Masukan nama pengguna
“Pernahkah kau membayangkan bagaimana ekspresi presiden ketika beliau mules, sementara beliau sedang mengadakan rapat dengan para menteri?”
Santun terbahak-bahak, ia memvisualkan wajah presiden yang berkeringat basah di ruang meeting, tangan memegangi perut sementara pantatnya terkentut-kentut. Ruangan meeting mendadak menjadi berisik karena aroma asing menyelinap masuk.
“Apakah jika presiden kentut akan mengaku di depan publik? Bagaimana kentutnya seorang presiden?” Santun melengkapi kalimat Sopan. Mereka berdua adalah saudara kembar yang tak bisa dipisahkan di muka bumi ini, Ibunya yang bernama Akhlak telah mengandungnya selama delapan belas bulan, masa kelahiran mereka menjadi momentum yang tak dapat terlupakan.
Malam itu langit dihiasi dengan bulan sabit, jarum jam menunjuk pada angka dua belas, perut Akhlak terasa melilit sementara punggungnya ia ungkap akan jebol, suaminya Terpuji langsung melarikan diri ke rumah sakit. Hari itu, Terpuji sangat khawatir jika Akhlak, wanita yang berwajah pas-pasan dengan senyum yang tidak begitu menyejukkan itu tak mampu menahan gejolak sakitnya melahirkan anak kembar.
Suara teriakan terdengar dari lorong rumah sakit, mengganggu sebagian pasien yang sedang beristirahat. Akhlak bukannya tidak peduli, ia reflek membuka auratnya keras-keras demi mengurangi rasa sakit yang menimpanya. Terpuji menggenggam erat tangan istrinya.
“Kalau aku mati, jaga anak-anak kita nanti, Pa! Jadikan mereka anak-anak yang baik dan bisa menghormati orang tua,” pesan Akhlak kepada Terpuji di ruang persalinan. Setelahnya dua perawat dengan seorang dokter memberi aba-aba kepadanya agar mengejan. Mereka bertiga kompak, seperti suporter sepakbola yang mengharapkan gol di gawang lawan.
Akhlak terbaring dengan posisi kaki diangkat, ia mengejan berkali-kali, berusaha mengeluarkan dua anaknya yang dititipkan Allah. Tangan kirinya meremas bantal, sementara yang kanan mencengkeram lengan Terpuji. Suaminya itu tak mampu membayangkan perih yang menimpa istrinya. Ia tidak tega, namun juga tak akan pernah menghentikan prosesi kelahiran kedua anak yang dinantikannya.
“Kalau kau mati, maka keluarga kita tidak akan berjalan dengan seimbang, Ma. Kau harus kuat demi anak-anak dan masa depan kita nantinya.”
Perpisahan yang tidak dikehendaki berlangsung, ruang persalinan dipenuhi dengan riak tangis keluarga. Orang-orang yang menatap iba. Terpuji kehilangan Akhlak, ia pesimis mendidik kedua anaknya yang berhasil dilahirkan hidup, entah apa yang akan dilakukan di masa depannya agar sikap anak-anaknya tidak porak-poranda sementara Akhlak telah pergi.
“Aku mencintaimu, Akhlak, meskipun kau sering membuatku kesal jika apa yang kumau tidak kau turuti, meskipun terkadang kau menyakitiku dengan suaramu yang ke luar keras, meskipun terkadang kau membuatku cemburu karena lebih asyik dengan dunia maya, aku tetap menyayangimu sepenuh hati, karena diriku yang terpuji tanpa akhlakmu adalah kaki pincang berjalan di muka bumi ini.” Kalimat terakhir Terpuji sebelum jenazah istrinya dikafani.
***
“Bicaramu seperti tak berakhlak, Tuan! Jangan main-main kepada presiden,” Angkuh menyela. Ia mengusap bibirnya yang basah terkena kuah bakso. Mereka bertiga sedang menikmati makan siang di kantin kantor tekstilnya bekerja. Santun adalah seorang manajer, Sopan sendiri menjadi supervisor, sementara Angkuh adalah karyawan yang kerjaannya merayu-rayu atasan. Ia sok berpikir bijaksana dan dewasa di depan petinggi perusahaan, tujuannya untuk mendapatkan pamor baik dan jabatannya terangkat.
