Masukan nama pengguna
Aku keracunan.
Seringkali aku berpikir, tidak ada yang berguna kita hidup. Membosankan. Ruhku diciptakan hanya untuk merasakan sakit dan sakit sepanjang zaman… Periode kehidupanku berjalan singkat. Tak sampai berabad-abad seperti denyut waktu di muka bumi ini.
“Úntuk apa kita ada, jika adanya hanya kembali pada ketiadaan?” Aku protes kepada Nenek.
Ia menatapku lantas menggiringku menyusuri lorong-lorong hutan yang belum gundul.
“Dunia ini adalah negeri fiksi! Tidak perlu susah payah berkeluh kesah dan merasa tidak nyaman dengan apa yang kau terima, Cu! Toh, ada pengendali jagad yang lebih hebat dari hidup dan nafsumu sendiri, Cu!”
“Nek! Aku ingin mati saja! Bumi ini memuakkan! Beracun!”
“Kau tak perlu berangan tinggi untuk mati, Cu! Sebentar lagi kau juga mati. Jadi nikmati saja hidupmu.”
“Nikmati bagaimana?”
“Kenapa tak kau hancurkan pepohonan dan perut bumi yang kau tinggali ini? Sebagaimana makhluk-makhluk itu menghancurkanmu?”
“Jadi, kita akan saling bertempur?”
“Jika itu baik untukmu, kenapa tidak bertempur saja?” Nenek menyeringai. Aku tak mampu berkata-kata lagi.
Kuamati isi bumi yang menyedihkan. Dulu, tempatku sempat lengket menyenangkan, pepohonan basah, dalam arti tidak begitu basah, sewarnya saja. Namun, beberapa akhir hari ini, bumi basah berlebih, sementara keasriannya mulai punah. Pohon-pohon tak lagi tumbuh dengan subur dan lebat.
Ah, bicara mengenai bumi, aku berpendapat ia bulat. Seringkali aku mendaki hingga ke puncak bumi, daratannya luas, permukannya nyaman untuk kugunakan tidur. Sepon angin yang mengalir pun terasakan begitu nikmat. Yang paling kudambakan adalah ketika bumi dihujam kemarau tinggi, pepohonan hitam di sekitar menjadi kering kemerah-merahan, atau berwarna putih bagi mereka yang menua. Pohon-pohon yang tertiup angin akan porak-poranda, terkadang menjadi awut-awutan. Aku menyukainya, sayangnya tak semua bumi yang ditempati sanak keluarga menyenangkan sebagaimana yang aku harapkan.
Bumi yang lain, sebelumnya aku jelaskan, bumi di dunia ini jumlahnya, puluhan, ratusan, bahkan milyaran, jika beruntung tempat yang disinggahi kehidupan kerabatku adalah lahan yang luas penuh dengan pohon hitam kemerah-merahan, terpanggang langsung bintang dunia, matahari. Ada pun yang menyedihkan dan tentu membuatku sangat menderita. Kau ingin tahu?
Ah, kau memang selalu ingin tahu!
Bumi itu bagaikan penjara yang pengap. Membuat sesak napas sepanjang hidup. Bahkan nenek moyang dan anak cucu kami sering mati tanpa penyakit atau pun serangan Raksasa Ngan dari luar angksa. Mengenai Raksasa Ngan, perlu aku jelaskan, ia jari seperti kaki-kakiku, jumlahnya empat! Besar-besar! Bertaring di setiap kepalanya. Jadi, Raksasa Ngan adalah sebuah makhluk datar tidak bermata tidak pula berambut, namun memiliki empat kepala yang runcing-runcing, ia tidak berleher, tidak memiliki mulut, seluruh tubuhnya terlapisi kulit tebal, agaknya sedikit tepat jika kau menyebutnya makhluk rata.
Ia tidak memiliki mulut, tentu saja ia jarang menelan makanan termasuk menelanku! Kejamnya! Raksasa Ngan merupakan pembunuh paling menyeramkan di dunia ini. Ia tidak pandang bulu. Jika sudah bertekad ingin membasmi kerabat-kerabatku. Ia sebarkan racun-racun ke penjuru bumi. Membuat pohon-pohon porak-poranda. Tumbang tidak tercabut hingga ke akarnya, sekadar ambruk mencium permukaan bumi. Bau busuk menyiksa perut dan hidung-hidung. Pencernaan kami mual, membuat langkah kami susah digerakkan. Tak jarang yang kami lakukan hanyalah rebah-rebahan di sela-sela pohon.
Kawan, Raksasa Ngan tidak memiliki perasaan, mereka radikal!
