Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,107
Cermin Yang Tersisa
Horor

"Cermin yang Tersisa"

Malam itu, di sebuah toko barang antik yang terpencil di sudut kota, Rian menemukan sebuah cermin. Bukan cermin biasa, melainkan cermin berbingkai ukiran kayu jati yang gelap, dengan kaca yang sedikit buram dimakan usia. Ada sesuatu yang menarik perhatian Rian pada cermin itu, semacam aura misterius yang memanggilnya. Padahal, ia hanya iseng masuk ke toko itu setelah makan malam, mencari sesuatu yang unik untuk mengisi apartemen barunya.

"Ini cermin dari abad ke-18, Tuan," ujar pemilik toko, seorang pria tua berjanggut putih yang matanya tampak menyimpan seribu cerita. "Peninggalan dari sebuah keluarga bangsawan. Konon, cermin ini menyimpan banyak rahasia."

Rian tersenyum skeptis. Ia tidak percaya takhayul, tetapi pesona cermin itu terlalu kuat untuk diabaikan. Harganya tidak terlalu mahal, dan ia membayangkan cermin itu akan menjadi titik fokus yang sempurna di ruang tamunya. Tanpa banyak pikir, Rian memutuskan untuk membelinya.

Cermin itu kini berdiri tegak di ruang tamu Rian, memantulkan cahaya lampu gantung dengan bias yang aneh. Awalnya, Rian tidak menyadari ada yang salah. Ia menggunakannya setiap pagi untuk bercukur, merapikan rambut, dan sesekali untuk sekadar memandangi dirinya sendiri. Namun, setelah beberapa hari, ia mulai memperhatikan keanehan kecil.

Saat ia bergerak, refleksinya di cermin tampak sedikit tertunda. Bukan keterlambatan yang mencolok, hanya sepersekian detik, seolah-olah ada jeda tipis antara gerakannya dan respons bayangannya. Rian mengira itu hanya efek optik dari kaca yang sudah tua, atau mungkin matanya yang lelah.

Suatu pagi, Rian sedang terburu-buru. Ia menyisir rambutnya dengan cepat di depan cermin. Ketika ia selesai dan hendak berbalik, ia bersumpah melihat refleksinya masih memegang sisir, seolah melanjutkan gerakan menyisir yang baru saja ia hentikan. Rian berkedip, dan bayangan itu kembali normal, mengikuti setiap gerakannya dengan sempurna. Ia menghela napas, menertawakan imajinasinya sendiri.

Namun, keanehan itu semakin sering terjadi. Refleksi Rian terkadang menyipitkan mata sesaat setelah ia tersenyum, atau tangannya bergerak seolah ingin menyentuh sesuatu padahal Rian sendiri tidak melakukan apa-apa. Ada perasaan tidak nyaman yang mulai menjalar di benaknya.

Ia mulai mengamati cermin itu lebih saksama. Setiap kali ia berbalik, ia akan melirik ke belakang, berharap menangkap basah refleksinya melakukan sesuatu yang aneh. Dan perlahan, ia mulai melihatnya.

Suatu malam, Rian sedang membaca di sofa. Ia mengangkat kepalanya sebentar dan pandangannya jatuh pada cermin. Refleksinya berdiri diam di sana, menatapnya. Rian tersenyum tipis, lalu menunduk lagi ke bukunya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat kepala lagi, dan kali ini, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir.

Refleksinya tidak lagi tersenyum. Wajah bayangan itu datar, bahkan sedikit mengernyit seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat. Dan yang paling mengerikan, matanya tidak mengikuti mata Rian. Matanya tetap tertuju padanya, seolah-olah itu adalah entitas terpisah yang sedang mengamatinya.

Rian menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Ia segera beranjak dari sofa dan mendekati cermin. Begitu ia berdiri tepat di depannya, bayangan itu langsung berubah, mengikuti gerakannya, meniru ekspresinya dengan sempurna. Rian mengusap wajahnya, mencoba meyakinkan diri bahwa ia hanya kelelahan.

Rian mulai merasa terisolasi. Ia jarang mengundang teman ke apartemennya karena ia takut mereka akan melihat apa yang ia lihat. Ia bahkan tidak berani lagi tidur di kamarnya sendiri, memilih sofa di ruang tamu agar ia bisa terus memantau cermin itu.

Cermin itu seolah hidup, memiliki kehendak sendiri. Refleksi Rian tidak hanya menunda, tetapi juga bertindak atas inisiatifnya sendiri saat Rian tidak melihat.

