmu asyik banget melototin jam sakunya.”
“Bapak memang masih susah melupakan mantan pacarnya, padahal sudah puluhan tahun menikah dengan Ibu. Sudah bosan aku meminta Bapak, supaya jangan rutin memandangi foto pacar lamanya. Tapi, Bapak seperti sengaja memelihara rasa patah hatinya sampai tua.”
“Ta, cinta sejatinya itu tidak mengenal usia. Apalagi foto pacarnya tak bakalan menua, kan?” Ulani berupaya membela kebiasaan tak wajar Pak Rosadi, “memang secantik apa sih pacar bapakmu?”
“Serupa artis-artis kita yang berwajah indo. Putih, tinggi semampai, dan berambut agak pirang. Kata Bapak, mata biru pacarnya yang sayu sangat meneduhkan darah muda Bapak.”
“Bapakmu itu cuma geer kali? Padahal pacarnya cuma main-main.”
“Dia sungguh mencintai Bapak! Apalagi dia pernah diselamatkan Bapak saat terjadi kebakaran di sebuah toko. Cuma setelah berjanji akan selalu setia sama Bapak, dia malah berkhianat. Dia tiba-tiba bersedia menerima jodoh dari orangtuanya.”
“Mungkin bapakmu kurang diterima keluarga pacarnya.”
“Justru sebaliknya. Waktu Bapak diperkenalkan ke keluarganya, mereka menyambut baik kehadiran Bapak. Pacarnya malah sempat bercerita kalau orangtuanya tak keberatan menerima Bapak sebagai menantu. Tahu-tahu Bapak dicampakkan begitu saja. Sampai Bapak terpukul sekali waktu itu.”
Sepertinya Ulani harus turut terenyuh juga oleh kisah cinta Pak Rosadi. Ia bisa merasakan betapa sakitnya Pak Rosadi manakala uluran cintanya yang telah bersambut, namun sekonyong-konyong diputus begitu saja oleh pacar tercinta.
“Ketika Bapak tengah merana akibat pengkhianatan pacarnya, tiba-tiba pacarnya yang telah menikah itu datang menemuinya. Dia membocorkan resep rahasia kedai bakmi warisan leluhur pada Bapak.”
“Kedai bakmi mana, Ta?”
“Bapak tak pernah mau menyebut nama kedainya.”
Ulani curiga. Bukan karena Pak Rosadi tak pernah mau menyebutnya, namun Amarta pasti telah beroleh perintah Pak Rosadi. Amarta terlarang mengungkap identitas kedai bakmi itu. Untuk alasan apa? Ini yang memicu rasa penasarannya.
“Dia lalu meminta Bapak segera pindah kota. Bapak juga disarankan berjualan masakan menggunakan resep rahasia itu.”
Mudah bagi Ulani menarik pendapat dari penuturan Amarta. Kekasih Pak Rosadi pastinya bermaksud, menjadikan resep rahasia itu sebagai obat pelipur lara. Sekaligus penebus dosa atas pengkhianatan cintanya. Resep rahasia itu akan memberi masa depan untuk Pak Rosadi.
“Aku tebak, resep rahasia pemberian pacar bapakmu itu adalah kecap istimewa Tenda Pak Kurus.
Amarta mengangguk.
“Di kota mana bapakmu waktu itu tinggal?”
“Waktu lajang dulu Bapak selalu berpindah-pindah kota. Tapi, masih seputar Bandung Raya,” ungkap Pranaja yang tetap tak mau rinci dalam penyebutan tempat.
“Terus hubungannya dengan sumpah bapakmu?”
“Sebelum menerima resep rahasia, Bapak terlebih dahulu diminta bersumpah sama pacarnya. Sampai anak cucu Bapak sangat terlarang memasak bakmi menggunakan kecap istimewa.”
“Jadi karena alasan ini kamu lalu menolak mentah-mentah permintaanku?”
“Aku tak berani melanggarnya, Lan.”
“Bapakmu disumpah karena dikhawatirkan membuka usaha bakmi. Pacar bapakmu tak ingin usaha bakmi keluarga bakal tersaingi. Itulah hakikat dari sumpah bapakmu itu!” argumen Ulani untuk mempengaruhi pikiran Amarta.
“Setelah menggunakan kecap pemberian pacarnya, nasi goreng Bapak yang kurang laku seketika laris manis. Bapak jadi sibuk, sehingga mengurangi waktu memikirkan rasa sakit hatinya. Bapak lalu mendirikan Tenda Pak Kurus sebelum kemudian bersua ibu,” lanjut Amarta yang memilih meneruskan ceritanya. Amarta enggan menanggapi argumen Ulani.
Bagi Ulani, keengganan Amarta menanggapi argumennya adalah satu penegasan. Amarta memang tak berniat menolongnya. Ia akhirnya menarik kesimpulan. Amarta rupanya belum mau berubah. Masih tetap seperti terakhir terlihat olehnya dulu. Lelaki dewasa yang tak mampu lepas dari kungkungan bapak sendiri. Padahal karena alasan inilah Ulani pernah tega melukai karibnya itu.
***
“Lan, bagaimana kondisi ayahmu,” tanya Pranaja saat menyapa hangat Ulani di tempat latihan. Semakin kemari Pranaja terasa semakin jauh meninggalkan karakter angkuhnya. Hingga kemudian Ulani mengira, apa mungkin sesungguhnya karakter asli Pranaja memang sehangat ini.
“Tetap belum berubah, Pran. Ayah tetap sulit makan. Sepanjang hari cuma mengeluh ingin menyantap Bakmi Harapan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku harus membawanya lagi ke rumah sakit,” keluh Ulani.
“Kamu tak perlu membawa ayahmu ke rumah sakit. Kamu cukup menyempatkan waktu datang ke kedai Mamah. Di sana, akan kubuatkan bakmi goreng selezat yang ada dalam pikiran ayahmu.”
Ulani malah tertawa dengan tawaran Pranaja. Bukan bermaksud merendahkan, tapi mempertanyakan klaim Pranaja. Bukankah Pranaja sendiri yang mengatakan kalau tanpa kecap pusaka, Bakmi Harapan tak ada bedanya dengan bakmi-bakmi pada umumnya?
“Lan, kami masih menyimpan kecap pusaka.”
“Kemarin bilangnya sudah punah. Tapi, sekarang ngaku masih ada. Kalau bercerita yang konsisten dong, Pran!” protes Ulani atas pengakuan mengejutkan Pranaja. Meski memprotes, namun hati kecil Ulani justru bersuka ria. Pengakuan Pranaja adalah kabar bagus untuk Ayah.
"Cuma tersisa dua botol saja. Sengaja bertahun-tahun Mamah menyisakannya. Siapa tahu kelak anak-anaknya mampu memecahkan rahasia pembuatannya.”
