Masukan nama pengguna
Siaran Terakhir
Pukul dua dini hari, Stasiun TV Nusantara adalah kuburan sunyi yang berdenyut samar oleh dengungan mesin. Di ruang kendali utama yang remang-remang, hanya Ardi seorang diri. Cahaya biru dari monitor-monitor besar menyorot wajah lelahnya, memantulkan kacamata berbingkai tipis yang melorot di hidungnya. Ardi adalah teknisi TV spesialis siaran malam, sebuah pekerjaan yang baginya adalah pelarian. Ia menyukai kesunyian, rutinitas yang monoton, dan kepastian bahwa di balik setiap tombol yang ia tekan, ada sistem yang berjalan. Manusia terlalu rumit, tapi mesin… mesin itu bisa diandalkan.
Stasiun TV Nusantara sendiri adalah relik. Bangunan tua dengan arsitektur kolonial yang angkuh, lorong-lorong panjang berbau apak, dan studio-studio yang sebagian besar sudah tidak terpakai. Beberapa karyawan senior sering berbisik tentang “kejadian-kejadian aneh” di masa lalu, tapi Ardi selalu mengabaikannya. Baginya, itu hanya bualan orang tua yang rindu drama. Dia punya tugas, dan tugasnya adalah memastikan siaran berjalan mulus.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Ardi memantau siaran ulang sebuah drama seri lama yang tak pernah sepi penonton, meski ditayangkan di jam-jam keramat. Matanya mulai memberat, kafein di cangkirnya sudah lama menguap. Ia bersandar di kursi putarnya, nyaris tertidur, ketika sebuah gangguan aneh menyentak kesadarannya.
Layar monitor utama, yang seharusnya menampilkan adegan romantis murahan, tiba-tiba berkedip. Bukan sekadar statis biasa, melainkan sebuah lonjakan sinyal yang aneh, seolah ada frekuensi asing yang tumpang tindih. Jantung Ardi berdesir. Ini bukan gangguan teknis yang biasa. Ia segera duduk tegak, memicingkan mata ke layar.
Kemudian, muncul.
Bukan tayangan drama. Bukan iklan. Yang muncul adalah rekaman hitam-putih, kualitasnya buram dan bergaris-garis seperti kaset VHS lama yang sudah usang. Latar belakangnya sebuah studio berita kuno dengan logo stasiun yang sangat berbeda, gaya tahun 80-an yang kental. Dan di depan meja berita, seorang penyiar wanita muda dengan rambut disasak tinggi dan riasan tebal era itu, menatap lurus ke kamera. Wajahnya pucat, matanya tampak gelisah, dan suaranya… suaranya parau, seperti seseorang yang menahan napas terlalu lama.
“Malam ini,” suara itu berderak dari speaker yang sudah tua, nyaris tenggelam dalam desisan statis, “di Studio 4, seorang karyawan akan menemukan kebenaran yang terkubur…”
Ardi terkesiap. Studio 4. Jantungnya berdebar kencang. Studio itu sudah ditutup. Tidak, lebih dari itu, Studio 4 adalah tempat tragedi. Kebakaran 30 tahun lalu. Ardi masih ingat samar-samar cerita dari Pak Jaya, satpam senior yang sudah nyaris pensiun. Sebuah kecelakaan, katanya. Kebakaran yang menewaskan… tidak, tidak ada yang tewas. Hanya kerusakan parah. Atau begitukah?
Ia segera memeriksa jadwal siaran. Kosong. Rekaman itu tidak terdaftar. Ia membuka log server, mengecek riwayat tayangan. Tidak ada jejak. Seolah-olah rekaman itu muncul dari udara kosong, tanpa sumber, tanpa file digital. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
Saat ia mencoba melacak sumber sinyal secara manual, suara parau penyiar wanita itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini, seolah berbicara tepat di telinganya melalui headset-nya. “Kebenaran… terkubur…”
Ardi melepas headset-nya dengan gemetar. Jantungnya berpacu tak karuan. Ini tidak mungkin. Sebuah halusinasi? Tapi layarnya menunjukkan rekaman itu, jelas dan nyata, meski buram.
