Masukan nama pengguna
“Namanya Kamalia,” ujar manajer kafe menjawab pertanyaanku. Sesaat aku termenung dengan jawaban kenalanku itu. Seperti ada hal yang meyakinkanku akan penyanyi kafe asal Bandung bernama Kamalia ini. Naluriku berkata, aku harus segera membawanya ke Jakarta.
***
“Tika, aku tak ragu dengan nalurimu dalam mencari calon-calon bintang, tapi tolong pertimbangkan kembali! Talenta bermusik Kamalia standar banget,” saran Vita, rekan kerjaku. Vita sepertinya sangat meragukan talenta Kamalia.
“Kamalia punya aura bintang, Vit”
“Ya, aku ngerti maksudmu, masalahnya Kamalia jauh dari standar profesional. Vokalnya hanya segaris di atas penyanyi kamar mandi.”
Vita boleh saja meragukan rekomendasiku akan Kamalia, namun dia tak akan mampu menghalangi Kamalia bergabung dengan label musik tempatku bekerja. Terlebih aku telah membuktikan, talenta-talenta muda pilihanku semua sukses menjadi bintang baru di ranah musik tanah air.
Vita tak bakalan mengerti dasar pemilihanku pada Kamalia. Sama sekali tidak berhubungan dengan aura bintang, apalagi kualitas vokal. Aura bintang pada Kamalia meski ada, namun tak sebesar seperti yang sering kuumbar. Pilihanku untuk mengorbitkan Kamalia lebih dititikberatkan pada satu aspek saja, mimpi.
Ya, alasan mimpilah yang membuatku bersikukuh mengorbitkan penyanyi muda dengan talenta ala kadarnya itu. Mungkin ini terasa menggelikan, apa hubungannya antara mimpi dengan pekerjaanku sebagai seorang talent scouting?
Boleh percaya, atau tidak. Sejak dulu aku sering mendapatkan fenomena aneh. Tak jarang aku mengalami kejadian yang rasanya pernah kualami sebelumnya. Aku baru sadar kalau kejadian itu peristiwa ulang di dalam mimpiku. Aku tak mengerti, mengapa begitu seringnya peristiwa dalam mimpiku kelak menjadi kenyataan. Meski begitu aku memilih bersyukur saja. Barangkali inilah kelebihanku. Aku seakan cenayang yang mampu menerawang peristiwa di masa depan.
Ketika pertama kali melihat Kamalia tengah beraksi di sebuah kafe di Kota Bandung, aku merasa seperti tak asing dengannya. Perasaanku mengatakan jika aku pernah berjumpa dengannya. Aku ingat, Kamalia sempat kulihat dua hari sebelumnya dalam mimpiku. Tak mungkin salah orang karena sosok, aksi panggung, maupun namanya sama persis. Kamilia tengah menyanyi di hadapan ribuan penggemarnya. Kamalia begitu dielu-elukan penggemarnya. Sepertinya Kamalia dalam mimpiku adalah seorang bintang yang tengah bersinar.
***
Tiada hari tanpa Kamalia. Demikian topik yang senantiasa muncul dalam pemberitaan media tanah air setahun ini. Media nyaris tak pernah absen mengulas sosok artis muda pemilik bibir dan kaki sensual itu, dari karier hingga kehidupan pribadi. Seperti artikel media hiburan online yang tengah kubaca sekarang.
Banyak pengamat musik mengkritik kemampuan vokal Kamalia. Kualitas vokalnya teramat berjarak dengan popularitas yang tengah dimilikinya. Kamalia dianggap hanya menjual sensualitas semata. Kamalia bukan pekerja seni, namun ceruk duit bagi label yang menaunginya. Sebagai orang yang mengorbitkan Kamalia, aku malas memedulikan para pengkritik itu. Bagiku, paling penting Kamalia telah menjadi artis termahal negeri ini.
Suara dering ponsel memaksaku untuk beralih dari layar ponsel. Vita rupanya mengontakku.
“Mudah-mudahan Tika lagi nonton breaking news di tipi?”
Tidak sedang menonton televisi, namun aku malah mengaku sebaliknya.
“Tika, aku baru dapat info. Ternyata Kamalia naik pesawat Keris Air yang lagi terbakar seperti di berita tipi.”
Aku terdiam sejenak.
“Vita, kamu tenang saja. Kamalia selamat, ia masih....”
“Dari mana kamu tahu Kamalia selamat?”
“Eh, maksudku begini ... aku berdoa semoga Kamalia selamat.”
Aku memang tidak pernah mengabarkan Vita, sebelum pesawat yang ditumpangi Kamalia mengalami musibah sesungguhnya aku telah mengetahuinya. Tiga minggu lalu aku bermimpi menonton tayangan berita di televisi. Tentang pesawat Keris Air yang harus mendarat darurat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Akibat pendaratan yang kurang sempurna percikan api muncul di sayap pesawat. Banyaknya bahan bakar membuat api dengan cepat membakar pesawat.
Masih dalam mimpiku, layar televisi yang kutonton sempat memperlihatkan salah seorang penumpang yang berhasil keluar dari badan pesawat. Penumpang itu tak lain Kamalia yang nekat menerobos kobaran api. Meski kemudian selamat, namun api telah membakar wajah dan kedua kakinya.
Sebenarnya aku sendiri meragukan mimpiku itu bakalan terwujud kelak. Selama ini mimpi-mimpiku yang di kemudian hari benar terjadi hanyalah mimpi-mimpi ringan saja. Tak pernah aku bermimpi buruk macam musibah pesawat terbakar.
Keraguanku berubah manakala Kamalia datang berkunjung ke rumah beberapa hari lalu. Dia memberitahuku akan kepergiannya ke Makassar untuk promo single terbaru.
“Rencananya Lia terbang pakai Singa Air, Mbak Tika”
“Lia, kalau bisa aku minta kamu beralih ke penerbangan Keris Air.”
“Maaf, Mbak Tika, Lia sudah beli tiket.”
Kendati mengaku telah membeli tiket penerbangan, namun Kamalia yang senantiasa merasa berhutang-budi padaku bakalan sulit untuk menolak permintaanku. Apalagi aku mengutarakan alasan yang dibuat-buat. Dia akhirnya beralih menggunakan jasa penerbangan Keris Air ke Makassar.
Pada akhirnya mimpi burukku benar-benar terjadi. Pesawat Keris Air yang membawa Kamalia mengalami musibah, persis seperti dalam mimpiku. Aku percaya bila Kamalia akan selamat. Hanya saja tubuhnya bakal mengalami luka bakar hebat. Sulit kubayangkan seperti apa rupa tubuhnya kelak. Yang pasti Kamalia bakalan kehilangan daya sensual serta pesonanya.
Boleh saja kalian semua ramai-ramai mengumpatku perempuan keji! Sudah tahu jika pesawat Keris Air bakalan terbakar, namun aku justru memaksa Kamalia menaikinya. Hanya saja kalian harus mendengar pula dalihku. Sebulan terakhir kebahagiaanku yang susah payah kubangun tengah terancam ambruk. Dan Kamalia adalah penyebabnya.
Adalah hakku untuk mempertahankan kebahagiaanku. Terlebih bulan lalu aku memimpikan sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjaku. Surat dalam mimpiku ternyata surat undangan pernikahan. Tertera dalam surat undangan itu sepasang nama pengantin, Kamalia Aida dan Yogaswara, tunanganku. **