“Kamu, kan lulusan sekolah kuliner? Seorang chef sekaligus pemilik tiga buah kafe. Semestinya mudah bagimu mengungkap rahasianya.”
“Kalau aku bisa Bakmi Harapan tidak akan semerana ini. Sejak lulus kuliah, aku telah berkali-kali mencoba mengungkap rahasianya. Tapi, hasilnya selalu gagal! Entah bahan-bahan apa yang dipakai kakek buyut waktu meracik kecap pusaka.”
Ingin rasanya Ulani segera berkata, berikan saja beberapa sendok kecap pusaka kepadanya. Selanjutnya Pranaja tinggal duduk menanti. Biarlah seorang analis kimia yang akan mengungkap rahasianya. Namun, Ulani keburu sadar jika dirinya cuma orang luar. Kemungkinan besar Pranaja tidak akan mengizinkannya.
“Mengembalikan kejayaan Bakmi Harapan adalah obsesiku. Selain itu aku kasihan pada Mamah. Aku tak mau seumur hidup Mamah terus terbebani rasa bersalah,” lanjut Pranaja mengumbar tekadnya di depan Ulani.
“Andai saja kakek buyutmu tidak melarang menuliskan rahasia pembuatannya ....”
“Sebenarnya masih ada orang yang mengetahui rahasia pembuatannya.”
“Nah, kembali ada yang ditutup-tutupi dari ceritamu,” sahut Ulani yang merasa, sepertinya masih ada hal mengejutkan lagi yang belum dituturkan Pranaja.
“Ini menyangkut masa lalu Mamah. Dulu Mamah diam-diam pernah memberi rahasia kecap pusaka pada mantan pacarnya.
“Kapan kejadiannya?”
“Lebih dari tiga puluh tahun lalu. Sayangnya Mamah tak tahu keberadaan pacarnya. Parahnya lagi amnesia membuat Mamah lupa dengan namanya. Mamah cuma ingat jika pacarnya pedagang nasi goreng.”
“Pasti ada alasan kuat hingga Mamahmu berani membocorkan resep rahasia kecap pusaka milik keluargamu,” timpal Ulani. Tampaknya ia mesti mencermati penuturan terbaru Pranaja.
. “Setelah secara sepihak memutuskan hubungan dengan pacarnya, Mamah kemudian malah selalu dibebani rasa bersalah. Dalam pikiran Mamah, hanya dengan menyembuhkan luka batin pacarnya, Mamah akan lepas dari beban dosa. Untuk itu Mamah butuh kecap pusaka sebagai pelipur lara pacarnya.”
“Kecap kok dijadikan pelipur lara?”
“Kala dicampakkan Mamah, usaha nasi goreng pacarnya tengah lesu. Padahal pacar Mamah itu masih menanggung hidup dua adiknya. Sedangkan kedua orangtuanya telah meninggal. Lewat kecap pusaka Mamah berharap kehidupan pacarnya akan jauh lebih baik. Paling tidak lara hati pacarnya bakalan berkurang.”
Kenapa ceritanya serupa sekali dengan kisah cinta Pak Rosadi semasa muda? Isi kepala Ulani seketika teringat akan cerita Amarta beberapa hari lalu. “Sampai terus-terusan memikirkan rasa bersalah, kayaknya Mamahmu sukar melupakan pacarnya.”
“Kalau sukar, mana mungkin Mamah sampai meratapi kepergian Papah,” sangkal Pranaja. Namun, sejurus kemudian ia malah tanpa ragu mengungkap satu momen yang semestinya tak perlu diumbarnya ke pihak luar. “Memang sih aku pernah dua kali tak sengaja mempergoki Mamah di kamar. Mamah kedapatan lagi menatap dalam-dalam jam saku antik. Ternyata di dalam jam saku antik itu ada gambar foto pacarnya.”
Momen yang barusan diutarakan Pranaja spontan mengingatkan Ulani akan momen serupa, tepatnya ketika menyambangi Pak Rosadi di Tenda Pak Kurus. Tak heran bila ia lalu berupaya menggiring Pranaja, agar bertutur semakin sealur dengan cerita Amarta. Tentang Pak Rosadi yang beroleh rahasia sebuah kecap dari mantan kekasih.
“Tapi, mamahmu gegabah. Bagaimana jika pacarnya dendam, lantas membuka usaha bakmi juga. Bakmi Harapan bakal tersaingi.”
“Mamah telah meminta pacarnya bersumpah. Sampai generasi cucu, pacarnya terlarang memasak bakmi menggunakan kecap pusaka kami.”
Sangat tepat bila Ulani mencermati penuturan Pranaja. Alurnya terbukti memang menyerupai kisah cinta Pak Rosadi. Mungkinkah ini semua hanya kebetulan semata? Rasanya terlampau terkait untuk bisa disebut kebetulan. Terlebih gambaran kekasih Pak Rosadi muda yang sempat diutarakan Amarta tak berbeda jauh, atau serupa dengan ibunda Pranajaya yang pernah dilihat Ulani. Sosok perempuan blasteran Eropa bermata biru.
***
Persis seperti yang digambarkan Ayah, aroma Bakmi Harapan yang asli terbukti memang sekuat tongseng olahan Pak Rosadi. Aroma menggoda yang mencumbu otak kita akan kelezatan sebuah cita rasa. Sangat berbeda dengan aroma bakmi yang pernah Ulani hirup sebelumnya. Kendati dibuat di dapur yang sama.
Walau cuma menghirup aromanya, namun Ulani sudah dapat menilai kenikmatan Bakmi Harapan yang selesai dibuat Pranaja. Ia memang belum sempat mencicipinya. Ia enggan mencolek seperti dulu. Padahal sewaktu hendak dibungkus Pranaja, lembaran daun pisang yang menampung bakmi goreng cuma berjarak sejengkal dari jari-jarinya. Ulani segan karena Pranaja apik dalam memasak. Tak terlihat seperti tukang masak yang tengah melayani antrean pelanggan. Pranaja lebih mirip seorang seniman kuliner.
Kedua kalinya Ulani berada di sini, di dapur yang mengolah Bakmi Harapan. Pranaja membuktikan janjinya. Lelaki itu bersedia memasakan bakmi goreng menggunakan kecap pusaka. Sempat tercium wangi yang sangat khas saat Pranaja membuka tutup botol kecap pusaka. Wangi yang seketika mengingatkan Ulani akan kecap Tenda Pak Kurus.
