Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,505
Tuah Si Denok
Misteri

     Kecemasan Nining makin melonjak. Langit di atas kepalanya tak lagi berhias semburat jingga. Nining sadar, malam akan segera datang memekatkan hari. Padahal semenjak tadi pagi pamit untuk berangkat sekolah, Atin belum juga kembali pulang ke rumah.

      Entah ke mana putrinya itu pergi? Selama ini Atin tak pernah terlambat pulang sekolah. Kalaupun Atin hendak bermain ke rumah teman, satu pemberitahuan akan singgah terlebih dahulu di telinga Nining. Karena merasa sudah duduk di bangku kelas lima, Atin malah kerap menyungut sewaktu dijemputnya sepulang sekolah. Atin lebih suka pulang bareng teman-temannya. Oleh karenanya Nining akhirnya membiarkan putrinya pulang sendiri. Terlebih jarak dari rumah ke sekolah terbilang dekat, sehingga bisa ditempuh Atin lewat berjalan kaki.

      Dalam kebingungan Nining mencoba mengingat-ingat momen di pagi hari tadi. Rasanya tiada hal penyebab Atin harus meresahkannya. Nining hanya memberi peringatan pada putrinya saat pamit kepadanya. “Ingat, jangan melempar anak anjing lagi, bisa-bisa giliran Atin yang nanti dikejar-kejar induk anjing!”

      Sebagai seorang ibu, Nining menganggap sudah sepatutnya bila ia menegur putrinya. Seminggu ini beberapa tetangga sempat mengadu kepadanya. Atin gemar melempar anak-anak anjing milik mereka. Nining paham, Atin meski anak perempuan, namun memiliki perangai bandel.  Malah pernah sekali ia beroleh pengaduan dari orangtua murid, yang anak laki-lakinya memar akibat dipukul Atin. Sampai Nining harus memohon-mohon maaf akibat Atin yang gemar menantang berkelahi, sekalipun pada anak laki-laki.

      Kendati menyadari akan perangai bandel putrinya, namun ulah Atin kali ini sudah kelewat menggelisahkannya. Sepanjang hari ia sampai harus berpayah-payah menelusuri satu demi satu rumah teman-teman Atin. Juga dengan guru-guru untuk dimintakan keterangan soal keberadaan putrinya. Sayang, kebanyakan dari mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Beruntung, beberapa teman Atin mengaku sempat melihat putrinya tengah berjalan seorang diri menuju persawahan.

      Nining merasa berat untuk bisa mengerti jalan pikiran putrinya. Melewati persawahan sama saja dengan menjauhi rumah. Untuk apa Atin memilih pulang lewat sana?

       “Atin kemarin bilang sama aku, hari ini Atin mau pergi ke Pancuran Lima.” ungkap salah seorang teman sekelas Atin.

       Mengertilah Nining akan maksud Atin pulang lewat persawahan. Pancuran Lima memang berada di tengah-tengah persawahan. Tempat itu sebenarnya sebuah cekungan yang memiliki lima air terjun mini. Meski berhias air terjun, namun tempat itu terlampau sunyi sebagai arena bermain anak-anak. Nining percaya kalau Atin tak berniat mandi di sana. Anak itu kemungkinan hanya ingin menemui si Denok, julukan untuk sebuah batu yang menyerupai lekuk tubuh perempuan montok. Batu itu memang terdapat di sekitar Pancuran Lima.

      Menurut cerita yang berseliweran, si Denok dulunya seorang bidadari yang mengalami kutukan dari raja kayangan. Sepertinya si Denok kelewat durhaka hingga harus membujur kaku sepanjang masa. Konon si Denok sangat bertuah. Tuah si Denok dapat mengabulkan semua maksud bila kita mengitarinya sebanyak tujuh belas kali.

      Di mata Nining, tuah si Denok cukup sekedar mitos yang dipaksa menjadi kepercayaan. Ia malas untuk meyakininya. Namun, tidak demikian halnya dengan Atin. Anak itu kandung mempercayai dongeng si Denok yang sering diceritakannya sebelum tidur. Nining menduga, Atin sangat menggantungkan asa pada tuah si Denok agar dapat mewujudkan impian terpendam. Sebagai anak tunggal, Atin memang telah berulang kali merengek padanya untuk beroleh adik baru. Sementara dengan status jandanya, Nining tentu sulit untuk dapat mengabulkan keinginan putrinya.

