Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,425
Panti Jompo Harum Melati
Horor

PANTI JOMPO HARUM MELATI


BAGIAN 1: KEDATANGAN

Dina menghela napas panjang. Aroma minyak kayu putih yang samar bercampur bau amis bekas ikan di jok mobil jemputan membuat perutnya mual. Mobil berhenti di depan Panti Wredha Harum Melati, sebuah bangunan tua bergaya kolonial yang megah sekaligus menyeramkan, dikelilingi pohon-pohon beringin lebat yang dahan-dahannya menjuntai seperti lengan keriput. Sebuah aroma aneh menguar dari gerbang—seharum bunga melati, namun menusuk hidung, terlalu manis sampai membusuk, seperti bangkai yang diselimuti kembang setaman.

"Jangan khawatir, Neng," kata Pak Joko, sopir jemputan itu, sambil menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuningnya. "Walau angker, tempat ini bayarannya paling tinggi. Cukup buat adik Neng kuliah sampai sarjana."

Dina hanya mengangguk tipis, mengabaikan komentar yang terdengar lebih seperti ejekan ketimbang hiburan. Uang. Itu satu-satunya alasan dia ada di sini. Biaya kuliah adiknya, yang baru saja diterima di fakultas kedokteran, melonjak tak terkira. Ini adalah jalan satu-satunya.

Ia membuka pintu mobil, kakinya melangkah hati-hati ke teras panti yang berubin terakota kusam. Udara terasa lebih dingin di sini, seolah panti ini memiliki iklimnya sendiri, terpisah dari dunia luar. Baru beberapa langkah, sebuah tangan kurus dan dingin tiba-tiba menggenggam lengannya. Dina tersentak, menoleh. Seorang wanita tua dengan rambut seputih kapas dan mata cekung berdiri di sampingnya, tatapannya kosong namun tajam.

"Jangan tidur di kamar sebelah barat," bisik wanita itu, suaranya serak dan bergetar seperti daun kering ditiup angin. "Dia suka datang dari situ."

Dina mengerutkan kening. Siapa "dia"? Sebelum sempat bertanya, wanita tua itu sudah berlalu, melangkah pelan menuju bangku kayu di beranda, meninggalkan Dina dengan teka-teki yang merayapi benaknya.

Seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat putih bersih menghampirinya. "Selamat datang, Suster Dina. Saya Bu Lastri, kepala perawat di sini." Senyum Bu Lastri tampak ramah, namun matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan, seperti cermin yang memantulkan bayangan gelap. "Mari saya antar ke kamar Anda. Dan saya harap Anda tidak keberatan dengan kamar di sebelah barat. Itu satu-satunya yang tersisa."

Dina menelan ludah. Kata-kata wanita tua tadi terngiang di telinganya. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau… Saat melewati sebuah cermin besar di lorong, sekilas Dina melihat refleksinya tersenyum sendiri, sebuah senyum tipis dan asing yang tidak terasa seperti miliknya. Ia menoleh cepat, namun bayangan di cermin kini hanya memantulkan ekspresi bingungnya.

Malam pertamanya diwarnai suara-suara yang tak biasa. Suara langkah kaki menyeret di lorong yang kosong, langkah-langkah lambat dan berat yang berhenti tepat di depan pintunya, lalu lenyap begitu saja. Beberapa kali ia meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi, efek kelelahan setelah perjalanan panjang dan pikiran yang kalut. Namun, dari ventilasi di atas tempat tidurnya, ia mendengar bisikan samar, suara seorang wanita yang lirih dan berulang-ulang menyebut sebuah nama: "Kartika... Kartika..." Dina tidak mengenal nama itu.