Usai membungkus dua porsi Bakmi Harapan, Pranaja tak jemu-jemu untuk mengagetkannya. Pranaja tiba-tiba mempersilahkan dirinya membawa pulang sebotol kecap pusaka. Hanya saja Ulani menyikapinya dengan berbeda. Tak seperti saat saat meminta-minta kecap Tenda Pak Kurus, Ulani justru merasa tak enak hati menerimanya. Bagaimanapun juga kecap itu merupakan wasiat sebuah keluarga. Terlebih kini tinggal tersisa dua botol lagi.
“Kamu pikir setelah mencicipi Bakmi Harapan ayahmu tak akan ketagihan lagi. Dari pada terus bolak-balik kemari, akan lebih baik kamu masak bakmi sendiri pakai kecap ini. Aku percaya, setelah melihat cara memasakku tadi kamu pasti bisa membuatnya,” sahut Pranaja atas keberatan Ulani.
Tentu saja Ulani tak akan berkata, ide Pranaja pernah ada dalam benaknya. Ia tak mau Pranaja lalu mengusutnya saat menyebut, kecap serupa juga dipakai oleh sebuah kedai pinggir jalan. Ia hanya menanyakan, apakah pemberian kecap pusaka sudah sepengetahuan ibunda Pranaja. Ulani tak ingin muncul permasalahan di kemudian hari. Apalagi semenjak tiba di sini ibunda Pranaja belum juga juga terlihat batang hidungnya.
“Justru Mamah yang menyuruhku untuk memberikan kecap ini. Mamah berharap kamu bersedia mengungkap rahasianya. Mamah kenal profilmu dari majalah yang dibacanya.”
Sejak mula Ulani memang menduga, pasti ada motif terselubung di balik perubahan drastis karakter Pranaja. Mustahil lelaki angkuh itu pernah sekonyong-konyong mengajaknya berswafoto. Bahkan barusan sampai memberinya kecap pusaka. Ulani cuma tak mengira, kedekatan Pranaja terhadapnya ternyata atas dorongan sang mamah sendiri.
Tapi, ibunda Pranaja tepat sekali memilih dirinya. Saat ini hanya Ulani seorang, peneliti paling antusias untuk membongkar rahasia kecap pusaka mereka. Terlebih namanya tengah melambung tingi. Sosoknya sebagai seorang analis kimia telah banyak dikupas media. Di mata media, Ulani adalah pahlawan kesehatan masyarakat. Dianggap berjasa besar karena berhasil mengungkap, adanya kandungan zat kimia berbahaya pada sebuah produk jamu. Padahal jamu itu terlanjur kondang sebagai produk herbal menyehatkan. Bahkan menjadi salah satu ikon produk kebanggaan bangsa.
“Lan, aku sangat percaya, di tanganmu sebotol kecap ini bakal beranak pinak. Reputasimu adalah jaminannya. Atas nama Mamah, aku memohonmu agar bersedia mengurai rahasia kecap pusaka kami.”
“Kendalanya aku, kan orang luar, Pran? Saat nanti kuteliti, dengan sendirinya rahasia kecap ini akan terbongkar olehku. Kakek buyutmu bakal kecewa.”
“Kakek buyutku di alam sana akan jauh lebih kecewa, andai Bakmi Harapan punah ditelan jaman.”
Kembali pemikiran serupa pernah terlintas dalam benak Ulani. Seperti sudah ditentukan takdir. Antara dirinya dan Pranaja memang kerap terkait lewat keselarasan dalam berpikir. Sebelum datang kemari ia pun telah banyak menemukan kecocokan dengan lelaki itu. Mulai dari hal ringan semisal ketidaksukaan Pranaja pada asap rokok, ataupun koleksi humor cerdas yang di luar dugaan dimiliki lelaki penyendiri itu. Hingga obrolan sedikit rumit macam pandangan politik, maupun falsafah hidup.
Wajar bila kemudian Ulani membanding-bandingkan Pranaja. Bukan dengan Amarta, namun Bim, mantan suaminya. Sebelum dulu memutuskan menerima lamaran Bim, Ulani juga mendapatkan banyak keselarasan seperti halnya pada diri Pranaja. Bedanya hanya satu, Pranaja adalah wujud kesempurnaan dari mantan suaminya itu.
***
Apa yang didapatkan Ulani saat ini telah cukup untuk memukau dirinya. Sebuah studio lukis! Meskipun bentuknya lebih mirip garasi besar, namun Ulani yakin, tempat Amarta berada sekarang memang sebuah studio lukis. Ada banyak belepotan cat minyak di dalam sini. Pun dengan tujuh buah lukisan yang telah jadi, maupun hampir jadi.
Tadi sewaktu masih di laboratorium Ulani telah mengontak Amarta lewat ponsel. Rencananya selepas jam kerja dirinya hendak menemui Amarta. Ia disarankan Amarta untuk datang ke satu alamat. Amarta mengaku ada di alamat itu hingga malam melarut.
Kedatangannya ke tempat Amarta berada lagi-lagi terkait permasalahan Ayah. Dua bulan usai Pranaja memberinya sebotol kecap pusaka, dirinya masih kesulitan untuk mengungkap rahasia kecap ajaib itu. Berminggu-minggu meneliti di laboratorium ia hanya mampu mengurai bahan-bahan pembentuk kecap. Terkecuali jarum tiram, semua bahan-bahan yang ditemukannya teramat umum digunakan dalam pembuatan kecap. Pun dengan teknik fermentasinya.
Hanya satu perkara yang memaksa Ulani tak habis pikir. Perihal kemunculan satu aroma khas yang begitu menggoda dari kecap pusaka. Aroma yang mampu meninabobokan otak kita, hingga hanya mau berpikir akan kelezatan satu cita rasa. Ulani kebingungan memikirkan, lewat proses seperti apa hingga aroma seperti ini muncul.
Sadar bila dirinya hanya seorang analis kimia dan bukan pakar kuliner, Ulani lantas berharap pada Pranaja. Pikirnya, soal bagaimana cara membangkitkan aroma kelezatan, tentunya Pranaja jauh lebih piawai dibandingkan dirinya. Terlebih Pranaja tinggal meracik bahan-bahan yang telah diketahuinya.
Patut disesalkan, kiranya Pranaja pun memilih angkat tangan. Pranaja cuma bisa berkata, “Ada hal yang tak wajar dalam pembuatan kecap pusaka.”
Memang selama kecap pusaka pemberian Pranaja masih tersedia, rasanya Ulani tak perlu khawatir. Minggu-minggu ini dirinya malah teramat lega. Lidah Ayah tersembuhkan dari lara. Kebahagiaan, keceriaan, serta semangat hidup Ayah berangsur pulih kembali. Ayah pun akhirnya berkenan makan secara normal lagi. Semua berkat kecap pusaka pemberian Pranaja. Kecap itu kerap Ulani tambahkan pada bakmi goreng buatannya sendiri. Ayah benar-benar tertipu olehnya.
