Masukan nama pengguna
Kekasihmu ada satu di dunia ini, ia adalah hal yang sangat sederhana meskipun berat untuk memilikinya. Orang berkata berat, padahal kau tak perlu mengajaknya ke pelaminan yang memerlukan banyak biaya, bahkan kekasihmu tak membutuhkan sebuah pesta megah apalagi ritual tukar cincin. Ia tidak pernah marah juga tidak pernah memberikan senyuman. Kau tak memiliki buku nikah, namun dalam status hidupmu orang-orang telah menjulukimu sebagai suami yang menjalin cinta dengan ‘kebersihan’.
Orang-orang menganggap kau fobia dengan kotoran. Kau tidak menyukai ruang-ruang berdebu. Jika file di meja kantormu sedikit berantakan, kau akan memarahi sekretaris dan asistenmu. Kau orang yang paling tidak peduli dengan perasaan orang lain, menyuruh mereka semau dirimu, memperkerjakan mereka tidak pada tempatnya. Seluruh karyawanmu diwajibkan membersihkan kantormu jika kotor.
Kau memang orang teraneh yang pernah dimiliki bumi, bahkan tamu yang baru saja datang kau tugaskan membersihkan kamar mandi, ia yang semula ingin mengajak kerjasama dengan perusahaanmu, membatalkan sepihak tanpa menunggu persetujuanmu, padahal sebelumnya kau sudah menandatangani kontrak kerjasamanya dengan Presdir, sialnya hari itu yang datang adalah karyawan utusan, kau tak menyadari sebelumnya jika orang tersebut merupakan aset bagi perusahaanmu.
Selain itu, orang-orang sangat bingung dengan kepribadianmu yang asing! Kau adalah orang yang tak pernah mau tahu urusan orang lain! Bahkan ketika kedua orang tuamu jatuh di kursi senja, kau masih saja duduk manis di hotel-hotel megah bersama rekan-rekan kerja. Dirimu pernah melihat bocah balita jatuh dari sepeda motor kemudian tangannya terlindas sepeda motor, kau berlalu begitu saja, padahal saat itu kaulah orang yang paling dekat untuk dimintai pertolongan.
Langit menangis suatu malam, petir mengiris-iris keheningan, permukaan jalan mengeluarkan aroma tanah yang khas, debu-debu pamit pergi, kehadirannya digantikan oleh riak-riak air. Tetanggamu meminta tolong kepadamu untuk mengantarkannya ke rumah sakit menggunakan mobilmu, kau menolak tegas.
“Maaf, saya ada rapat di kantor.” Alasanmu, padahal waktu menunjukkan pukul dua belas pagi, waktu di mana mata-mata tertutup.
Setiap minggu kau menggiring kucing kesayanganmu ke lapangan olahraga, mengajaknya lari-lari kecil. Umurmu menginjak angka tiga puluh tahun, namun kau belum mendapatkan pendamping hidup selain Kucing Inggris yang kau beli sepulang menjelajahi negaranya. Orang kata, kau adalah bujang yang menyedihkan, tak ada yang berani menyukaimu sebab dirimu orang yang dekat dengan Kutub Utara.
Kau jarang tersenyum menyambut matahari terbit, kau juga tidak pernah menangis. Ya! Seumur hidupmu,semenjak kau berusia tiga belas tahun, belum pernah kau alirkan kepedihan di pipimu. Terakhir kau menangis saat melihat ayah dan ibumu bermain-main dengan kata pisah.
Ayahmu tergiur dengan kekuasaan, kemudian memutuskan pergi karena terlena dengan wanita di luar yang lebih cantik dan lebih kaya jabatan. Ibumu hanyalah penjahit rumahan. Saat itulah kau berjanji tak ingin terlihat lemah apalagi sampai menitikkan air mata di hadapan publik.
Kau ingin menjadi sosok yang kuat meskipun Tuhan memandangmu sebagai pribadi lemah. Dari sanalah kau berpikir bahwa cinta hanya bualan dan tak pernah menghasilkan kata indah. Dalam benakmu, ikatan suci sampai pelaminan adalah prestise belaka. Manusia-manusia yang tersenyum mengatas namakan cinta, bagimu hanyalah keharmonisan yang dipenuhi dengan acting abu-abu. Cinta bukan hanya abstrak, namun ia sangat asing di hatimu. Kau tak pernah menyadari bahwa selama ini kau ada karena cinta palsu yang mengikat antara Ayah dan Ibumu. Tak layak jika kau membenci cinta, sementara keberadannmu tak jauh karenanya.