Bayangkan saja, kalau yang diracuni hanya kami yang sudah tua dan besar tak mengapa, bayi-bayi kami yang baru menetas! Anak-anak kami yang belum tahu apa-apa, yang baru beberapa detik kami ajari mencari makan, menjelajahi bumi yang rindang, menyibak pepohonan hitam, menggali lubang hingga air merah keluar dari perut bumi dibunuh begitu saja, Raksasa Ngan merampas tidak pernah peduli. Menginjak sesuka hati, ralat! Bukan sesuka hati, sebab Raksasa Ngan tidak memiliki hati nurani. Semau diri! Gila!
Andaikan saja aku dan keluargaku yang lain diberi kesempatan merakit senjata nuklir dan rudal-rudal yang mampu diledakkan. Maka, tak akan kami habiskan waktu panjang untuk mewujudkannya. Aku pribadi sudah sangat menderita. Tidak tega melihat kematian terserak di mana-mana. Bangkai tercecer menjijikkan. Bau busuk racun berpadu dengan darah merusak kelestarian alam. Bumi tak lagi asri. Bumi kehilangan nyawanya.
“Nek, jika kita selalu di sini, kita akan mati sebagai pengecut, berserah diri dengan kematian, tidak berusaha menjauhi kematian itu sendiri."
“Cu, kalau takdirnya mati ya mati!” Kata Nenek enteng sambil menggali lubang di permukaan bumi. Menggigit kulitnya, mencakar dengan kakinya, berharap ada air merah yang mampu melegakan dahaganya. Ia berusaha sampai keringat mengalir di tubuhnya. Aku hanya mampu memerhatikan kegiatannya. Sebenarnya aku pun lapar, sayangya aku sengaja mengurangi kuantitas makanku, bukan tersebab aku ingin puasa apalagi diet seperti saudaraku yang kegemukan darah di tubuhnya. Aku hanya bosan menyantap isi bumi yang mulai kehilangan iunsur haranya. Kau tahu? Raksasa Ngan bahkan tidak segan meracuni bumi sampai ke dalam perut-perutnya. Jadi, jangan heran jikalau daging yang kami gali pun ternodai, tidak lagi steril.
“Nek! Jangan terlalu banyak makan, kau bisa mati!”
“Hidup untuk mati, Cu! Aku sudah berkelana menjelajahi bumi-bumi yang lain, bumi lembab, bumi kekeringan, bumi basah, bumi botak, bumi lebat, bumi lengket, bumi busuk, bumi … ah semua bumi, puluhan bumi telah aku pijaki. Saatnya aku mati.”
“Sebelum kau mati, aku ingin tahu, bumi manakah yang paling ramai dan sepi?”
“Yang ramai bumi kering, paling sepi bumi botak, paling nyaman bumi lembab! Di sana, nyaris tidak ada sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam hutam, semua pohonnya hitam legam, kegelapan menyelimutinya, ada bau busuk yang menguar seram, kutelusuri sampai liku paling dalam dan inti bumi lembab, tak satu nyawa pun bersarang di sana, jika pun ada maka telah menjadi bangkai. Namun, Bumi lembab damai."
“Tempat mengerikan itu kau anggap damai? Bukankah lebih baik di bumi yang kita tinggali sekarang, Nek? Setidaknya meski pepohonan di sini hitam mulai kemerah-merahan dan mudah tumbang serta tercabut dari kulit bumi, tapi banyak makhluk keluarga kita, telur-telur yang belum menetas pun ratusan jumlahnya."
“Kau benar, Cu! Seharusnya kita bersyukur! Bumi di sini, jauh lebih baik daripada bumi lembab yang aku maksudkan, namun segalanya ada sisi positif dan negatifnya. Kelebihan di bumi lembab, jarang bermunculan Raksasa Ngan, mungkin karena suhu di sana tidak begitu panas, jadi Raksasa Ngan merasa kurang tertarik dengan keadaan buminya, belum lagi seperti ada selimut lebar yang berpori jaring laba-laba.”
“Jaring laba-laba? Apakah itu sangat mengerikan?”
“Tentu saja, tapi sebenarnya itu sebuah pelindung dari serangan Raksasa Ngan.”
“Ah, kembali ke Raksasa Ngan, aku tidak ingin mendengarkan ceritamu, lagi, Nek! Silakan jika mau mati!’ aku pergi meninggalkannya. Tidak peduli ia akan mati keracunan atau mati kekenyangan, yang ada di otakku sekarang adalah bagaimana caranya agar aku dan yang lain mampu menyelamatkan diri.
Matahari di langit bersinar sangat terik, jika masanya tiba, Raksasa Ngan akan muncul begitu saja, dan, ah! Aku lupa mengingatkan, nenek seharusnya tidak menggali lubang saat jagad sedang kepanasan, atau malapetaka akan datang. Korban sebentar lagi tergeletak di mana-mana, hutan akan diserang gempa dasyat. Mencari makan di saat terang menggilai langit, akan menyebabkan bencana besar.