Ia kembali menatap layar monitor. Rekaman itu masih berputar, menampilkan penyiar wanita itu menatap tajam ke arahnya, seolah melihatnya. Wajahnya yang pucat itu kini tampak lebih dekat, mata hitamnya seolah menghujam jiwanya. Dan kemudian, dengan kejanggalan yang membuat bulu kuduknya merinding, layar monitor utama, yang seharusnya menampilkan rekaman usang itu, tiba-tiba berubah.
Ardi melihat dirinya sendiri.
Bukan pantulan dirinya di kaca. Ini adalah dirinya, duduk di kursi yang sama, mengenakan kemeja yang sama, tapi latar belakangnya bukan ruang kendali yang remang. Latar belakangnya adalah Studio 4 yang hangus, dengan dinding-dinding hitam legam bekas jilatan api, puing-puing berserakan, dan hawa dingin yang menusuk. Wajah Ardi di layar itu terlihat panik, ketakutan, seolah ia terjebak di sana, di masa lalu, di reruntuhan.
Ia mengedipkan mata. Layar kembali menampilkan rekaman hitam-putih yang aneh.
"Apa-apaan ini?" gumam Ardi, suaranya tercekat. Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Pak Jaya, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Siapa yang akan percaya? Dia akan dianggap gila, atau lebih buruk, disangka kurang tidur.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ardi, yang selalu mengandalkan logika, tidak bisa menerima kejadian ini tanpa penjelasan. Ia harus mencari tahu. Siapa penyiar wanita itu? Dan apa yang sebenarnya terjadi di Studio 4, 30 tahun lalu?
Bagian 2: Jejak-Jejak Masa Lalu
Sejak malam itu, pikiran Ardi terus dihantui. Ia tak bisa fokus pada pekerjaan, bayangan penyiar wanita itu terus menari di benaknya. Di setiap sudut stasiun, ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Bahkan dentingan jam di dinding pun terdengar seperti bisikan nama yang tak ia kenal.
Keesokan harinya, sebelum shift-nya berakhir, Ardi memutuskan untuk memulai penyelidikan awal. Ia tahu stasiun memiliki arsip fisik yang luas, berisi kaset-kaset lama, dokumen, dan kliping koran. Ruang arsip terletak di lantai bawah tanah, sebuah labirin lorong-lorong berdebu yang jarang dikunjungi.
Bau apek dan lembap langsung menyergap Ardi saat ia membuka pintu besi ruang arsip. Lampu neon yang berkedip-kedip menambah kesan horor. Rak-rak kayu tua menjulang tinggi, penuh dengan kotak-kotak karton yang ditumpuk tak beraturan. Ini akan memakan waktu.
Ardi memulai pencariannya dari tumpukan kaset master siaran tahun 80-an. Dengan hati-hati, ia membuka setiap kotak, membaca label yang nyaris pudar. Banyak rekaman acara musik, drama, dan berita rutin. Tidak ada yang spesial. Tapi Ardi mencari sesuatu yang spesifik: siaran terakhir sebelum tragedi Studio 4.
Beberapa hari kemudian, dengan mata merah karena kurang tidur dan tubuh pegal-pegal, Ardi menemukan sebuah kotak tanpa label, tersembunyi di balik tumpukan kaset lain. Di dalamnya, ia menemukan sebuah kaset VHS usang. Ia mengamati kaset itu, seolah bisa merasakan energi aneh memancar darinya. Tidak ada judul, hanya tulisan tangan yang samar di label kecil: "Final Broadcast - Studio 4."
Jantung Ardi berpacu. Ia membawa kaset itu ke ruang kontrolnya, memasukkannya ke pemutar VHS tua yang masih berfungsi di sana. Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol play.
Layar menyala. Statis sejenak, lalu muncul gambar yang sama persis dengan yang ia lihat malam itu. Penyiar wanita itu. Ia memperkenalkan diri sebagai Nirmala Kirana. Ardi mencatat namanya. Nirmala.
Rekaman itu berjalan sama persis dengan yang ia lihat pertama kali, dengan Nirmala membacakan berita biasa, sebelum tiba-tiba terhenti dan menampilkan pesan aneh itu. Tapi kali ini, Ardi menunggu. Ia biarkan rekaman itu berjalan terus, berharap ada sesuatu yang lain.
Dan ada.
Setelah pesan "kebenaran yang terkubur" itu, ada jeda panjang, lalu rekaman berlanjut. Kamera bergeser sedikit, tampak goyang, seperti dipegang oleh seseorang yang terkejut. Kemudian, terdengar suara teriakan yang tertahan, suara benda terjatuh, dan sebuah benturan keras disusul dengan suara berat orang terseret. Layar tiba-tiba berubah menjadi statis penuh, lalu mati sama sekali.
