Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,471
Pengabar Kematian
Misteri

 

Aku tak tahu, apakah kau nyaman dengan julukan orang untukmu? Kau adalah pengabar kematian.

Kau laksana utusan Malaikat Maut. Kerjamu menyambangi orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar kematian. Dengan dingin kau utarakan, kapan tepatnya maut melumat hayat yang tengah bersemayam di tiap raga mereka. Selanjutnya kau tinggal mencari waktu senggang, untuk menghadiri pemakaman orang-orang malang itu.

Kepadaku kau bercerita kalau kemampuanmu dalam mengendus kematian orang terjadi usai menjual pesawat telegram peninggalan bapakmu. Sedangkan bapakmu mantan operator pesawat telegram di satu perusahaan telekomunikasi. Saban hari bapakmu mengirim kode-kode Morse lewat pesawat telegram. Wajar rasa sentimen bapakmu senantiasa terpicu acapkali dikaitkan dengan perangkat telekomunikasi lawas itu. Dari sanalah mengalir nafkah yang telah menghidupkan anggota keluarga bapakmu, termasuk juga membiayai kuliahmu. Setelah pensiun, bapakmu sengaja membawa pesawat telegram sebagai benda kenangan ke rumah.

Tapi, kau berpikir lain tentang pesawat telegram kenangan bapakmu. Bagimu, pesawat telegram hanyalah penyebar kabar kematian. Di eranya dulu, berita telegram memang identik dengan kabar duka. Jantung kita seketika akan terkoyak manakala mendapatkan kiriman surat telegram. Bapakmu sendiri juga tak pernah membantah, dari jutaan kode-kode Morse yang telah dikirim lewat pesawat telegram, adalah benar bila mayoritas berisi kabar kematian.

Rupanya kau memiliki pengalaman buruk dengan pesawat telegram peninggalan bapakmu. Kau, bahkan sempat berjarak dengan bapakmu gara-gara berita dari pesawat telegram itu. Kala kau masih berstatus anak kost, sepucuk surat telegram datang mengabarkan kematian ibumu. Kau tentu saja terguncang hebat. Terlebih bapakmu sendiri yang mengirim berita kematian ibumu lewat pesawat telegram.

Kau terlampau kecewa terhadap bapakmu. Bagaimana mungkin bapakmu sampai tega mengirim kabar duka menggunakan pesawat telegram? Memang di masa-masa kita kuliah dulu, seluler hanyalah barang mewah nan langka. Meski begitu kau selalu mewanti-wanti bapakmu, agar jangan sekali-kalinya mengirim surat telegram untukmu. Tiada momen paling mendebarkan jantungmu selain saat-saat membaca isi surat telegram. Sebisa mungkin kau harus menghindari momen seperti itu.

Bapakmu berdalih kehilangan nomor telepon ibu kostmu. Bapakmu terpaksa mengirim kabar kematian ibumu lewat pesawat telegram.

“Aku menyesal jadi anak tukang pengabar kematian!” umpatmu yang tak bisa menerima tindakan bapakmu dulu. Kala itu kau dan bapakmu sampai cekcok tiada henti.

“Satu saat nanti Bapak akan mengirimmu berita telegram. Bakal ada namamu tertera di suratnya!” Hingga bapakmu menyeru seperti ini, terdengar seperti menyumpahimu. Mungkin bapakmu teramat marah akibat kau yang berani melecehkan profesinya. Terlihat bagaimana bapakmu yang enggan meralat ucapannya.

Tentu kau berharap ucap kata bapakmu hanyalah bentuk emosi sesaat. Bukan doa, apalagi kutukan untukmu. Rupanya kau ketakutan juga oleh ucap kata bapakmu. Syukur, kemajuan zaman menyelamatkanmu. Kemunculan teknologi seluler dan internet lekas sekali membenamkan berita telegram.

Kau boleh merasa lega, optimis bila ucap kata bapakmu tak bakalan terwujud. Terbukti ketika bapakmu kemudian meninggal, kau cukup mendengar kabar kematiannya lewat seluler. Bukan lewat membaca sepucuk surat telegram, yang dari sampulnya saja sudah terasa mencekam di matamu.

Era telegram memang telah lama usai. Meski begitu trauma akan kabar kematian yang dikirim pesawat telegram peninggalan bapakmu rupanya masih membekas. Tak heran selepas meninggalnya bapakmu, kau lantas secepatnya berupaya melenyapkan keberadaan perangkat tersebut. Hanya saja satu kejanggalan malah kemudian tiba-tiba datang menyambangimu.

Usai menjual pesawat telegram peninggalan bapakmu, kau diperanjatkan oleh kemunculan kembali sepucuk surat telegram. Surat tersebut dibiarkan menggeletak di lantai, tepat di bawah pintu depan rumahmu. Sampul suratnya polos tanpa tercantum identitas pengirimnya.