Tetapi, apa jadinya bila nanti kecap pusaka tinggal menyisakan botolnya? Ulani tentu saja kembali resah. Apalagi seperti perkiraan Pranaja, Ayah akhirnya ketagihan bakmi buatannya. Ayah terus meminta dibelikan Bakmi Harapan. Ayah tak mau tahu kendati Ulani beralasan, tak setiap akhir pekan bisa meluangkan waktu pergi ke Cimahi untuk membeli Bakmi Harapan.
Kala keresahan Ulani semakin menjadi-jadi, kejutan untuk kesekian kalinya datang menghampiri. Dua hari lalu sepulang dari tempatnya bekerja, ia mendapatkan Ayah tengah lahap menyantap semangkuk bakmi goreng. Dari aroma yang tercium ternyata bakmi yang tengah disantap Ayah serupa bakmi buatannya. Yang jadi pertanyaan, dari mana bakmi yang disantap Ayah berasal?
Di hari itu Ulani tak merasa telah membuatkan bakmi goreng. Terlebih kecap pusaka hanya tinggal bersisa empat sendok makan lagi. Itu pun telah ia siapkan sebagai sampel penelitiannya lagi. Tapi, Ayah bercerita jika Amarta telah datang menjenguk ke rumah. Amarta membawa semangkuk bakmi goreng. Kata Ayah, Amarta mengaku baru saja kembali dari Cimahi. Di sana Amarta sengaja membeli Bakmi Harapan sebagai oleh-oleh untuk Ayah.
Ulani tak percaya begitu saja dengan pengakuan Amarta. Ia menduga kuat, bakmi yang disantap Ayah tak lain bakmi buatan Amarta sendiri. Tentu dengan menambahkan kecap istimewa Tenda Pak Kurus. Kecap yang menurut Ulani memang tak lain kecap pusaka milik keluarga Pranaja. Persoalannya, Ulani kurang meyakini bila Amarta berani melanggar larangan Pak Rosadi? Oleh karenanya hari ini ia bermaksud hendak menanyakannya langsung pada Amarta.
“Studio lukis ini memang milikku sendiri. Kubangun kira-kira setahun lalu,” jelas Amarta kala membanggakan studio lukisnya pada Ulani. Ia baru saja menyelesaikan satu lukisan. Satu bangku kayu yang masih bersih dari belepotan cat, sepertinya telah dipersiapkan Amarta untuk tempat duduk Ulani.
“Dari kapan kamu tertarik kembali melukis?” tanya Ulani sembari duduk di bangku kayu yang telah dipersiapkan Amarta.
“Belum lama. Tepatnya saat aku berkenalan dengan seorang Maestro Lukis. Hanya dari melihat tulisan tanganku, beliau langsung berkata kalau aku punya talenta besar melukis.”
Bukan hal mengejutkan jika orang luar menilai pada diri Amarta tersimpan talenta melukis. Semenjak sama-sama duduk di bangku SD, Ulani telah mengenal Amarta sebagai jagoan menggambar. Beberapa kali Amarta kecil tampil sebagai pemenang dalam ajang lomba menggambar. Ketika kemudian Amarta mengutarakan minat untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa, Ulani sangat mendukungnya. Ia mengerti jika seni lukis adalah jiwa seorang Amarta.
Patut disesalkan, minat dan talenta Amarta di seni lukis tak beroleh dukungan Pak Rosadi. Orangtua kolot itu bersikukuh, cita-cita Amarta harus berlabuh di lingkungan gedung perkantoran modern. Lengkap dengan seragam kerja necis, serta hari-hari penuh keteraturan. Bagi Pak Rosadi, seniman adalah dunia acak-acakan. Sebuah kehidupan yang dijalankan dengan sekehendak hati. Sedangkan menjadi karyawan kantoran adalah kebanggaan.
Masih terbayang jelas dalam ingatan Ulani, kala Amarta mencurahkan kekecewaannya. Lelaki itu merasa sebagian hidupnya telah dibunuh oleh bapaknya sendiri. Namun, Amarta mengaku tak berdaya untuk menentang bapaknya. Pak Rosadi sungguh terlalu. Bukan cuma melarang Amarta kuliah di Fakultas Seni Rupa, Pak Rosadi juga melarang Amarta melukis walau sebatas hobi.
“Ta, aku datang kemari cuma ingin memastikan, benarkah bakmi yang pernah kamu bawa untuk Ayah buatanmu sendiri?”
“Memang aku yang memasaknya. Malah sengaja kutambahkan kecap Tenda Pak Kurus agar ayahmu berselera.”
“Yang kamu lakukan itu, kan melanggar sumpah bapakmu?”
“Ketika kemarin itu kamu menjelaskan hakikat dari sumpah Bapak, aku lantas merenunginya berhari-hari. Rasanya memang mustahil. Seorang peneliti sepertimu tiba-tiba membuka kedai pesaing usaha Bapak, cuma gara-gara tahu rahasia kecap kami.”
Syukur, pada akhirnya Amarta berkenan melihat sisi yang berbeda dengan pandangan bapaknya. Amarta memang harus begitu. Dunia tak pernah satu arah. Dunia penuh dengan sudut pandang. Ulani girang dengan perubahan cara berpikir Amarta. Setidaknya Amarta mulai belajar berani mengikuti alur pikirannya sendiri.
“Apa bapakmu tahu kamu telah memasak bakmi?
“Bukan sekedar tahu lagi Bapak sudah mengizinkan. Tentu lewat perdebatan sengit terlebih dahulu denganku.”
Amarta mengaku telah berdebat dengan bapaknya? Apa yang sesungguhnya tengah terjadi pada Amarta? Mendadak Amarta bermetamorfosis seperti halnya Pranaja. Dari yang asalnya bak kerbau dicocok batang hidungnya, kini berubah layaknya kuda liar yang sulit dikendalikan Pak Rosadi lagi.
Selama ini Ulani mengenal Amarta sebagai produk indoktrinasi Pak Rosadi. Sedari kecil semua anak Pak Rosadi memang telah tertanam kepatuhan luar biasa. Membangkang, apalagi mendebat fatwa Pak Rosadi adalah tabu. Semuanya digembleng agar hidup sejalan dengan pikiran Pak Rosadi. Akibatnya hingga tumbuh dewasa anak-anak Pak Rosadi belum mampu menjadi diri sendiri. Walau berpendidikan tinggi, namun mereka sulit lepas dari pengaruh Pak Rosadi. Mereka tak ubahnya robot-robot yang sepenuhnya dikontrol Pak Rosadi.
“Sedari tadi aku hanya sibuk bertanya. Aku sampai lupa untuk berterima kasih.”