       Usai beroleh informasi dari teman sekolah Atin, bergegas Nining pergi ke Pancuran Lima. Ia berharap Atin tidak sekedar mengelilingi si Denok, namun betah berlama-lama di bawah kucuran air terjun. Sayang, di sana Nining hanya menemukan sepi. Tak ada tanda-tanda kalau hari ini si Denok kedatangan pengunjung.

***

 

      Diantar Pak Kuwu, Nining berkunjung ke rumah Mak Iyot yang terletak di kampung tetangga. Atas saran dari Pak Kuwu, ia dianjurkan untuk meminta bantuan Mak Iyot. Menurut Pak Kuwu, Mak Iyot adalah seorang dukun perempuan yang memiliki kekuatan batin.

     Ada banyak contoh yang menyokong kabar kesaktian Mak Iyot. Seminggu yang lalu seorang warga kampung tetangga terkena santet. Di sekujur tubuh orang itu tumbuh rambut yang lebih menyerupai kawat. Hanya dua kali pengobatan, Mak Iyot telah mampu menyembuhkan orang itu. Mak Iyot juga dikabarkan piawai dalam menerawang. Menemukan anak hilang macam Atin hanyalah rutinitas semata.

      Nining sebenarnya enggan berurusan dengan mistik. Benar, ia memang tinggal di kampung, tapi dirinya bukanlah penggemar dukun. Nining terpaksa menurut saran Pak Kuwu. Ia sudah tak tahu harus berupaya apa lagi untuk menemukan Atin, terlebih hari telah memasuki malam.

      “Mak baru saja menerawang, Atin ternyata berada di kediaman Nyi Mas Pandanwangi,” ungkap Mak Iyot.

      “Siapa dia Mak? Mengapa perempuan itu tega menculik Atin?”

      Mak Iyot tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

      “Nyi Mas Pandanwangi bukan manusia. Ia sebangsa memedi yang tinggal di pedalaman hutan jati. Ia senang anak-anak

      “Kalau memang dia bangsa lelembut pastinya Atin akan lari ketakutan sambil teriak-teriak. Apalagi waktunya masih siang hari, masih banyak orang lalu-lalang. Lagian Atin itu larinya kencang, enggak gampang dikejar,” timpal Nining, agak meragukan hasil penerawangan Mak Iyot.

      “Nyi Mas Pandanwangi sering mengubah wujudnya jadi perempuan cantik. Sudah gitu ramah dan pandai membujuk anak-anak. Atin enggak bakal lari ketakutan, malah gembira sewaktu diajak pergi sama Nyi Mas Pandanwangi ke Pancuran Lima.”

      Mak Iyot sempat menyebut Pancuran Lima. Bagaimana mungkin perempuan tua ini bisa tahu kalau Atin singgah ke Pancuran Lima? Rasanya mustahil kalau Mak Iyot beroleh informasi itu dari rekan sekolah Atin. Nining kini tak punya alasan lagi untuk meragukan ucapan Mak Iyot. Seperti yang dikatakan Pak Kuwu, Mak Iyot memang dukun sakti.

      “Kamu tenang saja, Nyi Mas Pandanwangi tak akan menyakiti Atin. Ia malah memanjakan Atin dengan seabrek barang hadiah.” Lanjut Mak Iyot bertutur.

      “Apa Mak bisa membawa pulang Atin?” tanya Pak Kuwu.

      “Usia Nyi Mas Pandanwangi sudah lebih dari seribu tahun. Mahluk itu terlalu kuat untuk dilawan. Tapi, dia mudah untuk dibujuk rayu. Tengah malam nanti, Mak akan pergi ke hutan jati buat merayu memedi itu.”

      “Saya ikut!” sahut Nining yang penasaran dengan wujud Nyi Mas Pandanwangi.

      “Kalau banyak orang, Nyi Mas Pandanwangi enggak mau muncul. Biar Mak saja yang merayunya.”

       Roman kecewa terlihat pada paras Nining. Ia memang berkeinginan bisa mendamprat penculik putrinya.