Dewasamu kau tidak peduli dirimu belum memilki teman hidup. Sejarah telah memberikan contoh buruk terhadap alam bawah sadarmu. Kau bukannya takut menikah, namun kau terlalu dibayangi kejadian-kejadian buruk seusai pernikahan, seperti dikhianati, dibentak-bentak sebagaimana ayahmu dulu memperlakukan ibumu, khawatir jika dipukul saat melakukan kesalahan, juga tak ingin menanggung beban orang lain yang tak sepemahaman denganmu, buktinya ibu dan ayahmu yang terlahir dari rahim berbeda sering berselisih di waktu malam.
Kau tidak ingin mengulang kenangan pahit yang sudah susah payah kau tenggelamkan. Ekonomi yang mencekik leher ayahmu membuat emosinya sering meletup-letup. Dari itulah kau belajar banyak hal untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik lagi agar tidak jatuh miskin. Kau pun bekerja tanpa mengenal waktu dan karyawan yang ada.
Kau adalah orang yang selalu ingin hidup sendiri, menjauhkan dari keramaian, mengasingkan diri dari kelompok, namun sangat berpengaruh bagi kehidupan mereka. Otakmu memang diakui oleh takdir di atas rata-rata, namun sikapmu yang tidak mau tahu itu bisa saja menggugurkan keyakinan masyarakat tentang kebaikanmu.
Orang menyebut hatimu telah mati, sebab dirimu tidak takut dengan apa pun, kau bahkan berani menggelapkan anggaran negara dari proyek pembangunan jalan, menggusur orang-orang pinggiran rel kereta api lantas demo rakyat menyerang rumahmu, kau tak gentar berdiri gagah di hadapan mereka atas nama kepedulian sosial, kau berorasi fiktif memberi keyakinan.
Kau tipikal makhluk yang tuli, tak mampu mendengarkan tutur dari bibir lain. Nasihat yang diberikan saudaramu kau anggap omong kosong. Hatimu membatu. Kau keras kepala, jika mempunyai keinginan harus terpenuhi. Seakan-akan hidupmu hanya untuk memperbaiki dirimu sendiri. Kau sempat berpikir bahwa fasilitas rumah mewah dan segala hal milikmu adalah jerih payahmu sendiri, karenanya kau tak wajib menghiraukan kebutuhan orang lain. Hidup ada di tanganmu, maka sesukamulah kau berkehendak. Jika orang lain merupakan batu sandungan, maka kau tak segan membuat hidup mereka menderita.
Jika kau mampu, mungkin seluruh aspek kehidupan yang ada disekitarmu akan kau hapus dari memori ingatanmu. Kau tak ingin berinteraksi dengan mereka, sayangnya kau dibutuhkan pun membutuhkan mereka. Orang kaya dan orang miskin di matamu adalah sama, yang berbeda adalah keberadaanmu di antara mereka. Orang baik dan penjahat di matamu pun sama saja, kecuali pernghormatan yang mereka berikan kepadamu.
“Sekali saja, kau berbuat baiklah kepada orang lain! Ingat kelak mayatmu tak bisa menggali kubur!” kau acuh tak acuh. Mengabaikan obrolan penting yang terjadi di ruang tamu kala dulu sewaktu ibumu masih hidup, ruangan itu adalah bentuk dari cerminan kepribadianmu, bersih anti debu, taka da satu kotoran pun yang lancang tinggal di sana, pembantu rumah tangga kau sewa dua puluh empat jam dengan gaji lembur setiap bulannya.
“Apakah kau hanya akan pergi begitu saja ketika melihat anakmu jatuh sakit?” kata ayahmu sewaktu hidup, ia sedang tergeletak lemah di pembaringan dan di rumahnya, orang kepercayaannya diamanati untuk mengelabuhimu di kantor agar datang ke rumah ayahmu yang telah beberapa tahun berpisah dengan ibumu. Hari itu kau sangat kecewa dengan perlakuan ayahu. Bencimu bertumpuk-tumpuk di dada. Kau sedang mengadakan rapat di kantor, tiba-tiba ada orang datang memberinya kabar bahwa ia dipanggil oleh menteri luar negeri. Rupanya itu sebuah jebakan! Yak au menyebutnya sebuah jebakan.