“Cukup sekali ini saja berterima kasih! Ke depan aku tak bisa mengirim bakmi goreng lagi untuk ayahmu.”
“Maksud tak bisa lagi ...?”
“Bapak cuma mengizinkanku sekali saja melanggar sumpahnya. Itu pun gara-gara Bapak sempat tersudutkan olehmu. Kamu, kan pernah menuding Bapak tak ingat kawan?”
Sampai melongo Ulani mendengar penuturan Amarta. Baru saja Amarta memberinya asa lewat rangkaian kejutan. Hingga ia sempat bersuka cita. Empat tahun semenjak dirinya menjauh dari Amarta, di luar dugaan ada perubahan berarti pada karibnya ini. Dari keberanian melanjutkan talenta melukis, hingga mengaku telah berdebat dengan Pak Rosadi. Akan tetapi, secara mengejutkan pula Amarta mengecewakannya lagi. Dengan enteng Amarta malah kembali memamerkan ketidakberdayaan terhadap Pak Rosadi.
***
Tiga botol kecap yang kamu minta telah kusiapkan. Kutunggu segera di Taman Suropati. Paling lambat jam satu siang ini.
Belajar dari kejutan-kejutan sebelumnya, Ulani tak lantas buru-buru terpukau dengan kabar bagus yang dikirim Amarta lewat pesan WA. Ia percaya, kali ini pun Amarta hanya akan menyenangkannya di awal. Selanjutnya ia mesti bersiap kembali gigit jari.
Tak perlu pusing mencari keberadaan Amarta di Taman Suropati. Walau tidak disebutkan dalam pesan WA, namun Ulani hafal betul di sudut mana Amarta menantinya. Benar saja, Amarta terlihat olehnya tengah berdiri di Monumen Kelahiran Kembali. Sejak masih berseragam sekolah dulu, salah satu monumen ASEAN itu kerap mereka pilih sebagai lokasi bertemu.
“Kuharap kamu tak cuma pandai di laboratorium, tapi pandai juga di dapur,” pinta Amarta kala menyambut kedatangan Ulani di Taman Suropati. Tiga botol kecap lalu diserahkannya pada Ulani.
“Pada akhirnya bapakmu menyadari, yang kamu lakukan ini tidaklah bertentangan dengan sumpahnya. Terima kasih, Ta. Sampai kapan pun kamu akan tetap sebagai karib terbaikku,” puji Ulani, sembari memasukkan tiga botol kecap pemberian Amarta ke dalam tasnya.
“Sayangnya Bapak tetap bersikukuh, memenuhi permintaanmu sama saja dengan melanggar sumpahnya. Kecap ini diam-diam kuambil tanpa sepengetahuan Bapak.”
Sesuai dengan apa yang telah diprediksinya, Amarta kiranya tetap kesulitan memenuhi harapannya. Meski begitu Ulani tak harus merasa dongkol seperti sebelumnya. Demi Ayah, Amarta bersedia durhaka pada titah sang bapak. Walau mungkin terbilang kurang terpuji, namun ia tetap patut mengapresiasi langkah Amarta.
“Lan, apa kamu masih ingat terakhir kita berada di sini?” pertanyaan tiba-tiba Amarta. Kendati melenceng jauh dari maksud pertemuan mereka, namun Ulani tak tampak bingung. Sebelum datang kemari ia memang telah memperkirakan Amarta akan bertanya seperti itu.
Empat tahun lalu di kala hujan deras membasuh Taman Suropati, pernah terjadi satu insiden yang paling menyesakkan batin Ulani. Saat mereka berdua tengah berteduh di bawah atap yang menaungi Monumen Kelahiran Kembali, secara tak terduga Amarta mengungkap perasaan cinta kepadanya. Amarta terang-terangan berniat melamarnya.
Betapa Ulani sampai tergagap-gagap mendengar ungkapan cinta Amarta. Padahal sejak lama ia sebenarnya telah mengendus, ada rasa terpendam dalam lubuk hati karibnya ini. Meski begitu Ulani cepat bersikap. Tegas ia menolak cinta Amarta.
Belum pudar dalam ingatannya akan Amarta, yang seketika lunglai dengan penolakannya. Amarta tampak terluka sekali. Namun, Ulani tak punya pilihan lain selain menampik uluran cinta karibnya itu. Waktu itu Ulani adalah seorang gadis yang berprinsip, pendamping hidupnya adalah lelaki yang selaras selalu dengan idealismenya. Sedangkan Amarta sama sekali tak mau berdialog dengan harapannya. Meski harus diakui jika Amarta sangat ideal bila dikaitkan dengan hati.
“Ta, harus kukatakan kalau kejadian dulu itu bukan cuma menyakitkanmu, namun juga membuat batinku gundah juga.”
“Dulu semua hal mesti dikaitkan dengan idealismemu. Bim adalah jawaban terbaik menurutmu. Lucunya, sudah punya suami sempurna, bukannya bergegas punya anak malah ingin cepat-cepat menjanda,” sindir Amarta saat menyebut nama mantan suami Ulani.
“Sepertinya ada yang senang dengan perceraianku.” Ulani balik menyindir.
“Ya, aku senang mendengar perceraianmu. Jujur, aku bahkan sempat mendoakan status jandamu. Tapi, aku tetap sukar memahami jalan pikiranmu. Begitu berbusa-busa saat memuja pria idamanmu, tapi begitu gampang pula kamu mencampakkannya.”
“Kuakui, Bim memang jawaban dari pencarianku. Aku memujanya karena dia mau menjadi diri sendiri. Bayangkan, orangtua Bim adalah pengusaha tajir. Tapi, Bim lebih memilih menjadi penyair. Bim tetap bergeming dari penentangan orangtuanya.”
“Beda jauh denganku yang tak punya idealisme sama sekali.”
“Aku tak bermaksud menyandingkanmu dengan Bim. Tapi, aku ingin mengatakan kalau Bim telah menipuku!”
“Bim tega menipumu ...?”
“Setelah menikah, aku baru tahu kalau Bim bukanlah lelaki seperti kodratnya.”
Pengakuan Ulani memancing praduga dalam benak Amarta. Walau sedikit ragu, namun ia tetap menanyakannya pada Ulani, “Maaf, Lan! Kamu telah menikahi seorang laki-laki ....”
“Aku memang menikah dengan seorang laki-laki gay,” ungkap Ulani yang tak sungkan blak-blakan pada Amarta. Tentang rumah tangganya yang bubar jalan bersama Bim.
Amarta termangu.
“Sekarang kamu mengerti, kan dengan ambruknya rumah tanggaku? Bim rupanya tak menganggapku seorang istri. Dia hanya menjadikanku tameng. Dia tak mau keluarga, teman, maupun dunia tahu orientasi seksualnya. Aku tak suka diperlakukan seperti itu!”
