Masukan nama pengguna
Jika engkau mencintai seseorang, namun jasadmu ditolak di hadapan orang yang engkau cintai, maka akan engkau larikan ke manakah jiwa sengsaramu? Bunga kemboja hanya mampu diembus angin. Nisan-nisan merapalkan namamu, kafan lekas menunggu ajalmu. Takdir merestuimu pergi, namun tanah liat hendak memuntahkanmu!
Siang itu, langit murka, tanah hendak meretakkan permukaan, lempeng-lempeng tektonik bumi berniat membenturkan diri, mendukung kegersangan tanah yang diciptakan kemalangan, meskipun hujan berluluran membasahi tanaman di sisi-sisi pemakaman.
Empat puluh tahun lalu, kau dilahirkan dari rahim seorang wanita. Terproses dari cinta lelaki tua yang kini bersarang di dalam tanah pekuburan. Kecilmu ditimang, disusui, disuapi, diayunkan dengan kasih sayang, dilelapkan dalam pelukan. Ibumu mencucikan pakaian kotormu, ia pula yang mengantarkanmu sampai ke depan gerbang pendidikan demi menumpas kebodohan. “Biarlah Ibu susah payah mencarikan biaya sekolah untukmu, asalkan kau tidak menjadi orang bodoh seperti Ibu.” Sabda wanita itu seraya mengelus ubunmu.
Apakah engkau lupa? Senja tiga puluh tahun mundur hujan lebat. Kau mematung di koridor sekolah, menunggu seseorang menjemputmu dengan pandangan nanar. Sekolah sepi. Ruang kelas tidak berpenghuni, tinggallah dirimu dan penjaga sekolahan, memeluk gigil, menyambut tempias hujan yang dihantarkan oleh angin.
Ibumu datang, karena kau terlahir dari keluarga miskin, Ibumu tidak mampu membelikanmu jas hujan seperti nasib teman-temanmu, namun ia hadir menjemputmu. Payung dalam genggamannya, kau dituntutunnya menelusuri riak hujan yang berserak di trotoar. Bahumu direkatkan ke badan Ibu. Tentu saja engkau tidak melupakannya.
Malamnya tubuhmu panas, kau terserang demam. Ibu yang setiap petangnya menemuimu belajar mengerjakan PR menyuruhmu lelap lebih awal. Ia mengompres keningmu dengan air hangat, meminumkan parasetamol, memijit tubuhmu, berakhir dengan kecupan manis di kening. Asalkan kau tahu, malam seusai Ibu menutup pintu kamar tidurmu, ia menggumam di balik papan kayu yang kau tempeli stiker Mickey Mouse itu. “Duh Gusti, biarlah aku saja yang sakit menggantikan anakku.”
Kau sakit. Batuk. Hidungmu mampat. Ibu pontang-panting mencarikanmu obat. Ibu juga membuatkanmu surat izin tidak masuk sekolah, mengantarkan dengan langkah lugunya menuju gedung pendidikan. Pernahkah kau membuatkan surat izin bekerja untuk ibu sebab ia sakit? Tentu saja, kau tidak seperhatian itu di usiamu yang lugu. Waktu mundur mendudukkanmu di bangku empat sekolah dasar. Pemahamanmu belum sampai setahap hal itu. Maka, alam memaklumi kepolosanmu.
Ibumu ringkih, namun ia tetap saja bekerja untukmu. Menyekolahkanmu sampai SMA, bahkan berlanjut ke jenjang perkuliahan. Kau di Jakarta, Ibu di Magelang, Jawa Tengah. Puluhan kilometer menghalangi tatapan bola matamu dengan Ibu, namun jarak tersebut tidak menjadi benteng bibir Ibu setiap malam basah dengan rayuan doa-doa yang dihantarkan sepi kepada Tuhan.
Siangnya ia melanjutkan pekerjaan menjadi penjual bubur di teras rumahmu. Penduduk bergerombol, mengantre semangkuk bubur dengan sayur tahu berkuah santan buatan Ibumu. Tanpa kau sadari, kau telah tumbuh menjadi gadis mulia beralmamater kampus dari jerih payah jemari ibumu melunakkan beras di dapur sederhananya.
Kau tentu tidak lupa, saat usiamu menginjak angka lima belas tahun, sepulangmu dari Sekolah Menengah Pertama, usai menanggalkan seragam putih biru tuamu, langkah langsung kau arahkan menuju dapur, membantu Ibu meracik bumbu, menghaluskan bawang merah dan bawang putih, ikut memotong tahu, memarut kelapa lantas memerasnya untuk diambil cairannya. Di samping membantu pekerjaan Ibu, kau juga berusaha keras menjaga nyala api agar tetap konsisten hidup di dalam tungku, meniupnya jika api mati, tidak peduli abu menempel manja di pipi putihmu.
