Masukan nama pengguna
‘Mereka bukan zombie, namun hobi memakan daging manusia tidak pernah dapat dirubah dalam siklus kehidupan.’
Berkali-kali dirinya mempertegas dengan sebuah gerakan penolakan dan tatapan garang kepada rembulan. ‘Jangan pernah menggangguku!’ Liar ia mengucap pada malam-malam tajam, membungkukkan badan kepada pemilik kehidupan, meringkuk di balik dinding bisu. Namun mengapa angin yang berembus baik dalam waktu senja maupun petang seolah gemar sekali mengganggunya? Angin penghantar melodi bukan sumbang, merdu diakui oleh petutur jawa, lembut menghanyutkan sel-sel yang berontak meminta kedamaian. Menyusup melalui celah tirai yang tidak disengajakan berlubang, ia mendarat di siput gendang telinga, mengetuk rumahnya, meletakkan sebuah bisikan, ‘kau pemalas!’
Ada hakekat kata yang menjadi mata pisau, membelah dada, menyayat perih, menuangkan racun. Kadang, kejam, membuatnya ingin menjeratkan tali tambang di lehernya sendiri.
Tersebab kata-kata, ia mengindahkan diksi ‘mati’.
Senja seperti biasanya, ia duduk di sisi ranjang, memeluk guling, menatap nanar ke luar jendela kamar, ia mengindahkan hal yang telah menjadi angin lalu. Senyumnya sekali-kali dimekarkan meski airmatanya berjatuhan. Ketika kawanan burung-burung pulang ke sangkar, ia melambaikan tangan, mengucap perpisahan yang sukar dipahami oleh kebanyakan manusia. Jika malam bertamu, ia bangkit dari tempat duduknya, melepaskan pita merah yang biasa mengikat tirai jendela. Ia menutup jendela seperti ingin mengakhiri kegelapan. Kau akan mengira ia selalu sendirian. Hidup sebatangkara di ladang kesunyian.
Aktivitas kesehariannya adalah diam, tidak berbicara mengalunkan kata-kata, jika pun bernyanyi maka hanya akan disalurkan di dalam hati. Ah, Kawan, pada dasarnya, ia, lelaki yang meringkuk pada lekuk petang adalah orang yang sangat cerdas. Wajahnya bisa digunakan sebagai modal untuk menjadi model. IPK nya tinggi, lulus dengan predikat cumlaude. Menjadi bahan perbincangan yang menggairahkan di tengah-tengah wanita dari lorong-lorong kelas. Dosen-dosen seringkali menghujaninya dengan pujian. Ia berbakat. Aktif di berbagai aktivitas dan organisasi mahasiswa. Jika diibaratkan sebagai mesin printer dan komputer, maka otaknya tidak pernah mencetak sertifikat legal dan catatan keburukan. Hal yang dilahirkannya hanyalah seputar kebaikan dan prestasi yang brilian. Ia menginspirasi. Menjadi figur di kampusnya. Penyemangat adik-adik kelas yang sedang hanyut dalam kehidupan hedonis. Ia lelaki itu… yang menyimpan kehidupan di beningnya bola mata harus bunuh diri dari keramaian.
Ia membasuh sekujur tubuhnya dengan penderitaan yang tidak pernah ia terjemahkan. Andaikan saja ia adalah seorang penulis, maka luka yang dikandungnya tidak akan cukup diuraikan dengan kata-kata. Bahkan jika ia seorang seniman yang meminjam pasir-pasir seluruh pesisir dunia, tetap saja pasir tersebut tidak mampu mewakilkan luka yang menyiksa batinnya.