Ardi merasa mual. Itu bukan kecelakaan. Itu… pembunuhan.
Ia segera mencari informasi tentang Nirmala Kirana di arsip stasiun. Namanya tidak ada. Di daftar karyawan tahun 80-an, tidak ada. Di laporan korban kebakaran Studio 4, hanya disebutkan "kerusakan parah" dan "tidak ada korban jiwa." Seolah Nirmala Kirana tidak pernah ada. Ini semakin menguatkan firasat Ardi: kebenaran telah disembunyikan.
Ardi mencoba mencari saksi hidup. Ia mendekati Pak Jaya, satpam senior yang sudah mengabdi puluhan tahun di stasiun itu. Pak Jaya, seorang pria tua dengan wajah keriput dan tatapan kosong, tampak enggan berbicara.
"Studio 4?" gumam Pak Jaya, matanya menerawang. "Ah, tempat itu… angker. Sejak kebakaran itu. Banyak yang bilang begitu."
"Pak, ada seorang penyiar wanita bernama Nirmala Kirana," Ardi mencoba memancing. "Apakah Bapak mengenalnya? Dia bilang di siaran terakhirnya tentang Studio 4."
Wajah Pak Jaya pucat pasi. Ia menatap Ardi dengan ketakutan. "Nirmala? Kamu… kamu mendengar namanya?" Ia menunduk, gemetar. "Jangan sebut nama itu, Nak. Dia… dia pergi. Setelah kejadian itu, dia tidak pernah kembali."
"Dia tewas, Pak?" desak Ardi.
Pak Jaya menggeleng. "Tidak ada yang tewas, kata mereka. Hanya… menghilang." Ia menatap Ardi lagi, matanya penuh peringatan. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak usah kau tahu, Ardi. Hantu-hantu itu… mereka tidak suka jika rahasia mereka terkuak."
Ardi merasa frustrasi, tapi juga semakin yakin. Ada sesuatu yang sangat salah. Kenapa tidak ada catatan tentang Nirmala? Kenapa semua orang menghindarinya?
Seiring penyelidikan Ardi yang semakin dalam, gangguan supranatural di ruang kontrolnya semakin intens. Suara bisikan-bisikan mulai terdengar melalui headset-nya, seperti gumaman dari alam lain. Kadang, ia mendengar namanya disebut, atau nama "Nirmala" dalam bisikan samar. Seolah-olah ada yang tahu ia sedang menggali, dan entah mencoba membantunya atau memperingatkannya.
Layar monitor yang menampilkan pantulan dirinya dengan latar belakang Studio 4 yang hangus, kini muncul lebih sering, lebih lama. Ardi melihat dirinya di layar, wajahnya tampak semakin kurus, matanya cekung, dan di belakangnya, bayangan sosok wanita berdiri di reruntuhan Studio 4, tampak mengawasinya. Itu Nirmala. Dia ada di sana, di masa lalu, dan di sini, di masa kini.
Pada suatu malam, saat ia sedang memeriksa kabel-kabel di balik panel kontrol, sebuah benda kecil di mejanya, sebuah mug berisi kopi dingin, tiba-tiba terlempar dan pecah menabrak dinding. Ardi melompat kaget. Ia menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Suara tawa dingin, seperti desiran angin malam, terdengar sayup-sayup.
Nirmala tidak hanya di rekaman lagi. Dia ada di sini, bersamanya, di stasiun tua ini.
Bagian 3: Bayangan Pembunuh
Ketakutan Ardi perlahan berubah menjadi tekad. Nirmala tidak akan bisa beristirahat sampai kebenaran terungkap. Dan entah kenapa, Ardi merasa ia adalah satu-satunya yang bisa melakukannya. Ia mulai menghabiskan seluruh waktunya di stasiun, bukan lagi hanya untuk bekerja, melainkan untuk menggali.
Ia memutar ulang kaset "Final Broadcast" berkali-kali, menganalisis setiap detail. Suara teriakan, benturan, dan suara terseret. Itu bukan kecelakaan. Itu pembunuhan. Dan kemudian, ada suara langkah kaki yang samar, berat, maskulin, yang terdengar setelah Nirmala dibunuh, sebelum rekaman mati.
