Masukan nama pengguna
Wajah Alfath tertekuk datar, napasnya ditahan, membuat dada ringkihnya yang tak berdaging tampak membusung, air mukanya mendadak memerah marah. Ia geram, ingin mengamuk kawannya, namun tak punya nyali dengan modal tubuhnya yang pas-pasan, sementara lawannya bertubuh gempal. Layang-layangannya baru saja membumbung tinggi di angkasa, menari-nari di bawah naungan langit, menikmati sensasi kebebasan, ia tertawa, bersorak-sorak gembira, merasa bahwa dirinya paling hebat karena berhasil menerbangkan layangannya lebih dulu. Sayangnya, kebanggaan itu hanya bertahan satu menit, layangan ikan Slamet menyusul ketinggiannya, tragis, benang mereka saling berpelukan. Alfath marah besar. Batu cadas yang ia pijaki rasanya ingin dihancurkan.
“Gara-gara kau layang-layangku jatuh!” umpat Alfath, ia mendorong dada Slamet.
“Aku tak sengaja,”
“Alasan kau!”
Air sungai mengalir tak tenang. Gemericiknya menggiring perselisihan mereka berdua. Bocah yang lain asyik menceburkan diri ke dalam sungai.
Di hari libur sekolah, mereka sering bermain ke sungai irigasi sawah atau pegunungan di belakang kampung. Hari itu bocah lain berenang sementara mereka berdua bermain layang-layang. Kampung mereka terletak di pedalaman, jauh dari keramaian, penduduk yang tinggal pun tak seramai di perkotaan, hanya delapan puluh kepala keluarga, wajar jika mereka tak mempunyai lapangan luas untuk berlari membumbungkan layangan. Anak-anak kampung menggiring ikan-ikan langit di antara barisan padi-padi yang sedang mengandung.
“Benangku bertambah pendek gara-gara kau!” Alfath masih tidak terima. Empat meter benangnya putus percuma, sementara layang-layangannya tersangkut di pohon kelapa.
“Kau harus tanggungjawab, Met!” Alfath menuntut.
Angin Juni mengantarkan debu-debu yang tak diundang. Mereka menyesaki lubang jalanan aspal yang rusak. Burung-burung pergi merantau mencari makanan. Hujan menciptakan kerinduan di musim kering. Sungai irigasi sawah menjadi keruh, namun bocah-bocah itu tetap setia, tak menaruh jijik pada bening yang menjadi kenangan. Mereka salto dari atas cadas, menggulungkan badan di pusara udara, kemudian menciptakan riak-riak air yang menyembur ke atas setelah tubuhnya menyentuh permukaan air sungai, seperkian detik kemudian mereka tertawa riang. Matahari di atas ubun-ubun terekam wajah sungai yang sedang bermain-main dengan para bocah, terkecuali Slamet dan Alfath.
“Aku akan mengganti benangmu, Fath.”
“Sekarang juga!”
“Beri aku waktu satu minggu!”
Alfath melotot, dengusan napas beratnya menjadi jawaban. Bocah yang duduk di bangku kelas empat SD itu melompat ke dalam sungai.
Slamet tidak rela jika benang yang ia miliki diberikan kepada Alfath dengan cuma-cuma, benang itu merupakan benda istimewa yang didapatkannya setelah membantu Bapak mencari belut di sawah. Slamet pulang dengan wajah agak murung.
***
Wanita tua duduk manis di emperan jalan dan teras rumah, mereka membawa tongkat kayu yang akan digunakan sebagai senjata mengusir para perampok. Tak rela jika hasil lelahnya berbulan-bulan dirampas pasukan makhluk tak berakal yang kerjaannya hanya bertelur dan menjadi pengganggu tidurnya manusia di waktu pagi.
Gabah-gabah yang telah di panen dari sawah di jemur di teras rumah mereka atau tetangga, jika terpaksa tak mendapatkan tempat luas, maka jalan utama yang menjadi pembatas RT 1 dengan RT 2 di kampung itu menjadi solusi. Mereka rela gabah yang dijemur dilindas sepeda motor atau mobil orang-orang beruang dengan syarat pemiliknya memberikan senyuman ramah tamah meskipun hanya berbasa-basi. Di siang yang begitu terik itu, para wanita menjaga pertahanan dari ayam-ayam kampung yang tak pernah merasa kenyang. Selain menunggu jemuran gabah, mereka juga membolak-balikkan kain-kain bersih yang telah dicuci di waktu pagi.
Hari itu Mamak pergi ke pasar, ia tak menunggui jemuran gabahnya seperti wanita yang lain, Mamak menyuruh Slamet untuk menggantikan pekerjaannya. Sayangnya, kaki Slamet gatal, ia pergi dengan membumbungkan layangannya, terus berlari menjauhi rumahnya.
