Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,196
Sabar Kurang Sabar
Slice of Life

Burung berhenti berkicau, melodi  mereka digugurkan beriringan dengan runtuhnya senja dari peraduan terang. Kunang-kunang di balik semak mulai merintis kelakar. Belalang dan semut yang menggotong bangkai ulat sedari sore tadi mengistirahatkan diri dalam barisan. Ayam kampung meringkuk di kegelapan  dalam sangkar kandang. Malam melintang, gumintang mulai berkedip-kedip menggoda insan. Angin berembus damai, menghanyutkan letih seharian bermain-main dengan terik mentari. Petani bubar dari ladang. Pedagang meninggalkan pasar. Maka musola itu, gedung sederhana di perut kampung disesaki manusia-manusia berwajah kelelahan seharian mengejar nafkah kehidupan. 

Bocah-bocah berlarian di beranda musola. Para renta sibuk menggelar sajadah, mendirikan salat sunnah tahiyatul masjid dan qobliyah. Muadzin menggemakan takbir Idul adha untuk menggantikan shalawat. Pemuda bersandar di serambi musola, memelototi layar-layar bercahaya. Beberapa yang tunduk khidmat, memutar tasbih, mengucap dzikir. 

Iqomat berkumandang. Jamaah serempak berdiri. Bocah-bocah menyela barisan orangtua, pura-pura khusuk, meski pada pertengahan rekaat saling mendorong pantat temannya, berbisik-bisik mengenai acara kartun, atau PR sekolah yang belum dikerjakan, tidak mustahil juga jika mereka menungging bebarengan ketika sujud lantas mengintip jamaah di belakang mereka.  Imam mulai memimpin salat maghrib. Al-fatihah disenandungkan. 

Musola dialiri ketenangan yang sangat menentramkan. Kepala-kepala tertunduk, tertuju pada lembaran sajadah. Ubun-ubun disirami neon-neon putih. Semuanya larut, larut dalam dosa yang disengaja tanpa tersadari, hambur dalam angan abadi usai mati. Mengakui diri bahwa mereka tak mempunyai harga diri di hadapan pemilik kehidupan, menyerahkan dengan penuh ikhlas mengenai masalah-masalah yang menimpa. Meskipun jika telah keluar dari musola, kembali bibir menghisap keburukan tetangga, kembali mata menelisik wajah-wajah cantik, tak lupa pikiran mengangankan duniawi yang bergelimpangan dengan kesenangan, nafsu diri kembali memuncak. Perumpamaan manusia memakai baju berbeda-beda ketika mengunjungi sebuah acara. Fleksibel. Namun, haruskah pikiran juga seperti itu?

Aku di sini, memotret wajah-wajah keriput yang terkantuk-kantuk. Tak berpaling dari jamaah renta yang menengadahkan tangan tampak teramat ikhlas, dua daging tak bertulangnya bergerak-gerak tak jelas. Aku di sini, menyaksikan mereka yang usianya muda, cepat-cepat menggulung sajadah, berlomba-lomba keluar lebih awal. Aku di sini, mengamati jamaah yang usianya di pertengahan zaman, tidak gegabah ketika berdoa, tidak terlalu lama pula saat berdzikir menyebut asma-Nya. Lantas aku masih di sini, bertanya, apa yang sebenarnya ada dalam benak mereka?

Aku duduk di beranda musola. 

Sementara nenek itu, nenek yang langkahnya sudah tertatih-tatih. Masih setia dengan pekerjaannya. Merapikan sandal orang-orang. Membungkukkan punggung, menyatukan penyelamat telapak kaki dari kotoran itu dengan pasangannya masing-masing. Tongkat kayu dijadikan penyangga tubuhnya, digenggam jemari kiri, sementara tangan kanannya memilah-milih sandal jamaah. Ia keluar usai berdoa khusuk yang tergiring perasaan asing menunggu kematian. 

“Berapa bulan kau tidak ke rumah Tuhan, Nak? Sudah lupa dengan dzat yang memberimu hidup?” Kalimat satire. Membuatku tersenyum tidak manis tersebab malu. Wajahku tentu memerah. Aku mengalungkan sajadahku di pundak. Berdiri, menghampirinya. 

“Bisa jadi seperti itu, Nek. Banyak hal yang aku pikirkan, anehnya hal itu membuatku malas bertamu ke rumah suci ini,” jawabku jujur. 

“Anakku.” Ia menegakkan tubuhnya. Menatapku lamat-lamat. Tersenyum manis kemudian melanjutkan merapikan sandal-sandal yang masih tersisa. Sendal itu dijajarkan di bawah anak tangga. Sebagian jamaah masih di dalam menunggu isyak datang, sebagian keluar menyapa nenek itu, mengucapkan terima kasih telah merapikan sandalnya. Lantas bergegas pulang.

 “Jagalah hatimu, Nak. Jangan sampai ia dikuasai oleh setan. Jangan biarkan perasaan dan pikiranmu ditundukkan oleh iblis dan hawa nafsumu terhadap dunia.”

