Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,395
Penjara Abadi
Horor

Penjara Abadi

Rian terbangun dengan kepala berdenyut, napas tersengal, dan tenggorokan kering. Matanya mengerjap, mencoba membiasakan diri dengan kegelapan yang pekat. Udara dingin menusuk tulang, membawa serta aroma apak yang khas – aroma lembap, karat, dan sesuatu yang busuk, seperti daging membusuk. Ia merasakan permukaan keras di bawah punggungnya, dan ketika ia mencoba duduk, kepalanya membentur sesuatu yang dingin dan berkarat.

"Sial," gumamnya, meraba-raba dalam kegelapan. Tangannya menyentuh jeruji besi yang tebal dan dingin. Seketika, kepingan memori yang kabur mulai muncul. Sebuah kecelakaan? Jalanan yang basah, lampu depan yang menyilaukan, suara decitan ban… lalu kegelapan. Tapi ini bukan rumah sakit. Ini… penjara?

Cahaya remang-remang dari celah kecil di dinding mulai menampakkan sekelilingnya. Sebuah sel kecil, kotor, dengan dinding batu yang ditumbuhi lumut. Jeruji besi tebal di depan, dan di pojok, sebuah kloset jongkok yang tampak sudah sangat lama tidak dibersihkan. Tak ada jendela. Hanya kegelapan dan jeruji.

"Halo?" suaranya serak, memecah keheningan. "Ada orang di sini?"

Tak ada jawaban. Hanya gema dari suaranya sendiri yang kembali padanya, terdengar asing dan penuh keputusasaan. Rian bangkit berdiri, tubuhnya terasa kaku dan nyeri di mana-mana. Ia berjalan ke jeruji, memeganginya, dan mengintip keluar. Lorong yang panjang dan sempit membentang di depannya, diterangi oleh lampu pijar yang redup dan berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding. Sel-sel lain berjejer di kedua sisi, sebagian besar gelap, sebagian lagi berisi bayangan samar yang tampak tak bergerak.

Beberapa jam berlalu. Atau mungkin lebih. Rian tak bisa memastikan waktu. Ia hanya bisa mondar-mandir di dalam sel sempit itu, memikirkan apa yang terjadi. Siapa dia? Kenapa ia di sini? Yang ia ingat hanyalah namanya, Rian, dan fakta bahwa ia merasa benar-benar asing dengan tempat ini.

Akhirnya, langkah kaki berat terdengar mendekat. Seorang pria tinggi besar dengan seragam penjaga yang usang muncul dari kegelapan. Wajahnya keras, dengan mata yang cekung dan pandangan kosong. Ia membawa nampan berisi makanan – nasi yang tampak kering dan sayur layu.

"Makan," katanya dengan suara berat, tanpa emosi, menyelipkan nampan melalui celah di jeruji.

Rian mundur sedikit, merasa ngeri dengan penampilan penjaga itu. "Tunggu! Ada apa ini? Kenapa aku di sini? Aku tidak ingat apa-apa!"

Penjaga itu hanya menatapnya, matanya seolah menembus Rian. "Semua orang di sini punya alasan. Kau akan tahu."

Lalu ia pergi, tanpa menunggu jawaban atau pertanyaan lebih lanjut. Rian menatap makanan itu dengan jijik, tetapi rasa lapar yang hebat akhirnya mengalahkannya. Ia makan dengan cepat, meskipun rasa makanan itu hambar dan dingin.

Pergulatan dengan Memori dan Realitas

Hari-hari berikutnya terasa seperti siksaan. Rian berusaha berbicara dengan tahanan di sel lain, tetapi tak ada yang merespons. Mereka hanya duduk diam di pojok sel masing-masing, menatap kosong ke depan, seolah jiwa mereka telah lama meninggalkan tubuh. Hanya ada sesekali bisikan samar yang terdengar dari sel-sel tertentu, bisikan yang terlalu lemah untuk Rian pahami. Suara-suara itu terdengar seperti desah napas terakhir, rintihan putus asa, atau bahkan tawa yang hampa, membuat bulu kuduk Rian merinding. Kadang, ia bersumpah mendengar namanya disebut-sebut dari kegelapan, sebuah bisikan serak yang seolah menggerogoti kewarasannya.

