Masukan nama pengguna
Kota kecil yang tengah didatangiku ini warganya ternyata supersibuk. Tiada seorang pun berkenan membantuku yang tengah kesulitan mencari-cari alamat rumah. Jangankan menjawab pertanyaanku, sekedar menoleh pun mereka enggan. Barangkali aku cuma dianggap angin lalu saja oleh mereka, tak perlu sampai harus ditanggapi.
“Ade sedang mencari Jalan Poncol?”
Seseorang kakek tiba-tiba datang dan menyapaku.
“Benar, kek, Saya sedang mencari alamat rumah di Jalan Poncol,” ujarku, tak lupa kuperlihatkan secarik kertas bertulis alamat rumah yang tengah dicariku.
“Kayaknya Johan yang suruh Ade cari alamat.”
Si kakek ternyata mengenal Kakek Johan, salah seorang penghuni panti jompo. Aku sendiri sudah enam tahun bekerja sebagai perawat di sana. Di antara para penghuni panti jompo, boleh dibilang Kakek Johan yang paling tidak merepotkan para perawat. Sehari-hari dia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Jarang sekali bersosialisasi dengan penghuni panti jompo lainnya. Menariknya, beberapa kali aku pernah melihat anggota polisi datang menemui Kakek Johan, langsung di kamarnya.
Sampai tiga hari lalu Kakek Johan tiba-tiba memintaku supaya mengunjungi rumah semasa kecilnya dulu. Aku diminta mengambil surat yang tersimpan di dalam bis surat yang terdapat di sana. Kakek Johan percaya, walau sudah puluhan tahun, namun suratnya masih tersimpan di bis surat.
“Bagaimana Kakek bisa tahu kakek Johan yang ─?”
“Kakek masih ingat tulisan Johan, dia teman Kakek semasa muda dulu.”
“Kakek namanya siapa?”
“Saya Paranata, Johan pasti kenal saya.”
Tak banyak bicara lagi si Kakek lantas mengantarkanku. Berjalan belasan langkah tiba-tiba saja terdapat pertigaan jalan di depan. Padahal sedari tadi mondar-mandir di jalan ini aku tidak mendapatkan satu pun pertigaan jalan. Aku juga menemukan tulisan Jl. Poncol di depan sana.
Pada akhirnya alamat rumah yang kucari menampak di depan mata. Rumah antik era kolonial dulu, namun sepertinya sudah lama tidak dihuni. Terlihat dari pekarangan rumah yang dipenuhi oleh ilalang. Kendati demikian aku enggan peduli, aku memilih membuka bis surat karatan yang berdiri di depan rumah.
Aku menemukan sepucuk surat yang masih terlihat baru. Sampul suratnya sendiri masih dalam kondisi kosong. Sewaktu suratnya hendak kuperlihatkan pada si Kakek, aku malah terperangah. Si Kakek sudah menghilang entah kemana.
***
“Tolong dibacakan isi suratnya!” pinta Kakek Johan padaku.
Sembari membacakan isi suratnya benakku malah bertanya-tanya, apakah nama Paranata yang tertulis di surat adalah sosok kakek misterius itu? Isi suratnya sendiri seakan-akan menceritakan pengalaman tragis Paranata. Diceritakan kalau Paranata tewas diracun oleh menantu perempuannya tahun lalu. Mayatnya kemudian dimasukkan ke dalam menara toren air yang sudah tidak terpakai.
Kakek Johan tak mengizinkanku untuk bertanya. Selesai aku membacakan isi surat, dia malah memerintahkanku untuk segera keluar dari dalam kamarnya. Sewaktu berjalan di koridor, sehelai surat kabar yang terbit hari ini didapatkanku menggeletak di meja kecil.
Sewaktu surat kabarnya kupungut, kulihat foto wajahku tertera di halaman muka. Belum mau seketika terkesiap aku memilih membaca artikel yang mengiringi fotoku. Ditulis dalam artikel kalau polisi berhasil menemukan jasad perempuan muda korban penculikan lima hari lalu. Diperkirakan setelah diperkosa, perempuan malang itu kemudian dibunuh dan dibuang ke tepi sungai. Polisi mengaku, penemuan jasad perempuan itu berkat informasi cenayang Johan.