Cerpen
Disukai
4
Dilihat
9,032
Suara-suara Aneh
Drama

Ia membuatku menjadi orang gila dan meletakkan kebodohan paling naïf dalam kehidupanku. Aku selalu ingin menjauh dari suara-suara itu, sayangnya ia bagaikan jodoh yang tak dapat aku tinggalkan meskipun telah berusaha sekuat tenaga kumusnahkan. Ia selalu ada di hatiku, mengiringi setiap langkah, menjadi penjaga malam-malam lelap, menjadi kawan di tengah-tengah keramaian, menjadi lawan di tempat ibadah, terakhir menjadi kekasih saat sendirian.

             Ia adalah lengan ketika kakiku tak bisa bergerak, ia membantuku menjamah hal-hal yang tak kukehendaki. Ia seperti sihir ajaib yang menjadi pendorong dan menghipnotis alam bawah sadarku.

             420 menit waktuku terbuang di dalam gedung pencuci otak. Buku dan pensil menjadi teman yang tidak kuakrabi selama itu, mereka kubiarkan tergeletak di atas bangku, meski guru di depan papan tulis mengemis diabadikan ocehannya.

Pelajaran yang dipaksa masuk ke dalam otakku mental, aku tak mampu menangkap dan merangkumnya dengan baik. Pikiranku serasa mendidih dan akan meledak, seusai sekolah, ketika guru-guru membalikkan punggung, anak-anak menuntun sepeda, atau saling tunggu di depan pintu gerbang, dan ibu kantin mengemas dagangan, ada suara yang menyelinap di dadaku. Ia memberikan alamat ketenangan dengan sebuah bisikan.

Langit timur mulai meremang, awan-gemawan mengundang mendung, sementara kakiku tak mampu kukendalikan. Pikiranku menerima bisikan yang ditawarkan oleh suara-suara itu.

             ‘Kha, main ke alun-alun, tongkrong sebentar, bukankah kau bosan di rumah setiap sore? Ibumu akan menyuruhmu berangkat ke masjid jika kau nganggur di rumah!’ dengan hati yang lapang aku menuruti suara-suara dari dalam tubuh.

Aku mengajak sebagian kawan. Kami duduk dan bergurau, mengobrolkan kejadian-kejadian tak penting selama di sekolah, bukan! Lebih tepatnya kami menggosip. Otak kami kurang nutrisi, apa yang kami lihat, langsung kami telan tanpa memfilternya terlebih dahulu.

 Saat kami melihat dua pasang manusia berlawan jenis di sudut kamar mandi, kami berasumsi mereka sedang berulah mesum, padahal hal itu belum tentu terjadi, gosip itu terus berkembang liar, hingga sebulan kemudian kedua pelaku dikeluarkan dari sekolah dengan dalih mencemarkan nama baik.

***

             Aku pulang dan pergi menggunakan sepeda gayuh, aku sangat jatuh cinta dengan obelan pedal. Bukan karena kedua orangtuaku tak mempunyai uang cukup untuk membelikan sepeda motor atau menyewa sopir mobil pribadi, hal itu membuatku tak punya alasan jika datang terlambat. Sepeda yang kugayuh setidaknya bisa kukambinghitamkan saat aku terlambat.

Suara-suara itu sepakat memberi semangat agar lajuku diperlambat, kemudian di perempatan jalan aku beristirahat, menenggak mineral, chattingan dengan beberapa pacar, upload foto selfie, online facebook, bahkan video call dengan sahabat maya.

             ‘Kha, kalau kau sering berangkat terlambat, kau akan mendapatkan hukuman dari guru-guru!’ suara pertama tidak rela aku mendapatkan perlakuan negative.

             ‘Halah Kha, paling juga hanya sebuah omelan! Keterlambatanmu sudah dimaklumi oleh mereka semua!’ suara kedua memprovokasiku.

             ‘Buruan berangkat, Kha! Jangan jadi pemuda yang malas, kasihan ayah dan ibu yang telah membayar sekolah! Kau tidak akan lulus jika selalu mengabaikan nasihat-nasihatku!’ Entah itu peringatan atau sebuah doa, aku tak mampu membedakannya. Aku bingung dengan perselisihan suara-suara tersebut.

 Mendadak aku malas sekali belajar di sekolah. Mata pelajaran pertama adalah olahraga. Bekalku sudah kuletakkan di loker, aku mengganti seragam pramukaku dengan baju olahraga, teman yang lain telah selesai pemanasan dan lari lapangan sebanyak empat kali.

             “Kau niat sekolah atau tidak, Kha? Sudah jam tujuh lewat empat puluh lima menit dan kau baru tiba di sini,” Pak Ian, guru olahraga yang memakai lensa mata itu mengomel, ia menatapku sangsi, dua tangannya diletakkan di pinggang, matanya melotot dan lehernya sedikit dimajukan, membuat kacamatanya nyaris terjungkal dari pangkuan hidung.