Saat ia terlelap, sesuatu yang lebih mengganggu terjadi. Ia terbangun di tengah malam, napasnya tersengal. Aroma melati yang membusuk itu kini terasa lebih pekat, memenuhi seluruh ruangan. Samar-samar, ia merasa seperti ada yang menatapnya dari sudut kamar yang gelap. Dingin menusuk tulang. Ketika matanya terbiasa dengan kegelapan, ia melihatnya. Sehelai bunga melati segar, kelopaknya masih basah oleh embun, tergeletak di bantalnya, tepat di samping telinganya. Bukan satu, melainkan tiga helai, tersusun rapi. Jantung Dina berpacu. Ia tidak pernah membawa bunga melati ke kamarnya. Dari mana asalnya? Dan siapa yang meletakkannya di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, mengoyak ketenangan malam. Dina tahu, malam-malam di Panti Wredha Harum Melati tidak akan pernah sama.

BAGIAN 2: RAHASIA CATATAN DOKTER

Hari-hari pertama Dina di Panti Harum Melati adalah rangkaian kejanggalan yang terus meningkat. Aroma melati yang membusuk itu seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari udara, menempel di pakaian, meresap ke pori-pori kulit. Namun, yang lebih mengganggu adalah perilaku para lansia. Mereka sering kali linglung, melupakan hal-hal dasar seperti nama mereka sendiri atau tempat kelahiran mereka, namun anehnya, mereka semua sering menggumamkan kalimat yang sama. Dari ventilasi kamarnya, bisikan lirih itu sesekali terdengar, kini menyebut nama lain: "Joni... Joni..."

Setiap pagi, saat Dina membantu Mbah Surti, seorang lansia berusia sekitar 80 tahun yang terlihat paling sehat di antara yang lain, membersihkan diri, Mbah Surti akan menggumamkan hal yang sama berulang-ulang: "Dia lapar lagi. Beri dia makan." Kadang, saat Dina menatap cermin di kamar mandi, ia kembali melihat refleksinya tersenyum tipis sendiri, tatapan matanya kosong dan dingin.

Awalnya Dina mengira itu hanya omong kosong orang tua. Namun, setelah mendengar kalimat itu dari beberapa lansia lain, ia mulai mencurigai sesuatu. Ada korelasi antara gumaman itu dengan kondisi ingatan mereka. Setiap kali Mbah Surti mengucapkan kalimat itu, pandangannya akan terlihat lebih kosong, dan memorinya seolah terhapus sedikit demi sedikit.

Kecurigaan Dina semakin menguat setelah ia melihat Bu Lastri menyuntikkan sesuatu ke lengan salah satu pasien, Mbah Slamet, yang tiba-tiba berteriak ketakutan dan menunjuk ke sudut ruangan kosong, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat. "Dia datang! Dia datang untuk mengambil!" teriak Mbah Slamet, sebelum akhirnya pingsan. Ketika Dina mencoba bertanya pada Bu Lastri, kepala perawat itu hanya tersenyum tipis dan mengatakan Mbah Slamet hanya berhalusinasi biasa. Namun, malam itu, aroma melati semakin kuat, dan keesokan harinya, Mbah Slamet tak lagi mengingat nama istrinya. Dari ventilasi, bisikan itu kembali terdengar, "Mira... Mira..."

Suatu sore, saat Dina membersihkan gudang di ruang bawah tanah yang pengap, ia menemukan sebuah kotak kayu tua di balik tumpukan koran usang. Di dalamnya, tersembunyi sebuah buku harian lusuh berlabel "Catatan Dr. Hendra". Nama itu terasa asing, namun entah mengapa, membuat Dina penasaran.

Dr. Hendra. Bukankah dia dokter yang pernah bekerja di sini sebelum akhirnya menghilang secara misterius? Bu Lastri hanya menyebutkan bahwa Dr. Hendra mengundurkan diri mendadak. Namun, melihat buku harian ini, Dina merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pengunduran diri.

Beberapa halaman pertama berisi catatan medis biasa, namun semakin ke dalam, tulisan tangan Dr. Hendra semakin tak beraturan, diwarnai coretan-coretan tak jelas dan gambar-gambar aneh. Beberapa halaman penting telah dicabut dengan kasar, meninggalkan bekas robekan yang bergerigi. Namun, yang tersisa cukup membuat bulu kuduk Dina meremang.