‘Mengapa tokoh itu hilang dari kehidupan? Di mana kini dirinya berada?’ Mahasiswa berkasak-kusuk. Dosen-dosen celingukan di sudut perpustakaan kampus, di bangku-bangku taman, juga di tempatnya biasa tongkrong. Bukan hanya mereka saja, beberapa komunitas yang diikutinya pun merasa kehilangan. Kata hilang berkembangbiak dengan pesat. Selain mahasiswa yang dijunjung dengan kecerdasannya, ia juga merupakan motivator yang kerap mengisi acara-acara anak muda. Bayangkan, seperkian detik lenyap, tidak menampakkan batang hidungnya, tidak mengajukan permohonan cuti kuliah, atau pengunduran diri, atau setidaknya keterangan jika hendak pindah ke universitas lain, ia pergi begitu saja, meninggalkan dunia akademiknya tanpa mempertimbangkan nasib puluhan orang, bukan sekadar puluhan, melainkan ratusan anak-anak bangsa yang mengharap sapaannya. Hening. Kota itu kehilangan seorang pemuda berbakat.
Ponselnya penuh dengan chat yang tidak berbalas, panggilan melalui video call tak pula diindahkan, surat elektronik tidak ikut ketinggalan, puluhan pesan ‘Anda di mana, bagaimana keadaan Anda?’ berulangkali masuk. Ia bosan membaca pesan yang sama, maka memutuskan untuk membiarkannya.
Dosen Psikolog mencari tahu alamat rumahnya, ia menyempatkan waktu berkunjung ke kampung halamannya, ingin memastikan keadaannya. Lelaki itu merupakan pionir kehidupan serta kebanggaan tersendiri untuknya. Dosen itu khawatir tersebab berminggu-minggu tidak menampilkan senyuman di hadapannya. ‘Mungkinkah kau sakit?’ Dosen hanya menerka-nerka.
Hari itu pintu rumahnya terkunci rapat, jendela juga diselimuti dengan tirai, rumahnya sunyi, tanaman-tanaman hias tumbuh tidak beraturan, rumput hama menjalar sembarang, daun-daun pohon rambutan berserak di halaman. Rumah itu seperti gedung tua yang tidak berpenghuni. Dosen bertanya pada tetangga sebelah. Jawabannya ‘tidak tahu’. Mereka bersabda bahwa rumah itu telah lama ditinggalkan pemiliknya selama sepuluh tahun. Kecelakaan besar terjadi ketika Sang Pemilik rumah hendak melakukan perjalanan menuju kerabatnya di luar kota. Mobil yang ditumpanginya menabrak pembatas jalan, tiga penumpang yang ada di dalam mobil tersebut meninggal, hanya satu anak yang selamat, ialah penghuni rumah itu, sayangnya orangnya tidak pernah pulang.
“Namanya Farid?” Dosen memastikan. Tetangga mengangguk. Sebelumnya ia tidak pernah tahu jika Farid, mempunyai latar kehidupan yang menyakitkan. Yang ia pahami hanyalah Farid genius, anak baik, teladan bagi banyak anak muda.
Ia pamit meninggalkan kampung itu. Mengantongi beberapa pertanyaan yang tidak terjawab. Di antaranya ‘siapa Farid yang sebenarnya?’
Farid, pemuda yang membiarkan pintu rumahnya terketuk, namun tidak beranjak untuk membukanya, menyambut tamu yang datang, atau setidaknya mempersilakan mereka pergi secara baik-baik. Farid diam, membius aktivitasnya menjadi patung waktu. Bahkan jika belum sangat lapar, ia tidak makan. Hak pencernaannya diberikan dua hari sekali. Kau akan berpikir lelaki itu tidak mempunyai uang, bukan? Tentu saja tidak seperti itu.
Farid sebenarnya orang yang beruntung. Ia mendapatkan beasiswa dan uang dari kegiatannya bersuara di depan publik, tarifnya 3.000.000-6.000.000/ jam. Uang berlimpah di rekeningnya. Yang jadi masalah hanyalah, mengapa ia diam?