Ia mulai mengamati lebih jauh. Dinding selnya terasa seperti bernapas, lumut yang menempel tampak bergerak-gerak seperti urat nadi. Udara dingin di sini bukan hanya dingin fisik, tetapi dingin yang seolah merasuk ke dalam tulang, ke inti keberadaannya, membekukan harapan dan ingatan. Ia mencoba menekan telinganya ke dinding, berharap mendengar suara dari luar, suara kehidupan. Namun yang ia dengar hanyalah dengung konstan, seperti ribuan nyawa yang terperangkap, berdesah di dalam batu.

Kejanggalan lain mulai muncul. Makanan yang diberikan Pak Darso, meskipun hambar, selalu ada. Tapi ia tidak pernah melihat makanan itu diantar. Penjaga itu hanya muncul begitu saja, seperti bayangan yang terwujud dari kegelapan, menyerahkan nampan, lalu menghilang tanpa jejak suara langkah. Air yang ia minum terasa dingin dan berbau aneh, seperti air dari kuburan tua. Setiap tegukan seolah memadamkan percikan kecil semangat yang masih ada dalam dirinya.

Setiap malam, ia dihantui mimpi buruk yang sama: kilatan cahaya, suara benturan logam yang merobek telinga, jeritan. Ia terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang, dan ketakutan yang tak beralasan mencekiknya. Ketakutan itu bukanlah takut pada penjara, melainkan takut pada apa yang ia lupakan. Ada sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang fundamental, yang tersembunyi di balik kabut amnesianya.

Bisikan dari Balik Jeruji

Suatu malam, Rian mendengar suara tangisan dari sel di seberangnya. Suara seorang wanita. Ia bergegas ke jeruji. "Halo? Kau baik-baik saja?"

Tangisan itu berhenti. Lalu, sebuah suara parau menjawab, "Tidak ada yang baik-baik saja di sini, Nak."

Sosok wanita tua muncul dari kegelapan selnya. Wajahnya keriput, rambutnya putih berantakan, dan matanya merah, berkilat aneh dalam remang-remang. "Kau yang baru?"

Rian mengangguk cepat. "Ya. Aku Rian. Aku tidak tahu kenapa aku di sini."

Wanita itu tertawa pahit, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati Rian. "Tak ada yang pernah tahu di awal. Tapi kau akan segera mengerti."

"Mengerti apa?" Rian bertanya, hatinya berdebar. Ia merasakan aura dingin yang terpancar dari wanita itu, lebih dingin dari udara penjara.

"Bahwa kita semua sudah mati," bisik wanita itu, suaranya nyaris tak terdengar, namun terdengar sangat jelas di telinga Rian. "Penjara ini… bukan penjara di dunia orang hidup. Ini tempat penahanan bagi arwah yang belum ikhlas."

Tubuh Rian menegang. Darahnya terasa membeku. "Apa? Kau… kau bicara apa? Aku tidak mengerti."

"Kau mati, Nak. Kita semua mati!" ulang wanita itu, nadanya kini tegas, suaranya sedikit meninggi. "Penjara ini menahan kita karena kita belum bisa menerima. Entah karena penyesalan, amarah, atau hanya kebingungan. Selama kita tidak menerima kematian kita, selama kita tidak bisa menemukan kedamaian, kita akan tetap terjebak di sini." Wanita itu melangkah lebih dekat ke jeruji, matanya yang merah menatap Rian lurus. "Kau harus mencari petunjukmu. Penjara ini akan memberikanmu itu, pada waktunya. Semua yang kau lupakan akan kembali menghantuimu."

Pikiran Rian kalut. Ia mencoba menolak. Ini tidak masuk akal. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya sendiri, napasnya, rasa sakit di tubuhnya. Tapi… ia juga tidak ingat bagaimana ia sampai di sini. Tidak ada jejak luka serius di tubuhnya, padahal ia yakin baru saja mengalami kecelakaan hebat.

"Bagaimana… bagaimana aku bisa tahu?" Rian bertanya, suaranya bergetar.

Wanita itu menunjuk ke sudut sel Rian. "Cari. Akan ada petunjuk. Selalu ada." Wanita itu tiba-tiba tersenyum, senyum yang mengerikan dan tidak wajar, menampakkan gigi-gigi yang menghitam. "Dan jangan biarkan mereka membuatmu melupakan lebih jauh. Mereka ingin kau tetap di sini, menjadi bagian dari penderitaan ini."

