Masukan nama pengguna
Aku ingin disentuh, aku cemburu dengan mereka, bagaimana mungkin aku tak mampu terjamah oleh apa pun? Kata Pak Hantu mereka menyukaiku, menginginkan kehadiranku, dijaga dari angin kencang, dibumbungkan tinggi-tinggi, namun mereka hanya bersorak menyemangatiku, tidak menyentuhku. Kepergianmu masih dikenang sebagai fosil tulang-belulang sebelum melebur menjadi tanah. Kepergianku? Hanya terpandang datar, tak berbekas. Apakah aku sama sekali tidak berguna bagi kehidupan makhluk yang lain? Aku sedih, tubuhku merekam semua permukaan alam, tanaman hijau dapat kuintip, kesibukan orang-orang desa tampak begitu jelas, kokok ayam meraung-raung memohon perhatian, pegunungan disoroti lampu langit, sementara wajah langit sendiri jelas berkeringat dingin sebab awan-awan menyembunyikan butiran air. Itu satu detik yang lalu__
Hidupku bermula di pagi hari, berakhir pula di waktu pagi. Jarang kusaksikan kerlip kunang-kunang langit, ralat, bukan jarang, melainkan belum pernah sama sekali. Aku hanya mendengar cerita-cerita tentang kunang-kunang yang menghiasi malam dari Pak Hantu yang delapan detik lalu bertengger di pohon nangka dekat dengan kamar mandi tuanku. Ia mengaduh, sebab fajar menyingsing, kokok ayam berkoor ria, katanya ia belum siap mencari persembunyian untuk memejamkan kelopak mata.
“Rutinitas alam terkadang sedikit menyebalkan, lagi-lagi pagi datang, aku sedih jika malam hilang.” Kalimat itu mengiringi kelahiranku. Aku mengerjabkan pandangan, mewarnai tubuhku dengan sembarang, kau mampu menatap bening, kemerah-merahan, kadang juga berbaur dengan warna ungu maupun hijau. Bening. Semua kulitku seperti kaca. Transparan. Sebenarnya kau boleh juga mengatakan bahwa jasadku merupakan potret dari kematian pelangi, warna-warna pelangi teradopsi di dalam tubuhku, meski tidak utuh tujuh rupa, namun tetap saja, ia mengindahkan pandangan duniamu. Kau kurang yakin? Perhatikan kelahiran sekejabku, kujamin kau akan terkesima.
“Hei, kau—” aku mulai menyapa. Aku ingin mengarahkan tubuhku agar lebih dekat dengannya, sayangnya aku tak mampu, Tuhan tidak memberikanku gaya gravitasi. Pekerjaanku hanyalah melayang dan mengambang di udara mengikuti arah mata angin. Ia sadar dengan panggilanku, maka ia yang berparuh runcing dengan dua bola mata tajam itu mengepakkan sayapnya, bulu-bulu Pak Hantu sangatlah indah, menakjubkan, andaikan aku diberi kesempatan menghitung aku ingin mengetahui jumlah bulu yang tumbuh di tubuhnya. Anggun sekali ia terbang, tubuhnya tercermin dalam beningku.
“Selamat datang, Bumbung! Senang melihatmu terbang.”
“Aku? Namaku Bumbungkah?”
“Ya, aku selalu memanggil nenek moyangmu yang meninggal lebih dahulu sebagai Bumbung."
“Mengapa demikian, Pak Hantu?” Aku penasaran. Angin yang berembus pagi ini lambat bagimu, namun tidak untukku. Ia membuatku tak mampu menyeimbangkan tubuhku dengan Pak Hantu. Mau tak mau, Pak Hantu, atau makhluk yang kau panggil burung itu yang menyeimbangkan tubuhnya agar sejajar denganku. Frekuensi kepakan sayapnya dipercepat, kadang juga diperlambat, tergantung dengan angin yang menggerakkanku. Sepertinya Pak Hantu sudah lihai menyesuaikan dirinya dengan Bumbung-bumbung sebelum diriku.
“Sebab kalian tidak pernah jatuh, kalian selalu terbang, membumbung tinggi, itulah sebabnya aku menyebut keluarga besar kalian sebagai Bumbung." Penjelasan yang dapat diterima. Aku menatap ke bawah. Kamar mandi umum terlihat sepi, dihuni satu makhluk yang sedang membantu kelahiran Bumbung-bumbung baru, lima telunjuknya meremas-remas lembaran kain, ah, lima telunjuk itu, apakah namanya? Rasanya aku menginginkannya. Bisa saja, jika aku mempunyai lima telunjuk sepertinya aku mampu mencari reranting pohon, menggenggam erat ranting tersebut agar mampu menghalau ajakan angin yang selalu mengharapkanku membumbung. Namun tunggu dulu, jika aku mempunyai telunjuk itu, maka Pak Hantu tidak akan memanggilku Bumbung, aku akan dieliminasi dari keluarga Bumbung, ia jelas akan menyebutku sebagai Penggenggam, bukan Bumbung. Baiklah, aku tak akan mengharapkan apa pun.