"Hari ke-47: Pasien-pasien kehilangan ingatan mereka dengan cepat. Mereka lupa nama sendiri, lupa keluarga, tapi anehnya, mereka semua ingat 'dia'. Mereka terus menggumamkan namanya. Bisikan-bisikan dari dinding semakin kuat. Aku merasa ada yang mengawasi. Aku harus hentikan ini sebelum terlambat."

Dina membaca dengan napas tertahan. "Dia." Kata itu sama dengan yang diucapkan Mbah Surti.

"Hari ke-63: Aroma melati semakin kuat setiap kali ingatan mereka lenyap. Aku melihat bayangan di kamar Mbah Surti tadi malam. Itu bukan manusia. Bentuknya seperti asap hitam, merayap dari sudut ruangan. Matanya menyala merah. Bisikan-bisikan itu kini menyebut namaku. Aku merasa... dia lapar. Ini bukan demensia biasa."

Jantung Dina berpacu kencang. Bayangan. Bunga melati di bantalnya. Bisikan-bisikan dari ventilasi. Refleksi aneh di cermin. Semua potongan teka-teki mulai menyatu dalam gambaran yang mengerikan.

Dan yang paling mengerikan, di halaman terakhir yang tersisa, tertulis dengan tinta merah, seolah ditulis dalam keputusasaan yang mendalam:

"Mereka memberinya makan dengan ingatan. Sekarang giliran kita. Aku melihat Melati. Bunga-bunga tumbuh dari mulutnya. Dia tersenyum. Aku takut."

Kata-kata itu menghantam Dina seperti palu. Mengingat kembali saat Mbah Slamet kehilangan ingatannya setelah disuntik sesuatu oleh Bu Lastri dan aroma melati semakin kuat, ia akhirnya menyadari kebenaran yang menakutkan. Setiap kali seorang lansia kehilangan ingatan, aroma melati semakin kuat. Kehilangan ingatan itu bukan karena penyakit, melainkan sebuah tumbal. Dina mendengar bisikan dari ventilasi, sangat dekat, seolah berhembus tepat di telinganya: "Dina... Dina..."

Dina menutup buku harian itu, tangannya gemetar. Udara di ruang bawah tanah terasa semakin berat, dingin, dan berbau melati. Ia tidak lagi sendirian. Suara bisikan samar mulai terdengar dari ventilasi, seolah ada yang berbisik dari balik dinding, berulang-ulang menyebut nama-nama yang sudah mati: "Kartika... Joni... Mira... Hendra..." Apakah itu nama-nama pasien yang ingatan mereka telah "dimakan"? Atau nama-nama perawat dan dokter sebelumnya yang juga "hilang"? Dina melihat ke cermin di sudut ruangan. Sekilas, ia melihat refleksi dirinya tersenyum sendiri, namun kali ini lebih jelas, lebih lama, dan ada tatapan lapar di matanya.

Dina bergegas keluar dari ruang bawah tanah, pikirannya kacau balau. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di panti ini. Dan yang lebih penting, bagaimana menghentikannya sebelum ia menjadi korban berikutnya, atau lebih buruk, menjadi bagian dari kengerian ini.

BAGIAN 3: RITUAL MALAM JUMAT

Keresahan Dina tak bisa lagi disembunyikan. Setiap sentuhan Bu Lastri, setiap tatapan mata kosong para lansia, kini terasa seperti ancaman. Ia merasa seperti domba yang terperangkap di kandang serigala. Aroma melati yang semakin pekat di setiap sudut panti seolah mengumumkan bahwa "dia" semakin kenyang, semakin kuat. Dari ventilasi kamarnya, bisikan-bisikan itu semakin intens, terkadang terdengar seperti ejekan, terkadang seperti peringatan.