“Walau Bim seorang gay, namun faktanya kamu mencintainya.”
“Aku tak pernah mencintai Bim!” tegas Ulani.
“Tapi, kamu memilihnya.”
“Bukan cinta penyebab aku dulu menerima lamaran Bim. Namun, kehendak Bim yang kerap sejalan dengan keinginanku.”
“Begitu, ya,” ucap Amarta sembari mangut-mangut. “Kuucapkan selamat karena kamu akhirnya menemukan pengganti Bim. Seorang flutist tampan yang tak kalah idealnya dengan Bim. Namun, jauh lebih normal sebagai lelaki.”
Awalnya Ulani sempat terkesiap. Bagaimana mungkin Amarta sampai bisa mencium kedekatannya dengan Pranaja? Namun, kemudian ia ingat akan satu hal. Salah seorang personil Mayapada Orchestra adalah sepupu Amarta. Sedangkan hari-hari belakang ini ia tak membantah jika kedekatannya dengan Pranaja, tampaknya memang tengah memicu perbincangan rekan-rekan di Mayapada Orchestra. Amarta rupanya diam-diam rutin memata-matai dirinya.
“Pranaja tak akan bisa membuatku jatuh cinta!”
“Buat apa cinta? Toh, kamu tak butuh cinta untuk pendamping hidupmu!”
Sejak menyinggung satu momen di empat tahun yang lalu Ulani sadar, Amarta bakal sering menyindirnya. Kendati demikian ia dapat memahaminya. Hanya saja yang barusan terdengar terasa menyebalkan sekali.
Ya, Ulani tahu jika Amarta masih menyimpan rasa terhadapnya. Akan tetapi, Amarta tidak layak senyinyir itu berkata. Walau dirinya kini telah berstatus janda, namun Amarta bukan siapa-siapanya. Amarta tak boleh sesuka hati mencemoohnya.
“Benar, aku memang tak butuh cinta. Aku cuma butuh lelaki yang mampu menentukan arah hidupnya sendiri. Bukan lelaki pengekor terus sepertimu!” Saking merasa sebal Ulani akhirnya terpancing mengumpat Amarta. Ia sampai lupa kalau Amarta baru saja memberinya kecap Tenda Pak Kurus.
“Kamu pikir kamu wanita sempurna? Sadarlah, Lan, kamu cuma makhluk egois! Maumu cuma mengatur orang, tapi tak pernah mengerti kesulitan orang, apalagi menghargai upaya orang!” balik Amarta dengan nada tinggi, bahkan cenderung emosi. Amarta seakan-akan ingin menunjukkan, bahwa selama ini dirinya menyimpan kekesalan hati pada Ulani.
Beroleh umpatan balik dari lawan bicaranya Ulani langsung terkesima. Benarkah Amarta yang barusan berbicara? Jika benar sepertinya ia harus sulit mempercayainya. Amarta yang kalem, yang biasa bertutur kata halus, yang tak biasa meledak-ledak tiba-tiba saja berucap sesengit itu padanya. Hal yang tak pernah Ulani temukan semenjak mengenal Amarta.
“Kalau dipikir-pikir apa bedanya kamu dengan Bapak yang rajin kamu cela? Tak ada bedanya! Bagiku, kamu sama otoriternya dengan Bapak!”
Kali pertama dalam hidupnya Ulani merasa malu pada Amarta. Hari ini Amarta seolah-olah telah menelanjanginya. Sukar dimungkiri bila dirinya memang tak ubahnya dengan orangtua yang kerap ia cela, Pak Rosadi. Tipikal manusia yang hanya tahu dunia mesti berputar searah dengan keinginannya.
“Ta, aku datang bukan mau bertengkar denganmu. Aku cuma mau berterima kasih atas pemberian kecap ini. Maaf, kerjaanku masih menumpuk di lab,” ujar Ulani yang memutuskan segera pamit.
“Lan, tunggu sebentar!”
Baru selangkah menjauhi Monumen Kelahiran Kembali, Amarta tiba-tiba memintanya untuk menunda pergi. Terpaksa Ulani berbalik badan. Kelihatannya ada perkara urgen yang hendak diutarakan Amarta padanya.
“Mohon kamu berkata sejujurnya, apa benar kamu sedikit pun tidak punya perasaan pada Pranaja?”
“Seperti yang tadi kukatakan, aku sama sekali tidak punya perasaan padanya.”
“Kalau Pranaja sendiri?”
“Walau belum terucap dari mulutnya, tapi sebagai perempuan aku tahu kalau dia mencintaiku.”
“Baguslah bila Pranaja jatuh cinta padamu. Dengan kata lain dia bakalan patah hati olehmu. ”
Serta-merta Ulani mengernyitkan keningnya mendengar kata-kata Amarta.
“Rileks, setelah kuceritakan nanti kamu akan mengerti mengapa aku berkata seperti tadi. Sekarang juga aku akan bocorkan rahasia kecap istimewa Bapak.”
Ulani hanya dapat mengulang terpana
. ***
Ulani memilih menahan kata dulu. Ia sadar, ada hati yang tengah merintih. Semanis apa pun kata yang keluar dari mulutnya, tetap akan terdengar pahit di telinga lelaki di depannya ini. Menunggu kelihatannya akan menjadi hal bijak.
Ketika Pranaja mengajaknya makan malam ke sebuah kafe, terlebih memesan satu private room khusus untuk mereka berdua, mudah bagi Ulani untuk menebak momen yang bakalan terjadi di sana. Adalah benar, seiring berjalannya hari Pranaja semakin memperlihatkan sikap mesra padanya. Ia mengendus bila rasa telah memilin kedekatannya bersama pemuda itu, khususnya pada diri Pranaja. Rupanya Pranaja tak cuma sekedar menginginkan jasanya. Lebih dari itu Pranaja juga menginginkan hatinya.
Dan ketika jamuan makan malam bertabur kilau cahaya kecil api lilin tersaji di ruang private room ini, Ulani sadar bila puncak kemesraan Pranaja tengah terjadi di malam ini juga.
Benar saja, usai makan malam Pranaja tak mau berlama-lama lagi untuk menumpahkan rasa padanya. Mengeluarkan cincin dari saku kemeja, Pranaja mencoba memasukkannya ke jari manis Ulani. “Cincin berlian ini hanyalah perlambang kemuliaan cintaku, Lan.”
Malang bagi Pranaja. Jari manis Ulani malah menampik cincin perlambang kemuliaan cintanya. Karuan ia terpana, tak mengira sang pujaan hati bakalan bersikap seperti ini. Sedangkan sebelumnya Pranaja teramat percaya jika Ulani tengah menanti uluran cintanya.