Ia selalu mengisi acara, minimal tiga kali seminggu, bayangkan berapa uang yang ia tampung? Mengapa mendadak ia menjadi orang yang bungkam? Stasiun televisi mengabarkan berita tentang kepergiannya. Baru satu bulan ia tidak menampakkan sosoknya di wajah publik, dunia gempar. Berita ‘Indonesia Kehilangan Seorang Pemuda Genius’ menjadi headline. Orang-orang berkasak-kusuk. Bukan hanya kota yang kelimpungan, mendadak satu negara ikut bertanya-tanya, siapa dan di mana. Ada seorang Dosen Ekonomi berasumsi Farid sedang beranjangsana ke luar negeri. Asumsi ditayangkan di berita. Tetangga-tetangga mulai heran, mengapa Farid pemilik rumah kosong yang digosipkan angker itu dicari banyak orang.
‘Bukankah Farid itu pemalas?’
‘Bukankah Farid hanya kluyuran malam-malam? Pulang dengan seorang gadis?’
‘Kerjaannya nongkrong dengan gadis-gadis di alun-alun kota dan di diskotik?’
‘Ah, Si Farid yang ada di TV itu, mengapa sangat mirip dengan Farid yang tinggal di kampung kita?’
‘Aku kurang yakin jika Farid kuliah di Univertias ternama Indonesia, aku tidak percaya. Bagaimana ia yang pergi tanpa berpamitan kepada kita yang susah payah merawatnya berbulan-bulan karena insiden kecelakaan itu duduk di bangku sekolah?’
‘Ia tidak memberi kabar!’
‘Siapa yang membiayai sekolahnya?’
‘Sungguhkah ia Farid yang kita rawat?’
‘Benarkah ia Farid yang dulu dingin, pendiam dan pemabuk itu?’
‘Jadi siapa Farid yang sebenarnya? Apakah orang yang dahulu sering dikejar-kejar rentenir daan polisi itu bisa menjadi publik figur?’
Orang-orang kampung saling melempar pertanyaan yang tidak terpecahkan. Pak Lurah menyuruh Ketua RT untuk memeriksa rumah Farid, barangkali anak itu berdiam di dalam rumahnya, sedang sakit jadi tidak bisa pergi ke mana-mana.
‘Rumah itu seram, siapa yang hendak singgah ke sana? Tak seorang pun warga kampung berani! Kecuali orang-orang asing dari luar kota yang memakai jas-jas rapi. Lagipula sudah sepuluh tahun juga tidak dihuni, tidak mungkin Farid ada di dalamnya.’
Ada suara aneh yang melolong setiap malam. Gesekan angin dengan daun rambutan di halaman rumah menimbulkan kesan horor. Akar tanaman hias menjalar sampai dinding. Rumput hama tidak pernah dicabut. Satu hal yang menjadi pokok menyeramkan, tidak ada lampu menyala di teras rumah.
***
Setelah kecelakaan itu, Farid diam seribu bahasa. Ia jarang bertukar kata dengan orang-orang. Ia kehilangan adik cantik dan kedua orangtuanya. Jiwanya terpukul. Pilu, kakinya sulit digerakkan selama dua bulan. Ia menghabiskan waktu dalam diam di dalam kamar.
Tetangga kampung silih bergantian datang, membawakan nasi, membelikan obat dari apotek, juga membersihkan rumah. Mereka sampai berinisiatif membuat jadwal untuk Farid. Baik bukan? Baik memang! Bulan pertama berjalan dengan baik, bulan ke dua agak baik, bulan ketiga sedikit baik, bulan keempat kacau. Omongan bertubi-tubi terbang ke telinganya. Tetangga yang bersilisih di luar, menyalahkan ini dan itu, mengeluh ini dan itu. Jasa bulan pertama diungkit-ungkit.
‘Aku ini lebih baik! Memberinya makan tepat waktu! Membelikannya obat! Tapi bayangkan, ia tidak merespon kebaikanku! Hanya diam dengan ekspresi masam! Apakah itu bentuk terima kasih? Sekarang dia sudah sanggup berjalan, siapa lagi jika bukan atas jasaku?’
‘Dia berak di celana! Menjijikkan sekali!’
‘Aish! Dia itu seorang lelaki muda, seharusnya tidak hanya diam di dalam kamar, dia sudah bisa berjalan! Namanya ditinggal orang mati itu manusiawi, tak pantas meratap berminggu-minggu lamanya!’