Ardi mencoba mengidentifikasi suara itu. Ia mencari rekaman-rekaman lama dari acara-acara lain, mencoba membandingkan suara-suara staf stasiun pada masa itu. Ini adalah pekerjaan gila, tapi Ardi merasa terdorong oleh kekuatan tak kasat mata.
Satu malam, saat ia memutar ulang rekaman wawancara lama dengan mantan Kepala Bagian Teknis Stasiun, Pak Hartono, Ardi terpaku. Suara Pak Hartono, yang dulu sering memberikan pidato rutin di setiap acara internal stasiun, memiliki pola langkah kaki yang khas. Berat, sedikit menyeret di kaki kanan. Ardi membandingkannya dengan suara di kaset Nirmala. Sama.
Jantungnya berpacu. Pak Hartono. Dia adalah orang yang sangat berkuasa di stasiun pada masa itu. Seseorang yang memiliki akses ke semua area, termasuk Studio 4. Dan dia adalah orang yang berada di balik laporan resmi kebakaran yang menyatakan "tidak ada korban jiwa".
Ardi mencari arsip pribadi Pak Hartono. Ia menemukan sebuah kotak tua berisi foto-foto dan surat-surat. Di antara tumpukan itu, ia menemukan sebuah surat kaleng yang ditujukan kepada Pak Hartono, berisi ancaman. Isinya menuduh Pak Hartono melakukan penyelewengan dana dan perselingkuhan dengan seorang karyawan wanita. Nama wanita itu… Nirmala Kirana.
Darah Ardi mendidih. Jadi, ini motifnya. Nirmala mungkin mengancam akan membongkar rahasia Pak Hartono. Dan Pak Hartono, untuk melindungi reputasinya, membunuh Nirmala dan membakar Studio 4 untuk menghilangkan bukti. Laporan kecelakaan itu adalah penyamaran yang sempurna.
Saat Ardi memegang surat itu, bisikan-bisikan di headset-nya berubah. Bukan lagi samar, tapi jelas. Suara Nirmala, kali ini penuh amarah. "Dia… dia membunuhku! Dia menutupi segalanya!"
Layar monitor kembali menampilkan Ardi di Studio 4 yang hangus. Tapi kali ini, di belakangnya, bayangan Pak Hartono berdiri, sosoknya terlihat jelas, dengan tatapan dingin dan senyum sinis. Ardi melihat dirinya di layar, wajahnya berteriak ketakutan, menunjuk ke arah bayangan Pak Hartono. Nirmala ingin Ardi melihat siapa pembunuhnya.
Ardi panik. Ia harus membuktikan ini. Tapi bagaimana? Pak Hartono sudah meninggal beberapa tahun lalu. Semua bukti telah musnah dalam kebakaran.
Tiba-tiba, Ardi teringat sesuatu. Ada kamera pengawas analog lama di beberapa sudut stasiun, yang merekam secara kontinu ke kaset-kaset terpisah, sebagian besar tidak pernah ditinjau kecuali jika ada kejadian serius. Ia pernah melihatnya di beberapa blueprint stasiun. Jika ada kamera yang merekam area sekitar Studio 4 pada malam itu, mungkin ada rekaman yang selamat.
Ia menghabiskan sisa malam itu mencari. Dengan bantuan blueprint tua yang ia temukan di arsip, ia menemukan lokasi sebuah kamera tersembunyi yang menghadap ke lorong samping Studio 4, tersembunyi di balik sebuah ventilasi. Kamera itu sudah mati, tapi kasetnya masih ada di dalamnya, terlindungi dalam wadah logam.
Jantung Ardi berdetak kencang. Ia membawa kaset itu ke ruang kontrol, memasukkannya ke pemutar. Tangannya gemetar begitu hebat hingga ia nyaris menjatuhkannya.
Rekaman itu buram, penuh statis. Tapi Ardi bisa melihatnya. Sosok Pak Hartono, mengenakan jaket gelap, berjalan tergesa-gesa keluar dari Studio 4. Wajahnya tampak panik. Kemudian, beberapa menit setelahnya, asap mulai mengepul dari celah pintu Studio 4.
Ini dia. Bukti terakhir.