“Bukannya seperti itu, Ngkuh! Kami hanya memikirkan realitas yang ada. Oh ya, kau tidak makan siang bersama rekan-rekan kerjamu?”
“Tuan, mereka masih sibuk berselancar di dunia maya, menyapa masyarakat gaib atau kekasihnya saat jam-jam istirahat seperti ini, akan lebih baik jika saya menyelesaikan makanan lebih dulu kemudian nanti langsung bekerja kembali, tanpa mengulur waktu.” Ia lembut dan mengucap sederet kalimatnya dengan senyuman menawan.
“Oh ya, kau memang karyawan yang pantas dijadikan panutan!” Santun memuji. Sayang kata kekasih yang diucapkan Angkuh mengingatkan Sopan pada kenangan pahit yang membuatnya merasa terlelap dari mimpi buruk saat itu.
Perusahaan tekstil itu mengayomi ribuan karyawan. Ada sepuluh ribu lebih pekerja yang berbondong-bondong ingin meminta tambahan uang lemburan. Perusahaan berperan penting dalam menopang kehidupan banyak orang, ia bekerjasama dengan investor-investor asing dan lokal. Nama Santun dan Sopan sering singgah di media-media masa. Mereka mendapat pujian menjadi pemuda tersukses di dunia dan menjadi inspirasi publik, karena berhasil mengolah waktu muda dengan baik.
Santun sering memberikan senyuman kepada wartawan yang hendak mewawancarainya, ia seolah-olah tak sombong, gelagatnya seperti orang awam mempersilakan tamu penting ketika wartawan-wartawan menyerbu kantornya.
Lain dengan cerita Sopan, terkadang ia bermuka manis di depan mata, namun di belakang ia mengoceh sekenanya. Wartawan kurang kerjaanlah! Rakyat bodoh tak tahu budi pekertilah! Media-media yang haus dengan kabar hangat atau apa saja!
Sopan tak suka jika hal-hal kecil, seperti saat dirinya sedang makan siang dengan tamu asing disiarkan, seolah-olah tak ada kabar yang lebih penting di negara ini, semisal berita kemiskinan dan kenaikan bahan pangan yang sedang hangat. Atau bisa saja jatuhnya nilai tukar. Ia sungguh muak dengan berita yang beredar, mirisnya dirinya yang dahulu bertemu dengan Amanah, kekasihnya dari Negeri Asing itu dijadikan sinetron beratus-ratus episode dengan adegan-adegan yang tak ia kehendaki, belum lagi ceritanya dimodifikasi, membuat hancur kenangan indah yang ia miliki. Pada akhirnya saat malam-malam buta, Amanah mendatangi apartemennya, mengetuk pintu keras-keras, memasang wajah paling menyedihkan dengan bulir-bulir air mata di pipi, lalu berkata.
“Sopan, kau dan aku tak pantas menjadi satu. Kau orang yang selalu dijunjung manis di muka publik, jika menikah denganku lantas aku berbuat keburukan atau kebaikan sedikit saja bisa menjadi berita viral! Aku orang yang tertutup, tidak tahan dengan isu-isu dan sinetron yang beredar! Aku ingin kita berjalan pada jalan kita masing-masing, biarlah orang sepertiku kelak hanya mendapatkan orang awam yang sederhana, daripada dirimu yang berlimpah jabatan, nama baik, harta, namun susah karena dikelilingi kamera-kamera tersembunyi,”
“Amanah, dengarkan aku! Jika kau dan aku tidak bersatu, dunia ini akan rusak!”