“Maaf, Pran, aku tak bisa menerima cincinmu. Hatiku tak ada tempat buat menampung tumpahan rasamu.”
Masih terpana saking tak percaya beroleh penolakan dari sang pujaan hati, Pranaja kesulitan memilih kata untuk menimpalinya.
“Kalau boleh aku menyarankan, berhentilah memikirkanku, Pran! Akan lebih baik selepas malam ini segenap pikiranmu hanya tertuju pada kecap pusaka warisan keluargamu.”
“Saranmu sungguh cemerlang sekali. Supaya aku tidak semakin larut dalam nelangsa, sebaiknya aku gila saja memikirkan sesuatu yang sebenarnya sudah tak mungkin dapat dipikirkan lagi,” cibir Pranaja yang akhirnya bersuara juga.
“Pran, dengar kata-kataku! Aku berhasil menemukan resep rahasia kecap pusaka keluargamu!”
Mungkin karena masih sesak akibat penolakan sang kekasih, Pranaja terkesan dingin menanggapi klaim keberhasilan Ulani. Ia malah mempertanyakannya. “Baru dua minggu lalu kamu angkat tangan. Katamu, kerja kerasmu di laboratorium hanya mampu mengurai ....”
“Rahasianya bukan berasal dari lab. Aku menemukannya dari anak mantan kekasih mamahmu dulu!”
“Bagaimana kamu bisa menemukannya? Sedangkan nama mantan pacar Mamah saja kamu tak tahu!”
“Bisa dibilang kebetulan! Aku baru tahu kalau teman sekolahku ternyata anak laki-laki dari pacar mamahmu dulu. Dia juga mengenal ayahku. Begitu kuceritakan masalah Ayah, dia lantas memberiku sebotol kecap.”
“Menurutmu itu kecap pusaka keluargaku?”
“Soalnya waktu aku iseng bertanya resep pembuatan kecapnya, temanku langsung kasih tahu resep rahasianya. Dari ceritanya ini aku jadi yakin kalau kecap pemberiannya memang kecap pusaka leluhurmu.”
“Apa yang membuatmu yakin akan ceritanya?”
“Dia cerita kalau aslinya bukan bapaknya yang menemukan kecapnya. Kekasih bapaknya yang semasa pacaran dulu kasih resep rahasianya.”
“Siapa nama mantan pacar mamah itu?”
“Soal nama ... maaf, Pran! Dia memintaku untuk tidak mengumbar identitasnya.”
“Semudah itu kamu percaya pada nara sumbermu.”
“Faktanya begitu aku memasak bakmi goreng pakai kecap buatan bapaknya, hasilnya luar biasa. Aroma menggoda khas Bakmi Harapan berhasil tercipta. Ayah sampai bingung dengan Bakmi Harapan yang tak pernah habis di rumah. Padahal nyaris setiap hari Ayah selalu melahapnya.”
Pranaja masih meragukan penuturan Ulani. Rasanya mustahil, seseorang sampai bersedia membocorkan rahasia sebuah kecap. Terlebih kecap istimewa yang bukan sembarang. Terkecuali ... orang itu menaruh perhatian lebih pada Ulani. Menjadi wajar bila Pranaja lalu menuding, sepertinya Ulani tengah meniru apa yang dulu telah dilakukan sang mamah dulu. Lewat rahasia kecap pusaka Ulani hendak melipur lara dirinya.
“Seperti yang pernah kamu katakan dulu, proses pembuatan kecap pusaka keluargamu memang menggunakan cara-cara yang tak biasa,” lanjut Ulani bertutur, “sementara komposisi bahan-bahan kecapnya sendiri, serta proses pembuatannya teramat umum tanpa ada yang istimewa.”
“Sejak mula aku sudah curiga, pasti ada syarat-syarat tertentu sehingga sebuah kecap mampu menebar aroma yang dapat menaklukkan seisi kepala.”
“Memang dibutuhkan prasyarat dulu bagi pembuatnya. Tapi, bukan laku spiritual macam ritual puasa. Kita cuma harus dikondisikan patah hati. Kalau memungkinkan terus begitu seumur hidup kita.”
Pranaja melongo.
“Tak masuk akal memang, tapi memang seperti itu prasyaratnya. Dalam kondisi jiwa merana maka akan mengalir energi batin. Selanjutnya energi itu akan dikonversi menjadi aroma khas kecap pusaka keluargamu,” lanjut Ulani bertutur, “prasyarat ini sekaligus menjelaskan penyebab mamahmu dulu sampai tega memutus kasih dengan pacarnya. Padahal mamahmu amat sangat mencintai pacarnya. Mamahmu juga wajib memelihara kondisi patah hatinya, terlarang diobati lewat jatuh cinta lagi. Selama hati mamahmu merana, selama itu pula kecap buatan mamahmu akan menebar aroma khas.”
Telah panjang lebar Ulani bertutur, namun Pranaja rupanya masih betah terpana.
“Demi keberlangsungan kedai Bakmi Harapan mamahmu dulu bersedia berkorban. Dan kamu mesti menerima kenyataan pahit, hingga papahmu meninggal mamahmu tidak akan pernah mencintainya.”
Setelah hanya terus-terusan diam termangu Pranaja akhirnya berkata lagi. Hanya saja nada suaranya lebih terdengar lirih, seperti tengah berharap. “Lan, penuturanmu ini bukan dalih untuk menolak uluran cintaku, kan?”
“Untuk apa aku sampai harus berdalih segala? Kalaupun prasyaratnya ternyata bukan patah hati, tetap aku akan menolak cincin perlambang cintamu, Pram.”
Kata-kata Ulani benar-benar menampar Pranaja. Benderang sekali jika perempuan yang tengah menggairahkan jiwanya ini ternyata jauh dari angannya. Sama sekali tidak menyediakan sedikit pun tempat di hati untuknya.
“Pran, jika kau mengaku anak berbakti, inilah momenmu untuk membahagiakan mamahmu. Percayalah, dibandingkan melihatmu hidup bahagia berkalung cinta, mamahmu akan jauh lebih bahagia melihat kedai Bakmi Harapan terselamatkan olehmu. Mamahmu akan lepas dari beban bersalah pada leluhurnya.”
“Lan, andai kamu mencintaiku apakah rahasia kecap keluargaku akan kamu ungkap juga padaku?”
“Tetap akan kuutarakan padamu!”
“Bukankah itu merugikanmu, karena kamu akan turut patah hati juga?”
“Karena aku harus berbakti pada Ayah! Kecap serupa pemberian temanku tinggal sedikit lagi, sementara temanku mengaku tak bisa terus-terusan memberinya padaku. Karena Ayah malah semakin ketagihan Bakmi Harapan, harapanku kini ada padamu, Pram!”