“Aku tak pernah ingin memiliki anak seperti dirimu, aku hanya ingin menjadi diriku!”
“Kau sekolah tinggi, apakah kau tidak mengerti bahwa setiap orang berakal pasti pernah melakukan kesalahan?” suara seraknya dipaksa keluar. Napasnya mendadak tersengal-sengal. Ruang isolasi bagi orang sakit itu mendadak kau rasa engap.
“Ya aku paham, kau salah dan kesalahan di mataku adalah sebuah kotoran!” Ayahmu kejang! Kau pergi.
54 jam kemudian ayahmu dikabarkan meninggal. Tak ada air mata, tak da kepedihan yang kau tanggung, meskipun orang-orang mendatangimu dengan ucapan bela sungkawa. Kau enjoy masuk kerja dan melihat beberapa office boy membersihkan anak tangga dan toilet.
“Apakah Anda tidak pernah merasa kesepian, Tuan?” tanya sekretarismu ketika mengajukan sebuah dokumen yang perlu kau tandatangani. Kau menatap lurus ke laur jendela, mengoprasikan ingatanmu pada masa silam yang tak ingin ku ingat, saat kau kesusahan dan dicampakkan oleh kedua orangtuamu, ayahmu yang bahagia dengan istri barunya, ibumu yang meninggalkanmu ke luar negeri, lantas kau hidupdengan nenek dan kakekmu yang sudah tua.
“Tidak pernah,” jawabmu dengan nada yang meyakinkan. Kau lupa dengan perasaan sedih yang sewaktu kecil hinggal menghampiri. Kau bahkan tak memiliki rindu seperti anak-anak pada umumnya.
“Siapkan meja makan dan makanan yang bersih, aku ingin makan siang.” Pesanmu kemudian sekretarismu ke luar dari ruang kerjamu.
“Oh ya, Anda tidak ingin berlibur akhir pekan ini, Tuan?” sekretarismu berhenti di ambang pintu, ia membalikkan badannya menghadapmu.
Kau melambaikan tangan pertanda tidak.
“Aku hanya ingin mencari karyawan tambahan pembersih kamar mandi, jika sudah mendapatkan beberapa daftar orangnya, berikan padaku!”
“Bagimana dengan proyek pembangunan gedung lantai seratus yang akan kita jadikan hotel?”
“Itu tidak penting, hal yang paling kubutuhkan adalah tukang bersih-bersih. Aku sudah menyewa dua puluh tiga OB, tapi tak satu pun dari mereka yang membuatku bangga!”
“Andaikan saja perusahaan ini hanya memerlukan OB, aku tak perlu susah payah menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi.”
***
Di sebuah pagi kau benar-benar menyeleksi orang yang pandai menjaga kebersihan. Kau bernai membayar mereka dengan gaji yang tinggi. BUkan hanya itu saja, kau pun memberikan jaminan kesehatan juga tunjangan di waktu senja. Orang lain berbisik, kau melakukan hal tersebut untuk mengurangi harta melimpah yang kau miliki sebab kau tak beristri pun beranak. Kau orang yang setia dengan tubuhmu sendiri, tak membutuhkan tubuh orang lain.
“Apakah Tuan, tidak punya hasrat ingin memeluk seorang wanita?”
“Sungguh kotor ucapanmu!” bentakmu sembari menggebrak meja, kau sangat marah, kau melempar pekerjaan yang ada di tanganmu, kemudian merogoh laci kantor, mengabil uang beberapa ratus, memberikan kepadanya. “Ini upah terakhirmu bekerja.”
Setelah kejadian itu tidak ada orang yang berani bertanya kepadamu mengenai kesendirianmu sampai saat ini.
Setiap pendaftar OB diwajibkan melakukan training dengan membersihkan closet. Hasilnya yang lolos hanya seseorang. Kebanyakan dari mereka membersihkan closet tanpa merogoh lubang closetnya, mereka menatap risih bahkan sampai ada yang muntah, padahal closet di kamar mandi perusahaanmu tidak begitu kotor. Kau menolak orang-orang yang gagal tanpa mempertimbangkan skill lainnya. Satu orang membersihkan dengan sangat bersih, ia tak risih merogoh lubang pembuangan dengan tangannya yang tidak dibungkus sarung tangan. Ia menggosok badan closet dengan hati-hati dan teliti, sebelum menyiram ia sempat menyemprotkan pewangi.