“Aku tidak peduli!” Malam itu Amanah pergi tanpa menghiraukan perasaan Sopan. Ia sesenggukan dan merasa menyesal karena dipertemukan dengan makhluk yang tak dapat membuatnya bahagia. Sopan muram berbulan-bulan. Kerjaannya diberikan kepada Santun keseluruhan, ia sibuk merenung di kamar. Menangis sejadi-jadinya, meratapi nasib pedihnya yang tak berujung manis. Hal tersebut tercium hidung media masa, kabar putusnya berkembang liar, alhasil drama-drama buruk menjatuhkan reputasinya.
“Sopan putus dengan Amanah!” dunia benar-benar geger. Media-media masa menggosipkan nasibnya tanpa perasaan. Setelah kejadian itu, ia mendengar Amanah telah menikah dengan saudagar kaya raya yang bernama Politik. Kabarnya Amanah disia-siakan hidupnya oleh Politik.
Sopan memang figur yang tidak terlalu menyukai dunia publikasi, namun ia merupakan orang yang setia, apa pun yang diungkap oleh media masa tidak mengurangi perasaannya kepada Amanah, ‘Aku akan menunggu kau cerai dengan Politik, setelahnya aku ingin menikahimu.’ Kata Sopan pada suatu senja yang berembun.
Sopan tak bernafsu menghabiskan makanannya. Wajahnya mendadak mendung.
“Kadang saya berpikir ingin mengundang presiden makan malam bersama,” Santun berhalusinasi.
“Untuk apa, Tuan?” Angkuh memberikan simpati. Ia ingin tahu hal yang sedang dipikirkan tuannya. Setidaknya itu dapat membantunya menyusun rencana agar nama baiknya terangkat kembali.
“Kadang-kadang saya ingin memberikan sumbangan untuk melunasi hutang-hutang negara yang bertambah setiap tahunnya,”
Sopan yang murung ikut nimbrung, ia mengusir kenagannya, pikirannya kini tenggelam pada kata-kata yang diucapkan saudara kembarnya itu.
“Kalau kau ingin menyumbangkan sebagian harta, tak usahlah di muka publik! Sumbangkan saja diam-diam, ujung-ujungnya nanti akan diekspos, itu bukan hal yang menyenangkan!”
“Hahaha, kau ini, sinis sekali dengan media masa. Pada dasarnya bukan media yang menjadi tujuanku, tapi kalau media masa berkenan meninggikan reputasiku dengan dalih dermawan, apa salahnya, Bung?” Santun menepuk bahu Sopan.
“Kau ini, jika berambisi mencari nama baik, bisa-bisa kau mati mendadak terkena bencana, sebab makhluk di muka bumi ini tak memiliki hati nurani yang menyimpan dirimu, Santun.”
Santun terus tertawa. Waktu istirahat tersisa lima belas menit. Angkuh pamit ingin melanjutkan pekerjaan.
“Kau korupsi waktu istirahatmu, Ngkuh?”
“Oh, tidak semua ini saya lakukan demi kebaikan kita bersama.” Angkuh pergi dengan Sopan. Ia membungkukkan badan, kemudian melangkah tegak penuh kharisma. Di tempatnya bekerja ia duduk, menyulut sebatang rokok, mengepulkan asapnya ke permukaan udara. Tersenyum sinis dengan khayalan yang tak bisa dijelaskan. Rekan kerjanya yang lain sedang menghabiskan makan siang mereka yang dibawa dari rumah.
Ketika mandor memeriksa tempat kerja, Angkuh langsung gesit menggerak-gerakkan tubuhnya untuk melakukan apa saja, ketika mandor pergi, ia kembali berduduk-duduk santai ria, menjauhi CCTV yang ada. Kamera kecil itu hanya menangkap aktivitas Angkuh yang baik-baik saja, sementara waktu berleha-lehanya disembunyikan, jika sampai tertangkap maka ia akan mendapatkan kutukan.