Tunggu dulu, apa yang panjang dengan lima telunjuk di lantai kamar mandi itu? Ia menggerak-gerakkannya, makhluk itu yang kusebut sebagai malaikat pemberi ruh bagi keluarga-keluarga mudaku sedang berjalan memindahkan kain yang sudah dibilas dengan air ke dalam tabung silinder yang berlubang di permukaan atasnya, bisa kau ukur diameternya sekitar dua puluh lima sentimeter.
“Pak Hantu, apa yang sedang dilakukan oleh malaikat itu? Bisakah aku menjadi penghidup Bumbung yang lain sepertinya?”
“Kau ini ada-ada saja, Bung? Bagaimana mungkin kau hendak melakukan itu? Setiap makhluk telah diciptakan sesuai dengan takdirnya sendiri-sendiri. Pekerjaan dan kebiasaanmu akan berbeda dengan makhluk berambut panjang itu."
“Ah, jadi malaikat itu namanya Rambut Panjang?”
“Bukan! Aku sering mendengarnya dipanggil gadis perawan!”
“Jadi perawan itulah yang melahirkan Bumbung-bumbungku?”
“Tentu saja, dengan bantuannya.”
Aku takjub sekali, aku tak menatap angkasa, aku lupa dengan angin yang tak pernah memiliki lelah untuk menggiringku, aku juga abai dengan pijaran lampu langit yang bertambah menerang. Banyak hal yang mampu terlihat melalui tubuhku sebab aku diciptakan transparan, Tuhan memberiku kesempatan untuk menikmati banyak hal dalam waktu seperkian detik saja. Adil sekali bukan? Coba Pak Hantu itu? Ia mampu melihat alam di sayap kanannya jika lensanya menoleh ke kanan, jika ingin memerhatikan kejadian-kejadian daun berguguran di alam, ia haruslah menoleh ke bawah, memerhatikan setiap daun-daun kering yang tumbuh di dahan-dahan renta, atau bisa juga dengan langsungterjun ke pangkuannya. Lain denganku, aku tak perlu susah payah pergi ke permukaan daratan, aku juga tak perlu berlelah-lelah menoleh ke kanan apalagi ke kiri, tubuh beningku adalah kamera alamiah ciptaan Tuhan.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Bumbung?” tanya Pak Hantu.
“Aku sedang iri dengan perawan di kamar mandi umum itu.”
“Menagapa kau iri?”
“Ia bisa menciptakanku, bisa bergerak ke sana sini, memiliki dua puluh telunjuk, memiliki ratusan helai rambut, juga mampu menabak lama di bumi, mengapa aku tidak, Pak Hantu? Kau bahkan mirip dengannya, hanya saja kau sedikit buruk rupa,” jujurku. Pak Hantu melambankan kepakan sayapnya, ia di belakangku. Aku tertawa, yang keluar bukan suara seperti kicau Pak Hantu, melainkan serbuk-serbuk embun ringan.
“Bumbung, kau ini sangat aneh. Seharusnya kau melihat sisi yang lain dari dirimu sendiri, betapa beruntungnya dirimu, kau tercipta dengan kemampuan merekam banyak hal, aku? Aku tidak, kau lihat diriku! Aku tersebut sedikit menyeramkan oleh beberapa makhluk temannya perawan di bawah sana, mereka bilang aku sedikit seram. Dan asalkan kau tahu juga, hidupku digariskan oleh Tuhan di tempat-tempat yang gelap, jika bukan gua, hutan yang rimbun, pinggiran kampung-kampung makhluk itu yang ramai dengan pepohonan beringin, tragis di pusara makam, bertengger di dahan pohon kemboja, mataku tajam menakuti banyak belia di muka bumi ini, kau? Kau tidak, nenek moyangmu pernah dipuji, bahkan jika takdir hari ini mengajakmu berkeliling di hadapan wajah belia, namamu akan tersebut sebagai kehidupan yang menyenangkan, kau akan membumbung ringan dengan tepukan-tepukan cinta dari belia-belia, kau akan dihidupkan dengan bibir mereka, ditiup, ruhmu akan diramu dari zat –zat yang tak kuketahui namanya, mereka merahasiakannya, mungkin khawatir aku mencuri resep ruh untuk melahirkan hidup keluargamu, Bung!” Pak Hantu berkata panjang dan lebar. Aku memahami.
“Belia itu apa?” Aku tidak berdusta, aku memang sedang bingung.
“Belia adalah anak-anak kecil yang dilahirkan dari rahim gadis perawan di bawah itu.”
“Menakjubkan! Mungkinkah ia Tuhan yang mampu menciptakan segala hal?”
