Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,366
Kematian Terakhir
Misteri

   “Anda pasti DR. Markov.” Seorang pria Asia mengusik waktu rehatku di lounge hotel. Aku asing dengannya. Ketika kutanyakan identitasnya, ia mengaku penggiat UFO. Namanya Ichiro. Katanya, ia telah lama mencari-cari keberadaanku.

     “Adalah sebuah anugerah bisa bertemu dengan Anda, DR. Markov. Saya sangat berharap usai pertemuan ini, saya tak akan kembali berinkarnasi. Asal Anda tahu, saya manusia yang pernah mengalami sembilan kali kematian.” Penuturan Ichiro sebagai awal perkenalannya denganku.

     Apa maunya ini orang? Mengaku penggiat UFO, tapi bukan berkicau seputar piring terbang. Ia malah mengoceh tentang inkarnasi. Tentang sembilan kali kematian. Orang ini salah berkonsultasi. Semestinya ia meminta pencerahan seorang biksu, dan bukan astronom semisal diriku.

     “Mohon DR. Markov bersedia mendengar cerita saya terlebih dahulu.” Permintaan Ichiro yang tahu kalau aku akan memilih beranjak menuju kamar hotel dibandingkan menyimak dongengnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah pendulum logam dari dalam sakunya. “Percayalah, saya tidak berniat untuk bercanda! Pendulum ini akan membuktikan kebenaran cerita saya,” ujarnya dengan mimik serius.

     Ternyata Ichiro bukan penggiat UFO. Ia cuma tukang sulap jalanan. Ia berniat pamer kemampuannya di depanku. Baiklah, aku akan saksikan terlebih dahulu kepiawaian Ichiro memainkan sulap dengan pendulum itu.

     “Tolong pusatkan konsentrasi Anda pada pendulum ini!” Instruksi Ichiro sambil mengayunkan pendulum. 

     Aneh, aku merasakan adanya aliran energi yang memilin pikiranku. Bola mataku sulit untuk berpaling dari ayunan pendulum. Mendadak lingkungan di sekitarku semuanya berputar. Semakin lama semakin kencang hingga satu panorama tiba-tiba muncul begitu saja di hadapanku. Tampak sebuah rumah berdinding kayu oak berdiri di tepi sungai besar. Rumah kayu itu tak memiliki satu pun tetangga. Kemudian keluar seorang remaja laki-laki yang berpakaian ala koboi dari dalam rumah kayu. Kelihatannya anak remaja itu sempat mengunci pintu terlebih dahulu sebelum pergi entah ke mana.

     “Anak remaja yang Anda lihat adalah saya di kehidupan masa lalu.” Suara Ichiro menggema di tengah panorama yang sedang tersaji dalam pikiranku.

     Sekonyong-konyong asap hitam mengepul dari rumah kayu. Semakin lama asap hitam semakin pekat menyelimuti rumah kayu. Meski begitu, aku masih bisa menyaksikan seorang bocah laki-laki tengah menjerit-jerit ketakutan di balik jendela depan yang dilengkapi teralis. Sepertinya bocah itu terjebak di rumah kayu yang terbakar akibat semua pintu terkunci. Hari yang naas bagi bocah itu. Tiada seorang manusia yang datang menolong. Untunglah, sebelum aku menyaksikan lebih lanjut panorama yang menyayat hati ini, Ichiro keburu mengembalikan pikiranku ke lounge hotel.

     “Bocah laki-laki itu adalah adik dari anak remaja yang Anda lihat sebelumnya. Ia mati mengenaskan di rumah kayu yang terbakar. Setelah dua abad lebih, bocah itu kemudian berinkarnasi menjadi Anda.” Lagi, Ichiro menjelaskan apa yang terlihat olehku tadi. “Di masa lalu, sesungguhnya kita bersaudara. Kita tumbuh dan besar di tepian anak sungai Mississippi.”

