Masukan nama pengguna
“Apa Ayah Korupsi?”
Pertanyaan Ana menohok sekali perasaan ayahnya walau sebelumnya sempat bercerita kalau di sekolah hanya ia, satu-satunya anak pegawai negeri. Yang lain rata-rata anak pengusaha sukses. Ana mengaku pernah menguping bisik-bisik para guru di sekolah bila ayahnya tukang tilap uang pajak. Kata guru-gurunya, jika cuma mengandalkan gaji bulanan ayahnya, mustahil dirinya mampu bersekolah di sana. Namun, ayahnya selalu menyangkal kabar miring itu. Ayahnya berdalih, Ana mampu bersekolah di SMU berlabel internasional bukan karena statusnya sebagai anak pegawai negeri. Ana mampu setara dengan rekan-rekan sekolahnya karena ayahnya memiliki saham perkebunan sawit.
“Mana boleh Ayah korupsi!”
“Bila tidak korupsi, lantas, untuk apa kita hidup berlagak miskin? Ana yakin, sebagian besar harta Ayah telah disita pemerintah.”
“Sekali lagi, Ayah tidak korupsi! Sudah berulang-ulang Ayah jelaskan kalau kita hidup seperti ini cuma sementara waktu, sambil menunggu Ayah menebus kembali rumah, mobil, serta aset-aset kita yang tengah dalam agunan bank.”
“Tapi, sampai kapan, Yah? Ana tak tahan lagi menahan malu. Setiap hari teman-teman mencemooh Ana. Mereka bilang, Ana sekarang jadi kembang angkot.”
Kasihan anak gaul itu. Ana harus menderita akibat bully rekan-rekan sekolahnya. Ia mulai tersisihkan. Ia tak lagi dianggap layak berada dalam komunitas rekan-rekan sekolahnya. Sejak ayahnya sekonyong-konyong jatuh miskin, Ana memang tak pernah muncul di gerbang sekolah bersama sopir mobil mewahnya. Ana lebih sering terlihat bersama sopir angkot.
Sebagai ayah, Iswan menyadari bila Ana, putri sulungnya terkena imbas dari pemaksaan gaya hidup bersahaja olehnya. Iswan berbohong kala menyebut aset-aset miliknya tengah dalam agunan bank. Ia sama sekali tak punya piutang. Ia masih berlimpah materi. Iswan sebenarnya tengah menjalankan kamuflase dengan berpura-pura berprilaku ala orang-orang kebanyakan. Tak cuma dirinya, nyaris semua rekan-rekannya sesama pegawai pajak juga melakukan hal sama. Semua enggan bernasib serupa dengan salah seorang rekan mereka. Rekan mereka tertangkap tangan tengah menerima uang sogokan dari pengusaha yang mengemplang pajak. Sebelum tertangkap, rekan mereka memang terlalu pamer gaya hidup melampaui semestinya. Gaya hidup selayaknya seorang pegawai negeri.
Bukan hanya putri sulungnya, istrinya pun bersikap sama, sama-sama mengalami geger kenyamanan. Semenjak Iswan memboyong keluarganya pindah, dari rumah megah di lingkungan prestisius ke sebuah rumah tua di tengah belantara pemukiman padat penduduk, rona muka istrinya yang dulu senantiasa ceria berubah masam. Istrinya saban hari tiada henti berkeluh kesah.
“Dengar, dulu orangtuaku rela menyerahkan anaknya kepadamu bukan untuk dijadikan babu!” Omel istrinya setiap Iswan menanyakan kondisi rumah yang selalu berantakan. Di tempat tinggal barunya, Iswan sengaja tak membawa pembantu. Ia ingin menunjukkan kepada lingkungan sekitar, bahwa istrinya tak ubahnya seperti istri-istri tetangga. Istri yang biasa menggunakan kedua tangan sendiri untuk mengurus rumah tangga.
