Masukan nama pengguna
‘Jika penyesalan hidup ada di hadapan, maka semua insan tidak ada yang akan menyesal! Sebab itu, berhati-hatilah!’
Ia duduk memeluk lututnya. Merenungi jejak hidunya yang sudah diarunginya selama bertahun-tahun. Membuang jauh-jauh kenyataan pahit yang tersimpan di dalam airmatanya, membuangnya bersama gulungan ombak yang menjemput tubuhnya. Ia usir jauh-jauh segala penat dengan mengabaikan kainnya basah terguyur air laut. Andaikan ia mampu, hendak menenggelamkan ruhnya, sementara jasadnya akan disedekahkan pada kawanan hiu buas di tengah lautan. Seorang sahabat telah membuat ratusan pengalaman hidupnya yang semula manis menjadi beracun, mematikan, tak pernah dapat dirasakan kenikmatanya, kelam menguburnya dalam temaram. Senja kuning membunuh bola api di garis laut itu di matanya teranggap gelap. Gumintang bertebaran ramai di angkasa, sayang tak dilihatnya gemerlap. Dunia yang pernah dianggapnya sangat luas, mendadak mengkerut, meremasnya menjadikan nyalinya ciut.
Tentang sebuah kalimat yang membuatnya terlempar dari kehidupan imajinasi melenakan. Hal yang membuatnya kini duduk sendirian di hadapan laut yang ombaknya sedang mengamuk. Membiarkan gulungan air aisn itu menghajar tubuhnya berkali-kali, sementara ia tetap diam, juga tak menggagas formasi bintang yang hari itu menakjubkan. Pernah mendongeng dengan teman-teman mengenai rasi bintang di belahan Eropa. Ya. Ia punya banyak kawan, namun mendadak semuanya menjadi lawan. Ia sempat membenarkan kata seorang yang mengatakan dirinya adalah kapal tanpa penumpang, dengan tujuan yang tidak jelas. Karena kawannya kini tidak ada di sisinya, semuanya adalah maya yang bisa dirasakan namun sukar diraba.
“Apa yang engkau temukan di Perancis? Di Turki, di Singapura, di Jepang, di Korea, dan di tempat-tempat jauh lainnya yang sering kau ceritakan padaku itu?”
Bibir tipis yang tidak pernah dipoles dengan gincu seperti gadis-gadis Barat itu mengambang di atas nirwana. Bergerak-gerak lembut, membiusnya dari khayalan pertemuan silam. Pasir dirasa menimbun seluruh tubuhnya. Ia sulit bernapas, namun masih merasakan nadi berdenyut. Airmata meleleh bercampur dengan cairan laut.
“Kenapa kau diam saja? Bukankah kau pernah bercerita jika hidupmu itu sangat mengasyikkan? Kau tidak lulus SD, namun kau sanggup melalang buana dengan keberanianmu, tekadmu, tanpa ini.” Sahabat yang pernah dilupakan menunjuk dahinya. Sosok perempuan sederhana, tidak terlalu anggun, jauh dari kata rupawan, ada jerawat yang menyembul malu-malu di pipinya, namun ia terkesan sangat terhormat dengan kain yang membalut seluruh tubuhnya dari pandangan kumbang liar, jilbab abu-abu itu membuat parasnya sangat menentramkan, ditambah jika ada satu hadiah dari alam yang menggodanya dengan sebuah senyuman, sungguh siapa pun yang paham akan kemuliaan ia akan terlena tanpa mengantongi nafsu dari dasar jiwanya. “Kau tahu? Lalat yang dianggap menjijikkan saja mampu mengatur hidupnya, ia bisa bergerak sesuka diri, bahkan melawan arah angin yang sangat kencang sekalipun dengan dua sayap mungil yang dimilikinya! Sementara dirimu?”
Ia diam ketika sahabatnya mengusik hidupnya, hanya mendengar dengan perasaan yang tidak nyaman. Sepuluh tahun terbang bebas ke negeri-negeri orang, pulang dengan wajah bak bidadari, baru saja selesai operasi plastik dari rumah sakit Korea. Wajahnya sudah jauh dari kata orisinil, pipi yang bersinar, hidung mancung, mata yang membelalak indah, kulit yang bukan haaya putih namun juga mulus, lain dengan milik sahabatnya yang apa adanya.
“Kau mempunyai akal dan pikiran, namun kau seperti kapal yang berlayar tanpa tujuan, pasrah ke mana angin akan membawamu, ketika orang lain di luar sana mengatakan Perancis adalah tempat terindah untuk berlibur, kau menjangkau tempat itu usai bekerja keras menghambur-hamburkan tenagamu, tanpa memperdulikan Ibu dan Ayahmu di rumah jungkir balik mencari sesuap nasi, lantas temanmu bilang, mungkinkah keindahan bianglala dan menara Eiffel itu lebih menakjubkan dan berarti bagi hidupmu? Sementara Ibu yang melahirkanmu, dan Ayah yang menafkahimu ketika kecil tak kau pedulikan? Sepuluh tahun kau terombang-ambing! Kemudian seseorang mengajakmu ke Turki dilanjutkan ke Amerika, kau ikut, tanpa pulang terlebih dahulu, sementara Ayah dan Ibumu semakin renta, mereka menggadaikan rindu pada waktu yang tidak pernah diketahui! Kau di sana bekerja hanya menjadi babu, sementara kau bertingkah lebih kecil dari bayi yang baru lahir!”
