Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,051
Bertemu Setan
Misteri

 

    Sadikin yang kukenal dulu hanya petani penggarap lahan orang seperti diriku. Derajat sosialnya juga tak beda jauh denganku, sama-sama golongan susah. Tapi, lihatlah sekarang! Sadikin makmur dan sejahtera. Ia telah bercerai dengan susah. Semua diraihnya setelah membuka warung bakso di tepi jalan. Dari warung bakso itulah pundi-pundi rupiah tak henti mengalir ke kantungnya.

    Sukses yang diraih Sadikin berbuntut kabar burung. Bak udara, kabar itu berembus begitu saja di antara warga sekitar tempat tinggalnya. Mencengangkan memang, hanya dalam hitungan bulan ia sudah berlimpah materi. Warga menilai, ada janggal dengan begitu panjang antrean pembeli bakso Sadikin. Bagaimana mungkin warung bakso Sadikin bisa teramat laku seperti ini, padahal hanya warung pemula yang belum punya nama?

    “Mereka itu cuma orang-orang iri hati. Terus disebar isu kalau aku mengundang Setan, buat pelaris warung baksoku,” ungkap Sadikin sewaktu kusinggung rumor yang kini beredar di tengah-tengah warga.

    “Jadi enggak benar kalau kamu pakai pelaris?”

    “Enggak pakai ajian pelaris-pelarisan. Tapi, memang ada Setan tak diundang datang menemuiku!”

    “Serius ada Setan menemuimu?” timpalku sambil tertawa kecil.

    “Kamu boleh ngetawain aku. Tapi, ini sungguh nyata. Satu malam waktu aku pulang seorang diri sehabis nonton pertunjukan wayang di kampung sebelah. Tahu-tahu aku dihadang Setan pas lewat kebun kopi.”

    “Memangnya seperti apa wujud Setan yang menghadangmu itu?”

    “Mula-mula berwujud anak laki-laki telanjang bulat. Kemudian anak itu membesar, dan terus membesar sampai hampir menyamai pohon kelapa.”

    “Waduh, itu sih lumayan menakutkan!”

    “Aku benar-benar syok melihatnya. Aku langsung lari pontang-panting.”

    “Itu Setan ngejar-ngejar kamu?”

    “Setannya enggak ngejar aku, cuma ngelempariku pakai ribuan biji kopi. Sampai berkali-kali aku jatuh berguling-guling. Tapi, syukur akhirnya aku bisa selamat juga.”

    Karakter Sadikin telah kukenal dengan baik. Ia tak punya talenta dusta. Kalaupun terpaksa berdusta, kadar kebohongannya kujamin masih di bawah politisi Senayan yang paling jujur. Hanya saja kali ini ia mengaku bertemu Setan, dan aku harus seketika menyimpulkan bila Sadikin waktu itu sedang bermasalah, tengah mengalami halusinasi.

    “Aku yakin, di balik biji-biji kopi yang malam itu dilempar Setan sesungguhnya ada limpahan rejeki khusus buatku,” kata Sadikin yang malah bangga dilempari biji kopi oleh Setan yang menghadangnya.

    Cerita Sadikin bertemu Setan mengingatkanku akan ucapan mendiang Nenek dulu. Bila bertemu Setan janganlah kita merasa apes. Justru kita sedang beruntung karena rezeki berlimpah akan menyambangi kita nanti. Tapi, Nenek juga menambahkan, meski kita nanti bergelimpang harta, namun hidup kita bakalan berujung nista.

     Barangkali karena belum pernah melihat seperti apa wujud Setan, bolehlah bila aku kurang begitu mempercayai keberadaannya. Lebih-lebih Setan yang dapat mengalirkan rezeki pada kita. Bagiku, apa yang dikatakan Nenek hanya sebuah mitos tanpa fakta. Lain dengan Sadikin, yang sepertinya amat meyakini akan mitos rezeki datang usai bertemu Setan.

***

    Sedari tadi aku memperhatikan, perempuan itu tak henti menelik pohon mangga yang tumbuh di kebun milikku. Kebetulan pohonnya tengah berbuah. Mendapati perutnya yang buncit, aku tahu apa yang ada di dalam benaknya.

    “Mas, saya lagi ngidam buah mangga muda, boleh saya minta sebanyak dua puluh biji” pinta perempuan itu begitu tahu aku menghampirinya.

    Dua puluh biji, banyak amat! Demikian aku menilai permintaan perempuan itu. Meski begitu aku lekas memakluminya. Adalah jamak bila perempuan hamil suka ngidam sesuatu yang berlebih. 

    “Terima kasih banyak, Mas. Cuma saya harus minta maaf, saya tak punya sepeser pun uang untuk beli mangga-mangga ini.” Langsung perempuan hamil itu mengutarakan penyesalannya begitu menerima pemberian dariku, yakni dua kantung plastik berisi dua puluh buah mangga muda seperti yang dimintanya.