Hanya Resa, si bungsu berseragam SD yang menampilkan sikap berbeda. Resa justru gembira berada di lingkungan barunya karena punya banyak teman. Di rumah sebelumnya, ia kesulitan mendapatkan teman bermain. Sementara di sini, anak-anak seusianya banyak berseliweran di sepanjang gang-gang sempit.
Rumah tua tempat Iswan sekeluarga sekarang tinggal merupakan rumah warisan orangtuanya. Dulu, ia tumbuh dan besar bersama seorang kakak laki-laki di rumah ini. Walaupun bersaudara kandung, tapi hubungan mereka berdua jauh dari kata karib, terutama setelah masing-masing hidup berumah tangga. Iswan rutin curiga bila kakaknya berambisi menguasai seluruh harta orangtuanya. Itu sebab dirinya sangat menyesalkan mengapa sebelum meninggal, ayahnya terlebih dahulu sakit di waktu yang salah. Di waktu ketika ia tengah sibuk-sibuknya menjalani pelatihan perpajakan di luar kota. Ibunya telah meninggal lebih dahulu. Tak ada yang mendampingi ayahnya di hari-hari terakhir selain kakaknya. Iswan yakin, kakaknya telah mengambil keuntungan dari kondisi kesehatan ayahnya.
Benar saja. Beberapa hari usai pemakaman ayahnya, kakaknya mengklaim sebagai ahli waris lahan strategis di pinggir jalan besar. Kakaknya merujuk pada surat wasiat ayahnya. Iswan hanya bisa menggerutu. Dalam surat wasiat yang ditulis sendiri oleh ayahnya menyebut, kakaknya berhak atas warisan lahan yang juga menjadi incaran Iswan. Sementara dirinya cuma beroleh warisan rumah tua yang nilainya tak seberapa. Yang menyakitkan, surat wasiat itu menegaskan kalau kakaknya juga akan mewarisi sebuah kotak berisi batu permata serta perhiasan-perhiasan emas lainnya. Sedangkan dirinya hanya kebagian jatah sebutir mutiara air laut yang tersimpan di dalam satu peti kayu. Iswan menuding kakaknya telah mendikte ayahnya, untuk menulis surat wasiat yang jauh dari kata adil.
Mengenai peti kayu yang tertulis dalam surat wasiat, ada dongeng menarik yang sering diceritakan ayahnya semasa hidup. Peti yang terbuat dari kayu mahoni itu dahulu milik kakeknya. Peti kayu itu berfungsi untuk tempat menyimpan barang-barang dagangan kakeknya. Kakeknya dulu berprofesi sebagai pedagang antar pulau. Suatu hari, ketika tengah berlayar pulang dari pulau seberang, kapal yang membawa kakeknya mengalami karam di tengah lautan. Beruntung, kakeknya selamat berkat peti kayu itu. Memanfaatkan peti kayu itu sebagai pelampung, kakeknya terombang-ambing di lautan luas selama berbulan-bulan sebelum akhirnya ditemukan nelayan.
“Mustahil kakek bisa bertahan dari perut lapar selama berbulan-bulan di laut,” sela Iswan memotong cerita ayahnya. Meski kala itu ia masih belia, namun nalar Iswan cukup kritis.
“Kakek tak pernah kelaparan karena usaha dagangnya laris manis. Di dalam peti itu isinya bukan lagi barang dagangan, tapi oleh-oleh berupa panganan.”
“Yang namanya oleh-oleh jumlahnya pasti terbatas, mana cukup untuk mengganjal isi perut kakek selama itu?”
“Peti milik kakek bertuah. Peti itu mampu melipatgandakan barang yang tersimpan di dalamnya. Meski saban hari kakek memakannya, ajaibnya panganan di dalam peti tak pernah habis.”
