Masukan nama pengguna
Mata bulat Rembulan kerap bertanya, apakah cinta dariku adalah sesungguhnya? Cinta tanpa terselip maksud lain selain menambat hati. Ataukah, jangan-jangan cinta dariku hanya letupan rasa yang serta merta.
Rembulan selalu saja bersikap apriori. Yang masih berprasangka bila cinta dariku serupa kembang api di malam pergantian tahun. Indah nan benderang saat tengah menyala, tapi begitu cepat kembali gulita. Entah butuh berapa banyak lagi deretan kata-kata indah agar Rembulan mengerti, betapa cinta dariku tak terkait berlalunya waktu. Rembulan seakan menutup mata terhadap perlakukanku kepadanya. Padahal telah kumuliakan dirinya setara maharani penguasa istana kencana.
Sulit bagiku untuk mengingkari bahwa Rembulan terlanjur dalam menawan pikiranku. Ia laksana syair-syair cinta yang memabukkanku. Sejak mula aku mengenalnya, di satu masa usai seekor macan kumbang buruanku lepas bebas dari bidikan moncong senapanku, hati ini lunglai seketika ketika keteduhan sinar matanya melabrak pandanganku. Dalam belantara rimba yang sempat menyesatkanku, terang purnama sempurna menuntunku untuk bersua dirinya. Rembulan menyambut hangat kehadiranku yang kala itu sedang payah. Rona mukanya yang sebenderang purnama serentak menerangkan gulita hatiku. Aku jatuh cinta kepadanya.
“Aku cuma gadis hutan yang terbelakang. Tak patut menjadi pendamping orang-orang beradab sepertimu,” jawaban Rembulan yang mengecewakanku saat terlontar rasa untuknya.
Selama bersamanya, pada sebuah hunian yang terjepit di antara cabang-cabang pohon raksasa, Rembulan berkali-kali berkata jika dirinya berbeda sekali. Dirinya tak sama dengan perempuan-perempuan lain di belahan dunia sana. Rembulan enggan membalas uluran cintaku. Katanya, aku akan kecewa bila kelak tahu siapa sebenarnya dirinya.
Tapi, mana mau aku peduli. Aku malah semakin gila merayu Rembulan. Kubujuk dirinya dengan janji-janji kebahagiaan hakiki. Aku yakinkan Rembulan, siapa pun leluhurnya, seganjil apa perilakunya, atau dosa sebesar apa yang mungkin pernah dilakukannya, percayalah aku akan sepenuh hati menerimanya. Aku bahkan tak ragu bersumpah di depannya. “Andai suatu hari kau tersakiti oleh lakuku, biarlah kelak sengatan halilintar yang akan membalasnya.”
Waktu itu Rembulan tertegun dengan sumpahku. Sepertinya ia tak menyangka bila pada akhirnya aku akan bersumpah seperti itu. Barangkali karena begitu bersungguh-sungguhnya aku dalam bersumpah, Rembulan mulai luruh. Kendati belum terang menerima cintaku, namun Rembulan berkenan kubawa pergi ke dunia yang lebih beradab.
Selanjutnya Rembulan kutempatkan di rumahku. Aku bahagia dengan anugerah paling benderang ini. Bagiku kehadiran Rembulan adalah kemeriahan dalam hidupku yang sunyi. Aku senang walau cinta darinya tetap mengawang. Rembulan kelihatannya betah tinggal bersamaku. Belum tercetus keinginan darinya untuk pulang kembali ke habitat asalnya di hutan. Hanya saja aku agak kecewa. Rembulan tak sehangat seperti saat-saat pertama bersua. Semenjak tinggal bersamaku Rembulan menjadi pendiam. Wajahnya lebih sering gulana. Seolah ada ganjalan di hati, namun berat untuk diungkap.
“Bim, bolehkah aku meminta?”
Ucapan Rembulan di hari itu ibarat petir menyambar di malam buta. Mengagetkan sekaligus menerangkan asaku. Inilah pinta pertama darinya setelah sekian lama Rembulan hidup tanpa hasrat sama sekali. Rembulan tak sekalipun pernah meminta. Jangankan meminta, segenap tawaran yang kuberikan untuknya hanya berakhir pada gelengan kepala. Aku sampai frustrasi menghadapi Rembulan bersikap.
“Aku rindu tinggal di rumah pohon. Bisakah kamu membuatkannya?”
Isi kepalaku cengung. Rumah pohon? Sebagai seorang arsitek, segala bentuk kemewahan istana niscaya bisa kubangun jika Rembulan memang menginginkannya. Tapi, yang ia pinta....
Rumah pohon yang Rembulan maksud cuma sejenis sangkar di atas pohon. Yang hanya beratap ilalang kering, dinding-dinding berbahan kulit kayu, serta ranting-ranting pepohonan sebagai tulang rangkanya. Benar, rumah pohon merupakan tempat tinggalnya dulu. Akan tetapi, mengapa selera Rembulan mirip hewan yang betah tinggal di dalam sangkar?
“Tidakkah kamu mengerti akan gagapnya Rembulan menghadapi dunia yang berbeda? Wajar bila ia kemudian merindukan suasana rimba tempat kampung halamannya dulu,” nasihat Bintang, karibku saat kuceritakan permintaan lucu Rembulan.