     Sejak awal niatku hanyalah memberi. Tiada terlintas dalam pikiranku untuk menghargakan buah mangga pemberianku padanya. Hanya saja aku menemukan janggal pada perempuan itu. Bukan karena ia membawa satu bungkusan koran, melainkan busana hamil yang dikenakannya, sangat wah. Jelas ia bukan berasal dari kalangan bawah. Apalagi wajahnya menurutku layak menampang di halaman muka majalah gaya hidup, atau papan reklame. Tapi, kenapa ia mengaku tak punya sepeser pun uang?

      Hal lain yang memancing tanda tanya di isi kepalaku adalah kemunculannya. Tahu-tahu ia muncul begitu saja di kebunku. Sedangkan baru semenit lalu aku memastikan, tiada seorang pun tengah melintas di jalan depan kebunku. Ke mana juga suaminya? Tak elok membiarkan istri yang tengah hamil keluyuran. Lebih-lebih perempuan hamil itu mengaku, sudah seharian mencari mencari buah mangga muda yang masih bertengger di pohonnya.

      Walau sudah kujelaskan jika buah mangga pemberianku adalah gratis, namun perempuan hamil itu sepertinya enggan dibebani hutang budi. Harus ada timbal balik. Ia kemudian memberikan bungkusan koran yang sedari tadi dibawanya kepadaku.

      “Begini saja, di dalam bungkusan yang kubawa ini terdapat benih pohon emas. Jika Mas tak keberatan, kita bisa barter!”

      Pohon emas, apa pula itu? Aku sungguh baru mendengarnya.

      “Benih pohon emas jika ditanam bisa menghasilkan keping-keping emas sewaktu panen nanti. Mas boleh pegang janji saya!” jelasnya kemudian.

      Ada pohon dapat menghasilkan keping-keping emas? Ada-ada saja perempuan hamil ini, tapi... ah sudahlah! Aku tebak ia mungkin sedang bersiasat. Sejak awal datang ke kebunku memang niatnya hanya untuk mencicipi buah mangga muda secara gratis. Agar kurang tampak layaknya pengemis, ia lalu menawarkan barter dengan benih tanaman ajaibnya

      Atau, barangkali karena tuntutan ngidamnya, yang memang mengharuskan dirinya beroleh buah mangga gratis dariku. Sepertinya memang begitu. Agak sukar diterima akal memang bila perempuan secantik dirinya tak punya uang.

      “Karena Mbak tengah ngidam, semua buah mangga ini gratis untuk Mbak.”

      “Tapi, Mas, saya tak enak kalau tidak menggantinya. Mohon diterima benih pohon emas ini!”

      Perempuan hamil itu terlihat memaksa sekali. Kentara kalau ia memang enggan terkesan dikasihani olehku. Ia terus mempromosikan khasiat pohon emasnya karena tahu, aku tak berhasrat sama sekali.

       Karena kesan memaksanya aku kemudian berpikir ulang. Iya, kenapa aku harus membuatnya kecewa? Apa susahnya menerima bungkusan yang disodorkannya? Mau ditanam, atau tidak bukanlah perkara pelik. Kuterima saja biar ia senang.

    “Saya Reny,” jawab perempuan itu begitu aku bertanya nama. Selanjutnya ia memilih pamit pulang.

***

    “Kin...? Kamu Sadikin, bukan?” sapaku pada seorang pria yang duduk bersila di atas lembaran koran. Ia memang menatapku dengan hampa, namun hanya mangu yang kudapat dari wajahnya. Kalau bukan celana kolor kumal yang dikenakannya, dipastikan ia telah telanjang bulat. Rambutnya panjang, kusut, dan terurai acak-acakan. Aroma comberan tercium dari tubuhnya yang dekil. Kentara sekali jika ia telah berminggu-minggu tak pernah dibasuh sabun mandi.

    Mudah kutebak bila pria di depanku ini telah hilang ingatan. Meski kondisinya serba kacau, tapi aku tetap meyakini bila ia memang Sadikin. Tahi lalat di bawah kelopak mata kiri tak menjadikannya asing di mataku.

    Tak habis pikir diriku, bagaimana bisa Sadikin yang dulu pernah membakar rasa iri di hati tiba-tiba berganti sekusut ini? Memang sebelumnya aku tahu bila hidupnya tengah terpuruk. Meski begitu kondisinya masih jauh dari ambang gila.

    Berawal dari satu hari lacur yang dijalani Sadikin. Di hari itu warung bakso miliknya disergap polisi. Dari penggeledahan polisi terungkap kalau Sadikin menggunakan daging celeng untuk bahan baku bakso. Sadikin akhirnya ditahan polisi, sebelum kemudian dibebaskan kembali dengan lembaran uang suap.

     Telah keluar dari tahanan polisi, namun Sadikin tak punya nyali untuk kembali membuka warung baksonya yang telah dibakar warga. Sadikin kemudian bangkrut secara ekonomi. Gelagatnya ia akan kembali ke kondisi sedia kala, orang susah.

     Sudah jatuh tertimpa tangga pula, demikian gambaran nasib Sadikin usai kehilangan mata pencaharian. Istri mudanya kabur dengan lelaki lain sambil membawa semua harta simpanan. Sedangkan istri pertamanya telah lama berpisah ranjang. Warga yang murka tak ingin Sadikin kembali tinggal di kampung mereka. Ia dikabarkan merantau ke Jakarta sampai aku menemuinya di sini, di pekarangan luar Stasiun Jatinegara.