Ia menjemput Alfath, mengajaknya pergi ke puncak pegunungan yang terletak di belakang kampung. Semula Slamet menolak dengan ajakannya, namun setelah Slamet mengulurkan sebuah gulungan benang yang awut-awutan ia langsung menyetujuinya tanpa berpikir panjang, bahkan lupa dengan pesan ibunya yang sedang memberikan amanah kepadanya untuk menggoreng telor dadar, lauk makan siang adiknya.
Alfath dan Slamet mengkhianati pesan wanita yang paling dihormati dalam kehidupan. Mereka lari menaiki lembah, jalanan setapak dibagi menjadi dua. Di atas tubuh mereka layangan terbang. Semalam Alfath lembur menyelesaikan proyeknya membuat layangan yang lebih kuat dan lebih panjang ekornya. Dua bocah yang bertubuh kurus dan gempal tampak berlari-lari kecil, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan ilalang.
Daun ilalang menyentuh paha mereka yang bercelanan pendek. Debu-debu yang keluar dari retakan tanah menempel di kaki mereka. Pohon-pohon yang tumbuh di pegunungan menjadi bigron kegiatan mereka. Langit begitu terik, dahaga datang tanpa diduga-duga, menyedihkannya mereka tak sempat membawa bekal minuman dari rumah.
“Petik kelapa muda milik Pak Anshor, ia pasti tak akan marah!” usul Slamet mencari jalan keluar.
“Bagaimana memetiknya? Aku takut ketinggian.”
“Tenang saja Fath, aku ini jago naik pohon!”
Mulanya mereka berniat ingin memetik satu, namun mereka mengamalkan sebuah pepatah klasik, mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
Lima kelapa muda diangkut ke puncak pegunungan. Ekor layangan melenggok-lenggok, bibir mereka menghisap air kelapa muda. Waktu libur memang sebuah keberuntungan.
Setelah merasa lelah mereka kembali pulang.
Slamet masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang, ada tamu yang sedang bercakap-cakap dengan Bapak di ruang utama. Ia langsung mengambil handuk dan bergegas mandi, ingin cepat-cepat berangkat mengaji. Mamak sibuk memasak untuk menjamu tamu yang datang, sudah menjadi rutinitas keluargaya jika ada tamu yang berkunjung, maka akan disuruh makan nasi dengan sayur dan lauk seadanya, kata Bapak itu merupakan salah stau cara menghormati tamu.
“Slamet! Nanti sore dan besok pagi kau tak dapat uang jajan!”
“Lah, kenapa Mak?” tanya Slamet dari kamar mandi. Mendadak ia gusar. Tidak diberi uang jajan merupakan ancaman menakutkan dalam hidupnya, ia akan menahan lapar dan haus saat istirahat di sekolah.
Setiap hari Slamet menempuh perjalanan 5 KM menuju sekolahnya tanpa angkutan umum, pulang pergi selalu jalan kaki. Bapak tak mempunyai sepeda motor untuk mengantarkannya berangkat sekolah. Tidak ada bus yang beroperasi menuju kampungnya. Tentu saja tak mendapatkan uang jajan merupakan penderitaan yang menyakitkan, ditambah musim sedang gemar bermain-main dengan dahaga.
“Tidak apa-apa, Met! Uang jajanmu Mamak gunakan untuk membeli tambang jemuran yang diputus seseorang untuk bermain layang-layang!” Mamak memberi penjelasan, ia mengoceh sambil memeras santan. Slamet pikir Mamak tidak mengetahui perbuatannya. Malam lalu ia bangun untuk memotong tali jemuran, tanpa sepengetahuan siapa pun kecuali angin yang mengalir lembut.
‘Siapa yang melaporkanku? Mengapa Mamak menghukumku?’ gumamnya dalam hati sambil melangkah menuju kamar.
Slamet menarik napas panjang. Ia buru-buru membilas tubuhnya. Mendadak ia kehilangan semangat menghadap guru ngaji.
“Saya minta tolong, Pak! Petikkan kelapa-kelapa di gunung, saya dan istri saya sedang mau membuka usaha jualan es kelapa muda, mumpung musimnya sedang mendukung.”
Suara dari ruang tengah membuat Slamet tercengang. Ia mengintip dan menguping pembicaraan Bapak dengan … dengan lelaki tua bertubuh kurus kering yang menyimpan kesedihan di kantung matanya, sebab anak semata wayangnya pergi merantau dan tak pulang-pulang, Slamet sangat paham siapa yang mengenakan sarung hitam kotak-kotak itu, yang duduk santai tanpa mengemban dosa di kursi tamu, menghadap Bapak, memperbincangkan bisnis kelapa muda. Ialah Pak Anshor.
Ia mendapat ancaman tak mendapatkan uang jajan berminggu-minggu sebagai pertanggungjawaban.
“Orang lain memang tak tahu anakku! Tapi Allah maha tahu!” Nasihat guru ngajinya waktu lalu.
Magelang, 23 September 2018
Ilustrasi Gambar : Pixabay.com