Aku lari menerobos lekuk bumi, jika tak sabar menggelincirkan tubuh di badan pohon-pohon yang tumbang. Kukumpulkan penduduk bumi yang kutemui.
“Nenek menggali lubang, bergegas kumpul di puncak bumi, kita akan lompat dari bumi kering ini, rencana akan pindah ke bumi tetangga, di sana sedikit Raksasa Ngan yang berkeliaran!”
Penduduk histeris, berteriak-teriak ketakutan, lari pontang-panting, telur-telur diangkut di punggung, anak-anak menangis khawatir. Aku bergerak cepat. Angin kencang mulai datang. Sungguh menyesal aku larut dengan obrolan bersama Nenek, andaikan saja aku tidak memancingnya menceritakan pengalamannya hidup di bumi-bumi yang lain, tentu angin kencang tidak akan datang dan aku sendiri pasti sempat mengingatkan dua hal kepadanya, satu agar tidak melanjutkan bunuh diri, yang kedua supaya tidak menjadikan penduduk lain sebagai korban, sebab sudah kujelaskan menggali lubang saat matahari bersinar terik di langit samahalnya memberikan tumbal kepada penguasa Raksasa Ngan.
Mengerikan bukan? Maka jangan main-main dengan hidup!
Apa yang aku cemaskan datang juga. Langit gelap, permukaan bumi tertutup kulit cokelat. Matahari seperti ditelan tubuhnya. Empat kepala mulai mencakar-cakar tempat yang digali nenek. Tak perlu kau ratapi nasib nenek yang sudah pergi ke alam gaib. Ia adalah moyang teregois di bumi ini.
Kusuruh anak-anak berpegangan pohon, sekuat mungkin mereka berusaha, puluhan mati ketika Raksasa Ngan menyemprotkan cairan beracun. Aku lari dari puncak bumi, kugiring saudara yang masih hidup. Ketika di tebing jurang kening, kami lompat, membiarkan tubuh digiring angin, mendarat di bumi sembarang. Kami berpencar, namun setidaknya kami berhasil menyelamatkan diri. Tepian jurang yang baru saja kami lintasi adalah sebuah ruang kosong luar angkasa. Ada yang gelap, ada pula yang dipenuhi dengan cahaya-cahaya.
Kini aku di sini, menekuni hidup demi menunggu kematian pasti. Aku sungguh kesepian. Hanya aku yang terjebak di bumi lembab ini. Rasa-rasanya ingin kubunuh kesempatan hidupku. Aku bosan berkeliaran tanpa menjadi makna bagi kehidupan tersendiri.
Kujelajahi bumi lembab. Sepanjang mataku memandang, hanya ada pohon-pohon hitam yang beraroma busuk. Benar kata Almarhum Nenek, bumi lembab ini seperti tidak berpenghuni. Jika pun dihuni, maka hanya akan terlihat beberapa bangkai di sudut-sudut bumi. Setelah kuhitung, ada sepuluh mayat dewasa dan tiga mayat anak-anak. Mengerikan.
Kupikir-pikir nenek merupakan makhluk yang kuat. Di usianya yang renta ia sanggup menjelajahi beberapa bumi. Lain denganku, baru satu bumi lembab yang kujejaki, tapi napasku sudah megap-megap tidak kuasa menahan racun yang sepertinya agak mematikan. Dengan apa nenek bertahan hidup? Dan sungguhkah di sini jarang ada Raksasa Ngan? Jika benar aku ingin makan.
Sudah tiga jam aku tidak makan, tubuhku terasa lemas. Aku ingin menggali lubang di bumi kering, sayangnya tidak berani tersebab inti bumi telah terkontaminasi dengan racun-racun berbahaya. Akhirnya aku memaksa bibirku menggali lubang di bumi lembab! Kurasakan cairan anyir yang lebih amis. Kugelegak satu cegukan. Nikmat. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan segarnya air merah dari kandungan bumi seperti ini. Ah, terima kasih Nek, telah menunjukkanku bumi yang nyaman. Aku melanjutkan tenggakan!
Angin besar datang. Tiba-tiba saja tanpa hitungan seperkian detik, Raksasa Ngan berkepala merah dengan kuku tajam hinggap di permukaan bumi, menelindas tubuhku, meremukkan kepalaku, menghabisi nyawaku, membiarkanku menjadi bangkai menyedihkan. Suara serak dari luar angkasa menjelegar menggiring kepergianku.
“Kutu nakal! Berani-beraninya kau gigit diriku, hah? Aku sudah keramas tadi pagi! Mampus kau!” Suara yang amat mengerikan.
“Nek! Kau penipu! Raksasa Ngan di sini lebih sadis!” kataku terakhir, sebelum nyawaku melayang.
Magelang, 11 Desember 2017.