"Siapa mereka?" Rian mundur selangkah, kengerian mencengkeramnya.

Namun wanita itu hanya menggeleng, senyumnya tetap membeku di wajahnya, sebelum akhirnya ia mundur kembali ke dalam kegelapan selnya.

Penemuan yang Menghancurkan

Rian kembali ke selnya, hatinya berpacu kencang. Ia mencari dengan panik, meraba-raba setiap sudut. Di bawah ranjang, ia menemukan sesuatu. Sebuah koran usang, terlipat rapi, seolah sengaja diletakkan di sana, menantinya. Dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya. Tanggalnya sudah lama, beberapa bulan yang lalu. Dan di halaman depan, ada berita utama dengan foto yang buram.

Kecelakaan Maut di Jalan Tol Trans-Jawa: Dua Korban Meninggal Dunia, Salah Satunya Pengemudi Mobil Sedan.

Di bawah judul itu, ada foto reruntuhan mobil yang hancur, dan di sebelahnya, sebuah nama: Rian Sanjaya.

Napas Rian tercekat. Tulisan itu buram, kabur, namun nama itu jelas. Fotonya, meskipun tidak terlalu jelas, entah kenapa terasa familier. Ia membaca lagi dan lagi, setiap kata mengukir kebenaran yang mengerikan di benaknya. Pengemudi mobil sedan… meninggal dunia.

Ia menjatuhkan koran itu, lututnya lemas. Ia ambruk ke lantai yang dingin, air mata mengalir tanpa henti. Tidak. Ini tidak mungkin. Ia tidak mati. Ia tidak mati! Ia masih ada di sini, merasakan segalanya. Ini hanyalah mimpi buruk yang mengerikan.

"Bohong!" teriaknya, memukul lantai dengan frustrasi. "Ini bohong!"

Wanita tua di sel seberang tersenyum tipis, senyum yang mengandung kesedihan dan pengertian. "Kau sudah melihatnya, bukan? Kebenaran itu menyakitkan, Nak. Tapi kau harus menerimanya."

Realitas yang Mengerikan dan Ancaman yang Tersembunyi

Beberapa hari berikutnya adalah neraka bagi Rian. Ia bergulat dengan kenyataan pahit itu. Amarah, penolakan, kesedihan yang mendalam – semua bercampur menjadi satu, melumpuhkannya. Ia berteriak pada para penjaga, menuntut penjelasan, tetapi mereka hanya menatapnya dengan tatapan kosong yang sama, seolah tatapan mereka menusuk langsung ke dalam jiwanya, mencoba merampas sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tatapan itu terasa seperti gravitasi, menariknya ke dalam kehampaan yang sama seperti mereka.

Ia mencoba berbicara dengan para tahanan lain, memohon agar mereka memberitahunya cara keluar, tetapi mereka hanya terdiam. Kadang, mereka akan menatapnya dengan mata yang cekung, dan Rian bersumpah melihat pantulan seringai puas di sana, seolah mereka menikmati penderitaannya.

Perlahan, Rian mulai memperhatikan hal-hal aneh lainnya. Para penjaga, misalnya. Mereka tak pernah makan, tak pernah beristirahat. Gerakan mereka kaku, seperti boneka yang digerakkan oleh benang tak terlihat. Dan wajah mereka… selalu sama, tanpa ekspresi, kecuali sesekali kilatan mata kosong yang terasa seperti jurang tak berdasar. Lalu, para tahanan. Beberapa di antaranya sesekali akan menghilang dari sel mereka, lalu muncul lagi beberapa hari kemudian, tampak sedikit lebih transparan, sedikit lebih lemah. Seolah-olah mereka memudar, atau diserap oleh sesuatu yang tak terlihat.

Suatu hari, Rian melihat seorang tahanan wanita yang sudah sangat tua, rambutnya putih seluruhnya dan kulitnya mengeriput, tiba-tiba memudar di depan matanya. Tubuhnya menjadi tembus pandang, seperti asap, dan perlahan menghilang ke udara tipis. Selnya kosong.