‘Rasanya aku jadi kesal, tiap waktu memberinya makan, namun yang diberi makan tidak bertindak apa-apa demi kebaikannya sendiri!’
‘Sudahlah! Sampai di sini bantuanku! Aku tidak akan mempedulikan Farid lagi, dia mau hidup atau mati itu sudah menjadi urusannya!’
‘Jangan seperti itu bu-ibu, jika apa yang kita berikan tidak ikhlas, akan berakibat fatal dengan perkembangan kehidupan Farid, bisa-bisa dia menjadi pendiam dan susah bicara karena tahu kalian sering berselisih dan merasa tidak ikhlas dengan apa yang kalian lakukan kepadanya!’
‘Lah, kami ikhlas! Kami cuma ingin hidupnya lebih baik, dia bangkit dari tempat tidurnya!’
‘Kalau aku, aku tidak ikhlas! Ia tidak menghargai sama sekali!’
‘Farid itu sudah sehat, dia pemalas! Mentang-mentang ada banyak orang yang melayani, tingkahnya menjadi seperti raja!’
‘Ya, benar! Farid itu pemalas! Tidak berguna!’
Pada bulan kelima usai kecelakaan, Farid pergi dari rumah, menghabiskan malam tanpa naungan atap. Ia membeli minuman keras, menenggaknya tanpa ragu-ragu. Miris ia sampai nekat membeli pil narkoba dari pengedar gelap. Uang tabungan peninggalan orangtua dihamburkan. Ia stres berat. Sakit hati dengan kata-kata tetangga, juga sedih karena ditinggal oleh keluarga tercintanya. Tetangga seringkali berbicara tidak baik di sisi jendela saat matanya terpejam. Kadang di luar kamar, tepat di sisi jendela pula, di dekat pohon rambutan.
Mereka berpikir Farid tidak pernah mendengar sebab matanya terpejam. Salah! Farid jarang tidur! Ia tidak ingin diganggu dengan nasihat-nasihat membosankan. ‘Sabar, Nak! Semua adalah ujian dari Gusti Allah. Ikhlaskan!’ Ia ingin menelan pahit dengan sempurna, maka memutuskan pergi, mencari pelampiasan.
Ia sempat berpikir bahwa, ‘di dunia ini tidak ada seorang yang baik, kecuali para nabi dan malaikat! Kebaikan tanpa pamrih adalah hal yang menjadi omong kosong.’
Pernah pada suatu malam ia ketahuan sedang mabuk di teras rumahnya, terkapar dengan botol anggur yang sudah kosong. Warga berdecak geram dan muram. Mereka berkasak-kusuk menyakitkan. Amat menyakitkan.
‘Itukah balasanmu untuk kami, Farid?’
‘Dasar anak tidak berperi kemanusiaan! Seharusnya kau bekerja, mengumpulkan uang untuk mengganti lelah kami, mengganti uang yang telah kami sisihkan demi menebus obatmu itu!’
‘Seharusnya Farid berbuat hal yang postif, jangan menjadi orang yang sangat berputus asa!’
Pada malam minggu ia membawa pulang seorang gadis. Mengajak gadis tersebut duduk di teras rumah, membaca langit, mengeja ekspresi bintang-gumintang. Gadis itu tersenyum, menyandarkan tubuhnya di bahu Farid. Tetangga ada yang memergokinya. Gosip berkeliaran. Farid pemain wanita. Ada bumbu kalimat-kalimat yang tidak sedap.
Keesokan harinya ia pergi tanpa jejak.
***
Farid. Siapa yang tidak mengenal Farid? Ia datang dari kota seberang, hari itu kurus tampak menyedihkan. Ada garis cekung di bawah kantung matanya. Ia menggendong ransel berisi beberapa potong pakaian. Rambutnya terlihat tidak terawat. Bau badanya bahkan kecut. Jatuh terkulai di hadapan kos-kosan yang dihuni puluhan mahasiswa. Ia ditolong beberapa mahasiwa, direbahkan di dalam kamar sederhana.