Sebulan kemudian Santun menyuruh sekretarisnya untuk mengedarkan surat undangan kepada menteri-menteri negara juga kepada Bapak Presiden, ia ingin melaksanakan makan malam dengan khidmat. Pada kesempatan itulah ia akan menyumbangkan 10 miliar uangnya untuk negara. Ia membayangkan popularitas yang sebentar lagi akan naik dengan pesat. Jika popularitasnya naik, maka kemungkinan besar akan berdampak baik bagi harga saham perusahaan. Investor-investor asing akan menjabat tangannya dan mengucapkan selamat yang menyenangkan. Santun tak sabar menantikan momen itu.
Di tengah kesibukan Santun menyusun acara, Sopan hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa iba dengan saudaranya yang gila dengan nama baik. Terkadang ia berpikir ingin memberikan pelajaran kepadanya, namun dengan apa? Ia tak mungkin menjatuhkan harga diri saudaranya yang pernah sekandung dalam perut Akhlak, sayangnya jika terus dibiarkan ia akan mengalami nasib buruk di akhirat.
Malam itu ia memanggil Angkuh.
“Ada apa, Tuan kau memanggilku di luar jam kerja.”
“Kau mau naik jabatan?”
Dalam hati Angkuh bersorak-sorai, ia merasa menang dan puas karena kebohongannya menjadi karyawan rajin selama ini berhasil. Ia memang sering datang lebih awal dari karyawan yang lain, namun sekadar absen kemudian bermain ponsel. Ia tidak ingin gegabah mengambil sebuah tawaran. Khawatirnya itu semua hanyalah jebakan untuk menguji mentalnya.
“Tidak Tuan, biarkan saya bekerja seperti ini dulu, saya mencintai pekerjaan saya sebagai buruh.”
“Bagus, saya memang kurang menyukai orang-orang yang tergiur dengan jabatan!” Kesempatannya hilang. Angkuh menelan air liurnya yang terasa getir. Rupanya tawaran tersebut hanya sebuah penguji.
“I… i… ya, Tuan.”
“Aku ingin kau menyebarkan berita tentang Santun dan diriku yang membicarakan ekspresi presiden sedang kentut. Aku tahu itu masalah yang sederhana, tapi saat publik tahu, tentu saja banyak orang yang akan kecewa dengan sikap Santun dan Sopan, jika pamorku dan dirinya runtuh, Santun akan sadar bahwa apa yang ia perbuat selama ini salah, selain itu aku pun akan mempunyai alasan untuk bersatu kembali dengan Amanah. Kau tahu bukan? Amanah menyukai orang-orang yang sederhana, jika aku sudah sederhana, tentu ia akan menceraikan Politik.”
Angkuh diam beberapa saat. “Tapi jika pamor Anda hancur, perusahaan dan harga saham akan menurun drastis. Bagaimana nasib ribuan karyawan nantinya?”
“Aku akan berjuang demi mereka, hanya saja aku ingin Santun bertobat, dan Amanah kembali padaku.”
“Tak ada satu pun karyawan yang akan di PHK bukan?” Angkuh khawatir, ia mendapatkan ancaman yang buruk. Ia tak bisa membayangkan jika anak dan istrinya harus kelaparan dan mengemis di emperan jalan karena tak mendapatkan gaji bulanan. Di zaman yang paceklik, mudah membuang uang namun susah mengumpulkan uang ini, akan sangat berbahaya jika seorang dipecat dari pekerjaannya.
“Tenang saja, aku adalah orang yang bertanggungjawab.”
Angkuh mempercayai Sopan. Ia lantas membeberkan isu negatif. Perbincangan tentang ekspresi wajah presiden saat kentut dibumbui mules, menjadi tranding topik di kancah karyawan, naik tingkat di tetangga-tetangga perusahaan, terakhir di muka media masa.
“Santun bertindak menyimpang, ia tidak lagi menjujung harga dirinya sebagai seseorang yang selalu bersopan santun dalam melayani masyarakat. Tak ubahnya dengan Sopan yang gila karena kehilangan kekasihnya Amanah.”
Makan malam dengan presiden gagal total. Nama baik Santun terjungkir balik. Santun dendam dengan Sopan yang tega menyebarkan kabar itu.