     Kuhela nafas panjang. Aku baru menemukan jawaban atas penyebab Sadikin mati, padahal jiwanya masih bersemayam di dalam raga. Rupanya Sadikin telah membuktikan kebenaran kata-kata Nenek dulu. Ia korban ulah jail Setan. Rejeki usai bertemu Setan tak membawanya menuju kebahagiaan hidup. Ia sekarang justru terperosok dalam lembah nista.

    Syukur, aku tak pernah bertemu Setan seperti Sadikin. Sebaliknya aku malah disambangi Malaikat rupawan di tahun kemarin. Aku bersikukuh, perempuan hamil yang dulu meminta buah mangga adalah Malaikat penguji kemurahan hatiku. Amatlah beruntung diriku, tak punya sifat kikir yang diwariskan kedua orangtuaku. Aku dianggap lulus uji dermawan. Aku layak diberi anugerah berupa benih pohon emas.

    Seperti janji Malaikat berparas rupawan itu, benih pohon emas yang kutanam terbukti menghasilkan keping-keping emas untukku. Aku kaya. Aku bergelimpang harta. Aku, bahkan kini telah menjadi juragan dari puluhan petani penggarap yang bekerja untukku.

    “Kamu sih mau-maunya dikadalin Setan,” ujarku, mengolok Sadikin ketika tiba-tiba beranjak berdiri. Lantas berlalu pergi begitu saja dariku.

    Entah ke mana Sadikin pergi. Aku tak mau tahu, dan tak hendak menanyakannya. Perhatianku justru terpaku pada lembaran koran yang ditinggalkannya, bekas alas duduk Sadikin. Rasanya sudah lama aku tak melihat lembaran koran. Terakhir aku melihatnya tahun lalu, tepatnya ketika beroleh bungkusan koran dari perempuan hamil yang ngidam buah mangga. Tak heran bila aku lalu memungut lembaran koran bekas alas duduk Sadikin. Ada rasa kangen juga karena dulu aku termasuk orang kampung langka, suka baca koran.

    Ternyata koran yang dipungutku sudah usang, telah terbit sebelas hari lalu. Meski begitu aku tetap antusias membaca, apalagi lembaran koran di tanganku berisi artikel kriminal, artikel kesukaanku. Langsung atensiku tertuju pada seraut wajah wanita cantik yang fotonya menampang di sana. Serta-merta aku terkesiap. Bukan apa-apa, seraut wajah dalam foto tersebut teramat mirip dengan Reny, Malaikat rupawan yang memberiku bibit pohon emas.

    Mustahil aku salah menilai, memang benar ini adalah fotonya. Tak bakalan aku melupakan paras menawannya. Lebih-lebih nama depannya sama, Reny.

    Seakan tengah mendengar pembacaan vonis hakim, seperti itulah detak jantungku sewaktu membaca berita seputar foto perempuan itu di lembaran koran. Reny ternyata model ibukota yang menjadi korban pembunuhan tiga tahun lalu. Pembunuh Reny tak lain kekasihnya sendiri, seorang anggota DPR yang telah beristri. Motif pembunuhan didasarkan kepanikan sang wakil rakyat kala diminta pertanggungjawaban atas kehamilan Reny.

     Artikel koran menuliskan bila jenazah Reny dibuang jauh dari ibukota, tepatnya ke sungai yang mengalir di kota tempat tinggalku. Bulan lalu kerangka Reny ditemukan seorang petani. Tak butuh waktu lama bagi polisi untuk mengungkap kasus pembunuhan Reny.

    Dering ponsel mengusikku dari ketermanguan. Tono, anak buahku mengontakku.

    “Gawat, Bos! Gabungan ormas garis keras saat ini tengah bergerak menuju kebun! Tampang mereka garang-garang. Kayaknya mereka mau ngamuk. Mereka kebanyakan bawa parang, sebagian lagi bawa obor menyala.”

    Belum juga aku pulih dari ketermanguanku usai mengetahui, siapa sejatinya sosok perempuan hamil yang menemuiku dulu, satu kabar menyengat malah kembali menikam jantungku. Bagaimana bisa kaum fanatik itu mengetahui kebunku telah ditanami pohon emas? Brengsek! Pasti salah satu anak buahku telah berkhianat.

    Ini masalah besar! Jika mereka membakar kebunku, dipastikan aku bakalan mengalami kerugian parah. Menyesal, amat menyesal aku sekarang! Bisa-bisanya aku sampai menunda-nunda memanen pohon emas pemberian Malaikat rupawan ... eh, Setan cantik itu. Niat hati ingin raih emas paling berkilau, apa daya malah arang yang akan kudapat. Padahal telah antre para bandar untuk bisa memborong hasil panen ganja di kebunku.

    “Kabar buruk lagi, Bos! Polisi baru saja menggerebek rumah bos, sebaiknya Bos bersembunyi ke luar Pulau Jawa dahulu!”**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)