Kau pun bertanya-tanya, mengapa di masa internet ini masih jua mendapat kiriman surat telegram? Siapa pula orang yang menghantar surat telegram tanpa diketahui olehmu? Seketika degup jantungmu menjadi tak beraturan seperti dahulu. Kembali trauma menyambangi sewaktu hendak membaca isinya. Kau percaya sekali, salah satu orang terdekatmu saat ini tengah dikabarkan meninggal dunia.

Kau tetap membacanya. Mujur, berita telegram yang kau baca ternyata melegakanmu. Hanya tetanggamu yang namanya tertera pada surat telegram itu. Bukan kerabat, atau pun sahabat seperti yang ada dalam pikiranmu. Akan tetapi, kau serta-merta terserang bingung. Isi surat telegram itu bukan mengabarkan kematian tetanggamu, melainkan kapan waktunya tetanggamu akan segera dijemput maut.

Tak heran bila kau segera menilai surat telegram yang didapatimu hanyalah produk iseng semata. Mana mungkin jadwal kedatangan maut sampai bocor ke publik? Tetapi, enam hari kemudian kau harus terperangah. Tetanggamu terbukti meninggal di hari yang dituliskan dalam surat telegram kematian itu.

Selanjutnya kau semakin sering beroleh kiriman surat telegram kematian. Anehnya kau sama sekali tak mengalami trauma lagi saat menerimanya. Kau malah bersikap ramah dengan kabar kematian. Kau pun tak lagi ambil pusing akan identitas penghantar berita telegram itu. Kau yang dulu pernah menyatakan ketidaksukaan akan profesi bapakmu, kini balik menjadi penerus bapakmu sebagai pengabar kematian. Yang membedakan, bapakmu mengirim kabar orang yang telah meninggal, sementara kau justru kabar orang yang hendak meninggal.

“Dengan mengetahui tanggal kematiannya, mereka akan mendapat kesempatan untuk bertobat. Mereka justru orang-orang yang beruntung.” Alasanmu ketika kutanya, mengapa kau memberitahukan waktu kematian orang-orang yang disebutkan telegram kematian.

Boleh saja kau berargumen seperti itu. Tapi, tidakkah kau sadar? Di mata orang-orang yang namanya tertera di telegram kematian, kau tak ubahnya seorang algojo yang tengah menyampaikan waktu eksekusi kepada para terpidana mati. Kau telah mencipta teror mental bagi mereka.

Apa kau tak tahu, menunggu kematian jauh lebih mencekam dibandingkan kematian itu sendiri? Betapa menderitanya jiwa orang-orang malang itu sewaktu detik beringsut menuju jam kematian. Semestinya kau bersikap arif. Tak perlulah kau menyampaikan kabar waktu kematian mereka. Biarlah kematian tetap menjadi rahasia Tuhan!

Aku boleh rutin memberimu saran, sementara kau malah semakin dalam mengabaikannya. Kau justru seperti menikmati peran barumu sebagai pengabar kematian. Terlihat dari seri mukamu yang senantiasa girang, tepatnya sewaktu menyaksikan derita jiwa orang-orang yang waktu kematiannya dikabari olehmu. Aku lantas curiga, jangan-jangan kau tengah mengalami gejala psikopat.

Di sisi lain aku tengah penasaran akan sosok penghantar telegram kematian itu. Lebih-lebih kau sendiri mengaku tak tahu, dan belum sekalipun pernah melihatnya. Kau hanya bercerita selalu menemukan sepucuk surat telegram menggeletak di lantai, tepat di bawah pintu depan rumahmu.

 Sampai lima hari lalu, tepatnya kala malam telah mencapai dini hari, aku yang tengah dalam perjalanan pulang ke rumah melintasi jalan di depan rumahmu. Suasana jalan yang sunyi memancingku untuk memacu laju mobil. Tahu-tahu seorang pria berpakaian serba gelap keluar dari pekarangan rumahmu. Mengendarai sepeda ontel orang itu begitu sembrono saat meluncur dari gerbang rumahmu. Ia enggan menengok ke arah kanan dan kiri, cuma terus mengayuh sepedanya untuk menyeberangi jalan. Ia tak tahu kalau saat itu mobilku tengah melaju kencang dan mengarah kepadanya.

Terlalu mendadak kemunculan pria itu. Amat sulit bagiku untuk bisa mencegah mobilku agar tidak menabraknya. Ia terpental hingga bergulingan ke depan. Aku baru mampu menghentikan mobilku sewaktu ia terkapar di tengah jalan.