Suatu sore, Rian sedang memasak makan malam. Ia memotong sayuran dengan punggung menghadap cermin. Secara naluriah, ia melirik ke bahu. Di pantulan cermin, refleksinya memegang pisau dengan genggaman yang kuat, mengarahkannya ke lehernya sendiri, seringai tipis terukir di bibirnya. Rian terlonjak, menjatuhkan pisau yang sedang ia pegang. Ia berbalik dengan cepat, dan bayangan itu langsung kembali normal, sibuk memotong sayuran dengan gerakan yang sempurna. Keringat dingin membasahi punggung Rian.

Ketakutan mulai menguasai dirinya. Ia tahu, cermin itu bukan lagi sekadar pantulan. Ada sesuatu yang jahat di dalamnya, sesuatu yang ingin menyakitinya. Ia mencoba menutupi cermin itu dengan kain tebal, tetapi setiap kali ia melakukannya, ia merasakan aura dingin yang menembus kain, seolah cermin itu marah karena ditutupi. Ia bahkan mendengar bisikan-bisikan samar dari balik kain, suara yang tidak jelas tetapi jelas bernada ancaman.

Suatu malam, Rian tidak bisa tidur. Ia duduk di sofa, menatap cermin yang tertutup kain. Tiba-tiba, kain itu terlepas dengan sendirinya, jatuh ke lantai dengan suara berdebam. Cermin itu kini terbuka, dan di sana, Rian melihat dirinya sendiri, namun bukan dirinya. Bayangan itu berdiri di sana, dengan mata merah menyala, gigi menyeringai tajam, dan kukunya memanjang, menyerupai cakar. Wajahnya dipenuhi dengan kemarahan yang tak terhingga, dan bibirnya mengucapkan kata-kata tanpa suara, namun Rian bisa merasakan kebencian yang terpancar darinya.

Rian menjerit. Ia mencoba berlari, tetapi kakinya terasa lemas. Bayangan itu tiba-tiba mengulurkan tangan dari dalam cermin, menembus batas kaca. Tangan itu pucat dan kurus, dengan kuku hitam panjang. Jemarinya mencengkeram udara, seolah ingin meraih Rian.

Rian merangkak mundur, menjauhi cermin itu. Ia tahu ia harus menghancurkannya. Ia harus mengakhiri teror ini. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, ia meraih sebuah patung perunggu kecil yang tergeletak di meja samping.

Dengan jantung berdegup kencang di dadanya, Rian mengayunkan patung itu ke arah cermin. Ia membidik tepat ke tengah, berharap bisa memecahkannya menjadi seribu keping. Namun, sebelum patung itu menyentuh permukaan kaca, bayangan di dalam cermin itu tertawa. Tawa itu bukan tawa manusia, melainkan suara serak dan mengerikan, seolah berasal dari jurang terdalam.

Dan kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Ketika patung itu menghantam cermin, bukan kaca yang pecah, melainkan pantulan di dalamnya yang bergetar, seperti gelombang air yang terganggu. Bayangan di dalam cermin itu tiba-tiba mencengkeram patung itu dari dalam, menghentikan ayunan Rian. Rian merasakan sentuhan dingin yang menusuk, seolah tangannya mencengkeram sesuatu yang bukan padat, namun memiliki kekuatan. Ia berusaha menarik patungnya, tetapi bayangan itu menahan dengan kuat.

"Kau pikir semudah itu?" suara serak itu berbisik, langsung ke telinga Rian, meskipun bibir bayangan itu tidak bergerak. "Aku sudah menunggu lama. Terlalu lama."

Rian melepaskan patungnya, terhuyung mundur. Bayangan itu menarik patung itu ke dalam cermin, dan cermin itu kembali normal, seolah tidak ada yang terjadi. Patung itu kini menghilang, terperangkap di dunia di balik cermin.

Rian terjebak. Cermin itu tidak bisa dihancurkan. Dan yang lebih parah, entitas di dalamnya kini mengetahui niatnya.

Hari-hari berikutnya adalah neraka bagi Rian. Bayangan itu mulai menirukan setiap gerakannya dengan jeda yang semakin lama. Saat Rian makan, bayangan itu akan melanjutkan mengunyah bahkan setelah Rian berhenti. Saat Rian tertidur, ia merasakan tatapan dingin dari cermin, dan terkadang ia terbangun dengan rasa sesak di leher, seolah ada tangan yang mencengkeramnya dalam tidurnya.