“Bukan! Ia justru makhluk ciptaan Tuhan yang diberi banyak tugas untuk mengumpulkan pundi-pundi amal menjemput kematiannya.”
“Pundi amal?”
“Iya, untuk makhluk itu ada dua tempat bagi pundi amalnya, ada surga bagi pundi amal kebaikan, juga pundi amal neraka untuk keburukan. Sementara tidak untukmu, Bung! Kau mati, ya mati saja, tidak mempermasalahkan pundi-pundi amalmu, beruntung bukan?”
“Apa itu neraka?”
“Ah Tuhan, apa sungguh kau tidak tahu apa-apa?”
“Bagaimana aku tahu hal-hal yang tidak terkasap mata? Pundi amal itu abstrak, neraka juga surga pun abstrak, sementara aku diciptakan untuk merekam alam-alam nyata, gunung, langit, gedung-gedung—”
“Oke, oke aku memahamimu. Neraka itu—” Pak Hantu mulai menjelaskan. Aku memaksa diriku untuk memerhatikan dengan seksama. Beruntung udara berembus secara teratur, jadi tubuhku seimbang tak berguncang, jika angin mengencang sedikit saja, musnahlah jasadku dalam sekejap kedipan.
“Aku pun tak begitu tahu.” Pak Hantu membuatku kecewa.
“Hahaha, neraka intinya seperti gua yang penuh dengan api, bahan bakarnya yang para teman perawan-perawan itu, jika banyak amal buruk dalam pundinya, maka mereka akan dijadikan sebagai kayu bakar.”
“Wah! Seram, lalu apa itu surga?”
“Hal-hal yang indah terangkum di dalam surga, kudengar dari para teman perawan yang sedang berbicara kosong di beranda-beranda istana mereka bahwa surga adalah potret tempat dari segala kenikmatan, sungai-sungai mengalir tenang, ada makanan melimpah, ada istana-istana megah, ada bidadari-bidadari cantik, bagi mereka yang mengisi pundi amalnya penuh dengan kebaikan-kebaikan, dan—entahlah, aku tidak terlalu jelas memerhatikan makhluk perawan itu, bagiku lebih nikmat menghitung kunang-kunang langit."
“Ah, Pak Hantu! Apalagi itu kunang-kunang langit, aku ingin mengetahuinya, lalu seperti apa itu bentuk kebaikan, bentuk keburukan?”
“Kau selalu ingin tahu, Bumbung. Baru dirimu yang banyak bicara denganku, keluarga-keluarga sebelummu lebih banyak diam dan pasrah dengan kematian mereka.”
“Aku ingin punya pengetahuan indah sebelum aku mati, Pak Hantu. Jadi bagaimana bentuk kebaikan?”
“Kebaikan itu seperti rupamu, Bumbung?”
“Diriku? Bagaimana mungkin itu aku? Aku tak mampu berbuat apa-apa.”
“Sudah aku katakana bukan? Bahwa kehadiranmu disukai para belia, Bumbung, kau pemberi kebahagiaan untuk mereka di masa kanak-kanak, Bumbung. Kau juga tempat penyimpan memori tentang rindu waktu yang pernah menjadi masalalu, aku adalah saksi dari kehidupan belia perawan itu, Bung! Mereka menyukaimu, Bung, dalam dunia mereka kau dipanggil sebagai Gelembung.’
“Oh, aku punya nama sedikit aneh, entah mengapa aku lebih suka dipanggil Bumbung daripada Gelembung.”
“Ya, Bung. Selain itu kelahiranmu juga usai ruhmu membantu perawan di bawah itu membunuh noda-noda membandel yang bersarang di kain-kain mereka, Bung!”
Luar biasa! Sungguhkah itu diriku? Hidupku kurasa berarti daripada perawan cantik di bawah sana. Ah, aku tak pantas mengeluh, seharusnya aku mencontoh kepribadian makhluk berambut panjang yang hanya diam itu, juga kebaikan Pak Hantu yang tidak lelahnya menceritakan banyak hal seputar kehidupan yang tak dapat kukasap, sebab aku tak memiliki mata meskipun aku mampu menatap.
“Terima kasih, Pak Hantu. Sekarang aku siap mati. Aku akan tenang di alam surga.”
“Kau tidak masuk surga, Bung!”
“Oh ya aku lupa!” Aku mentertawakan keluguanku.
Pak Hantu menatapku tajam. “Senang bertemu denganmu, Bung. Mulai detik ini aku pun akan bersyukur sebab hidupku lebih lama darimu, aku tidak akan protes lagi jika pagi cepat datang dan malam cepat hilang.”
Apakah ia baru saja menghinaku?
“Selamat jalan!” Ia berpaling dariku. Aku ditinggalkan sendirian, menatap alam raya yang menakjubkan. Tubuhku terus melambung, hingga pada titik akhir, angin kencang melenyapkanku dan aku menerimanya ikhlas tanpa keluhan.
Magelang, 23 November 2017.