             “Tadi sepeda saya bocor, Pak! Saya harus menambalnya terlebih dahulu, sebab tidak mungkin ke sekolah berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh!”

             Pak Ian mengangguk-anggukkan dagunya, ia seperti sedang memahami.

             “Baiklah, bapak memaafkanmu, tapi kau wajib lari mengelilingi lapangan 4 kali,”

             “Jangan terlalu kejam, Pak! Saya sudah kelelahan menggayuh sepeda dari rumah! Kaki saya linu rasanya,”

             “Bapak tidak ingin mendidikmu menjadi pemuda yang bermental korupsi, jelas-jelas kau terlambat dan melakukan sebuah kesalahan, konsekuensinya kau harus menerima hukuman dan lari keliling lapangan terlebih dahulu!”

             Pak Ian tak bisa dirayu. Aku paham, ia merupakan guru yang menjunjung tinggi ketertiban dan mencintai anak-anak yang taat, diriku mungkin tidak mendapatkan percikan dari cintanya, sebab aku sering datang terlambat.

             Itulah sebagian kecil perjalanan hidupku sewaktu berbaju abu-abu. Suara-suara aneh itu sering mengajakku membolos dan aku mengikutinya, tak jarang ia menidurkan kesadaranku saat tanganku sibuk berhitung dan berselisih mengerjakan PR dari guru sekolah. Bukan hanya itu saja, ia bahkan mengajariku menghardik kedua orangtua, juga membuatku malas sujud di hadapan dzat yang menciptakan tubuh serta memberikan ruh dalam hidupku.

Beranjak dewasa, suara-suara itu, perlahan menghilang. Mungkin ia bosan, atau mungkin ia terlalu rugi mendekati diriku yang jarang memberontak dengannya.

             Aku tidak kuliah, tidak juga bekerja. Pekerjaanku tidur dan memeloroti harta orang tua. Saat tanggal muda datang, aku sigap memasang kuda-kuda di depan wajah Ibu dan Ayah. Sebelumnya suara yang selama ini setia hidup di relung hatiku memberi kalimat-kalimat yang mampu meluluhlantahkan perasaan mereka.

             “Ibu, aku tak punya uang sama sekali, padahal aku ingin pergi untuk mencari pekerjaan. Mobilku tak ada bensinnya,” dengan kalimat itu, wajah Ibu mengambil simpati, ia mengelus ubunku, kemudian meletakkan beberapa lembar uang seratusan di telapak tanganku.

             Ibuku, bukan orang yang pelit. Ia menduduki kursi kebaikan dengan sikap yang memesona, tidak kaget, tetangga-tetangga di sekitar komplek rumah, menjujung kehormatan untuknya. Ibu santun dengan senyum mendinginkan jiwa-jiwa yang memandang. Ibu rela berkorban untuk membantu orang-orang awam yang sedang dilanda kesusahan. Setiap sebulan sekali, Ibu mengundang anak-anak yatim piatu untuk memberi mereka santunan. Ibu menjadi sosok familiar dengan perangai indah di masyarakat. Lain dengan ceritaku.

             Aku dikenal sebagai sosok berontak, keras kepala juga tak memiliki sopan santun. Orang-orang selalu memberikan senyuman manis ketika Ibu atau Ayahku melintasi halaman rumah mereka, sementara saat aku berpapasan dengan mereka, mereka justru membuang muka, bahkan berperilaku seolah-olah tidak melihatku. Aku pernah bersusah payah menyapa mereka, sampai mulutku kering karena berteriak mengucapkan salam, pada akhirnya mereka hanya memasang tampang paling buruk, seperti orang yang baru saja dipukul pantatnya dengan sengaja oleh orang asing.

             Kabarku yang gemar meminum alkohol, sering bermain dengan perempuan-perempuan SMA, juga tidak pernah telat meminta uang kepada kedua orangtua, menjamur di telinga-telinga. Tidak salah, setiap pagi dan sore, aku menjadi perbincangan bagi ibu-ibu sosialita yang sedang pamer tas baru di beranda rumah mereka.

             Aku memasang curiga, siapakah yang menyebarkan desas-desus keburukanku? Sementara diriku, selama ini tidak pernah meminum alkohol atau pun mengajak beberapa kekasihku ke rumah. Mereka belum pernah memergokiku dengan berfoya-foya, namun bibir mereka seperti merangkum banyak informasi tentang diriku. Bahkan, tentangku yang kemarin hampir menipu orang, tersangkut erat di gendang telinga mereka.

             Aku mendapat label, pemabuk dan playboy

***

             Tiga tahun belakangan ini, suara-suara aneh yang biasanya membisikkan perintah tentang kenikmatan duniawi dan keegoisan kepadaku jarang terdengar. Kini, kakiku lebih sering melangkah sendirian. Mataku melihat kemaksiatan tanpa bimbingan. Tanganku bergerak liar mencari-cari kenikmatan. Bibirku berbusa dengan ucapan-ucapan kotor, lancar tanpa hasutan. Mungkinkah aku telah diciptakan menjadi pribadi yang tumbuh sendirian oleh suara-suara aneh itu?