Malam Jumat tiba. Suasana panti terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah seluruh penghuni menahan napas. Dina teringat buku harian Dr. Hendra. Apakah malam ini adalah "giliran kita"? Ia harus tahu. Bisikan dari ventilasi menyebut namanya lagi, "Dina... sebentar lagi..." Dengan jantung berdebar kencang, ia memutuskan untuk mencari tahu kebenarannya.

Setelah memastikan Bu Lastri dan perawat lainnya sudah beristirahat, Dina menyelinap keluar dari kamarnya. Ia berjalan mengendap-endap di lorong yang gelap, hanya diterangi rembulan yang menyelinap dari jendela. Aroma melati semakin kuat saat ia mendekati ruang bawah tanah. Dari celah pintu, ia melihat cahaya redup dan mendengar gumaman samar. Ia menatap cermin di ujung lorong. Refleksinya sekali lagi tersenyum sendiri, kali ini senyum itu tampak puas dan penuh kemenangan.

Dina membuka pintu ruang bawah tanah sedikit, mengintip dari balik celah. Apa yang ia lihat membuat darahnya mengering.

Di tengah ruangan, Bu Lastri berdiri di depan sebuah meja kayu. Di atas meja itu, diletakkan sebuah cawan perak tua berisi cairan hitam pekat yang bergelombang perlahan. Dan di atas cawan itu, bunga-bunga melati segar berserakan, melepaskan aroma manis yang menusuk hidung. Mbah Surti, yang biasanya lemah, kini duduk tegak di sebuah kursi, matanya terbuka lebar namun kosong. Beberapa lansia lain duduk bersila di sudut ruangan, tubuh mereka bergoyang-goyang kecil seperti sedang kesurupan. Bisikan lirih terdengar dari mereka, bukan gumaman biasa, melainkan nama-nama yang sama yang didengar Dina dari ventilasi.

Bu Lastri mulai melafalkan mantra-mantra kuno dalam bahasa yang tidak Dina pahami, suaranya dalam dan bergetar, memenuhi ruang bawah tanah yang pengap. Tangannya bergerak ritmis, menaburkan bubuk kemenyan ke atas cawan. Asap tebal mengepul, membawa aroma melati dan bau anyir yang menjijikkan. Tiba-tiba, dari sudut gelap, Dina melihat sesosok wanita berdiri, pucat pasi, dengan bunga-bunga melati kecil tumbuh dari sudut mulutnya, kelopaknya sedikit berdarah. Itu pasti Melati. Wanita itu menatap Mbah Surti dengan tatapan lapar.

Lalu, Bu Lastri meletakkan bunga melati di atas cawan berisi cairan hitam itu. Cairan itu mulai mendidih, mengeluarkan asap putih yang pekat. Mbah Surti diminta bercerita. "Mbah Surti, ceritakan padaku tentang kenangan paling berharga. Kenangan tentang pernikahanmu, tentang anak-anakmu, tentang kebahagiaan yang paling indah."

Mbah Surti mulai berbicara, suaranya serak dan jauh, seolah ia berbicara dari tempat yang sangat jauh. Ia menceritakan tentang hari pernikahannya, tentang tawa anak-anaknya, tentang kebun melati di halaman rumahnya yang dulu. Setiap kata yang keluar dari mulutnya, seolah membawa energi, mengalir ke dalam cawan itu. Sosok Melati mendekat, bunga-bunga di mulutnya tampak bergerak-gerak kecil.

Dan kemudian, kengerian yang sesungguhnya terjadi. Dari sudut ruangan yang gelap, bayangan hitam pekat merayap keluar, bergerak seperti asap yang bernyawa. Bentuknya tak jelas, namun matanya menyala merah, menatap lurus ke arah Mbah Surti. Bayangan itu mendekati cawan, dan dengan gerakan menghisap yang mengerikan, ia menghirup asap yang mengepul dari cawan itu. Sementara itu, sosok Melati berdiri tepat di belakang bayangan hitam, ikut menghirup aroma ingatan yang menguar.