Entah mengapa hingga Iswan tumbuh dewasa, ayahnya masih saja terus mengulang-ulang kisah peti kayu penyelamat kakeknya dulu. Ayahnya juga tak henti mengingatkan jika peti kayu itu adalah pusaka keluarga. Ayahnya selalu meminta dirinya agar kelak bersedia merawatnya. Meski tak keberatan, tapi Iswan menilai ayahnya ambigu. Di satu sisi, ayahnya rajin menggadang kesaktian peti pusaka itu. Sementara di sisi lain, peti pusaka itu tergolek begitu saja selama puluhan tahun di gudang dalam keadaan hampa. Ayahnya tak pernah berpikir untuk memanfaatkan kesaktian peti pusaka itu.
***
Pagi sebenarnya cerah sekali. Hanya saja suara-suara menderit dari arah belakang rumah sangat mengusik keceriaan pagi. Iswan sampai merasakan linu mendengarnya. Suara-suara menderit itu kiranya suara engsel daun pintu gudang yang terayun-ayun oleh tiupan angin.
Iswan kesal. Telah sering kali ia mengingatkan Resa untuk menutup rapat pintu gudang. Akan tetapi, Resa gemar sekali lupa. Saat ini ia hanya berdua bersama Resa di rumah. Istri dan putri sulungnya belum kembali dari pasar. Tiga hari terakhir Resa sering kali bolak-balik masuk gudang. Di dalam gudang memang tersimpan boneka-boneka milik Resa. Setelah pindah rumah, Resa sempat melupakan boneka-boneka itu. Resa lebih sering bermain di luar rumah seusai jam sekolah. Namun, kelihatannya Resa kini mulai bosan keluyuran, dan kembali merindukan boneka yang tersimpan di dalam gudang.
Tepat di bawah kolong pintu gudang, Iswan langsung tertegun kala terlihat olehnya peti pusaka yang terbuka lebar. Masih tetap kosong. Tak ada satu pun barang tertampak di dalamnya. Sejak resmi berstatus ahli waris peti pusaka peninggalan kakeknya, peti itu kembali menjadi penghuni abadi gudang. Iswan tak pernah menyentuhnya lagi, apalagi membukanya. Ia merasa, setiap melihat peti itu maka kenangan akan selalu membujuknya untuk melamun. Sebagaimana sekarang ini, peti pusaka itu tengah melamunkan ingatannya akan cerita ayahnya, maupun ulah licik kakaknya dulu.
Kenangan rupanya semakin jauh menghanyutkan Iswan ke dalam lamunan. Ia sampai lupa bila hari ini sejumlah awak media menurut rencana akan berkunjung ke rumahnya. Ia sendiri yang mengundang mereka. Iswan hendak mengklarifikasi pemberitaan sepihak dirinya oleh media. Beberapa hari lalu, ramai media menyebut namanya termasuk dalam daftar anggota mafia pajak. Iswan tentu gerah. Ia wajib membantahnya. Kepada awak media, ia akan tunjukkan betapa dirinya jauh dari kehidupan wah, seperti yang dilansir media. Kondisi rumahnya saja paling lusuh di antara rumah-rumah tetangga.
Beberapa awak media sebenarnya telah tiba pekarangan rumah Iswan. Hanya saja para awak media tak lantas memberitahukan kehadiran mereka pada si pemilik rumah. Mereka lebih memilih mengerumuni Resa. Gadis kecil itu tengah seorang diri asyik bermain congkak di lantai teras depan. Saking asyiknya bermain congkak, Resa abai akan jepretan-jepretan kamera yang mengarah kepada dirinya.
“Busyet dah, ini anak benar-benar anak sultan!” ucap seorang wartawan saat lensa kameranya membidik biji congkak yang sedang dimainkan Resa.
“Bukan anak sultan lagi, ini sih anak rajanya Sultan. Butir-butir mutiara malah dijadiin biji congkak.” Temannya menimpali, masih sama-sama membidikkan lensa kamera ke arah Resa.
“Hus, kalian ngaco semua. Yang pasti itu anak, anaknya pegawai negeri. Cuma negeri di atas langit. Kalau cuma mutiara jadi mainan anak sih wajar banget bagi mereka.”
oOo