Tapi saat ia hendak menyimpan rekaman itu, hawa dingin yang menusuk tulang melingkupinya. Lampu di ruang kontrol berkedip gila-gilaan, dan monitor-monitor lain menyala, menampilkan wajah Nirmala yang pucat, matanya kosong, tapi penuh kesedihan dan amarah.
“Kamu tahu kebenarannya,” suara Nirmala berbisik langsung di telinganya, bukan dari headset, tapi dari udara kosong. “Kamu telah melihatnya. Sekarang… giliranmu.”
Ardi merasa terancam. Ini bukan lagi tentang membantu Nirmala. Ini tentang dirinya sendiri. Nirmala mengincarnya, bukan untuk balas dendam pada pembunuhnya, melainkan karena Ardi sekarang menjadi saksi—saksi yang mengetahui kebenaran yang terkubur. Dan Nirmala, yang terperangkap dalam siklus abadi siaran terakhirnya, menginginkan Ardi menjadi bagian dari siklus itu. Ia ingin Ardi menceritakan kebenaran ini, entah dengan hidupnya atau dengan jiwanya.
Bagian 4: Siaran Abadi
Malam itu, Stasiun TV Nusantara berubah menjadi panggung teror bagi Ardi. Setelah ia menemukan rekaman kamera tersembunyi, kehadiran Nirmala menjadi semakin agresif. Ruang kendali, yang sebelumnya merupakan tempat aman Ardi, kini terasa seperti sangkar.
Lampu berkedip-kedip tak beraturan, menampilkan bayangan Nirmala yang menari di dinding. Suara bisikan-bisikan kini berubah menjadi teriakan melengking yang memanggil namanya, bergaung di lorong-lorong kosong. Monitor-monitor menampilkan wajah Nirmala yang berubah-ubah, dari sedih, marah, hingga menyeramkan.
Ardi mencoba menelepon polisi, tapi ponselnya mati. Ia mencoba keluar, tapi pintu ruang kendali terkunci rapat dari dalam. Ia berteriak minta tolong, tapi suaranya hanya bergema di kesunyian stasiun yang sepi.
"Nirmala! Apa yang kau inginkan dariku?!" Ardi berteriak, suaranya parau.
Wajah Nirmala muncul di layar monitor utama, kali ini begitu jelas dan detail, seolah dia benar-benar ada di dalam layar. Matanya menatap Ardi dengan dendam yang tak terlukiskan. “Kebenaran… harus disiarkan,” suaranya menggeram, terdengar di setiap sudut ruangan. “Aku… ingin seluruh dunia tahu.”
Ardi mengerti. Nirmala tidak bisa menyiarkannya sendiri. Dia membutuhkan perantara. Dan perantara itu adalah Ardi.
"Aku akan menyiarkannya!" Ardi berjanji, putus asa. "Aku akan tunjukkan rekamannya! Biarkan aku pergi!"
Nirmala tidak bergeming. Wajahnya semakin mendekat ke layar, seolah ingin menarik Ardi ke dalamnya. “Tidak cukup. Kamu harus… menjadi bagian dari siaran ini.”
Tiba-tiba, suhu di ruangan itu turun drastis. Embun muncul di layar monitor. Ardi merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah-olah dia berada di dalam lemari es. Sebuah kekuatan tak kasat mata mendorongnya, menyeretnya menjauh dari konsol kontrol, menuju lorong gelap yang mengarah ke Studio 4.
Ardi melawan, mencengkeram meja, menendang-nendang. Tapi kekuatan itu terlalu besar. Ia diseret, kakinya tersandung di lantai yang dingin. Ia bisa merasakan aura Nirmala yang semakin kuat, dingin, dan menakutkan.
Ia diseret melewati lorong-lorong gelap, melewati studio-studio yang sudah tidak terpakai, sampai akhirnya ia tiba di depan pintu Studio 4. Pintu itu, yang seharusnya terkunci rapat dan disegel, kini terbuka sedikit, menampilkan kegelapan di dalamnya. Bau hangus yang samar menusuk hidungnya, meskipun sudah 30 tahun berlalu.
Ia didorong masuk.
Di dalam Studio 4, gelap gulita. Tidak ada cahaya sama sekali. Ardi bisa merasakan puing-puing berserakan di bawah kakinya. Di tengah kegelapan, sebuah titik cahaya biru muncul, berdenyut pelan. Itu adalah cahaya dari kamera pengawas tua yang ia temukan tadi, yang kini entah bagaimana menyala dan merekamnya.