Saat bayangan itu menghirup, Mbah Surti tiba-tiba tersentak, matanya yang tadi terbuka lebar kini tertutup rapat. Tubuhnya lemas, seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Gumamannya berhenti. Ketika ia membuka mata lagi, tatapannya benar-benar kosong. Ia tidak lagi ingat nama anak-anaknya, tidak lagi ingat pernikahannya. Ingatan itu telah diambil. Sosok Melati tampak sedikit lebih segar, bunga-bunga di mulutnya tampak sedikit merekah.

"Satu lagi," bisik Bu Lastri, suaranya kini terdengar begitu dingin, tak ada lagi keramahan yang palsu. "Kita harus terus memberinya makan, atau dia akan mengambil kita." Ia menoleh, tatapannya langsung bertemu dengan Dina yang bersembunyi. "Kau sudah melihatnya, Suster Dina. Kau sudah tahu rahasia panti ini." Sosok Melati juga menoleh, matanya yang kosong namun menusuk menatap lurus ke arah Dina, dan bunga-bunga di mulutnya mengeluarkan aroma melati yang semakin membusuk.

Jantung Dina mencelos. Ia ketahuan. Bu Lastri menghampirinya, wajahnya kini terlihat mengerikan, matanya memancarkan kegelapan yang sama seperti bayangan hitam itu. "Sekarang kau harus memilih: jadi pengumpan, atau jadi makanan." Sosok Melati melayang mendekat, bisikan lirih keluar dari mulutnya bercampur aroma bunga busuk.

Dina mundur perlahan, ketakutan mencengkeramnya. Panti Wredha Harum Melati bukanlah tempat jompo biasa. Ini adalah sebuah kandang, tempat para lansia adalah ternak, dan ingatan mereka adalah santapan untuk makhluk mengerikan itu. Dina melihat ke cermin di dinding. Refleksinya sekali lagi tersenyum sendiri, namun kali ini senyum itu penuh dengan kepasrahan yang mengerikan. Dina harus keluar dari sini, atau ia akan menjadi korban berikutnya, atau lebih buruk, menjadi seperti refleksi dirinya di cermin.

BAGIAN 4: ASAL-USUL ROH PEMAKAN INGATAN

Malam setelah ritual mengerikan itu, Dina tak bisa tidur. Kata-kata Bu Lastri terus terngiang di telinganya, "Jadi pengumpan, atau jadi makanan." Refleksi dirinya yang tersenyum dingin di cermin seolah mengejek ketidakberdayaannya. Bisikan-bisikan dari ventilasi semakin mengganggu, terkadang memanggil namanya dengan nada menggoda, terkadang mengulang-ulang mantra yang dilafalkan Bu Lastri. Ia tahu ia tidak bisa tetap diam. Ia harus mencari tahu lebih banyak, menemukan cara untuk menghentikan kekejaman ini.

Dina memutuskan untuk menggali lebih dalam sejarah panti ini. Ia mencari di arsip-arsip lama, di balik tumpukan dokumen yang berdebu. Akhirnya, ia menemukan sebuah surat kabar tua yang menguning, terbitan 50 tahun yang lalu. Berita utama itu membuatnya terkesiap: "Tragedi di Rumah Sakit Jiwa Harum Melati: Pasien Muda Meninggal Akibat Eksperimen Kontroversial."

Ternyata, 50 tahun lalu, bangunan ini bukanlah panti jompo, melainkan sebuah rumah sakit jiwa. Seorang dokter gila bernama Dr. Bayu, yang terobsesi dengan memanipulasi memori, melakukan eksperimen mengerikan pada pasien-pasiennya. Salah satu pasiennya adalah seorang gadis muda bernama Melati, yang menderita amnesia parah. Dr. Bayu mencoba mengembangkan obat penghapus memori yang lebih efektif, dengan tujuan untuk menghapus trauma masa lalu dari ingatan pasien. Namun, eksperimen itu gagal total. Melati meninggal setelah disuntik dengan dosis besar obat itu, jiwanya terperangkap di antara dunia nyata dan dunia ingatan yang hancur. Dina melihat ke cermin. Refleksinya menatapnya dengan tatapan kosong, dan samar-samar, bunga-bunga kecil mulai tumbuh dari sudut bibirnya.