Takbir berdendang merdu. Anak-anak memukul beduk surau. Asma Tuhan melengking nyaring, masuk ke celah-celah sepi. Awan berarak manja, bertaburan di langit yang dihuni ratusan kerlip gumintang. Senyum bulan hari itu amatlah riang. Kau, kau duduk di ruang tamu. Ibu tersenyum, membelai ubunmu lantas memberimu dua pakaian baru.
“Kenakanlah untuk salat id dan silaturahmi ke sanak keluarga ya? Maaf, Ibu hanya bisa membelikanmu dua baju, besok ibu akan bekerja lebih keras lagi agar dapat membelikan baju baru yang lebih banyak.” Kau mengulum senyuman, mencium pipi Ibu, lantas meletakkan kain baru itu ke dalam almari, usainya kau lari menuju surau, bergabung dengan anak kampung yang lain untuk takbir keliling.
Dua puluh tahun lebih lima mundur kau menikah dengan seorang lelaki muda. Hidupmu berubah drastis. Kau lupa Ibu, kau meninggalkannya tanpa mengemban perasaan bersalah telah membiarkannya menahan rindu setiap waktu. Anakmu lahir dengan cinta yang luar biasa. Namun, kejadian pahit menimpamu, suamimu meninggal ketika usia anakmu belum sampai angka lima tahun. Kau menangis, meronta-ronta di hadapan khalayak ramai. Rasanya tidak sanggup membayangkan kehidupan perih di masa mendatang.
Ibumu hadir, memeluk pedihmu. Mengelus susahmu. Ia membantu menyekolahkan anakmu. Juga meringankan beban nafkah untuk anakmu dengan bubur beras olahannya. Begitulah terus menerus, hingga anakmu beranjak dewasa. Keuangan mulai menipis. Upah yang kau dapat dari mengajar di sekolah swasta masih kurang, maka Ibumu yang usianya mulai renta bermodal tenaga pas-pasan hijrah ke Jakarta, menjadi pembantu rumah tangga.
Pada tahun 2017, beberapa minggu yang lalu pada bulan September. Kau jatuh cinta. Usiamu renta, namun perasaanmu sedang berbunga, dengan seorang lelaki tua yang telah lama ditinggal meninggal oleh istrinya. Ia memiliki tiga anak dewasa, kau satu anak perempuan. Lantas kau menikah diam-diam tanpa sepengetahuan ibumu yang sudah sangat tua. Umurnya enampuluh lima tahun. Ia masih mengirimimu uang untuk anakmu. Bekerja semampunya membantu majikan mencuci piring, bersih-bersih rumah, dan memasak makanan, untukmu juga untuk anakmu.
Mendadak tetangga sekitar berkasak-kusuk, tidak ada gunanya kau sekolah setinggi langit, namun moralmu lenyap. Baktimu pada orangtua kalap. Lupakah engkau seusai ayahmu meninggal saat dirimu berumur dua belas tahun, hanya Ibu dan Ibu yang menjadi tulang punggungmu. Ia menyediakan hidangan saat menjelang waktu makan. Ia penjual bubur, kadang kau bosan, maka ia mencarikan menu yang engkau sukai. Belai lembut kasih sayangnya tercurah penuh untukmu, namun kau seperti telah menyia-nyiakannya. Barulah engkau sadar ketika merpati mengirimimu pesan dari Jakarta.
“Ibumu meninggal dunia.” Perasaanmu hancur. Barusaja kau dipinang janur kedua. Tidur di bahu suami yang mengeramkan cinta baru di hatimu. Makan di meja bersama tawa. Kau membangun awal kehidupan yang baru di usia tidak mudamu, dan Ibumu pergi. Jenazah dalam perjalanan menuju Magelang.
Kau tinggal di rumah mertua. Hari itu… lebih tepatnya beberapa minggu yang lalu pada bulan ini. Hujan menyaksikan kepulangan jenazah Ibumu, sosok yang melahirkanmu telah tiada. Sosok itu memejamkan mata, telah berkafan, tidak lagi mengingatmu. Tidak ada gunanya kau menangis menyesali kepergiannya, semuanya telah menjadi angin lalu. Keegoisanmu yang lebih mendahulukan cinta ketimbang Ibu akan tercatat pada buku amal Rakib dan ‘Atid. Alam raya, tanaman hijau yang berembun di halaman rumah mertuamu menjadi saksi, saksi kau menolak jenazah Ibumu.
“Saya baru saja menikah. Tidak mungkin upacara Ibu ada di sini, itu akan membebani keluarga baru saya.” Hujan murka. Tidak lagi menetes dari langit, namun mengalir dari mata-mata tetanggamu yang iba. Kau menundukkan kepala, merasa tidak tahu apa yang akan dilakukan. Jenazah Ibumu dipulangkan ke rumah tuamu yang tidak lagi berpenghuni. Tetanggamu mensholati Ibu, mengantarkan jenazah ke pemakaman, menguburnya. Nisan Ibu mengharapkanmu lekas menyusulnya. Daun kemboja mengamini.
Magelang, Oktober 2017.