“Kau belum makan, jadi pingsan.” Seseorang berasumsi. Sebenarnya itu adalah penafsiran yang sangat umum. Beberapa mahasiswa yang hari itu libur melongok dari jendela kamar. Ada yang jongkok di ambang pintu. “Belikan makan!” katanya mengintruksikan sebuah perintah kepada penghuni yang lain.
“Kau lapar?”
“Siapa namamu?”
“Dari mana asalmu?”
“Ya aku lapar.”
“Makanlah! Tunggu sebentar, temanku sedang membelikanmu makanan.”
“Hati dan otakku yang lapar.” Itu adalah pertamakalinya Farid mengucapkan suara selain dengan gadis yang beberapa malam lalu diajaknya berbicara di teras rumah.
“Eh?”
“Seorang gadis bilang kepadaku, jika di dunia ini tidak ada orang yang baik, mengapa diriku tidak berusaha menjadi orang baik? Itulah alasanku ke luar dari kampungku. Untuk mencari cara agar menjadi orang baik. Bisakah?” Farid sadar di mana ia berpijak. Ia memang sudah merencanakan singgah di tempat tersebut, sebuah kos-kosan yang dekat dengan universitas. Tentu saja dihuni oleh orang-orang yang berpengetahuan luas.
‘Jika kau ingin berubah! Cari teman yang baik, salah satunya adalah para mahasiswa, walaupun mereka ada beberapa yang nakal-nakal, tapi latar mereka bagus, cari teman kyai, cari teman dokter, cari teman dosen, cari orang-orang yang berlatar belakang dari dunia-dunia putih, jangan pergi ke diskotik! Jangan minum-minuman keras, kau selamanya akan menjadi Farid malas yang tidak berguna di dunia hitam itu. Pergilah! Jadilah bintang, dan aku akan menyapamu lagi.’ Kata gadis itu seraya menunjuk bintang yang paling bersinar. ‘Aku ingin kau bersinar di dalam kegelapan itu, Farid! Indah! Amat indah.’
Ya gadis malam itu, gadis yang menjadi penyangga hidupnya usai tumbang berbulan-bulan lamanya. Ia bahkan belum mengenal siapa namanya, yang ia tahu sebuah pertemuan di depan diskotik ketika polisi datang merazia pengedar narkoba, itulah awal mula Farid bersapa dengan senyum mungilnya. Gadis itu berbibir kering, senyumnya tidak begitu menawan, wajahnya juga bisa dibilang pas-pasan, ada tiga jerawat di pipi kanan, satu di dagu, dua di kening. Tapi gadis itu berjasa bagi keselamatannya, mendadak tangannya digenggam erat, diajak berlari untuk sembunyi dari kejaran polisi. Bukan hanya pengedar narkoba yang diburu, namun penikmatnya pula. Gadis itu paham bahwa seorang lelaki kebingungan dengan situasinya.
‘Sebelum kau sakau, maka berhentilah bercinta dengan narkoba!’ gadis itu menasehati seraya menyandarkan tubuhnya di bahu Farid. Mereka belum saling kenal, mengapa sudah sangat dekat? Gadis itu penjual koran, keliling ke kantor-kantor pinggiran kota, kadang menawarkan di lampu-lampu merah. Makanannya berita hoak yang dilebih-lebihkan, atau sebuah kabar tentang tokoh yang disanjung-sanjung publik. Ia mencerna opini orang-orang pintar. Tak perlu bangku sekolah, koran yang jarang laku terjual adalah makanannya sehari-hari.
‘Mereka bukan zombie, namun hobi memakan daging manusia tidak pernah dapat dirubah dalam siklus kehidupan.’ Kata gadis tidak cantik itu lagi, setelah Farid mengutarakan sakit hatinya dengan tetangga yang melabelinya anak nakal dan tidak mampu berbalas budi.
‘Seorang penulis pernah menulis kata, ‘membicarakan orang lain itu seperti memakan daging orang tersebut.’ Menjijikkan bukan?’
Itulah alasan Farid pergi ….