Sejak kematiannya, arwahnya, yang kini dikenal sebagai roh pemakan ingatan, gentayangan di panti, kelaparan akan ingatan manusia. Ia mencari-cari memori yang hilang, dan satu-satunya cara untuk memberinya makan adalah melalui ritual mengerikan yang disaksikan Dina. Terkadang, di lorong yang gelap, Dina melihat sekilas penampakan Melati, wanita pucat dengan bunga-bunga melati tumbuh dari mulutnya, kelopaknya berdarah, memberikan visual yang lebih mengerikan dan simbolis tentang bagaimana ingatan "dimakan" dan "dikeluarkan" dalam bentuk bunga. Aroma busuk bunga itu selalu menyertainya.

Ketika Dina membaca tentang Melati, ia teringat sebuah foto tua yang ia lihat di kantor Bu Lastri. Sebuah foto para perawat yang bekerja di panti 30 tahun lalu. Salah satu perawat wanita di foto itu, terlihat mirip sekali dengan Dina, dengan rambut panjang dan mata yang sama. Di latar belakang foto, samar-samar terlihat sosok Dr. Hendra, yang tampak gelisah dan ketakutan.

Seolah mendengar pikirannya, Mbah Surti tiba-tiba muncul di belakang Dina, suaranya serak namun lebih jelas dari biasanya. "Kau mirip dengannya," bisiknya, menunjuk ke arah foto perawat wanita itu. "Dia juga perawat yang mencoba berhentikan ritual. Dia... juga punya nama yang sama." Dina kembali melihat ke cermin. Bunga-bunga di sudut bibir refleksinya tampak sedikit lebih besar. Bisikan dari ventilasi semakin intens, "Kau adalah dia... dia adalah kau..."

Dina menoleh, terkejut. "Nama yang sama?"

"Ya," Mbah Surti mengangguk pelan. "Namanya juga Dina. Perawat yang hilang 30 tahun lalu. Dia tahu tentang Melati. Dia mencoba menghentikan Bu Lastri, tapi dia menghilang. Mereka bilang dia kabur, tapi aku tahu... dia menjadi makanan." Tiba-tiba, Mbah Surti meraih tangan Dina, matanya yang kosong berkaca-kaca. "Hati-hati, Nak. Kutukan itu... seperti bunga melati yang akarnya menjalar dalam kegelapan. Kau adalah pewarisnya."

Darah Dina berdesir. Wajahnya persis seperti perawat yang hilang 30 tahun lalu. Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu? Apakah ada kutukan turun-temurun yang mengikatnya dengan panti ini? Ia merasakan beban yang luar biasa di pundaknya. Ia bukan hanya saksi, melainkan bagian dari sejarah kelam panti ini. Dan ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia melihat ke cermin sekali lagi. Refleksinya kini menatapnya dengan tatapan sayu, dan bunga-bunga di mulutnya tampak layu dan menghitam.

BAGIAN 5: FINAL SHOWDOWN

Kebenaran tentang Melati, perawat bernama Dina yang mirip dirinya, dan kutukan yang terpendam telah mengunci tekad Dina. Ia tidak bisa lari. Ia adalah bagian dari lingkaran terkutuk ini. Ia harus menghancurkan cawan ritual itu, satu-satunya penghubung antara roh Melati dan ingatan para lansia. Bisikan-bisikan dari ventilasi kini terdengar jelas, mencoba menakutinya, "Kau akan gagal... seperti yang lain..." Refleksi dirinya di cermin terkadang menunjukkan dirinya yang dulu, namun sering kali kembali dengan senyum dingin dan mata kosong.