Ia tidak bisa lagi membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia sering melihat bayangan itu berdiri di sampingnya, melayang di udara, menatapnya dengan tatapan kosong. Ia bahkan mendengar bisikan-bisikan yang memanggil namanya, suara yang mirip dengan suaranya sendiri, namun dipenuhi dengan nada mengejek dan ancaman.

Rian mencoba mencari bantuan. Ia menghubungi paranormal, ahli sejarah, bahkan seorang eksorsis. Namun, tak satu pun dari mereka yang bisa membantunya. Mereka semua mengatakan bahwa cermin itu adalah benda yang diresapi entitas kuat, dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengusirnya. Beberapa bahkan menolak untuk mendekati apartemen Rian, merasakan energi gelap yang memancar dari sana.

Keputusasaan melanda Rian. Ia mulai mengabaikan pekerjaannya, teman-temannya. Apartemennya menjadi sarang ketakutan dan paranoia. Ia jarang makan, dan tubuhnya semakin kurus. Matanya cekung, dan ada lingkaran hitam pekat di bawahnya.

Suatu sore, Rian sedang duduk di lantai, meringkuk di sudut ruangan, gemetar. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari cermin itu. Cermin itu adalah bagian dari dirinya sekarang, parasit yang perlahan menguras kehidupannya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan lembut dari cermin. Ketukan itu berulang, ritmis, seolah ada seseorang yang mengetuk dari dalam. Rian mengangkat kepalanya. Bayangan di cermin, yang selama ini selalu mengikuti gerakannya, kini berdiri tegak, dengan senyum simpul di bibirnya.

"Sudah waktunya," bisik suara serak itu lagi, terdengar jelas di telinga Rian. "Waktunya untuk bertukar tempat."

Rian merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia mencoba berdiri, namun kakinya tidak merespons. Tubuhnya terasa berat, seolah terikat oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia melihat ke arah cermin, dan di sana, bayangan itu mengulurkan tangannya lagi, kali ini dengan gerakan yang lebih pasti, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke sana.

Jemari pucat itu menembus kaca, meraih pergelangan tangan Rian. Rian merasakan tarikan yang kuat, menyeretnya mendekat ke cermin. Ia mencoba berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Wajah bayangan itu semakin mendekat, mata merahnya membesar, memancarkan kejahatan murni. Rian bisa melihat bayangan dirinya di mata bayangan itu, terdistorsi dan ketakutan.

Semakin dekat ia ke cermin, semakin ia merasa energinya terkuras. Ia merasakan jiwanya tertarik keluar dari tubuhnya, ditarik ke dalam kegelapan di balik cermin. Ia melihat tubuhnya sendiri di pantulan, tergeletak tak berdaya di lantai, sementara entitas di dalam cermin itu perlahan menggantikan dirinya.

Rian merasakan sakit yang luar biasa. Itu bukan sakit fisik, melainkan sakit yang menusuk jiwanya, seolah ia sedang terkoyak menjadi dua. Ia merasakan dingin yang tak tertahankan, dan kemudian, kegelapan total.

Ketika ia membuka matanya lagi, ia berada di tempat yang asing. Segalanya tampak terbalik, seperti dunia pantulan. Ia melihat apartemennya, tetapi semuanya terbalik, dan warnanya pudar, seperti foto lama yang memudar.

Ia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku dan tidak nyata. Ia melihat ke bawah, dan melihat tangannya. Tangan itu pucat dan transparan, seperti bayangan hantu.

Di hadapannya, ia melihat cermin. Dan di dalam cermin itu, refleksinya tersenyum. Bukan senyum Rian yang lama, melainkan senyum jahat dan penuh kemenangan. Refleksi itu kini tampak hidup dan nyata, berdiri tegak di ruang tamu Rian, tubuhnya memancarkan aura yang kuat dan berbahaya.

"Selamat datang," bisik suara serak itu dari balik cermin, kini terdengar lebih jelas dan penuh kuasa. "Ini rumah barumu."

Rian menyadari kengerian takdirnya. Ia telah terperangkap di dalam cermin, menjadi bayangan yang tidak bisa lagi berinteraksi dengan dunia nyata. Ia melihat tubuhnya sendiri, yang kini dikendalikan oleh entitas jahat itu, berjalan menjauh dari cermin, dan kemudian menghilang dari pandangannya.

Ia kini adalah "Cermin yang Tersisa", bayangan yang hidup di dalam kaca, mengamati dunia yang pernah menjadi miliknya, namun tidak bisa menyentuhnya. Terperangkap dalam dimensi pantulan, ia hanya bisa menjadi saksi bisu dari kehidupan yang kini dijalani oleh entitas yang telah mencurinya.