Di kos-kosan Farid mendapat teman baru yang mengarahkannya masuk ke sebuah perguruan tinggi. Ia menurut. Belajar dan terus belajar. Akhirnya sungguh terjadi, prestasinya ditimbun. Ia berusaha tidak menyakiti orang-orang. Menjadi orang yang mampu menjaga tanggungjawab. Jika pun ada halangan yang dapat mengecewakan orang lain usai membuat janji, ia menjelaskan secara detail alasannya, tidak berbohong. Ia menceritakan pengalaman hidupnya kepada orang-orang yang ditemuinya sebagai pelajaran. Jadilah inspirasi bagi ratusan anak muda. Ia juga menjadi penggerak aksi amal untuk anak-anak yatim di Indonesia. Tidak perlu diperjelas lagi hal yang membanggakan darinya. Ia telah menjadi kenangan. Media masa kelelahan mencarinya. Yang jelas ….
Desember 2017
Sepuluh tahun ia tidak pulang ke kampung halaman, ia merindukan gadis malam itu. Maka ia menyempatkan pulang ke tanah kelahirannya bulan Desember di penghujung tahun ini. Ia ingin bertemu Si kupu-kupu manis yang selalu hinggap di lampu-lampu merah perkotaan. Ia mencari kabar sampai ke diskotik. Orang-orangnya berubah, banyak yang meninggal, sebagian dipenjara karena tertangkap polisi.
Ia tak putus asa begitu saja, menanyakan kabar sang gadis ke kantor-kantor yang dulu dikisahkan sebagai pelanggan korannya. Bertahun-tahun mundur, tak mudah mencari orang di waktu yang renta.
‘Bisakah aku bertemu denganmu lagi?’ Ia letih. Melangkah pulang ke rumah masalalunya. Rebah di kamarnya yang lapuk. Dipannya keropos, beberapa rayap berjalan hilir mudik, debu membuat sesak, jaring laba-laba terbangun di sudut-sudut dinding. Ia membuka jendela ketika senja datang, menutupnya saat malam pulang.
Hal-hal buruk terngiang di jendela itu. Insiden kecelakaan maut orang-orang yang dicintainya kembali berputar dalam ingatan. Membuatnya pening, terluka bertubi-tubi dan meratapi hidupnya sendiri. Suara-suara tetangga sepuluh tahun lampau yang beberapa telah meninggal, lagi-lagi menggema di telinga. Ada nostalgia menyakitkan yang tidak ingin dikenang namun terkenang dengan sendirinya. Hal yang membuatnya menggigil ketika ia mengingatnya.
Farid terkadang terisak dalam diamnya.
Senja itu lain dari biasanya … ada tangan yang menjulur masuk dari jendela.
Ia sesak napas, menutup wajahnya dengan selimut berdebu. Ia tidak ingin melihat tetangganya. Bukankah rumah itu terlalu menyeramkan? Mengapa masih ada orang yang beranjak ke rumahnya? Ia susah payah menyembunyikan diri, kenapa Tuhan tidak bisa meluangkan sebuah ketenangan untuknya? Sebentar saja?
“Apakah kau di sini Farid? Aku mendengar kau hilang dari media masa.” Suara perempuan. Wajahnya menyembul di bingkai jendela. Dada Farid berdesir.
“Aku tahu namamu, Farid! Aku sekarang sangat mengenalmu! Kau anak yang berprestasi. Aku datang untukmu, apakah kau mengingatku?”
“Gadis penjual koran!” Ia tumbuh dengan baik. Senyumnya manis. Jerawatnya hilang. Dulu ia tidak mengenakan jilbab. Hari itu ia mengenakan jilbab merah muda. Airmata berlumuran. Senyumnya dipaksa mengembang.
“Aku menjadi guru karena pengetahuanku dari koran dan buku-buku yang kubeli dari pasar loak, Farid.”
“Ayo menikah. Aku tidak ingin mengingat Zombie itu,” kata Farid beriringan dengan menyibak selimutnya.
“Rupanya kau masih mengingat perkataanku, Farid.”
Magelang, 25 Desember 2017