Malam itu, di tengah kegelapan yang pekat, Dina menyelinap ke ruang bawah tanah. Aroma melati terasa mencekik, lebih kuat dari sebelumnya, seolah roh Melati sudah mengetahui niatnya. Di sudut ruangan, ia melihat sekilas sosok Melati berdiri, bunga-bunga di mulutnya tampak lebih banyak dan lebih segar, mengeluarkan aroma yang sangat manis namun memualkan. Ia mengambil sebuah palu besi tua yang ia temukan di gudang. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti drum.

Saat ia mengangkat palu, seluruh panti bergetar. Lampu-lampu berkedip, lalu padam sama sekali, meninggalkan Dina dalam kegelapan total. Suara-suara mengerikan mulai terdengar dari segala arah. Dinding-dinding seolah menangis darah, cairan merah kental merembes dari retakan, membentuk tetesan-tetesan seperti air mata. Bisikan-bisikan itu menjadi pekikan-pekikan mengerikan. Di cermin yang retak di sudut ruangan, Dina melihat refleksinya tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang runcing dan bukan miliknya.

Lansia-lansia yang biasanya terbaring tak berdaya di tempat tidur, kini bergerak seperti boneka yang dikendalikan oleh benang tak terlihat. Mereka muncul dari kegelapan, mata mereka hitam pekat dan kosong, mulut mereka terbuka, mengeluarkan erangan-erangan menyeramkan dan menyebut nama-nama yang pernah dibisikkan dari ventilasi. Mereka bergerak pelan namun pasti, memojokkan Dina ke sudut ruangan. Di antara mereka, Dina melihat Mbah Surti, matanya kosong namun setetes air mata mengalir di pipinya.

"Kau tidak bisa menghentikannya," suara Bu Lastri menggelegar di seluruh ruangan, bercampur dengan bisikan-bisikan mengerikan. Bu Lastri muncul di ambang pintu, terbang melayang beberapa inci di atas lantai, matanya hitam legam, pupilnya melebar seperti lubang hitam. Aura gelap memancar darinya. Sosok Melati berdiri di sampingnya, bunga-bunga di mulutnya tampak mekar sempurna, mengeluarkan aroma yang sangat memabukkan. "Dia adalah bagian dari panti ini. Kau hanya akan membuatnya semakin lapar, dan kami semua akan menderita."

Bayangan hitam roh Melati muncul dari dalam cawan, melayang di atasnya, bentuknya semakin besar dan mengerikan, siap melahap apa pun yang berani mengganggunya. Suara bisikan-bisikan tak jelas memenuhi ruangan, menyerang pikiran Dina, mencoba menghancurkan kewarasannya. Sosok Melati melayang mendekat, bunga-bunga di mulutnya tampak bergerak-gerak seperti sedang berbicara dalam diam. Di cermin, refleksi Dina tertawa terbahak-bahak, suara yang sama sekali asing.

Dina tahu, ia tidak punya waktu. Dengan sisa keberaniannya, ia mengangkat palu dan menghantam cawan perak itu.

PRAAANG!

Cawan itu pecah berkeping-keping. Cairan hitam menyembur keluar, menyebar di lantai, mengeluarkan bau busuk yang tak tertahankan. Roh Melati meraung, raungannya mengguncang seluruh bangunan, membuat kaca-kaca jendela pecah. Sosok Melati menjerit melengking, bunga-bunga di mulutnya layu seketika. Aroma melati yang membusuk mencapai puncaknya, memenuhi setiap sudut ruangan, seolah makhluk itu melepaskan seluruh amarahnya.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Roh Melati, yang kini marah besar, tidak menyerang Bu Lastri atau para lansia yang telah menjadi pengumpannya. Ia langsung menyerang Dina, menyelimutinya dalam kegelapan. Dina melihat sekilas refleksi dirinya di pecahan cermin, wajahnya pucat pasi, bunga-bunga kecil mulai tumbuh dari sudut bibirnya.