Hari-hari berganti menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Rian, yang kini hanya berupa bayangan di dalam cermin, mengamati entitas itu menjalani "hidupnya". Entitas itu, yang kini memiliki rupa Rian, bertindak aneh. Ia jarang keluar rumah, dan ketika keluar, ia selalu menghindari keramaian. Tatapan matanya kosong, namun sesekali, Rian bisa melihat kilatan kebencian di dalamnya, terutama ketika entitas itu menatap cermin, seolah mengejek Rian yang terperangkap di dalamnya.

Suatu malam, entitas itu membawa seorang wanita pulang ke apartemen. Wanita itu tampak cantik, namun Rian merasakan aura dingin yang terpancar dari entitas itu. Ia mengamati dari dalam cermin, tak berdaya. Entitas itu tersenyum kepada wanita itu, senyum yang bukan senyum Rian. Senyum itu penuh dengan muslihat dan kejahatan.

Ketika wanita itu berbalik membelakanginya, entitas itu melayangkan tangannya ke belakang, seperti hendak mencengkeram leher wanita itu. Rian menjerit dalam hatinya, berusaha memperingatkan wanita itu, tetapi suaranya tidak terdengar. Tangan entitas itu berhenti di udara, seolah menimbang-nimbang. Akhirnya, entitas itu menurunkan tangannya, dan Rian menghela napas lega yang tidak bisa ia keluarkan.

Perilaku entitas itu semakin tidak menentu. Terkadang ia akan duduk diam berjam-jam, menatap cermin dengan tatapan kosong. Terkadang ia akan tertawa sendiri, tawa yang tidak wajar dan penuh dengan kegilaan. Rian menyadari bahwa entitas itu juga terperangkap dalam semacam siklus, tidak bisa benar-benar menjadi manusia, hanya meniru apa yang ia lihat.

Rian mulai belajar tentang dunia di balik cermin. Ia menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ada bayangan-bayangan lain di sana, terperangkap seperti dirinya. Mereka adalah korban-korban sebelumnya, jiwa-jiwa yang telah ditukar oleh entitas cermin. Mereka tampak tidak berdaya, melayang-layang di dalam kegelapan yang tak berujung, beberapa di antaranya tampak gila karena terperangkap terlalu lama.

Mereka tidak bisa berkomunikasi dengan suara, tetapi Rian bisa merasakan kesedihan dan keputusasaan mereka. Terkadang, mereka akan mendekati batas cermin, mencoba menjangkau dunia nyata, tetapi selalu gagal. Rian mulai merasakan kekuatan kolektif dari jiwa-jiwa yang terperangkap ini, sebuah energi putus asa yang berdenyut di sekitar mereka.

Suatu hari, entitas itu membawa sebuah buku tua ke depan cermin. Buku itu berdebu dan tampak sangat tua. Entitas itu membuka halaman-halamannya, dan Rian, dari dalam cermin, bisa membaca beberapa tulisan yang buram. Itu adalah ritual kuno, sebuah mantra untuk mengikat jiwa ke dalam benda.

Rian merasakan ketakutan yang membara. Entitas itu tidak hanya mengambil alih hidupnya, tetapi juga berniat untuk mengikatnya selamanya ke dalam cermin, mengubahnya menjadi salah satu dari bayangan-bayangan yang tersiksa.

Ketika entitas itu mulai membacakan mantra, Rian merasakan tarikan yang kuat ke arah pusat cermin. Tubuhnya, yang kini transparan, mulai berkedip-kedip, seolah akan memudar sepenuhnya. Bayangan-bayangan lain di dalam cermin juga bereaksi, berputar-putar dalam keputusasaan, beberapa di antaranya menghilang menjadi kehampaan.

Rian tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terikat selamanya. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia memanggil semua kemarahan dan keputusasaan yang ia rasakan. Ia memfokuskan semua energinya pada satu tujuan: melawan.

Ia tidak sendirian. Jiwa-jiwa yang terperangkap lainnya, yang merasakan niat Rian, mulai mengalirkan energi mereka kepadanya. Mereka semua menginginkan hal yang sama: kebebasan.

Rian mengulurkan tangannya dari dalam cermin, menembus batas antara dua dunia. Kali ini, tangannya tidak lagi transparan. Tangannya memancarkan cahaya biru samar, energi yang terkumpul dari semua jiwa yang terperangkap.