     Harus aku katakan kalau gambaran yang diberikan pendulum serasa nyata sekali. Aku seolah hadir di sana. Jantungku tadi sampai harus berpacu bersama ketegangan. Akan tetapi, nalarku berusaha meyakinkan bahwa itu semua adalah hipnotis Ichiro. Ada banyak pesulap yang mampu melakukannya. Jadi, aku tak mesti percaya bahwa kehidupan masa laluku adalah tragedi bocah malang itu.

     “Waktu mengunci pintu, apa Tn. Ichiro tidak tahu kalau di rumah ada adik Anda?” Tanggapanku berpura-pura percaya akan cerita Ichiro.

     “Saya terpaksa mengunci pintu karena waktu itu di rumah hanya ada Anda yang sedang tertidur pulas. Saya tak pernah menduga kalau dengan mengunci pintu, nasib Anda akan semalang itu.”

     “Bodoh sekali Anda!”

     “Di kehidupan lalu DR. Markov memiliki kebiasaan tidur yang tak lazim. Saat tidur, Anda sering berjalan keluar rumah hingga mengambang di atas air sungai. Kalau pintu tidak dikunci, saya khawatir Anda akan hanyut karena arus sungai tengah deras.”

     Aku tertegun. Cerita Ichiro yang satu ini menyentil kesadaranku. Sama seperti bocah malang itu, aku pun memiliki kebiasaan tidur berjalan untuk kemudian mengambang di atas air. Televisi di negaraku bahkan pernah meliput gambarku yang sedang tidur mengambang di kolam renang apartemenku.

     Mendadak Ichiro membungkuk-bungkuk di depanku. Seakan anak durhaka yang baru beroleh kutukan ibunya, ia memohon-mohon agar aku berkenan memaafkan dosa di kehidupan masa lalunya. Menurutnya, selama kata maaf kesulitan keluar dari mulutku, selama itu pula kematian yang mengerikan akan selalu menjegal hidupnya. Ichiro sangat berharap, kematian selanjutnya adalah kematian terakhir. Ia mendamba jiwanya nanti akan bersimbah damai di Nirwana.

      Rupanya Ichiro merasa bosan menjalani inkarnasi berulang. Dan ketika aku dengan enteng memaafkan dosa masa lalunya, Ichiro bak terpidana mati yang beroleh amnesti, lega tiada bertara sambil berucap terima kasih bertubi-tubi.

     “Ngomong-ngomong dari mana pendulum itu berasal?”

     “Pendulum ini saya dapatkan dari seorang pertapa ketika bertemu di Tibet. Pertapa itu yang mengatakan jiwa saya sesungguhnya telah mengalami inkarnasi berkelanjutan akibat dosa di kehidupan lalu. Saya dianjurkan untuk bisa menemukan Anda agar jiwa ini terbebas dari beban dosa. Saya percaya akan kata-katanya usai pendulum mengantar saya ke kehidupan lalu.”

     “Bagaimana Tn. Ichiro bisa yakin kalau saya adalah inkarnasi saudara Anda di kehidupan lalu?”

     “Ketika CNN memberitakan sosok astronom Rusia yang tidur mengambang di atas air kolam, intuisi saya berkata, Andalah orang yang bisa menolong jiwa saya. Kebetulan sekali Anda sedang mengikuti seminar di Honolulu University, tak jauh dari rumah saya.”

     Kedatanganku ke Hawai memang dalam rangka seminar internasional membahas asteroid. Aku menjadi pembicara seminar akibat tulisanku yang kontroversial di sebuah jurnal ilmiah. Tulisanku mengingatkan masyarakat di sekitar Samudera Pasifik, supaya bersiap-siap menyambut kedatangan tamu dari jauh. Belasan bongkahan batu langit sebesar kapal tanker dalam waktu dekat akan jatuh di Samudera Pasifik.

     Lacur, bukannya lantas bersama-sama memperhitungkan kapan tepatnya batu-batu langit itu akan jatuh ke Bumi, aku malah menjadi bulan-bulanan para peserta seminar. Semua astronom seakan kompak menyimpulkan, lintasan batu-batu besar yang sedang melanglang di antariksa itu terlampau jauh dari bumi. Aku dianggap mencari sensasi. Mereka, bahkan menuduh tulisanku di jurnal ilmiah itu cuma berdasar intuisi. Aku juga dituding sedang mencari sensasi, dikarenakan tulisanku melenceng dari kajian ilmiah.