Rian terguncang. Ia bertanya pada wanita tua di seberangnya. "Apa yang terjadi padanya?"

Wanita itu tersenyum. "Dia sudah ikhlas, Nak. Dia sudah menerima. Dia menemukan kedamaiannya dan bebas." Wanita itu kemudian menatap Rian dengan tatapan yang lebih intens. "Tapi kau harus hati-hati, Nak. Para penjaga, dan bahkan beberapa dari kita di sini… mereka tidak ingin kau pergi. Mereka telah lama terjebak, dan mereka mencari pengganti. Mereka ingin kau menjadi bagian dari penjara ini selamanya."

"Bebas?" Rian merasakan secercah harapan yang tipis, namun juga ketakutan yang mencekik. "Jadi… kita bisa bebas?"

"Tentu saja," jawab wanita itu. "Tapi tidak semudah itu. Kau harus benar-benar ikhlas. Bukan hanya dengan pikiran, tapi dengan hati. Kau harus melepaskan semua penyesalan, semua amarah, semua ikatan yang membuatmu terjebak di sini." Ia berbisik lagi, suaranya hampir tidak terdengar, "Penjara ini memakan jiwa-jiwa yang menolak kebenaran. Semakin kau menolak, semakin kuat ia mencengkerammu, semakin sulit bagimu untuk melihat jalan keluar."

Mencari Kedamaian di Antara Kengerian

Rian mulai merenung. Ia mengingat kembali kecelakaan itu. Kilasan-kilasan memori mulai berdatangan, lebih jelas dan tajam dari sebelumnya, namun juga lebih menyakitkan. Ia ingat ia sedang terburu-buru, mengabaikan peringatan ban licin, dan menyalip kendaraan lain di tikungan yang seharusnya tidak dilewati. Ia ingat kilasan truk yang datang dari arah berlawanan, lampu depannya yang menyilaukan seperti mata iblis, suara klakson yang memekakkan telinga, dan bau karet terbakar yang menyengat. Ia meninggal karena kecerobohannya sendiri, karena egoismenya yang ingin cepat sampai. Rasa bersalah menggerogotinya, melumpuhkan setiap sel dalam tubuhnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas kematiannya, dan juga kematian satu penumpang lain yang ia tidak ingat siapa. Itulah yang membuatnya tidak tenang.

Ia menghabiskan hari-hari berikutnya dalam meditasi yang dalam, mencoba menerima takdirnya. Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan tentang hidupnya sebelum penjara itu datang. Orang tuanya, teman-temannya, impian yang belum tercapai. Ia merasakan gelombang kesedihan, tetapi juga kedamaian yang aneh. Ia mati. Ia sudah mati. Ini adalah kenyataan.

Semakin Rian menerima, semakin ia merasa ringan. Dinding selnya tidak lagi terasa mencekik. Lampu pijar yang berkedip-kedip tidak lagi mengganggu. Suara bisikan samar dari sel lain tidak lagi membuatnya takut, melainkan terasa seperti lagu sendu dari jiwa-jiwa yang tersesat. Ia mulai melihat esensi sejati dari para tahanan dan penjaga di sekitarnya. Mereka adalah arwah-arwah yang tersiksa, terikat oleh rantai penyesalan dan penolakan. Penjara ini adalah ilusi yang mereka ciptakan sendiri, sebuah bentuk purgatori yang dibentuk oleh kolektif kesedihan mereka, sebuah entitas yang memakan penderitaan.

Kebebasan dan Pengganti yang Baru Datang

Suatu pagi, Rian terbangun dengan perasaan yang berbeda. Cahaya di selnya terasa lebih terang. Ia merasa damai, kosong dari segala amarah atau penyesalan. Ia melihat ke tangannya, dan terkejut. Tangan itu sedikit transparan. Ia bisa melihat garis samar dari dinding di baliknya.

"Aku… aku mulai memudar," bisiknya.

Wanita tua di seberang sel tersenyum lembut. "Itu artinya kau sudah hampir bebas, Nak. Selamat."