Ketika kesadaran membangunkanku dari keterkejutan, aku lekas keluar dari dalam mobil. Dengan setengah berlari kudekati pria malang itu. Aku sangat berharap ia tidak mengalami kematian. Patut kusesalkan harapanku sepertinya akan kandas. Kulihat pria malang itu sama sekali tak bergerak, sekalipun sekedar bernafas.

Kala tanganku hendak memeriksa denyut nadinya, dipastikan pria yang barusan tertabrak mobilku telah mati. Hanya saja sekonyong-konyong ia malah beranjak berdiri. Terang aku dibuat terperanjat, sampai tubuhku refleks terpental ke belakang. Jelas sekali kalau pria itu bangun dari kematian. Meski begitu aku boleh merasa lega. Ia ternyata masih hidup, dan dalam kondisi terbilang baik.

Cukup sekejap saja aku boleh bernafas lega. Sejurus kemudian aku justru didekap ngeri. Tiba-tiba saja aku mendapati lidah api kecil menjulur keluar dari sepasang bola mata pria itu. Ditambah suasana malah yang gelap lidah api itu tampak menyala sekali. Bulu kudukku benar-benar berdiri. Pria itu ternyata monster menakutkan.

Seakan-akan tahu jika aku tengah ketakutan, pria itu malah semakin sengaja menjulurkan lidah api matanya padaku. Karuan sendi-sendi tubuhku bergemertak. Rasanya aku seperti sedang berhadapan muka dengan penjaga pintu Neraka.

Beruntung sosok mata api itu tak berniat menerorku. Enggan berlama-lama beradu pandang denganku, ia lekas memalingkan mukanya ke belakang. Lantas berjalan ke arah sepeda ontel miliknya yang menggeletak di jalan. Menaiki kembali sepeda ontel miliknya, ia kemudian mengayuh pedal untuk berlalu dariku. Lantas menghilang di kegelapan malam.

Tidak keterusan berdiri terpaku menyaksikan kepergian sosok mata api itu, aku memilih berlari memasuki pekarangan rumahmu. Mahluk mengerikan itu tadi keluar dari pekarangan rumahmu dengan tergopoh. Bukan tidak mungkin ia baru saja berurusan denganmu.

Ternyata pintu depan rumahmu masih terkunci rapat. Tak ada tanda-tanda kalau pintu rumahmu sempat kemasukan makhluk mengerikan itu. Aku cuma menemukan sepucuk surat telegram tergeletak tepat di bawah pintu depan rumahmu. Hampir satu menit lamanya aku cuma berdiri termangu, memandangi surat telegram yang masih bersampul di bawah kakiku.

“Akhirnya aku melihat sendiri sosok si pengirim telegram kematian,” desisku sembari memungut surat telegram di lantai teras rumahmu. Langsung kubaca isinya.

Bukan kabar kematian ternyata. Surat telegram ini hanya berisi pembatalan kematian sejumlah nama yang telah ditetapkan sebelumnya. Sampai kembali aku merenung. Jika benar nama-nama itu sebelumnya telah ditetapkan akan mati, semestinya kau akan secepatnya memberitahukanku. Bukan apa-apa, namaku ternyata tertera dalam surat telegram yang barusan kubaca ini.

Tidak dijelaskan alasan namaku, dan nama-nama yang lain mesti dibatalkan kematiannya. Tapi, aku menduga bila kau pernah juga beroleh surat telegram serupa. Kendati demikian aku tak berniat untuk mempertanyakannya padamu. Akan lebih baik bagiku untuk merahasiakannya saja darimu.

***

Selang dua hari usai aku bersua si pengirim telegram kematian kau muncul di pekarangan rumahku. Tak biasanya sepagi ini kau telah menyambangi rumahku, seperti sengaja mencegatku sebelum pergi berangkat kerja. Uniknya kau tak lantas segera berkata-kata usai duduk di kursi teras depan. Kau malah menyoroti wajahku dengan sinar matamu.

Aku tak mengerti akan sikap tak wajarmu ini. Parasmu mengisyaratkan keseriusan. Seakan satu perkara telah bersiap untuk mengacak-acak kehidupanku kelak.

“Telah tiba saatnya bagiku untuk mengutarakan rahasia terpendamku padamu!”

“Rahasia? Sejak kapan di antara kita terselip rahasia?”

“Aku adalah ayah biologis Alan!”

Menghargai upayamu dalam mengejutkanku, serta-merta aku berupaya agar tampak termangu. Padahal dalam hati aku malahan menertawakan rahasia terpendammu itu. Barangkali kau berpikir bila jantungku seketika tersengat begitu mendengar pengakuanmu. Andai benar seperti itu yang diharapkanmu, kau mesti bersiap untuk kecewa berat. Sama sekali tiada kaget yang menohok jiwaku. Aku malah heran, untuk apa kau mengumbar rahasia yang telah lama bocor itu?