“Hei!”
Ombak lebih besar menerjangnya. Tangan yang dikatupkan di depan lutut terlerai. Tubuhnya terseret ombak. Mulutnya kerasukan air laut. Matanya dirasa pedas. Ia hampir tenggelam, beruntung masih mampu mengendalikan diri. Berenang ke tepian. Angin laut berembus lebih kencang. Tubuhnya membiru dengan gigil. Ia mengingat suara itu, sebuah bentakan diiringi dengan gebrakan meja. Seisi ruang menatapnya. Buku-buku yang terpajang di rak-rak mengamatinya sangsi. Ekspresi wajahnya yang memerah membuat pengunjung gentar meminjam buku atau mengembalikan buku.
Penjaga melongok dari tempatnya bekerja, memastikan keadaannya baik-baik saja, sempat mengerutkan keningnya ketika dua kaca mata besarnya menangkap sosoknya sedang berdiri dari bangkunya, mengguncangkan meja, membuat sekawanan buku yang baru saja dipilihnya geser sedikit. Dari sisi jendela ruangan, burung-burung gereja sedang pulang ke sangkarnya. Untuk ke lima kalinya ia dijebak takdir di tempat paling memuakkan itu. Dari dulu tak pernah menyukai buku-buku, namun sahabatnya menarik tangannya kuat-kuat menyuruhnya membaca buku sebanyak-banyaknya agar tak mudah terpengaruh dari dunia luar yang belum tentu kebenarannya.
“Bisakah kau tidak mengungkit-ungkit masalah yang aku alami? Katakan saja jika kau iri denganku. Aku pernah keliling dunia dengan kemampuanku, dengan uangku sendiri, lain denganmu yang selalu di negara menjijikkan ini, menjadi kutu buku yang hanya berdiam diri saja!”
‘Plak!’ Satu tamparan melesat. Ngilunya terasa sampai dasar hati. “Di Negara ini aku lahir! Di sini pula aku mendapatkan pendidikan yang sangat dasar, baik dari orangtua maupun dari sekolah! Beda denganmu yang tidak berpendidikan!”
“Apa maksudmu?”
“Kau! Kau siapa? Siapa dirimu? Mudah diseret oleh ombak! Membiarkan orang-orang yang kau cintai di tempat lahirmu sengsara! Impianmu hanya omong kosong, kau tak pernah ingin keluar negeri! Kau hanya ikut rayuan gombal pelemparmu bekerja menjadi pembantu di luar negeri! Uang meracuni pikiranmu! Kau lupa dengan buku dan seragam yang dulu kau kagumi itu!”
“Mencari uang tidak harus menggunakan ijazah, pendidikan bukan hanya formlitas saja, aku mendapatkan pendidikan dari luar negeri, pengalamanku hidup di sana mampu kujadikan pelajaran hidup!”
“Hidup yang kau sebut dengan malam bermabuk-mabukan? Pendidikan yang kau maksudkan berkencan dengan sembarang pria? Pendidikan yang kau maksudkan menghabiskan waktu dengan menonton film-film dewasa? Kemudian merokok, dilanjut narkoba?”
‘Plak!’ Kali ini ia yang menampar. Penjaga perpustakaan garang.
“Seharusnya sudah dari jam 05.00 sore tadi ruangan ini tutup, namun karena saya terlalu asyik membaca pemikiran Imam Ghazali, saya memutuskan untuk menikmati waktu sore di sini, sayangnya kalian menjadi pengganggu! Silakan keluar! Kunjungi tempat ini besok lagi!” Lelaki itu bersikap sarkatis.
‘Jika penyesalan hidup ada di depan, maka semua insan tidak ada yang akan menyesal! Sebab itu, berhati-hatilah!’ Pesan sahabatnya sebelum bergegas pulang. Memasukkan semua buku ke dalam ranselnya.
Ia ingat. Dua makhluk ringkih dengan tubuh yang meninggalkan jasa tak dikenang. Bibir yang tak lagi mampu tersenyum dipaksakan demi melihatnya pulang dari tanah orang. Tangan keriput yang menggenggam hangat lengannya menjadi harapan. Isyarat bola mata yang tak kuasa menahan rindu, kemudian pita suara yang sudah tak mampu lagi mendesahkan kata-kata meski hanya beberapa huruf konsonan. “Kau dari mana selama ini, Nak?” Angin malam mewakilkan.