Beberapa penjaga melintas di lorong, tetapi kali ini, Rian melihatnya dengan jelas. Wajah mereka yang kosong dan kaku tidak lagi menakutkan, melainkan menyedihkan. Mereka hanyalah proyeksi dari keputusasaan kolektif yang menahan tempat ini. Salah satu dari mereka adalah seorang pria paruh baya dengan seragam yang paling usang, dengan tatapan yang paling hampa. Ia adalah orang yang pertama kali memberinya makan. Rian mengenali penjaga itu sebagai Pak Darso, yang sering memberikan makanan padanya.

"Pak Darso," panggil Rian. "Aku akan pergi."

Pak Darso menoleh, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit ekspresi di matanya – semacam kesedihan yang samar, atau mungkin hanya pantulan kekosongan yang tak berujung. "Selamat jalan, Nak," bisiknya, suaranya terdengar lebih jernih dari biasanya, namun masih sarat akan kesedihan yang mendalam. "Semoga kau menemukan kedamaianmu."

Tubuh Rian semakin memudar. Ia merasa tarikan lembut yang menariknya ke atas, ke arah cahaya yang mulai muncul di ujung lorong – cahaya putih yang hangat, mengundang, seperti pelukan dari akhirat. Ia merasa ringan, seolah beban berton-ton telah terangkat dari pundaknya.

Ia melangkah maju, kakinya yang kini tembus pandang tak lagi menyentuh lantai. Lorong itu memanjang di depannya, dan cahaya itu semakin terang. Ia mendengar suara Pak Darso yang berbisik, suaranya kini terdengar jelas di telinganya, "Kau bebas sekarang, Nak. Tapi… penjara ini tak pernah kosong."

Kata-kata itu membuat Rian sedikit ragu. Penjara ini tak pernah kosong? Apa maksudnya?

Sebelum sepenuhnya menghilang ke dalam cahaya, Rian menoleh ke belakang, digerakkan oleh naluri yang tak bisa dijelaskan. Dan apa yang dilihatnya membuat jantungnya yang kini tak berdetak, terasa mencelos.

Di sel yang baru saja ditinggalkannya, di sudut yang sama tempat ia pertama kali terbangun, tergeletak di lantai yang dingin, ada seorang pemuda baru. Ia berambut acak-acakan, kemejanya robek di beberapa tempat, dan matanya mengerjap-ngerjap kebingungan. Ia memegang kepalanya, meringis, dan berteriak, suaranya dipenuhi kepanikan yang persis sama dengan yang Rian rasakan dulu.

"Di mana aku? Kenapa aku di sini?!" teriak pemuda itu, suaranya memantul di dinding batu yang suram.

Rian melihat ke sekeliling. Para narapidana di sel-sel lain, yang sebelumnya tampak kosong dan tak berjiwa, kini tersenyum lebar, senyum-senyum yang mengerikan, mata mereka gelap dan penuh harap. Seolah-olah mereka telah menanti kedatangan pemuda ini. Seolah-olah mereka adalah predator yang kelaparan, dan pemuda itu adalah mangsa baru mereka, yang akan mereka hancurkan perlahan-lahan.

Pak Darso, penjaga dengan seragam usang itu, berjalan mendekati sel pemuda tersebut. Langkahnya tenang, tetapi ada aura yang sangat menakutkan di sekelilingnya, aura yang kini Rian kenali sebagai kebosanan abadi yang mencari hiburan. Ia berhenti di depan jeruji, menatap pemuda itu dengan tatapan yang sama menyesatkan seperti saat ia menyambut Rian dulu.

"Tenang, Nak. Kau di sini karena suatu alasan," kata Pak Darso, suaranya dalam dan penuh janji palsu, namun Rian kini mendengar nada ancaman tersembunyi di dalamnya. "Nanti juga kau akan ingat..."

Rian melihat ke lantai sel pemuda itu. Di sudut yang sama, persis seperti yang ia alami, tergeletak koran usang yang sama, seolah penjara itu adalah sebuah panggung yang mengulang drama yang sama, berulang kali, dengan aktor-aktor baru.

Cahaya putih itu menarik Rian sepenuhnya. Suara Pak Darso memudar, digantikan oleh keheningan yang damai. Rian merasa dirinya melayang, bebas, melangkah ke dimensi yang tak bisa ia pahami. Ia telah menemukan kedamaian, tetapi harga kedamaian itu adalah penderitaan orang lain. Penjara Abadi akan terus beroperasi, memakan jiwa-jiwa yang tersesat, selamanya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)