Ia mengamuk pada malam yang buta, menendang kursi, memukul cermin di kamarnya, membanting laptop, terakhir memuntahkan emosinya di hadapan Sopan yang sedang menunggu kedatangan Amanah.
“Apa ini yang disebut dengan saudara?” ia mengacung-acungkan pisau di udara. Sopan hanya tersenyum sinis dengan tangan yang bersedekap. Wajahnya memandang ke luar jendela. Gedung-gedung tampak berkelip, langit hitam tanpa bintang, namun tak ada kabut yang menggantung.
“Ada yang salah, Bung?”
“Jangan pernah memanggil seperti itu lagi, kau bukan saudaraku!”
“Kau adalah orang yang dijadikan contoh oleh banyak orang karena keberhasilanmu, tak sepantasnya kau memanfaatkan publik untuk mendongkrak nama baikmu. Apalagi dengan dalih ingin membantu melunasi hutang negara!”
“Jaga mulutmu!”
Santun menarik kerah kemeja Sopan. Pisau yang dibawanya diarahkan ke leher Sopan.
“Kalau kau membunuhku, bagaimana perasaan Amanah?”
“Persetan!”
“Argh…” di malam yang tenang. Di malam ketika media lelap. Darah mengucur dari leher Sopan. Ketika itu wanita cantik berdiri di depan pintu kamar Sopan, ialah yang menanti momentum indah, yang ditunggu Sopan beberapa jam lamanya, yang dicintai Sopan, juga sosok yang membuat Sopan terpuruk selama bertahun-tahun.
Sopan terluka, namun ia tidak meninggal dunia. Ia melawan Santun dengan sekuat tenaga. Perut Santun yang dipenuhi dengan lemak ditendang, lelaki itu pun terpental, kemudian tersungkur di atas lantai, dengan gesit tangan Sopan langsung merebut pisau Santun. “Aku bisa saja menghabisimu, Tun! Tapi aku tak sebringas dirimu, aku tidak ingin manusia di muka bumi ini kecewa denganku dan mereka kehilangan sopan santun dari kita. Seburuk-buruknya diriku, aku masih memiliki hati nurani, Tun!”
Amanah bersedu sedan. Tak tahan melihat perlakuan Sopan dan Santun yang sama-sama dirasuki setan, Amanah langsung mengarahkan botol anggur yang dibelinya ke permukaan lantai. Botol itu pun pecah berserak. Minuman haram mengalir ke seluruh penjuru arah, menyebar, membasahi lantai kering.
“Saya tidak pernah berpikir jika saudara kembar seperti kalian, Sopan dan Santun bisa bertengkar. Apa yang akan terjadi dengan dunia ini jika kalian berdua bermusuhan? Manusia tak akan punya Akhlak Terpuji, kedua orangtua kalian tak lagi akan dikenang zaman, mereka dengan sendirinya akan digerus keangkuhan kalian berdua! Sadarlah!”
Kekecewaan yang membekas di dada Amanah membuat emosinya mengajak tubuhnya kembali ke pelukan Politik. Meskipun Politik tidak membuat hidupnya bahagia, tapi setidaknya Politik mampu menjanjikan kemakmuran dan keindahan hidup di masa depan.
“Saya tak akan pernah kembali ke pelukanmu, Sopan!”
Santun terkapar di lantai. Ia tak mampu berbuat apa-apa lagi, tenaganya sudah habis.
Amanah melangkah pergi.
“Politik hanya akan mengajakmu ke dunia fiksi, Sayang! Kembalilah padaku, aku nyata dalam kehidupan!”
“Setidaknya itu indah.” Balas Amanah untuk yang terakhir kalinya. Ia sungguh pergi dan tak pernah kembali.
Sopan meratap lagi. “Kita hidup, tapi sejatinya kita mati.”
Santun meninggalkan kamar Sopan, malam itu ia ingin menyendiri.
Magelang, 31 Oktober 2018.