Aku diam, mengamati tubuhnya yang mendadak duduk di serambi musola, aku ikut di sisinya. Wajahnya diluruskan ke angkasa, pandangannya tak berkedip menikmati kebiruan langit yang terlihat samar. 

“Aku tidak ingin hal itu terjadi, Nek. Tapi, saat masalah hidup, semisal patah hati, keinginan yang diharapkan tidak terwujud, sakit hati dengan ocehan-ocehan orang di luar, pekerjaan numpuk dan tidak kear-kelar, beban hidup menuntut ini dan itu, keluarga susah diatur, rindu pada seseorang yang tidak bisa ditemu. Datang secara bersamaan, tentu saja itu bukan hanya membuat diriku malas mengingat-Nya, namun juga orang lain.”

“Kau salah, Nak!”

“Aku salah?”

“Orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang sabar, orang-orang yang imannya kuat tidak akan disiksa dengan perasaan malas itu, Anakku.”

“Sebenarnya aku sudah berusaha bersabar, Nek,” tandasku. 

“Sabarmu masih kurang sabar.” 

Aku menghela napas panjang. Tidak ada yang salah dari kalimatnya. Ia menepuk bahuku, kembali menatapku lebih tajam, seolah hendak meletakkan sebuah nasihat mendalam dengan sorot mata tuanya. “Jangan melupakan Allah, anakku. Sekali saja kau melupakan-Nya. Kau akan kesusahan dalam mengingat-Nya, sebab setan akan berlomba-lomba mengganggumu, membisikkan kalimat-kalimat yang akan membuatmu patah hati, patah semangat, putus asa, hingga tragis meninggalkan sujud! Jika sudah seperti itu panggilan Allah tidak akan menentramkan hatimu. Hidupmu akan dipenuhi dengan kegelisahan dan amarah-amarah yang tidak jelas. Hidupmu akan lebih dingin dari es, Anakku.”

Ia seolah mampu membaca raut wajahku. Aku menunduk mengamati anak tangga berlantai keramik putih. Memusatkan pupil mata pada jempol kakiku. Diam. Merenungi kesalahanku yang memang sudah lama tidak berkunjung ke rumah Allah, aku membiarkan diriku terjebak dalam nafsu duniawi sepanjang waktu, mengamuk hal sepele yang tidak terlalu bermasalah, menarik ulur kesalahan-kesalahan sehingga menjadi fatal. Kurang mampu berpikir cerdas dan jernih dalam menghadapi sebuah persoalan. Kawan, kau tahu? Beberapa hari ini aku sedang takut jika harapanku tak terwujud. Harapan apakah itu? Kau tak perlu mengetahui, ia masih kukunci erat di dalam kotak hatiku.  

“Aku sudah berusaha selalu mengingat-Nya. Berdoa. Namun entah, Nek. Aku masih tidak tenang, aku justru selalu ingin menjauh dari-Nya. Aku merasa hidup ini…” sengaja kalimat tak kulanjutkan. Nenek sudah mengerti, ia langsung mengelus ubunku. 

“Jiwamu sakit, kau bukannya sedang putus asa atau kehilangan hal yang berguna dalam hidupmu, Anakku. Namun lebih tepatnya kau kehilangan ruh jiwamu, kehilangan kesehatan batinmu. Masalah hidup yang kau alami membuatmu terluka, dan luka itu dilebarkan oleh setan-setan, kau lantas terjerembab, berhari-hari kehilangan semangat, pikiranmu negatif, khawatir dengan kegagalan ini dan itu. Sejak itu, akalmu sibuk memikirkan keinginanmu, lupa dengan dzat yang akan mewujudkan keinginanmu, Anakku.”

“Apa yang harus aku lakukan, Nek? Agar aku selalu dapat mengingat-Nya?”

“Bacalah Al-Quran, ingatlah kematian.”

Dan untuk kesekian kalinya percakapan kami berujung pada kematian. Nenek itu tersenyum lebih manis dari sebelumnya. Ia bangkit dari tempat duduknya. Memakai sendalnya. Menjejakkan tongkat kayunya. 

“Nenek pulang dulu, Nak. Kutunggu subuh nanti, kau harus bangun lebih awal, Anakku. Jangan biarkan kecantikan matahari terbit mendahuluimu!”

Nenek itu, kau masih ingat bukan? Renta berumur senja pekat yang seringkali menasehatiku tentang kematian. Pemilik kulit keriput yang tidak pernah alfa menata sandal-sandal di halaman musola. Aku menginginkannya hidup sepanjang zaman. 

Ia belok di jalan sempit, menembus lorong gang yang gelap, terbatuk-batuk. Tiga jamaah keluar, sisanya berselonjoran dengan menyandarkan tubuh di dinding, menanti waktu isyak datang. 

Magelang, 12 Dzulhijjah 1439 H.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)