“Kau sepertinya sudah ahli dalam membersihkan kotoran, aku sangat membutuhkanmu dalam hidupku untuk membasmi seluruh kotoran yang ada di dunia ini,”
Alih-alih menerima tawaranmu, ia justru menolak.
“Maaf, Tuan. Saya melamar pekerjaan di perusaan Anda karena ingin menjadi tukang bersih-bersih, tapi saya tidak bisa menghilangkan seluruh kotoran,”
“Buktinya barusan kau mampu melakukannya!” karyawan yang berada di dalam kamar mandi dan di sekitar kamar mandi memfokuskan telinga untuk mendengar obrolanmu dengan lelaki tua yang bermata sayu.
“Saya hanya membersihkan closet, tidak seutuhnya membasmi kotoran. Sampai kapan pun kotoran di muka bumi ini tidak akan pernah musnah.”
“Apa yang kau katakan? Di perusahaanku tidak ada kotoran! Tapi mungkin di perusahaan lain,”
“Anda salah Tuan, ada berapa closet di perusahaan Anda? Tiga puluh? Empat puluh? Seratus? Coba Tuan pikirkan, ke manakah perginya kotoran-kotoran yang orang buang? Ada tempat pembuangan yang tidak pernah Anda sadari.” Lelaki itu mengelap wajahnya dengan handuk kecil yang sejak pertama kali masuk ke tempat kerjamu tersampirkan di bahu. “Itu baru di perusahaan Anda, kalikan dengan jumlah rumah yang ada di muka bumi ini, bukankah bumi ini penuh dengan kotoran? Kotoran meresap ke dalam tanah, kemudian tanah digunakan untuk menanam sayuran dan buah-buahan, saya sangat yakin makanan di meja makan Anda pun tercampur dengan kotoran. Jika Anda saja memakan kotoran, kenapa Anda menyuruh orang untuk memusnahkan kotoran?”
“Tunggu dulu, mengapa dirimu berbicara seperti itu?”
“Saya tidak senang dengan sikap Tuan yang seenaknya sendiri mengusir orang-orang yang hendak mendaftar menjadi OB di tempat ini, apa Anda tidak punya perasaan membiarkan mereka datang pagi-pagi, langsung training mencuci closet setelahnya diusir begitu saja? Bukankah yang ditempel di brosur perusahaan ini membutuhkan dua puluh OB? Kenapa hanya saya saja yang lolos?”
“Ya karena hanya satu yang pantas dan itu dirimu!”
“Ini bukan masalah pantas atau tidaknya saya, Tuan! Tapi pantas atau tidaknya Anda memperlakukan saya dan rekan-rekan saya yang lainnya. Jika Anda selalu ingin dihormati, maka Anda pun wajib menghormati mereka! Sadarlah, Anda sama-sama makan nasi dari padi yang ditanam di atas tanah bukan? Dan Anda harus tahu bumi yang Anda tempati penuh dengan kotoran, meskipun Anda seorang presiden atau pun raja sekali pun, Anda tetap tak jauh berbeda dengan kotoran apalagi jika Anda tidak bisa menghargai orang lain,” lelaki itu muntab.
“Dunia sudah gila! Kenapa kau justru marah padaku? Seharusnya aku yang berhak marah kepadamu yang lancang bicara tidak sopan di depan saya!”
“Sepertinya Tuhan menitipkan harta pada tempat yang salah. Apakah Anda akan pulang tanpa bekal? Apakah Anda puas dengan menjadi sampah?”
Ia pergi begitu saja. Membiarkan dirimu yang masih berdiri dengan tatapan geram, seumur hidup baru lelaki itu yang berani melukai harga dirimu.
“Seharusnya bukan perusahaan ini yang wajib dibersihkan tapi hati Anda! Bercerminlah, pantaskah Anda menjadi makhluk ciptaan Tuhan?” teriak lelaki itu dari depan lift sebelum benar-benar pergi.
“PERGI DAN JANGAN PERNAH KEMBALI!”
Kau menendang ember dan lap pel.
Magelang, 8 November 2018
Ilustrasi gambar : Pixabay.com