Dipan tua setia menahan Ibu dan Ayahnya yang tak lagi mempunyai beban. Dinding-dinding kayu yang berdebu membuat suasana rumah menjadi tidak segar, menyesakkan dada, tak heran ketika pertama menginjakkan kaki di rumah yang dulu pernah asri, suara batuk yang menyambutnya lebih dulu.
Sepuluh tahun, rumah itu kacau, halaman yang pernah rindang dengan pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias tidak terawat, menjadikannya nyaman digunakan untuk sarang laba-laba dan ulat-ulat di musim kemarau. Pagi ketika matahari terbit, tidak ada lagi yang bersedia membungkukkan badan di teras rumah, menyapu, mengumpulkan daun-daun kering dan membakarnya. Sudah diperjelas, bahwa masalalu ketika anak berlarian mengejar capung di halaman rumah adalah kenangan manis yang dirasakan getir oleh lidah waktu. Ia bakan tak mampu mengucapkan kata-kata maaf atau sekadar menanyakan kabar orangtua.
Kedua-duanya rebah bersisihan, batuk saling sahut- menyahut. Silih bergantian mengambilkan obat. Kemudian Ibu perlahan merogoh sakunya, masih dengan keadan terlentang. Orangtuanya tidak mampu menegakkan badan, umur telah memakan habis sendi-sendi tulangnya. Ia mengulurkan selembar kertas.
“Anakku, kapan kau pulang?”
Bahkan pertanyaan itu terucap di atas lembaran kertas. Sungguh memilukan.
Lima hari Kemudian dua orangtuanya meninggal, bersamaan. Tetangga datang berbondong-bondong. Ia sangat terlambat. Andaikan ia mau mendengarkan kalimat sahabatnya.
Ia meremas pasir-pasir yang tidak berdosa. Enggan mengingat lebih dalam. Kini ia sadar bahwa dirinya sungguh kapal yang pasrah dengan arah mata angin, kemudian ketika badai menghantam hanya bergulat dengan keputusan hidup dan mati, terombang-ambing tidak jelas. Ketika orang Korea memberinya saran agar mempercantik diri dengan operasi kulit, ia mengikutinya, padahal kedua orangtua sedang sekarat di tanah kelahiran, tidak mempunyai biaya untuk pergi berobat. Tabungannya habis untuk berfoya-foya, kehidupan di Amerika mengajarinya mabuk dan menghirup nikotin, ia larut dan tunduk begitu saja.
“Kau tidak punya dasar yang kuat! Bahkan imanmu mudah goyah? Kau tahu kenapa?” Sahabatnya masih mengajaknya bertemu di lain waktu, di tempat yang sama, perpustakaan tua peninggalan negara yang pernah menjajah tanah kelahirannya.
“Otakmu tidak kau timbun dengan ilmu pengetahuan, akhirnya kau mudah goyah, lupa dengan hakikat hidup yang sebenarnya, lupa dengan makna kebaikan yang pernah diajarkan orangtua. Ilmumu masih sangat dangkal. Kau pergi ketika taraf pemikiranmu masih labil! Kau adalah potret dari kehidupan Negara lain bahkan jasadmu adalah orang lain!”
Ia hanya diam. Menunduk. Untuk yang terakhir kalinya ia tak berani membantah, mengaku salah.
“Jadi, mulai detik ini, kuatkan pikiranmu, bacalah buku! Jelajahi dunia karena ilmu pengetahuan, berbaktilah pula dengan kedua orangtuamu dengan pendidikan, sebagaimana ketika kecil mereka berceloteh padamu tentang kebaikan-kebaikan, menyuruhmu mengaji, membuang sampah pada tempatnya , mengajarimu cara mencuci piring dan cara mengerjakan PR dengan benar! Begitulah kau seharusnya saat ini, dunia tidak akan menjadi berarti jika kau berusaha tanpa mengabadikan jasa kedua orangtuamu!”
Ia merasakan tubuhnya lebih dingin. Mengigil hingga gigi bergemeletuk. Sekujur tubuh seperti dipukuli batu. Kepala rasanya dimasukkan ke dalam air mendidih. Sakit. Sakit yag sukar dijelaskan. Kemudian dua jemarinya menggaruk kasar tubuhnya sendiri, matanya melotot, masih di hadapan lautan.
“Atau semuanya akan berakhir! Lanjutkan dirimu yang menjadi pecandu dan melupakan kedua orangtua! Kutunggu mayatmu berenang di laut negaraku.”
Senja hilang. Malam datang. Ia pasrah dengan ketentuan angin. Ombak bukan hanya menghantam karang, namun juga menghantam tubuhnya, ia sakau, kemudian dilahap air laut. Tamat. Hidupnya berakhir. Sebelum maut menjemput ia menggumam. ‘Harusnya aku mendengarkan nasihat sahabatku!’
06 Mei 2017, Magelang.