 Kenapa aku ditinggalkan? Apakah aku pernah membuat suatu hal yang mengecewakan mereka?

             Belum pernah! Bahkan sewaktu kakiku disuruh ke masjid, aku enggan, aku tak melaksanakan perintah dari suara asing yang menyelinap di dadaku, suara itu menyeru dalam kebaikan dan aku jarang mendengarkannya, aku setia pada bisikan suara pertama. Sayangnya, kenapa ia tidak setia kepadaku? Kenapa ia pergi begitu saja tanpa pamit? Kenapa aku ditinggalkan seonggak diri hanya dengan teman sebotol wisky?

             Mungkinkah aku sudah tidak berguna dalam pandangan mereka? Atau menurut mereka aku sudah cukup pintar?

             Atau jangan-jangan suara-suara aneh itu pindah ke hati orang lain?

Ia membimbing orang lain untuk menuju kesenangan? Aku sempat berpikir buruk, jangan-jangan suara-suara aneh itulah yang menyampaikan kabar negatif kepada telinga tetangga-tetanggaku? Selama ini keburukanku jarang kupublikasikan. Aku pun termasuk orang yang introvert dalam lingkunganku. Sungguh hal yang mencurigakan jika tiba-tiba orang mendengungkan hal yang paling buruk tentangku setiap hari.

             “Hei, kalian di mana? Aku akan balas dendam! Kembalilah! Aku ingin membuat perhitungan dengan kalian! Kalian yang menjatuhkan hidupku! Kenapa kalian juga lebih menghancurkan dengan membuka aibku di mata banyak orang?”

***

             Malam ini, hujan jatuh pertama kali. Langit menangisi kota yang bergemilau dengan kesenangan. Muda-mudi bersembunyi di gang-gang atau depan ruko-ruko orang menghindari tempias hujan. Sepeda motor menepi di pinggiran rumah orang, sementara pemilik mobil, memacu kecepatan, tak peduli cairan muntah dan mengotori beberapa manusia di pinggiran. Aspal tergenang dengan air hujan.

Rambutku mengembun sementara perasaanku mendadak menderita. Aku seperti baru saja mengalami musibah terbesar di dunia, apakah itu? Aku sendiri kurang mengerti mengapa aku seperti ini. Semangat hidupku dicuri malam yang membawakan hujan panjang.

             Jasadku berdiri mematung di depan halte, mobilku baru saja kugunakan untuk modal judi, yang pada akhirnya aku kalah tanpa mengantongi apa-apa. Aku hendak pulang ke rumah.

Tiba-tiba seorang pemuda yang mengenakan sebuah almamater menginjak kakiku. Ia membungkukkan badan untuk meminta maaf, namun aku tak mau tahu. Wajahku menatapnya garang, suaraku mengumpat hal buruk. Tanganku nyaris memukul tengkuknya.

             “Kau punya mata untuk melihat, anak muda?”

             “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Saya sedang terburu-buru,”

             “Saya tidak butuh alasanmu.”

             “Sekali lagi saya minta maaf, Pak!” ia meraih tanganku, aku mengibaskannya dengan kasar, hingga ia terpelanting, punggungnya membentur kursi tunggu. Ia berdiam diri dengan posisi terjatuhnya beberapa menit, kemudian berdiri tegak, merapikan almamaternya, membenarkan letak ransel yang digendongnya.

             “Kalau Bapak ingin dihargai oleh orang lain, maka hargailah orang lain! Kalau Bapak tidak ingin jiwanya mati, maka berbuatlah baik dan sering-seringlah tersenyum ramah! Hingga Bapak bisa membedakan mana kesalahan yang disengaja, mana kesalahan yang tidak disengaja! Ketahuilah, Pak! Hati Bapak telah mati!” pemuda itu susah payah mengumpulkan keberanian untuk melawanku.

Mobil Trans berhenti di depan, ia langsung lompat, membiarkanku berdiri mematung sendirian. Aku tidak jadi pulang. Pikiranku melayang ke negeri beberapa tahun silam. Tentang waktu yang aku sia-siakan, tentang kesempatan belajar yang aku buang, tentang cita-cita yang aku tanggalkan, juga tentang ingatan suara-suara aneh yang tak pernah lelah berbisik keburukan.

             ‘Hidupku terampas hawa nafsu!’

             Hujan terus berlinang, langit bertambah kelam, sekelam perasaannya yang mendadak dipenuhi dengan rasa penyesalan tak terhingga. Aku ingin marah, namun kepada siapakah amarah itu akan aku berikan? Suara-suara itukah? Bahkan suara itu kini pergi tanpa merindukan jasadku lagi. Ia menang karena kini aku sengsara.

             Kepada suara-suara yang telah membuatku menderita, suatu saat nanti jika kau kembali, aku tak akan pernah membukakan pintu hatiku lagi!

             Magelang, 29 Oktober 2018.


Ilustrasi gambar: Pixabay.com

              

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)