     Bagiku, mereka adalah ilmuwan-ilmuwan angkuh. Bermodal penguasaan ilmu sebesar kerikil saja, mereka sudah berani mengklaim bahwa antariksa telah tunduk pada logika manusia. Para astronom-astronom itu abai kalau antariksa terlampau magis untuk dapat dipetakan dalam deret angka.

     “Harap DR. Markov berkenan datang ke rumah. Di sana Anda akan dapat melihat gambaran kematian-kematian yang pernah saya alami.” Keinginan Ichiro saat aku merasa telah cukup waktu mendengar kisah hidupnya.

***

     Seperti yang kemarin Ichiro katakan, di rumahnya aku memang beroleh gambaran kematian-kematian masa lalunya. Tidak seperti yang aku kira, aku melihatnya bukan lewat pendulum. Drama kematian Ichiro terpampang pada lukisan-lukisan di dinding rumahnya.

     Sejujurnya aku mesti berdecak-decak atas bakat melukis Ichiro. Goresan kuasnya bernyawa sekali. Lukisan Ichiro seakan poster film horor mencekam. Mulai dari seorang negro yang kehilangan kepala, serdadu kulit putih yang mengerang akibat belasan anak panah menancap di tubuh, hingga pekerja naas yang terjerumus ke dalam tungku pengecoran logam tertampak di lukisannya.

     Entah kenapa semenjak ia menyinggung kebiasaan tidur mengambang adik masa lalunya, aku tak lagi angkuh untuk memilah kisah hidup Ichiro sebagai fiksi senggang semata. Terlebih lukisan-lukisan kematiannya semakin meneguhkanku, adalah benar bila Ichiro benar terlahir hanya untuk menyongsong karma adiknya dulu.

     “Kemarin Tn. Ichiro menyebut sembilan kali mati, tapi jumlah lukisan kematian Anda ternyata ada sepuluh.”

     “Lukisan yang di pojok kiri adalah lukisan kematian saya selanjutnya.”

     “Saya kurang mengerti.”

     “Pendulum tak hanya bisa membawa saya ke masa lampau, namun juga mampu menerawang akhir kehidupan saya saat ini.”

     Orang ini rupanya telah akrab dengan wujud kematian terakhirnya nanti. Tapi, anehnya tiada setitik pun cemas yang Ichiro pamerkan untukku. Raut mukanya malah kentara memancarkan bahagia. Apa mungkin Nirwana sesungguhnya memang tengah melambai-lambaikan tangan untuknya?

     Lukisan kematian terakhir Ichiro memaparkan sesosok mayat pria telanjang yang tersangkut pada rangka atas menara pemancar. Di bawah menara pemancar bertumpuk puing yang menegaskan, betapa porak-poranda mengiringi kematian terakhir Ichiro. Lukisan semakin dramatis berkat kehadiran sebuah kapal layar terbalik yang terdampar di belakang menara pemancar.

     “Kapan tepatnya kematian akan mengantar Tn. Ichiro ke Nirwana?”

     “Pendulum hanya dapat menggambarkan kematian. Pendulum tak mampu menjelaskan detail waktu kematian.”

     “Andai pendulum mampu ...,” gumamku.

     “DR. Markov pasti bisa mengartikan tulisan Rusia yang tertera di lambung kapal layar terbalik itu,” pinta Ichiro sambil menunjuk ke arah lukisan kematian terakhirnya.

     “Camar laut.”

     Astaga ...! Sekarang juga aku harus tergopoh pergi! Aku tak boleh membuang waktuku hanya demi sebuah penjelasan untuk Ichiro. Bagaimanapun caranya malam ini juga aku wajib mendapat tiket penerbangan. Sebelum mentari menyeruak pagi aku harus memastikan telah berada di udara. Beruntung sekali aku bersua ingat, kalau kapal layar milik sahabatku yang akan terbalik itu rencananya besok pagi tiba di Hawai. **  

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)