Sejak mula aku menikahi istriku, aku telah tahu kalau ia sesungguhnya tengah mengandung janin hasil hubungan gelapnya denganmu. Ia sendiri yang berterus terang mengatakannya padaku. Sedangkan kala itu aku sama sekali malas peduli akan kondisinya. Aku memang terlalu mencintainya. Kabar janin yang tengah dikandungnya justru semakin menambah hasratku untuk segera menikahinya.

Kau harus tahu kalau aku sesungguhnya hanya lelaki mandul. Dokter telah memvonis bila aku tak bakalan berkesempatan memiliki keturunan. Dengan menikahi mantan kekasihmu yang dulu kau sia-siakan, aku justru serasa beroleh bonus seorang anak.

Kini setelah bertahun waktu berlalu, kau datang untuk mengungkit-ungkit aib masa lalu. Wajar bila aku lalu curiga, sepertinya kau tengah mencoba mengganggu keharmonisan rumah tanggaku. Ya, aku paham, saat ini rumah tanggamu tengah berantakan. Istrimu berselingkuh dengan rekan kerjamu sendiri. Persoalannya, hanya karena istrimu telah berselingkuh selanjutnya kau boleh berpendapat, adalah layak bila aku dijadikan sasaran pelampiasan amarahmu. Rumah tanggaku patut dirusak olehmu, begitu bukan?

Sepertinya kau menyesal dulu telah membuang mantan kekasihmu itu. Kau cemburu dengan pengabdiannya terhadapku. Kau yang meyakini masih tersisa cinta darinya lalu berharap, penuturanmu tadi akan membuatku segera menceraikannya. Selanjutnya kau akan kembali memiliki mantan pujaan hatimu, bahkan sekalian dengan anak biologismu.

“Aku kembali dikirim telegram maut. Menyesal sekali kali ini namamu tertera di sana.”

Bila sebelumnya aku cuma pura-pura, kali ini aku sungguh dibuat tertegun mendengar ucapanmu. Benderang sekali jika kau sesungguhnya tengah menyampaikan kabar kematian untukku.

“Kapan aku akan dijemput ajal?”

Kau hanya menggelengkan kepalamu. Padahal biasanya kau hanya bersikap dingin sewaktu menyebut waktu kematian orang-orang, yang namanya tercantum di telegram kematian. Rupanya kau masih punya perasaan juga pada temanmu.

“Oh ya, surat telegram kematianku kau terima kapan?”

“Enam hari lalu.”

Jawabanmu mencerahkanku. Aku akhirnya mengerti, kenapa namaku sekonyong-konyong dibatalkan dari kematian di surat telegram yang kudapatkan lima hari lalu. Padahal kau sebelumnya tak mengabariku akan mati segera.

“Kamu tak perlu khawatir! Begitu kamu berpindah ke alam sana, akulah penanggung jawab istrimu dan Alan!” Dingin kau berkata sewaktu beranjak berdiri dari kursi. Tanpa pamit padaku kau langsung berlalu dari rumahku.

Kembali aku harus tertawa kecil dalam hati. Tampaknya kau menginginkan agar aku segera menulis surat wasiat, meminta istriku supaya bersedia dinikahimu selepas suaminya mati. Maaf, Teman, sepertinya aku akan mengecewakanmu. Aku tak bakalan mati seperti harapanmu karena kematianku telah dibatalkan. Dan aku akan tetap merahasiakannya padamu.

Sebenarnya aku baru saja beroleh satu lagi rahasia tentangmu. Masih terkait dengan si penghantar telegram kematian itu karena aku kembali bersua dengannya. Padahal amatlah aku tak ingin mengulang menatap mata apinya, terlampau menakutkanku.

Dini hari tadi aku yang masih terjaga dari tidur terusik dengan suara mencurigakan di depan rumah. Dari balik tirai jendela, aku mengintip sosok mata api itu yang tengah mengendap-endap memasuki teras. Sepucuk surat telegram diselipkan olehnya di antara celah-celah lubang angin. Kemudian ia menghilang dengan cepatnya.

Kau ingin tahu isi dari surat telegram untukku itu? Ternyata bukan kabar pembatalan kematian lagi, seperti perkiraanku sebelumnya. Surat telegram itu kembali terasa mencekam karena berisi kabar kematian lagi. Lebih-lebih hanya ada satu nama yang tertera di sana. Dan itu adalah namamu.

Ya, kau akan mati empat hari ke depan.

Kelihatannya tugasmu sebagai pengabar kematian akan segera berakhir. Sosok mata api itu telah memilihku untuk menggantikanmu. Berbeda dengan surat telegram yang kerap dikirim ke alamat rumahmu, pada sampul surat telegram yang didapatiku dini hari tadi tersemat identitas pengirimnya. Tertulis dengan jelas di sana nama Suhardiman, mendiang bapakmu.**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)