Ah, tololnya aku. Mengapa aku begitu egois hingga memaksa Rembulan harus seperti yang aku mau. Begitu angkuhnya aku sampai enggan memikirkan seandainya posisiku adalah Rembulan. Nasihat Bintang benar adanya. Aku harus mematuhinya. Bergegas kudirikan rumah pohon di dalam kerimbunan daun pohon akasia, yang tumbuh pada lahan kosong di belakang rumah. Tak lupa kubangun pula hutan mini di sekitar rumah pohon.
Benar saja, semenjak Rembulan tinggal di lingkungan yang menyerupai habitat aslinya, aku tak lagi melihat kusut muka pada dirinya. Wajah sehangat purnama telah menyapaku kembali. Aku lega. Aku gembira. Rembulan benderang lagi. Saking gembiranya, aku sengaja mengabaikan kebiasaan ganjil Rembulan di setiap malam purnama. Aku malas tahu apa yang Rembulan lakukan kala gulita membekapnya seorang diri di rumah pohon. Mati Geni, demikian Rembulan menyebut ritus yang merupakan warisan leluhurnya. Menurut pengakuan Rembulan, saat purnama mencapai sempurna dirinya diwajibkan olah semadi tanpa ada secercah pun cahaya.
Sembilan purnama sudah Rembulan rutin menggelar ritus Mati Geni. Sedangkan aku masih mampu menahan diri untuk tidak tergiur menyelisiknya. Fokus perhatianku lebih tercurah pada upaya melindungi Rembulan. Sejak mula aku sadar, menghadirkan seorang asing, terlebih dengan latar belakang tak wajar sudah pasti akan memancing gaduh di sekitar orang-orang terdekatku. Semua menentang keberadaan Rembulan. Tak terkecuali dengan Lay, istri Bintang yang paling lantang menyatakan ketidaksukaan pada Rembulan. Di mata Lay, Rembulan itu adalah produk budaya primitif. Rembulan tak layak berada dalam komunitas masyarakat modern. Kendati memuji kecantikan alami paras Rembulan, tapi Lay lebih sering menudingnya sebagai sosok liar, tak beretika, bodoh, dan jauh dari kesantunan ala wanita-wanita terhormat.
“Kamu mesti hati-hati, Bim. Aku menduga, Rembulan itu tukang tenung!”
Kalau bukan karena terlanjur menganggap seperti saudara sendiri, Lay niscaya akan kudamprat habis. Lay kupersilahkan mengolok-olok keterbelakangan Rembulan. Namun, menudingnya sebagai tukang tenung jelas keterlaluan. Sekali lagi, aku tak mau peduli! Semiring apa pun pergunjingan orang terhadap Rembulan, termasuk cerita-cerita heboh yang beredar di lingkungan tempat tinggalku, tentang kemunculan seekor macan kumbang di setiap malam purnama sama sekali tak akan mampu mengubah arah cintaku. Pun dengan tingkah Lay yang lantas menghubung-hubungkan kehebohan itu dengan ritus Mati Geni Rembulan. Bagiku Rembulan adalah nirmala, titik!
Seperti itulah Rembulan, yang selamanya akan selalu menjelma sebagai dewi malamku. Sekalipun purnama sempurna di malam ini tampak bersolek, sang primadona di langit malam tak akan berpaling dari bayang paras Rembulan. Entah mengapa aku malah merasa purnama di malam ini tak sebenderang purnama-purnama sebelumnya. Jangan bandingkan dengan indahnya purnama yang dulu menuntunku bersua Rembulan. Bukan sebab isu macan kumbang berkeliaran sebab purnama di malam ini kehilangan rasa. Purnama di malam ini terlalu mengiang-ngiang kata-kata Rembulan setiap menjelang ritus Mati Geni, “Jangan sekali-kali mendekati rumah pohon kala aku tengah semadi!”
Mana berani aku mengabaikan peringatannya. Dalam kondisi sedang memelas cinta darinya, aku sangat membutuhkan kepercayaan penuh Rembulan. Aku malah menyesalkan, mengapa tidak sejak awal Rembulan meminta rumah pohon. Hanya saja seiring purnama yang datang silih berganti, hasrat keingintahuanku perlahan timbul, dan semakin membesar hingga menggoyahkan keteguhanku. Apa sesungguhnya yang dilakukan Rembulan dengan ritusnya itu? Mengapa aku terlarang mendekati rumah pohonnya? Benarkah ia hanya olah semadi?
Gelagatnya purnama di malam ini tak akan sanggup lagi menahan hasrat keingintahuanku. Tekadku telah bulat untuk menyelisik Rembulan kala purnama tengah sempurna. Bak kucing yang hendak memangsa anak burung di sarangnya, kupanjat pohon akasia di belakang rumah secara senyap. Setiba di atas kuperhatikan rumah pohon di depanku. Ternyata kondisinya belum segelap jelaga seperti yang aku kira. Berkas sinar purnama yang menyeruak masuk lewat celah-celah dinding, telah mencipta remang-remang di dalamnya. Lewat celah dinding pula aku kemudian mengintip ke dalam rumah pohon.
Aku melihat Rembulan. Ia sedang bercinta dengan Bintang.*
***