Entitas itu terkejut. Ia mengangkat kepalanya dari buku, matanya melebar karena terkejut. Rian telah melakukan sesuatu yang tidak terduga, sesuatu yang seharusnya tidak mungkin.

"Lepaskan kami!" suara Rian, yang kini bukan lagi bisikan, melainkan lolongan kuat yang menggema di seluruh apartemen, keluar dari cermin. Suara itu bukan suara manusia biasa, melainkan gabungan dari ratusan suara kesakitan dan kemarahan.

Entitas itu menjatuhkan buku mantranya. Ia mundur, wajahnya dipenuhi ketakutan. Cahaya biru dari tangan Rian semakin terang, dan dari dalam cermin, retakan-retakan kecil mulai muncul di permukaan kaca.

Entitas itu mencoba meraih buku itu lagi, tetapi Rian, atau lebih tepatnya, energi kolektif dari jiwa-jiwa yang terperangkap, mengayunkan tangannya dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Energi biru itu mengenai entitas itu, dan entitas itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dengan keras.

Rian, atau entitas jiwa kolektif, terus memancarkan energi. Retakan di cermin semakin membesar, menyebar seperti jaring laba-laba. Entitas itu mencoba bangkit, tetapi tubuhnya tampak bergetar, seolah tidak sanggup menahan kekuatan yang terpancar dari cermin.

"Kau bukan aku," lolong Rian, suaranya kini dipenuhi dengan kekuatan yang tak terhingga. "Kau hanya pantulan! Dan sekarang, pantulan itu akan hancur!"

Dengan raungan terakhir, Rian memfokuskan seluruh energinya. Cermin itu pecah berkeping-keping, dengan suara yang menggelegar di seluruh apartemen. Pecahan kaca beterbangan ke segala arah, memantulkan cahaya redup.

Ketika kaca itu pecah, cahaya terang benderang menyelimuti seluruh ruangan. Entitas itu menjerit, suaranya melengking dan mengerikan, dan tubuhnya mulai memudar, seperti asap yang tertiup angin. Ia mencoba meraih pecahan cermin, mencoba kembali ke wujud aslinya, tetapi sudah terlambat. Dalam hitungan detik, entitas itu lenyap sepenuhnya, hanya meninggalkan kehampaan.

Rian merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa. Ia merasakan jiwanya kembali ke tubuhnya, perasaan yang hangat dan akrab. Ia membuka matanya, dan ia terbaring di lantai, di antara pecahan-pecahan cermin.

Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa lemas, tetapi ia hidup. Ia melihat sekeliling, dan apartemennya tampak normal, tidak ada lagi aura kegelapan yang menakutkan. Hanya ada pecahan kaca yang berserakan di lantai.

Rian duduk di lantai, di antara pecahan cermin, air mata mengalir di pipinya. Air mata lega, air mata kelegaan, dan air mata kesedihan untuk jiwa-jiwa yang terperangkap. Ia tidak tahu apakah mereka semua berhasil bebas bersamanya, atau apakah mereka juga hancur bersama cermin.

Namun, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Teror itu telah berakhir.

Ia mengumpulkan pecahan-pecahan cermin itu dengan hati-hati. Ia tidak ingin ada satu pun yang tersisa. Cermin itu adalah sumber penderitaannya, dan ia tidak akan pernah lagi membiarkan dirinya jatuh ke dalam jebakan yang sama.

Rian tidak pernah tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada cermin itu, atau mengapa ia bisa menjadi tempat bersemayam entitas jahat. Ia juga tidak pernah menceritakan kisahnya kepada siapa pun secara detail. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia telah bertukar tempat dengan refleksinya sendiri? Orang-orang akan menganggapnya gila.

Namun, Rian tidak pernah lagi membeli barang antik. Ia hidup dengan hati-hati, menghargai setiap momen kebebasan yang ia miliki. Dan terkadang, ketika ia memandangi cermin biasa, ia akan tersenyum tipis, mengingat pelajaran mengerikan yang ia dapatkan dari "Cermin yang Tersisa", sebuah cermin yang hampir merenggut jiwanya, namun pada akhirnya memberinya kesempatan kedua untuk hidup.

Dan di dalam relung hatinya, ia selalu bertanya-tanya, apakah bayangan-bayangan lain itu benar-benar bebas? Apakah mereka menemukan kedamaian, atau apakah mereka masih melayang-layang di suatu tempat, mencari cermin lain untuk menjebak jiwa yang lain? Pertanyaan itu tetap menjadi misteri, sebuah bisikan samar dari dunia di balik kaca yang pernah ia tinggali.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)