       “Untuk Pak Kuwu, tolong perintahkan warga kampung supaya ramai-ramai begadang nanti malam! Bila muncul anak perempuan lagi linglung, segera bawa masuk ke rumah! Anak itu pastinya Atin.”

***

      Sepanjang malam kampung tempat Nining tinggal terasa hiruk sekali. Bunyi kentungan sahut-sahutan terdengar tak kenal henti. Sebagian warga kampung sibuk mondar-mandir untuk meronda. Warga ingin memastikan semua sudut-sudut kampung telah berada dalam pantauan. Sambil berkeliling kampung, warga meneriakkan nama Atin. Warga memang telah diperintahkan Pak Kuwu untuk begadang semalam suntuk demi menyambut kembalinya Atin.

      Sama seperti warga kampung lainnya Nining tetap terjaga di rumah. Selama menunggu, sudah teramat banyak lantunan doa-doa meminta keselamatan Atin yang dipanjatkan. Sedangkan kepalanya berulang-ulang menoleh jam dinding. Nining merasa waktu tidak semestinya terburu-buru berlalu. Waktu seolah tak peduli akan kerisauan hatinya.

      Subuh akhirnya sudah menanti. Sementara Atin belum juga ditemukan warga. Hingga akhirnya hari berubah terang, Atin tetap tak muncul-muncul. Karuan Nining semakin risau di rumah.

      “Mak Iyot tidak bisa diandalkan lagi!” omel Nining, kecewa akan kinerja dukun itu. Sedangkan dirinya telah menaruh harapan banyak. Ia mulai curiga kalau Mak Iyot tidak sesakti seperti yang sering diceritakan Pak Kuwu. Tapi, mungkin juga Nyi Mas Pandanwangi terlampau perkasa untuk dihadapi Mak Iyot.

      Ingin rasanya Nining pergi ke hutan jati sekarang juga. Hanya saja ia keburu menyadari akan keterbatasan dirinya sebagai orang biasa. Menemukan kediaman Nyi Mas Pandanwangi bukanlah perkara mudah. Ia yakin kalau habitat memedi itu tak kasat mata. Hanya orang yang dilengkapi mata batin macam Mak Iyot yang mampu melihatnya.

     Tiba-tiba kelebatan bayang-bayang sebuah batu melintas dalam benak Nining. Spontan bibirnya berucap, “Tuah si Denok!”

      Ya, mengapa dirinya harus melupakan tuah batu keramat itu. Dalam situasi seperti sekarang ini, mau tidak mau Nining harus mempercayai mitos. Tak ada cara lain! Tuah si Denok menjadi jalan pamungkas agar dapat mengetahui keberadaan putrinya saat ini, sekaligus menyelamatkannya.

      Semangat Nining menyala lagi. Tanpa perlu berdebat dengan nalarnya lagi segera ia pergi ke Pancuran Lima. Sengaja ia mengabaikan tubuhnya yang sudah belepotan letih.

     Tiba di Pancuran Lima, ritual memperoleh tuah si Denok secepatnya Nining lakukan. Tujuh belas kali ia lalu berputar-putar mengitari si Denok. Sementara mulutnya sibuk komat-kamit, mengutarakan maksud. Barangkali karena ingin maksudnya cepat terkabulkan, Nining sampai mengulang ritualnya hingga enam kali. Berdampak pada lelah yang semakin dalam merasuk tubuhnya.

      Mulai mengerti bila tubuhnya tak akan sanggup lagi menopang kesadarannya, kantuk malah keburu datang membuai dirinya. Menyandarkan punggungnya pada punggung batu perempuan montok, Nining akhirnya terkulai lelap.

     Nining bermimpi. Dalam mimpinya ia melihat seorang anak perempuan di dalam kerimbunan daun pohon jambu mete, tak jauh dari Pancuran Lima. Anak yang masih berseragam SD itu tengah asyik melahap jambu mete. Anak itu enggan peduli, tepat di bawah pohon jambu mete seekor anjing tengah mendongak ke atas sembari terus menyalak.

      Tampaknya si anjing tengah kesal karena buruannya tak jua berkenan turun. Padahal telah semalaman ia menunggu. Momen yang cukup mengundang geli bagi siapa pun yang melihatnya. Tak heran meski masih dalam kondisi terlelap, namun Nining menyempatkan diri tersenyum.***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)