Masukan nama pengguna
Kamu sebenarnya beruntung. Tidak seperti rekan-rekanmu, hari ini aku tengah bersedia didatangi wartawan di rumahku sendiri, termasuk bersedia melayani wawancaramu. Dan seperti yang telah kuduga, kamu langsung mempertanyakan kasus artis daerah yang tewas dua tahun lalu. Parahnya, masyarakat malah menuding artis itu tewas akibat korban teluh Adeng, seorang dukun di kampung ini. Tak anyal lagi Adeng langsung dihakimi masyarakat dengan jalan dibakar hidup-hidup.
Kepadamu kuterangkan satu fakta yang selama ini tidak terungkap media. Sesungguhnya Adeng dibunuh akibat mengetahui borok bupati di masa lalu. Kebetulan artis yang tewas setelah sakit dadakan itu sering menemui Adeng. Si artis hendak meminta bantuan Adeng untuk memeriksa keaslian batu safir. Atas dasar tergiur memiliki batu safir itulah masyarakat akhirnya terprovokasi anak buah bupati, bahwa Adeng sengaja meneluh si artis hingga tewas.
“Memanfaatkan isu tukang teluh yang sedang marak di tahun itu, mereka menjadikan Adeng tak cukup sekedar kambing hitam, tapi kambing gosong.”
Setelah terus-terusan memberondongkan sejumlah pertanyaan kepadaku, kamu akhirnya bisa tertegun juga oleh penuturanku meski tak lama.
“Ah, saya baru ingat! Adeng, kan menguasai Aji Jaya Brama, mana bisa ia tewas terpanggang api?”
Kata-katamu memeranjatkanku.
Dari mana kamu beroleh kabar kalau Adeng memiliki ilmu mendinginkan api itu? Selain aku, tak ada orang yang tahu jika Adeng telah menguasai Aji Jaya Brama. Aku sungguh tak menyana, kamu telah mengetahuinya juga.
“Saya ralat ceritanya. Adeng tidak mati walau api membakar sekujur tubuhnya.”
Bola matamu tampak berbinar. Kamu antusias sekali mendengar kesaksian terbaruku, ternyata Adeng masih hidup.
“Orang-orang itu tak sadar, di dalam tumpukan puing-puing rumah yang dibakar, terkubur raga Adeng yang masih bernyawa. Sama sekali tak ada daging hangus pada tubuhnya. Semua masih utuh seperti sedia kala. Setelah mereka membubarkan diri, saya segera datang dan membantu mengeluarkan Adeng dari tumpukan bara. Lalu saya sembunyikan di rumah saudara.”
"Bagaimana kondisi Adeng sekarang?"
“Ia meninggal usai meneguk kopi tubruk yang saya hidangkan untuknya.”
Kamu terperangah, menampak kecewa oleh informasiku.
“Tubuh Adeng memang kebal terhadap aneka senjata maupun kobaran api, namun itu tak berlaku untuk organ dalamnya. Jeroan Adeng sama lemahnya dengan kita. Seketika lambungnya berantakan begitu terisi kopi tubruk yang terkandung sianida.”
Mulutmu menganga.
Agar mulutmu tidak berlama-lama menganga, sebaiknya kujelaskan saja, apa yang melatarbelakangiku sampai-sampai tega meracuni Adeng. Batu safir! Ya, pesona batu mulia itu biang aku gelap mata.
“Jadi bukan Adeng yang tergiur dengan batu safir titipan artis itu, tapi justru saya sendiri yang ingin merampasnya. Kebetulan saya tahu di mana Adeng biasa menyimpan batu safir,” aku menegaskan.
“Bagaimana Bapak─.”
“Cukup! Tak ada pertanyaan lagi, Anak Muda!”selaku.
Telingaku memang telah jenuh mendengar pertanyaanmu. Kesaksian yang kuceritakan padamu telah sangat benderang. Kamu, bahkan terlampau banyak tahu. Jika masih belum puas juga, kamu bisa bertanya langsung pada Adeng nanti di alam sana.
"Sebagai penutup cerita, akan saya utarakan satu rahasia lagi. Pada secangkir teh yang saya sajikan untukmu ini, telah saya larutkan cairan yang dulu pernah digunakan untuk menghabisi Adeng."