Cahaya itu bergeser, menyinari sebuah sudut ruangan. Di sana, meja berita lama yang hangus berdiri, seolah utuh, namun hitam legam. Dan di belakangnya, berdiri sosok Nirmala Kirana, seperti yang ada di rekaman, tapi kali ini dia nyata, meskipun wujudnya transparan, bersinar samar.
Wajah Nirmala tampak puas. “Duduklah,” bisiknya, suaranya kini terdengar lembut, tapi mengancam. “Siaran ini… harus berlanjut.”
Ardi merasa kakinya bergerak sendiri, dipaksa menuju meja berita itu. Ia duduk di kursi yang hangus, menghadap kamera. Di depannya, monitor kosong menyala, memantulkan wajahnya yang ketakutan.
"Sekarang, katakanlah kebenaran," Nirmala berbisik, berdiri di sampingnya, tangan transparan Nirmala menyentuh bahu Ardi, terasa dingin seperti es. "Katakanlah pada mereka, apa yang terjadi di sini."
Ardi ingin berteriak, ingin menolak. Tapi suaranya tercekat. Ia merasa bibirnya bergerak sendiri, seolah Nirmala mengendalikan tubuhnya. Ia melihat dirinya di monitor, menatap kamera dengan mata kosong.
“Malam ini…” suara Ardi sendiri, tapi terdengar parau dan jauh, keluar dari speaker di ruang kendali utama, kembali menyiarkan pesan yang sama, yang 30 tahun lalu disiarkan Nirmala. “Di Studio 4, seorang karyawan telah menemukan kebenaran yang terkubur…”
Ardi melihat ke arah kamera. Cahaya biru itu semakin terang, menyilaukan matanya. Ia merasa jiwanya ditarik, ditarik keluar dari tubuhnya, disedot ke dalam lensa kamera itu, menuju kehampaan abadi. Ia berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya suara Nirmala, yang kini terdengar riang, bergaung di seluruh studio.
Pagi Setelahnya
Mentari pagi menyusup malu-malu di balik jendela ruang kendali Stasiun TV Nusantara. Cahaya keemasan menyinari tumpukan kertas dan monitor yang berkedip-kedip, seolah tidak ada yang terjadi.
Pak Jaya, satpam senior, berjalan gontai memasuki ruangan. Hari itu ia bertugas mengecek shift malam. Ia melihat headset Ardi tergeletak di lantai, sebuah mug pecah di dinding, dan tumpukan arsip berserakan di meja.
"Ardi?" panggilnya, suaranya serak. Tidak ada jawaban.
Pak Jaya mengamati monitor utama. Layar itu masih menyala, menampilkan statis. Bukan statis biasa. Statis itu berwarna merah darah, berdenyut-denyut seperti detak jantung. Dan di tengah statis yang mengerikan itu, sebuah tulisan muncul, samar-samar, seolah terukir dengan darah.
SIARAN INI AKAN TERUS BERULANG.
Pak Jaya mendekati monitor, matanya memicing. Ia mengusap layar, memastikan itu bukan noda. Itu adalah bagian dari gambar. Ia mencoba menekan tombol off, tapi layar tidak merespons.
Ia melihat sekeliling ruangan. Semuanya tampak normal, kecuali beberapa hal kecil yang aneh: bau hangus yang samar, hawa dingin yang menusuk, dan kesunyian yang mencekam. Ardi tidak ada di sana. Bahkan tasnya pun tidak ada. Seolah Ardi tidak pernah ada.
Pak Jaya terdiam. Ia menatap layar monitor dengan ngeri. Ia tahu apa artinya itu. Dia sudah pernah melihatnya. Tapi dia tidak pernah ingin mengakuinya. Ia berbalik, gemetar, dan melangkah keluar dari ruang kendali, meninggalkan layar statis berdarah itu berdenyut sendirian.
Stasiun TV Nusantara kembali menjadi sunyi, kecuali dengungan samar dari mesin-mesin, dan detak tak terlihat dari sebuah siaran yang akan terus berulang, abadi, menghantui siapa saja yang berani mencari kebenaran yang terkubur. Dan entah di mana, di dalam siaran yang tak terlihat itu, Ardi mungkin kini menjadi bagian dari pesan abadi Nirmala, selamanya terperangkap dalam "Siaran Terakhir" yang tak pernah berakhir.