Kendati belum layak dijadikan pelipur lara, namun Pranaja merasa suka dengan ketegasan Ulani dalam berkata.
“Lan, aku ingin kamu menjawab jujur, adakah seseorang yang sulit kamu cintai gara-gara kehadiranku?”
“Jauh sebelum kita bertemu, hati ini hanya berisi satu nama saja. Tak pernah bisa tergantikan, termasuk oleh mantan suamiku sendiri.”
Tak lantas mendesak Ulani lagi Pranaja memilih merenung saja. Kelihatannya ia harus segera menyadari, bahwa dirinya salah memilih perempuan untuk dicintainya. Ulani justru perempuan yang tak gampang begitu saja jatuh cinta, apalagi terlena oleh pesona seorang flutist seperti dirinya.
Menyakitkan memang. Kendati demikian Pranaja mencoba menghibur diri. Jangankan dirinya, lelaki yang pernah berstatus suami pun ternyata gagal beroleh tempat di hati Ulani. Ia pun meyakini, satu nama pengisi hati Ulani tak lain si pembocor rahasia kecap keluarganya.
“Aku percaya, nara sumbermu sesungguhnya tak mengizinkanmu membocorkan rahasia kecap mereka. Tapi, demi membantu keluargaku, kamu sampai mengingkarinya. Terima kasih, Lan. Sudah sepatutnya bila aku menghargai semua upayamu ini.”
Yang barusan diucapkan Pranaja adalah benar seperti itu. Kendati demikian Ulani lebih memperhatikan sikap Pranaja. Ia kini boleh merasa lega. Pranaja mulai menampakkan tanda-tanda bersedia mewarisi jiwa yang merana dari sang mamah.
***
Pagi sebenarnya masih menyisakan banyak embun. Tetapi, pagi tak banyak menyisakan waktu untuk Ulani. Usai sarapan pagi ia tampak terbirit menuju garasi mobil.
“Kamu berbohong! Kamu ingkar janji!” suara bernada gusar menahan langkahnya di depan garasi mobil.
Bukan hal biasa bila sepagi ini Amarta sudah datang ke rumah. Apalagi datang bersama muka masam. Ulani paham, gerangan apa hingga karibnya ini bersikap seperti itu. Amarta hendak mempertanyakan komitmennya enam minggu lalu. Ia memang telah berkomitmen, untuk tidak membocorkan rahasia kecap Tenda Pak Kurus kepada orang luar.
“Aku tak ingkar janji!”
“Kedai bakmi jadul yang dikelola Pranaja semakin kemari semakin ramai pembeli. Pranaja pasti telah menemukan kembali resep rahasia kecap yang hilang itu. Kamu mau membantah pengingkaranmu?”
“Ta, apa kamu lupa asal muasal kecap andalan bapakmu? Pranaja bukan orang luar, justru bapakmulah yang orang luar! Aku hanya mengembalikan kecap itu kepada pemilik sebenarnya. Apalagi Pranaja tengah terobsesi mengembalikan kejayaan Bakmi Harapan.”
“Tanpa kamu ceramahi pun aku sangat mengerti akan hal itu. Tapi, yang sulit aku terima, mengapa begitu berat bagimu untuk sekedar mau menghargaiku? ”
“Yang telah kulakukan ini justru demi menghargaimu.”
“Menghargaiku ...? Seorang Lani yang terbiasa menjunjung tinggi idealisme hidup, tiba-tiba berkenan menghargai manusia pengekor sepertiku?”
Ulani tak harus gagap menghadapi ucapan sinis Amarta. Belakangan ini Amarta memang kerap melontar perkataan tak mengenakan. Ia juga merasa tak perlu kesal hati, apalagi sampai harus balas mengumpat. Akan lebih baik bila ia menampung saja ungkapan kekesalan hati Amarta.
“Kamu sudah buat Pranaja remuk redam hatinya. Sejujurnya, aku cukup senang karena kamu sudah beri balasan sakit hati Bapak pada anaknya.”
“Niatku bukan seperti yang ada dalam pikiranmu! Aku cuma ingin membantunya berbakti pada mamahnya. Seperti mamahnya, Pranaja ternyata bersedia mengorbankan kebahagiannya.”
Bukannya segera menimpali lagi, tanpa jelas sebabnya Amarta malah tampak merenung sejenak
“Lan, benarkah jika sebelumnya Pranaja hanyalah penghalang bagimu untuk bisa mencintai seseorang?” setelah sesaat termangu Amarta akhirnya berujar pelan. Perkataan serupa pernah juga terdengar Ulani dari mulut Pranaja.
“Baru enam minggu lalu aku sudah berterus-terang padamu. Masih juga kamu menanyakannya lagi.”
“Waktu itu aku cuma ingin tahu kemungkinan kamu jatuh cinta pada Pranaja.”
“Tidak butuh penghalang bagiku agar dapat mencintai satu nama abadi di hati ini. Aku cuma butuh segera berulangnya sebuah momen. Momen yang dulu pernah terjadi, dan paling kita ingat bersama,” jelas Ulani sembari melempar senyum penuh arti pada Amarta.
Senyum Ulani malah mendorong Amarta mangu lagi. Hanya saja ketermanguannya kali ini lebih dikarenakan tengah memikirkan sesuatu. Khususnya pesan di balik senyum perempuan yang senantiasa membuat riuh seisi kepalanya.
“Maaf telah mengganggumu! Sekarang juga kupersilahkan kamu berangkat kerja!” ucap Amarta kemudian. Muka masamnya sudah berganti cerah. Kelihatannya ia telah menangkap pesan di balik senyum Ulani.
“Kamu sendiri apa tidak berangkat kerja?” tanya Ulani saat Amarta pamit untuk melanjutkan lari paginya. Ia baru sadar jika pagi ini Amarta tidak mengenakan busana kerja. Amarta hanya mengenakan T shirt, celana training, serta sepasang sepatu sneakers.
Amarta tak sempat menanggapi, keburu menjauh dari jangkauan suara Ulani. Langkah kakinya memang terbilang cepat sekali. Namun, ketika kemudian mobil yang dikendarai Ulani menyusulnya di jalan, lelaki itu tiba-tiba berteriak kencang, “Lan, aku bukan pegawai kantoran lagi! Tempat kerjaku sekarang ada di studio lukisku!”
Tak ada reaksi dari Ulani. Padahal saat Amarta berteriak, mobilnya dalam posisi sejajar dengan karibnya itu, bahkan dengan kaca jendela mobil yang setengah membuka. Ulani justru semakin memacu laju mobilnya. Kendati demikian ia sempat bergumam di dalam mobil, “Andai saja sedari awal kamu mau menjadi diri sendiri, niscaya aku tak perlu menjanda dulu akibat tuntutan doamu.” **