Di detik terakhir, sebuah ide melintas di benak Dina, ide yang putus asa namun mungkin satu-satunya cara. Ia teringat tulisan Dr. Hendra: "Mereka memberinya makan dengan ingatan." Ia tidak bisa menghancurkan roh itu, tapi ia bisa memberinya makan. Ia harus mengorbankan sesuatu.

Dina memejamkan mata, memusatkan seluruh pikirannya pada kenangan paling berharga yang ia miliki: kenangan tentang adiknya. Tawanya, senyumnya, impian mereka untuk masa depan. Semua kenangan itu, ia biarkan mengalir keluar dari benaknya, menjadi umpan bagi roh Melati. Ia merasakan sensasi mengerikan saat ingatannya ditarik paksa, seolah ada tangan tak kasat mata merobek-robek otaknya. Ia melihat adiknya, yang ia cintai lebih dari apa pun, perlahan-lahan memudar dari ingatannya. Sebuah pengorbanan yang tak ternilai. Di pecahan cermin, bunga-bunga di mulut refleksinya tampak layu dan menghilang. Bisikan-bisikan itu mereda.

Roh Melati, yang kelaparan, langsung menyambar kenangan itu. Bayangan hitam itu menghisap, seolah mengisap setiap tetes memori dari benak Dina. Sosok Melati tampak tenang, bunga-bunga di mulutnya kembali merekah sedikit. Dina merasa otaknya dikuras, seolah bagian dari dirinya dicabut paksa. Kepalanya terasa kosong, namun roh itu, untuk sementara, puas. Ia berangsur-angsur menyusut, kembali ke bentuknya yang lebih kecil, lalu menghilang ke dalam retakan di dinding, meninggalkan aroma melati yang kini terasa hambar.

Epilog:

Panti kembali sunyi. Cahaya rembulan kembali menyinari ruangan. Dinding-dinding tidak lagi menangis darah, dan para lansia kembali terbaring tak berdaya, sebagian besar dari mereka kini menatap kosong ke langit-langit. Bu Lastri kini berdiri tegak, matanya tak lagi hitam pekat, namun sorotnya dingin dan tanpa emosi. Di lantai, pecahan cawan perak berserakan di atas cairan hitam yang mengering. Di cermin yang retak, refleksi Dina tampak kosong, tanpa senyum dingin, namun dengan tatapan yang hilang.

Dina kini menjadi perawat kepala di panti itu. Kenangan tentang adiknya telah hilang, terhapus sepenuhnya. Ia tidak lagi ingat mengapa ia datang ke panti ini, atau mengapa ia membutuhkan uang. Yang ia tahu, ada tugas yang harus ia lakukan setiap malam Jumat.

Setiap malam Jumat, Dina kini yang memimpin ritual. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan bunga melati di atas cawan berisi cairan hitam yang baru. Ia membimbing para lansia yang semakin pikun untuk menceritakan kenangan berharga mereka, dan ia menyaksikan bayangan hitam itu menghisapnya. Di sudut ruangan, ia sesekali melihat sosok Melati berdiri, bunga-bunga di mulutnya mekar dengan indahnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—terima kasih, atau tuntutan yang tak berkesudahan? Di cermin, refleksinya tidak lagi tersenyum. Ia hanya menatap kosong, seperti para lansia lainnya.

"Agar dia tidak lapar lagi," bisiknya, suaranya kosong dan hampa, sambil meletakkan sehelai bunga melati segar di atas bantal pasien baru yang baru saja datang, yang matanya masih penuh harapan, tidak menyadari nasib mengerikan yang menantinya di Panti Wredha Harum Melati. Bisikan samar kembali terdengar dari ventilasi, bukan nama-nama orang mati, melainkan hanya satu kata yang berulang-ulang: "Lagi... lagi... lagi..." Lingkaran setan ini berlanjut, dan Dina, si perawat baru, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kutukan Panti Wredha Harum Melati, selamanya terikat pada aroma manis yang membusuk dan ingatan yang terus dimakan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)